Oleh: Pdt. Budi Asali, M.Div
I) Perbandingan 3 pandangan:
Pelagianisme, Arminianisme, dan Calvinisme.
Kita akan memulai pelajaran ini dengan membandingkan 3
ajaran berkenaan dengan kebutuhan kasih karunia untuk keselamatan / percaya
kepada Yesus, yaitu Pelagianisme, Calvinisme / Reformed, dan Arminianisme.
1) Pelagius / Pelagianisme
percaya bahwa manusia tak membutuhkan kasih karunia Allah / pekerjaan Roh Kudus
untuk berbuat baik ataupun untuk percaya kepada Yesus.
R. C. Sproul: “According to Harnack, Pelagius ‘preached that God commanded nothing
impossible, that man possessed the power of doing the good if only he willed,
and that the weakness of the flesh was merely a pretext.’ The controlling
principle of Pelagius’s thought was the conviction (noted by Harnack) that God never
commands what is impossible for man to perform. ... Pelagius raised this
question: Is the assistance of grace necessary for a human being to obey God’s
commands? Or can those commands be obeyed without such assistance? For
Pelagius the command to obey implies the ability to obey. This would be true,
not only of the moral law of God, but also of the commands inherent in the
gospel. If God commands people to believe in Christ, then they must have the
power to believe in Christ without the aid of grace. If God commands sinners to
repent, they must have the ability to incline themselves to obey that command.
Obedience does not in any way need to be ‘granted.’ ... For Pelagius, nature
does not require grace in order to fulfill its obligations. Free will, properly
exercised, produces virtue, which is the supreme good and is justly followed by
reward. By his own effort man can achieve whatever is required of him in
morality and religion.” [=
Menurut Harnack, Pelagius ‘mengkhotbahkan / memberitakan bahwa Allah tidak
memerintahkan sesuatu yang mustahil / tidak mungkin, bahwa manusia
mempunyai kuasa untuk melakukan yang baik jika saja ia mau,
dan bahwa kelemahan daging semata-mata merupakan dalih’. Prinsip
yang mengendalikan / mengarahkan dari pemikiran Pelagius adalah keyakinan
(diperhatikan / dilihat oleh Harnack) bahwa
Allah tidak pernah memerintahkan apa yang mustahil / tidak mungkin untuk
dilakukan manusia. ... Pelagius mengemukakan pertanyaan
ini: Apakah bantuan dari kasih karunia perlu bagi seorang manusia untuk
mentaati perintah-perintah Allah? Atau bisakah perintah-perintah itu ditaati
tanpa bantuan seperti itu? Bagi Pelagius perintah untuk
taat secara implicit menunjukkan kemampuan untuk taat. Ini adalah benar, bukan
hanya tentang hukum moral dari Allah, tetapi juga tentang perintah-perintah
yang terdapat dalam injil. Jika Allah memerintahkan orang-orang untuk percaya
kepada Kristus, maka mereka harus mempunyai kuasa / kekuatan untuk percaya
kepada Kristus tanpa pertolongan kasih karunia. Jika Allah memerintahkan
orang-orang berdosa untuk bertobat, mereka pasti / harus mempunyai kemampuan
untuk mencondongkan diri mereka sendiri untuk mentaati perintah itu. Ketaatan
tidak dengan jalan apapun membutuhkan untuk ‘dianugerahkan’.
... Bagi Pelagius, alam tidak memerlukan kasih karunia untuk memenuhi
kewajiban-kewajibannya. Kehendak bebas, yang digunakan secara benar,
menghasilkan kebaikan / perbuatan baik, yang adalah kebaikan yang tertinggi dan
secara adil diikuti dengan pahala. Oleh usahanya sendiri manusia bisa mencapai
apapun yang diharuskan / diwajibkan bagi dia dalam moral dan agama.] - ‘Willing
to Believe’, hal 33-34,35 (Libronix).
Catatan: Harnack adalah seorang ahli theologia dan sejarawan
Jerman yang hidup pada tahun 1851-1930 (Encyclopedia Britannica 2010).
2) Arminianisme
mengatakan bahwa sejak lahir, semua manusia sudah menerima pengaruh istimewa
dari Roh Kudus (biasanya disebut dengan istilah ‘Prevenient Grace’ atau ‘kasih karunia yang mendahului’). Tanpa pengaruh
istimewa ini manusia tidak bisa percaya kepada Yesus. Tetapi dengan adanya
pengaruh istimewa dari Roh Kudus ini menyebabkan manusia bisa percaya kepada
Yesus, atau memungkinkan manusia untuk percaya kepada Yesus. Sekarang hanya tergantung apakah ia mau atau tidak mau
melakukan hal itu. Jadi, manusia bisa
menolak kasih karunia Allah itu.
Jadi, berbeda dengan
Pelagius, Arminius percaya pada Total
Depravity (= Kebejatan Total) seandainya tidak ada ‘prevenient grace’ (= kasih karunia yang mendahului). Tetapi dalam
faktanya Allah telah memberikan ‘prevenient
grace’ (= kasih karunia yang mendahului) ini kepada semua orang sejak
lahir, sehingga semua orang bisa / mampu memilih Kristus jika mereka mau.
Bahwa ini memang merupakan ajaran Arminian, terlihat dari
kutipan-kutipan di bawah ini.
R. C. Sproul: “James Arminius was emphatic in his rejection of Pelagianism,
particularly with respect to the fall of Adam. The fall leaves man in a ruined
state, under the dominion of sin. Arminius declares: ‘In this state, the Free
Will of man towards the True Good is not only wounded, maimed, infirm, bent,
and weakened (attenuatem);
but it is also imprisoned (captivatum),
destroyed, and lost. And its powers are not only debilitated and useless unless
they be assisted by grace, but it has no powers whatever except such as are
excited by Divine grace.…’” [= Yakobus Arminius
bersikap tegas dalam penolakannya tentang Pelagianisme, khususnya berkenaan
dengan kejatuhan Adam. Kejatuhan itu meninggalkan manusia dalam keadaan hancur,
di bawah kuasa dosa. Arminius menyatakan: ‘Dalam keadaan ini, Kehendak Bebas
manusia terhadap Kebaikan yang Benar bukan hanya terluka, buntung, lemah,
bengkok, dan dilemahkan (attenuatem);
tetapi itu juga dipenjarakan (captivatum), hancur dan hilang. Dan kuasa / kekuatannya bukan hanya dilemahkan dan
tak berguna kecuali mereka ditolong oleh kasih karunia, tetapi itu tidak
mempunyai kuasa-kuasa / kekuatan-kekuatan apapun kecuali yang dibangkitkan oleh
kasih karunia Ilahi ...’] - ‘Willing
to Believe’, hal 125 (Libronix).
R. C. Sproul: “The
beginning of the work of grace is called ‘preventing grace’ or more popularly ‘prevenient
grace’, referring to the grace that
comes before conversion and on which conversion depends. ... The term ‘preventing
grace’ is open to misunderstanding. ‘To
prevent’ in modern usage usually means
‘to keep something from happening.’ This is not how Arminius uses the term. The
word ‘prevent’ derives from the
Latin venio, which means
simply ‘to come.’ The prefix ‘pre’ means ‘before.’ Therefore, ‘preventing
grace’ does not keep salvation from
happening but necessarily ‘comes before’ salvation.” [= Permulaan
dari pekerjaan kasih karunia disebut ‘preventing grace’ atau secara lebih populer ‘prevenient grace’ / ‘kasih karunia yang mendahului’, yang menunjuk
pada kasih karunia yang datang sebelum pertobatan dan pada mana pertobatan
tergantung. ... Istilah ‘preventing grace’ terbuka terhadap
kesalah-mengertian. ‘To prevent’
dalam penggunaan modern biasanya berarti ‘menjaga sesuatu supaya tidak terjadi’
/ ‘mencegah’. Ini bukanlah cara Arminius menggunakan istilah itu. Kata ‘prevent’
diturunkan dari kata bahasa Latin VENIO, yang sekedar berarti ‘datang’. Awalan ‘pre’ berarti ‘sebelum’. Karena itu, ‘preventing grace’ tidak menjaga supaya
keselamatan tidak terjadi, tetapi secara perlu ‘datang sebelum’ keselamatan.] - ‘Willing to Believe’,
hal 129 (Libronix).
R. C. Sproul:
“PREVENIENT
GRACE. As the name suggests, prevenient grace is grace that ‘comes before’
something. It is normally defined as a work that God does for everybody.
He gives all people enough grace to respond to Jesus. That is, it is
enough grace to make it possible
for people to choose Christ. Those who cooperate with and assent to this grace
are ‘elect.’ Those who refuse to cooperate with this grace are lost.” (= KASIH KARUNIA YANG mendahului. Seperti ditunjukkan oleh namanya, kasih karunia yang
mendahului adalah kasih karunia yang ‘datang sebelum’ sesuatu. Itu biasanya
didefinisikan sebagai suatu pekerjaan yang Allah lakukan bagi setiap orang. Ia
memberi semua orang kasih karunia yang cukup untuk memberi tanggapan kepada
Yesus. Artinya, itu adalah kasih karunia yang cukup untuk membuatnya mungkin bagi
orang-orang untuk memilih Kristus. Mereka yang
bekerja sama dengan dan memberi persetujuan kepada kasih karunia ini adalah
‘orang-orang pilihan’. Mereka yang menolak untuk bekerja sama dengan kasih
karunia ini terhilang.) - ‘Chosen By God’, hal 123.
R. C. Sproul: “The Point of
Departure. Arminius
declares that ‘internal vocation is granted (contingit)
even to those who do not comply with the call.’ Here, at last, we see the
critical point of departure from the view of Luther and Calvin. For the
Reformers, the internal call is effectual. That is, all whom God calls
internally comply with his call. This sets the stage for the debate over the
resistible or irresistible grace of regeneration. Arminius declares: ‘All
unregenerate persons have freedom of will, and a capability of resisting the
Holy Spirit, of rejecting the proffered grace of God, of despising the counsel
of God against themselves, of refusing to accept the Gospel of grace, and of
not opening to Him who knocks at the door of the heart; and these things they
can actually do, without any difference of the Elect and of the
Reprobate.’ Arminius makes it clear that prevenient grace is resistible.
This grace is necessary for salvation, but does not insure that salvation will
ensue. Grace is a necessary condition
for salvation, but not a sufficient
condition for salvation. Arminius distinguishes between sufficient and
efficient grace: ‘Sufficient grace must necessarily be laid down; yet this
sufficient grace, through the fault of him to whom it is granted (contingit),
does not (always) obtain its effect. Were the fact otherwise, the justice of
God could not be defended in his condemning those who do not believe.’
Prevenient grace is ‘sufficient’ in that it provides everything the sinner
needs in order to be saved. The sinner is unable to do the good without it. We
can see here that Arminius’s chief concern is to defend the justice of God. If
only irresistible grace is given, then in the final analysis God determines who
will and who will not be saved. The unspoken question is this: If the sinner
cannot respond to the gospel without irresistible grace and if this grace is
not given to all, then how can God justly condemn those to whom he has not
given it? Arminius goes on to say: ‘The efficacy of saving grace is not
consistent with that omnipotent act of God, by which He so inwardly acts in the
heart and mind of man, that he on whom that act is impressed cannot do any
other than consent to God who calls him. Or, which is the same thing, grace is
not an irresistible force.’” [= Titik penyimpangan. Arminius menyatakan bahwa ‘pekerjaan internal / di dalam diberikan (contingit) bahkan kepada mereka yang
tidak memenuhi / mentaati panggilan itu’. Di sini, akhirnya, kita melihat titik penyimpangan yang kritis dari pandangan Luther dan Calvin.
Bagi para tokoh Reformasi, panggilan internal / di dalam adalah efektif / pasti
berhasil. Artinya, semua orang yang Allah panggil dalam panggilan internal /
dalam memenuhi / mentaati panggilanNya. Ini
mengatur panggung untuk perdebatan berkenaan dengan kasih karunia dari
kelahiran baru yang bisa ditolak atau tidak bisa ditolak. Arminius menyatakan: ‘Semua
orang yang belum lahir baru mempunyai kebebasan kehendak, dan suatu kemampuan
untuk menolak Roh Kudus, untuk menolak kasih karunia Allah yang ditawarkan,
untuk meremehkan rencana Allah terhadap diri mereka sendiri, untuk menolak
untuk menerima Injil kasih karunia, dan untuk tidak membuka bagiNya yang
mengetok pada pintu hati; dan hal-hal ini mereka sungguh-sungguh bisa lakukan,
tanpa perbedaan apapun antara orang-orang pilihan dan orang-orang non pilihan /
reprobate’. Arminius
membuatnya jelas bahwa kasih karunia yang mendahului bisa ditolak. Kasih karunia ini perlu
untuk keselamatan, tetapi tidak menjamin bahwa keselamatan akan terjadi. Kasih
karunia adalah suatu syarat yang perlu
untuk keselamatan, tetapi bukan syarat yang cukup
untuk keselamatan. Arminius membedakan antara kasih karunia yang cukup dan kasih
karunia yang efisien / pasti berhasil: ‘Kasih karunia yang cukup secara perlu harus diletakkan; tetapi
kasih karunia yang cukup ini, melalui kesalahan dari dia kepada siapa itu
diberikan (contingit), tidak (selalu)
mendapatkan hasilnya. Seandainya faktanya adalah
sebaliknya, keadilan Allah tidak bisa dipertahankan dalam penghukumanNya
terhadap orang-orang yang tidak percaya’. Kasih karunia yang
mendahului adalah ‘cukup’ dalam arti itu menyediakan segala sesuatu yang
dibutuhkan orang berdosa untuk diselamatkan. Orang berdosa tidak mampu
melakukan yang baik tanpa kasih karunia itu. Kita bisa melihat di sini bahwa perhatian
utama Arminius adalah untuk mempertahankan keadilan Allah. Jika saja kasih karunia yang tidak bisa ditolak diberikan,
maka dalam analisa terakhir Allah menentukan siapa yang akan dan siapa yang
tidak akan diselamatkan. Pertanyaan yang tidak
diucapkan adalah ini: Jika orang berdosa tidak bisa menanggapi injil tanpa
kasih karunia yang tidak bisa ditolak dan jika kasih karunia ini tidak
diberikan kepada semua orang, maka bagaimana Allah bisa dengan adil menghukum
mereka kepada siapa Ia tidak memberikannya? Arminius melanjutkan dengan
berkata: ‘Kemujaraban / keberhasilan dari kasih karunia yang menyelamatkan
tidak konsisten dengan tindakan maha kuasa dari Allah, dengan mana Ia bertindak
di dalam sedemikian rupa dalam hati dan pikiran manusia, sehingga ia kepada
siapa tindakan itu ditanamkan tidak bisa melakukan yang lain dari pada
menyetujui Allah yang memanggilnya. Atau, yang adalah hal yang sama dengan, kasih karunia bukanlah kekuatan yang tidak bisa ditolak’.] - ‘Willing to
Believe’, hal 130-131 (Libronix).
R. C. Sproul:
“A bit earlier
Arminius said that prevenient grace is sufficient but not efficient. It does
not always obtain its effect. At this point he laid the fault with men rather than with God. The failure to acquiesce in
this sufficient grace is a fault. Arminius does not say that the assent to
prevenient grace is a virtue, but he strongly implies it. If failure to assent
is a fault, then to assent is a virtue. If it is not virtue, it is at the very
least decisive to the outcome. In the final analysis the good outcome is
contingent or dependent on what the person does or does not do” (= Sedikit
lebih awal, Arminius berkata bahwa ‘kasih karunia yang mendahului’ adalah cukup
tetapi tidak efisien / pasti berhasil. Itu tidak selalu mendapatkan hasilnya.
Pada titik ini ia meletakkan kesalahan pada manusia dan bukannya pada Allah. Kegagalan untuk menyetujui tanpa membantah kepada kasih
karunia yang cukup ini adalah suatu kesalahan. Arminius
tidak mengatakan bahwa persetujuan kepada ‘kasih karunia yang mendahului’
adalah suatu kebaikan, tetapi ia secara implicit menunjukkannya dengan kuat.
Jika kegagalan untuk menyetujui adalah suatu kesalahan, maka menyetujui adalah
suatu kebaikan. Jika itu bukan kebaikan, itu
sedikitnya menentukan hasilnya. Dalam analisa terakhir hasil yang baik
tergantung pada apa yang orang itu lakukan atau tidak lakukan) - ‘Willing to
Believe’, hal 131 (Libronix).
R. C. Sproul: “Is Arminius’s view of regeneration monergistic or synergistic? To answer
this question we must first understand what is meant by regeneration. Is regeneration the same as prevenient
grace? If prevenient grace always enables the sinner to assent to grace, then
Arminius’s view is monergistic in this regard. For Arminius prevenient grace
seems to be irresistible to the degree that it effectively liberates the sinner
from his moral bondage or impotency. Prior to receiving prevenient grace, man
is dead and utterly unable to choose the good. After receiving this grace, the
sinner is able to do what he was previously unable to do. In this sense,
prevenient grace is monergistic and irresistible. ... Arminius makes it clear
that, at the commencement of the work of salvation, man is passive. The
exciting of grace on the soul is monergistic.” [= Apakah pandangan Arminius tentang
kelahiran baru monergistik atau synergistik? Untuk menjawab pertanyaan ini
pertama-tama kita harus mengerti apa yang dimaksudkan dengan kelahiran baru.
Apakah kelahiran baru sama dengan ‘prevenient grace’ (= kasih karunia yang mendahului)? Jika
‘kasih karunia yang mendahului’
selalu memampukan orang berdosa untuk menyetujui kasih karunia, maka pandangan
Arminius adalah monergistik dalam hal ini. Bagi
Arminius ‘kasih karunia yang mendahului’
kelihatannya tak bisa ditolak sampai pada tingkat dimana itu secara efektif
membebaskan orang berdosa dari perbudakan atau ketidak-mampuan moral.
Sebelum penerimaan ‘kasih karunia
yang mendahului’, manusia itu mati dan sama sekali tidak bisa memilih yang baik.
Setelah menerima kasih karunia ini, orang berdosa itu bisa melakukan apa yang
sebelumnya ia tidak bisa lakukan. Dalam arti ini, ‘kasih karunia yang mendahului’
adalah monergistik dan tidak bisa ditolak. ...
Arminius membuat jelas bahwa pada permulaan dari pekerjaan keselamatan,
manusia itu pasif. Pembangkitan kasih karunia pada jiwa adalah monergistik.] - ‘Willing
to Believe’, hal 131,132 (Libronix).
Catatan: monergistik =
hanya satu pihak yang bekerja, yaitu Allah. Sedangkan sinergistik = kedua
pihak, yaitu Allah dan manusia bekerja bersama-sama.
R. C. Sproul: “Arminius says: ‘In the very commencement of
his conversion, man conducts himself in a purely passive
manner; that is, though, by a vital act, that is, by feeling (sensu), he has a perception of the
grace which calls him, yet he can do no other than receive it and feel it. But,
when he feels grace affecting or inclining his mind and heart, he freely assents to it, so that he
is able at the same time to with-hold his assent.’” [= Arminius berkata:
‘Pada permulaan yang paling awal dari pertobatannya, manusia bertingkah laku
dengan cara yang sepenuhnya pasif; artinya, sekalipun oleh suatu tindakan vital
/ sangat penting, yaitu, dengan merasakan (sensu),
ia mempunyai suatu pengertian / kesadaran tentang kasih karunia yang
memanggilnya, tetapi ia tidak bisa melakukan apapun selain menerimanya dan
merasakannya. Tetapi, pada waktu ia
merasakan kasih karunia mempengaruhi atau mencondongkan pikiran dan hatinya, ia
dengan bebas menyetujuinya, sehingga pada saat yang sama ia bisa menahan
persetujuannya’.] - ‘Willing to Believe’,
hal 132 (Libronix).
R. C. Sproul: “Francis Turretin notes this distinction in Arminius: The question is not
whether grace is resistible in respect of the intellect or affections; for the
Arminians confess that the intellect of man is irresistibly enlightened and his
affections irresistibly excited and affected with the sense of grace. But it is
treated of the will alone, which they maintain is always moved resistibly, so
that its assent remains always free. There is granted indeed irresistibly the
power to believe and convert itself, but the very act of believing and
converting itself can be put forth or hindered by the human will because they
hold that there is in it an essential indifference (adiaphorian) as
to admitting or rejecting grace.… Thus we strenuously deny that efficacious
grace is resistible in this sense.” [= Francis Turretin memperhatikan
perbedaan ini dalam Arminius: Pertanyaannya bukanlah apakah kasih karunia itu
bisa ditolak berkenaan dengan intelek atau perasaan;
karena orang-orang Arminian mengakui bahwa intelek manusia diterangi secara
tak bisa ditolak dan perasaannya dibangkitkan dan dipengaruhi secara tak bisa
ditolak dengan perasaan / pengertian tentang kasih karunia.
Tetapi itu dibicarakan tentang kehendak saja, yang
mereka pertahankan selalu bergerak secara bisa menolak, sehingga persetujuannya
selalu tetap bebas. Di sana memang diberikan secara tidak bisa ditolak kuasa / kekuatan
untuk percaya dan bertobat itu sendiri,
tetapi tindakan percaya dan bertobat itu sendiri bisa diusahakan atau
dihalangi oleh kehendak manusia karena mereka percaya bahwa di sana ada di
dalamnya suatu sikap netral / tak memihak (adiaphorian) yang hakiki / sangat
penting berkenaan dengan penerimaan atau penolakan kasih karunia.
... Jadi kami secara kuat
menyangkal bahwa kasih karunia yang mujarab bisa ditolak dalam arti ini.] - ‘Willing
to Believe’, hal 132 (Libronix).
Catatan: Encyclopedia Britannica
2010 mengatakan bahwa Francis Turretin adalah gembala kepala di Geneva / Jenewa
pada abad 17. Jelas ia adalah seorang Calvinist. Karyanya merupakan textbook di
Princeton Theological Seminary di New Jersey (suatu sekolah theologia
Calvinist) sampai pertengahan abad 19.
Saya kira kalimat terakhir
dalam kutipan di atas, adalah pandangan Francis Turretin sendiri.
Encyclopedia Britannica 2010 dengan entry ‘Calvinism’: “The major
Calvinist theological statement of the 17th century was the Institutio
Theologiae Elencticae (1688; Institutes
of Elenctic Theology) of François
Turretin, chief pastor of Geneva. Although the title of his work
recalled Calvin’s masterpiece, the work itself bore
little resemblance to the Institutes of the Christian
Religion (1536); it was not published in the vernacular, and its
dialectical structure followed the model of the great Summae of Thomas Aquinas and
suggested Thomas’s confidence in the value of human reason. The lasting
significance of this shift is suggested by the fact that Turretin’s work was the basic textbook in theology at the
Princeton Theological Seminary in New Jersey, the most distinguished
intellectual centre of American Calvinism, until the middle of the 19th century.”.
R. C. Sproul: “In answering a list of theological articles
written against his views, Arminius complains at several points that he has
been misunderstood or misrepresented. He was accused of teaching that faith is
not the pure gift of God but depends partly on grace and partly on free will.
He answered that he never said faith was not the pure gift of God, and he
offered in response what he calls a simile:
A rich man bestows, on a poor and famishing beggar, alms by which he may be
able to maintain himself and his family. Does it cease to be a pure gift,
because the beggar extends his hand to receive it? Can it be said with
propriety, that ‘the alms depended partly on the liberality of the Donor, and partly on the liberty of the Receiver,’ though
the latter would not have possessed the alms unless he had received it by
stretching out his hand? Can it be correctly said, because the beggar is always prepared to receive, that ‘he can
have the alms, or not have it, just as he pleases?’ If these assertions cannot
be truly made about a beggar who receives alms, how much less can they be made
about the gift of faith, for the receiving of which far more acts of Divine
Grace are required! In Arminius’s simile it is hard to imagine a destitute
beggar not assenting to such a gracious gift. But the fact remains that, to
receive the alms, the beggar, while still destitute, must stretch out his hand.
At the same time, he stretches out his hand because he wants to do so. To
receive the gift of faith, according to Calvinism, the sinner also must stretch
out his hand. But he does so only because God has so changed the disposition of
his heart that he will most certainly stretch out his hand. By the irresistible
work of grace, he will do nothing else except stretch out his hand. Not that he
cannot not stretch out his hand even if he does not want to, but that he cannot
not want to stretch out his hand. In Arminius’s simile, the beggar could
conceivably be so obstreperous as to refuse the alms offered. In
Augustinianism, this very obstinacy is effectively conquered by irresistible
grace. For Calvin, the grace of God extends not only to the alms, but also to
the very stretching out of the hand. For Arminius, the beggar possesses the
natural power to stretch out his hand.”
[= Dalam menjawab suatu daftar artikel theologia yang ditulis menentang
pandangannya, Arminius mengeluh pada beberapa point bahwa ia telah
disalah-mengerti atau disalah-gambarkan. Ia dituduh mengajarkan bahwa iman bukanlah
karunia murni dari Allah tetapi tergantung sebagian pada kasih karunia dan
sebagian pada kehendak bebas. Ia menjawab bahwa ia
tidak pernah mengatakan bahwa iman bukanlah karunia murni dari Allah,
dan ia menawarkan sebagai jawaban apa yang ia sebut sebagai suatu kiasan: Seorang kaya memberi, kepada seorang pengemis yang miskin
dan sangat lapar, sedekah dengan mana ia bisa memelihara dirinya sendiri dan
keluarganya. Apakah itu berhenti menjadi suatu karunia / pemberian yang murni,
karena sang pengemis mengulurkan tangannya untuk menerimanya? Bisakah dikatakan
dengan benar, bahwa ‘sedekah itu tergantung sebagian pada kedermawanan dari
Sang Pemberi, dan sebagian pada kebebasan dari Sang Penerima’, sekalipun yang
belakangan tidak akan memiliki sedekah itu kecuali ia telah menerimanya dengan
mengulurkan tangannya? Bisakah dengan benar dikatakan, karena sang pengemis itu
selalu siap untuk menerima, bahwa ‘ia bisa mempunyai sedekah, atau tidak
mempunyainya, seperti yang ia senangi?’ Jika pernyataan-pernyataan ini tidak
bisa dibuat dengan benar tentang seorang pengemis yang menerima sedekah, betapa
pernyataan-pernyataan itu lebih lagi tidak bisa dibuat tentang karunia iman,
untuk penerimaan mana jauh lebih dibutuhkan tindakan dari Kasih Karunia Ilahi!
Dalam kiasan Arminius adalah sukar untuk membayangkan seorang pengemis yang
miskin tidak menyetujui karunia yang murah hati / bersifat kasih karunia
seperti itu. Tetapi faktanya tetap bahwa untuk menerima
sedekah, sang pengemis, sementara tetap miskin, harus mengulurkan tangannya.
Pada saat yang sama, ia mengulurkan tangannya karena ia mau berbuat demikian.
Untuk menerima karunia iman, menurut Calvinisme, orang berdosa juga harus
mengulurkan tangannya. Tetapi ia berbuat demikian, hanya karena Allah telah
mengubah kecondongan hatinya sedemikian rupa sehingga ia pasti akan mengulurkan
tangannya. Oleh pekerjaan yang tak bisa ditolak dari kasih karunia, ia tidak
akan melakukan apapun yang lain kecuali mengulurkan tangannya. Bukan bahwa ia tidak bisa mengulurkan
tangannya bahkan jika ia mau / ingin melakukannya, tetapi bahwa ia tidak bisa
mau / ingin untuk mengulurkan tangannya. Dalam kiasan Arminius, sang pengemis
bisa dibayangkan sebagai begitu tegar sehingga menolak sedekah yang ditawarkan.
Dalam Augustinianisme, sikap tegar tengkuk inilah yang secara efektif
ditundukkan oleh kasih karunia yang tidak bisa ditolak. Bagi Calvin, kasih
karunia Allah meluas bukan hanya pada sedekah itu, tetapi juga pada penguluran
dari tangan itu. Bagi Arminius, sang pengemis memiliki kuasa alamiah untuk
mengulurkan tanyannya.] - ‘Willing to Believe’,
hal 133-134 (Libronix).
Arthur
W. Pink: “the
Holy Spirit does something more in
each of God’s elect than He does in the non-elect: He works in them ‘both to
will and to do of God’s good pleasure’ (Philippians 2:13). In reply to what we
have said above, Arminians would answer, No; the Spirit’s work of conviction is
the same both in the converted and in the unconverted, that which distinguishes
the one class from the other is that the former yielded to His strivings, whereas the latter resist them.” [=
Roh Kudus memang melakukan sesuatu yang lebih di dalam setiap orang-orang
pilihan dari pada yang Ia lakukan di dalam orang-orang non pilihan: Ia bekerja
dalam mereka ‘baik untuk menghendaki maupun untuk melakukan dari perkenan yang
baik dari Allah’ (Fil 2:13). Untuk menjawab terhadap apa yang kami telah
katakan di atas, orang-orang Arminian menjawab, Tidak;
pekerjaan untuk meyakinkan dari Roh adalah sama, baik dalam orang yang bertobat
maupun dalam orang yang tidak bertobat, apa yang membedakan satu golongan dari
yang lain adalah bahwa yang pertama menyerah pada pekerjaanNya, sedangkan yang
terakhir menolaknya.] - ‘The Sovereignty of God’ (AGES), hal 118.
Louis Berkhof: “The
Arminians departed from the doctrine of the Reformation on this point.
According to them God gives sufficient (common) grace to all men, and thereby
enables them to repent and believe. If the human will concurs or co-operates
with the Holy Spirit and man actually repents and believes, God confers on man
the further grace of evangelical obedience and the grace of perseverance. Thus
the work of the grace of God is made to depend on the consent of the will of
man. There is no such thing as irresistible grace. Says Smeaton in the work
already quoted: ‘It was held that every one could obey or resist; that the
cause of conversion was not the Holy Spirit so much as the human will concurring
or co-operating; and that this was the immediate cause of conversion.’” [= Orang-orang Arminian menyimpang dari doktrin dari
Reformasi pada titik / hal ini. Menurut mereka, Allah memberikan kasih karunia yang
cukup (umum) bagi semua orang, dan dengan itu memampukan mereka untuk bertobat
dan percaya. Jika kehendak manusia setuju dan bekerja sama dengan
Roh Kudus dan manusia sungguh-sungguh bertobat dan percaya, Allah memberikan
kepada manusia kasih karunia lebih lanjut tentang ketaatan injili dan kasih
karunia tentang ketekunan. Jadi, pekerjaan kasih karunia Allah dibuat
tergantung pada persetujuan kehendak manusia. Tidak ada hal yang disebut
kasih karunia yang tidak bisa ditolak. Kata Smeaton dalam karyanya yang telah dikutip: ‘Dipercaya bahwa
setiap orang bisa taat atau menolak; bahwa penyebab dari pertobatan bukanlah
Roh Kudus tetapi kehendak manusia yang menyetujui atau bekerja
sama; dan bahwa ini adalah penyebab
langsung dari pertobatan.’] - ‘Systematic
Theology’ (Libronix), hal 430.
Louis Berkhof: “The distinction between external and internal calling is already found in
Augustine, was borrowed from him by Calvin, and thus made prominent in Reformed
theology. According to Calvin the gospel call is not in itself effective, but
is made efficacious by the operation of the Holy Spirit, when He savingly
applies the Word to the heart of man; and it is so applied only in the hearts
and lives of the elect. Thus the salvation of man remains the work of God from
the very beginning. God by His saving grace, not only enables, but causes man
to heed the gospel call unto salvation. The Arminians were not satisfied with
this position, but virtually turned back to the Semi-Pelagianism of the Roman
Catholic Church. According to them the universal proclamation of the gospel is
accompanied by a universal sufficient grace, - ‘gracious assistance actually
and universally bestowed, sufficient to enable all men, if they choose, to
attain to the full possession of spiritual blessings, and ultimately to
salvation.’ The work of salvation is once more made dependent on man. This
marked the beginning of a rationalistic return to the Pelagian position, which
entirely denies the necessity of an internal operation of the Holy Spirit unto
salvation.” (= Perbedaan
antara panggilan luar dan dalam sudah ditemukan dalam Agustinus, dipinjam dari
dia oleh Calvin, dan lalu dibuat menonjol dalam theologia Reformed. Menurut Calvin
panggilan injil dalam dirinya sendiri tidaklah efektif, tetapi dibuat menjadi
efektif / berhasil oleh pekerjaan Roh Kudus, pada waktu Ia menerapkan Firman
secara menyelamatkan pada hati manusia; dan itu diterapkan seperti itu hanya
dalam hati dan kehidupan dari orang-orang pilihan. Maka keselamatan manusia
tetap merupakan pekerjaan Allah dari permulaan. Allah dengan kasih karuniaNya
yang menyelamatkan, bukan hanya memampukan, tetapi menyebabkan manusia untuk
memperhatikan panggilan injil kepada keselamatan. Orang-orang
Arminian tidak puas dengan posisi / pandangan ini, tetapi sebenarnya kembali /
berbalik pada Semi-Pelagianisme dari Gereja Roma Katolik. Menurut mereka,
proklamasi / pemberitaan injil yang bersifat universal disertai dengan kasih
karunia yang cukup yang bersifat universal, - ‘bantuan universal yang
sungguh-sungguh dan diberikan secara universal, cukup untuk memampukan semua
manusia, jika mereka memilihnya, untuk mencapai kepemilikan penuh dari
berkat-berkat rohani, dan akhirnya keselamatan’. Pekerjaan keselamatan
sekali lagi dibuat tergantung pada manusia. Ini menandakan permulaan dari suatu
pengembalian rasionalistik pada posisi / pandangan Pelagian, yang sepenuhnya
menolak perlunya suatu operasi / pekerjaan di dalam dari Roh Kudus kepada
keselamatan) - ‘Systematic
Theology’ (Libronix), hal 459.
Loraine Boettner: “Arminianism
in its radical and more fully developed forms is essentially a recrudescence of
Pelagianism, a type of self-salvation. ... Arminianism at its best is a
somewhat vague and indefinite attempt at reconciliation, hovering midway
between the sharply marked systems of Pelagius and Augustine, taking off the
edges of each, and inclining now to the one, now to the other. Dr. A.A. Hodge
refers to it as a ‘manifold and elastic system of compromise’” (= Arminianisme dalam
bentuknya yang radikal dan berkembang penuh pada dasarnya adalah bangkit
kembalinya Pelagianisme, suatu type keselamatan oleh diri sendiri. ... Arminianisme dalam keadaan paling baik adalah usaha
memperdamaikan yang agak samar-samar dan tidak pasti, melayang di tengah-tengah
antara sistim yang ditandai dengan jelas dari Pelagius dan Agustinus,
mengurangi kekuatan / ketajaman dari masing-masing pihak, dan kadang-kadang
condong kepada yang satu, kadang-kadang kepada yang lain. Dr. A. A. Hodge
menunjuk kepadanya sebagai suatu ‘sistim kompromi yang bermacam-macam dan
bersifat elastis’) - ‘The Reformed Doctrine of Predestination’,
hal 48.
Charles Hodge: “According to one view the same influence
at one time, or exerted on one person, produces a saving effect; and at other
times, or upon other persons, fails of such effect. In the one case it is
called efficacious, and in the other not. This is not what Augustinians mean by
the term. By the Semi-Pelagians, the Romanists, and the Arminians, that
influence of the Spirit which is exerted on the minds of all men is called
‘sufficient grace.’ By the two former it is held to be sufficient to enable the
sinner to do that which will either merit or secure larger degrees of grace
which, if duly improved, will issue in salvation. The Arminians admit that the
fall of our race has rendered all men utterly unable, of themselves, to do
anything truly acceptable in the sight of God. But they hold that this
inability, arising out of the present state of human nature, is removed by the
influence of the Spirit given to all. This is called ‘gracious ability’; that is,
an ability due to the grace, or the supernatural influence of the Spirit
granted to all men. On both these points the language of the Remonstrant
Declaration or Confession is explicit. It is there said, ‘Man has not saving
faith from himself, neither is he regenerated or converted by the force of his
own free will; since, in the state of sin, he is not able of and by himself to
think, will, or do any good thing, - any good thing that is saving in its
nature, particularly conversion and saving faith. But it is necessary that he
be regenerated, and wholly renewed by God in Christ, through the truth of the
gospel and the added energy of the Holy Spirit, - in intellect, affections,
will, and all his faculties, - so that he may be able rightly to perceive, meditate
upon, will, and accomplish that which is a saving good.’ On the point of
sufficient grace the Declaration says: ‘Although there is the greatest
diversity in the degrees in which grace is bestowed in accordance with the
divine will, yet the Holy Ghost confers, or at least is ready to confer, upon
all and each to whom the word of faith is ordinarily preached, as much grace as
is sufficient for generating faith and carrying forward their conversion in its
successive stages. Thus sufficient grace for faith and conversion is allotted
not only to those who actually believe and are converted, but also to those who
do not actually believe and are not in fact converted.’ In the
Apology for the Remonstrance, it is said, ‘The Remonstrants asserted that the
servitude to sin, to which men (per naturœ conditionem) in
their natural state, are subject, has no place in a state of grace. For they
hold that God gives sufficient grace to all who are called, so that they can be
freed from that servitude, and at the same time they have liberty of will to
remain in it if they choose.’”
[= Menurut satu
pandangan, pengaruh yang sama pada satu saat, atau digunakan kepada satu orang,
menghasilkan hasil / akibat yang menyelamatkan; dan pada saat-saat lain, atau
kepada orang-orang lain, gagal menghasilkan hasil / akibat seperti itu. Dalam kasus
yang satu itu disebut mujarab, dan dalam kasus yang lain tidak. Ini bukanlah apa yang orang-orang Augustinian artikan dengan
istilah itu. Oleh orang-orang Semi-Pelagian,
orang-orang Roma (Katolik),
dan orang-orang Arminian, pengaruh dari Roh
Kudus itu, yang digunakan pada pikiran-pikiran dari semua orang, disebut ‘kasih karunia yang cukup’. Oleh dua kelompok yang
terdahulu, itu dipercaya sebagai cukup untuk memampukan orang berdosa untuk
melakukan apa yang berjasa atau memastikan kasih karunia dalam tingkat yang
lebih besar, yang jika ditingkatkan dengan seharusnya / sepatutnya, akan
menghasilkan keselamatan. Orang-orang Arminian
mengakui bahwa kejatuhan dari umat manusia telah membuat semua manusia sama
sekali tidak mampu, dari diri mereka sendiri, untuk melakukan apapun yang
betul-betul bisa diterima dalam pandangan Allah. Tetapi mereka menganggap bahwa
ketidak-mampuan, muncul dari keadaan sekarang ini dari manusia, disingkirkan
oleh pengaruh dari Roh Kudus yang diberikan kepada semua orang. Ini disebut
‘kemampuan yang bersifat kasih karunia’; artinya, suatu kemampuan yang
disebabkan oleh kasih karunia, atau pengaruh supranatural dari Roh yang
diberikan kepada semua orang. Tentang kedua pokok ini bahasa / kata-kata
dari Pernyataan atau Pengakuan Remonstrant adalah explicit. Dikatakan di sana, ‘Manusia tidak mempunyai iman yang menyelamatkan dari
dirinya sendiri, juga ia tidak dilahirbarukan atau dipertobatkan oleh kekuatan
dari kehendak bebasnya sendiri; karena, dalam keadaan berdosa, ia tidak mampu
dari dan oleh dirinya sendiri untuk berpikir, menghendaki, atau melakukan hal
baik apapun, - hal baik apapun yang menyelamatkan dalam sifat dasarnya sendiri,
khususnya pertobatan dan iman yang menyelamatkan. Tetapi adalah perlu bahwa ia
dilahir-barukan, dan sepenuhnya diperbaharui oleh Allah dalam Kristus, melalui
kebenaran dari injil dan kekuatan tambahan dari Roh Kudus, - dalam intelek,
perasaan, kehendak, dan semua kekuatan yang membentuk pikirannya, - sehingga ia
bisa mampu untuk dengan benar mengerti, merenungkan, menghendaki, dan mencapai
apa yang adalah kebaikan yang menyelamatkan’. Tentang pokok tentang kasih karunia yang cukup
Pernyataan ini mengatakan: ‘Sekalipun di sana ada perbedaan yang terbesar dalam tingkat-tingkat
dalam mana kasih karunia diberikan sesuai dengan kehendak ilahi, tetapi Roh
Kudus memberi, atau setidaknya siap untuk memberi, kepada semua orang dan
setiap orang kepada siapa firman dari iman dikhotbahkan secara biasa, kasih
karunia sebanyak yang mencukupi untuk menimbulkan / melahirkan iman dan
melancarkan pertobatan mereka dalam tahap-tahap yang berturut-turut.
Demikianlah kasih karunia yang cukup untuk iman dan pertobatan diberikan /
dibagikan bukan hanya kepada mereka yang sungguh-sungguh percaya dan
dipertobatkan, tetapi juga kepada mereka yang tidak sungguh-sungguh percaya dan
dalam faktanya tidak dipertobatkan.’ Dalam Apology untuk Remonstrance, dikatakan, ‘Orang-orang Remonstrant menegaskan
bahwa perhambaan kepada dosa, kepada mana orang-orang tunduk dalam keadaan
alamiah mereka (per naturœ conditionem), tidak mempunyai tempat dalam keadaan
dari kasih karunia. Karena mereka memandang bahwa Allah memberikan kasih
karunia yang cukup kepada semua orang yang dipanggil, sehingga mereka bisa
dibebaskan dari perhambaan itu, dan pada saat yang sama mereka mempunyai
kebebasan dari kehendak untuk tetap di dalamnya jika mereka memilih’.] - ‘Systematic Theology’, vol II, hal
675-676.
3) Calvinisme /
Reformed mengatakan bahwa semua manusia begitu rusak, sehingga harus ada kasih
karunia Allah yang diberikan kepada mereka sehingga mereka percaya.
Kasih karunia Allah ini ‘tidak bisa ditolak’, dalam arti bahwa kasih karunia
Allah itu secara efektif akan mempertobatkan mereka.
a) Istilah
‘Irresistible’ (= tidak bisa ditolak)
sering disalah-artikan sebagai ‘pemaksaan’.
Steven Liauw: “Bisa-bisa
saja bahwa Kalvinis tidak memakai istilah ‘memaksakan.’ Tetapi saya sudah beri
dalam tanda kurung penjelasan lebih lanjut: ‘Memberi tanpa dapat ditolak.’
Asali mengakui dipakainya istilah irresistible grace. Bagi saya, irresistible
dan ‘tidak dapat ditolak’ sudah sama dengan memaksa. Kalvinis mengatakan bahwa manusia menerima
Kristus dengan senang hati karena dilahirbarukan
dulu oleh Tuhan. Tetapi kelahiran
kembali itu kan juga kasih karunia. Jadi sebelum
manusia itu lahir baru, dia berdosa, mati dalam dosa. Dalam kondisinya yang
mati dalam dosa itu, apakah dia mau lahir baru?
Kalvinis akan menjawab bahwa manusia yang mati dalam dosa, tidak
mau lahir baru. Jadi, dalam Kalvinisme, manusia (yang
selamat) dilahirbarukan tanpa pilihan,
tanpa dapat menolak, dan bertentangan dengan keinginan dia (dia tidak mau lahir
baru sebelum dilahirbarukan).
Pembacalah yang dapat menilai, apakah ini tidak mirip
dengan pemaksaan? Percuma untuk mengatakan bahwa setelah
lahir baru dia akan menerima Kristus dengan rela hati, karena: 1. Dia
tidak punya pilihan untuk mau lahir baru atau tidak (jadi kelahiran baru
dipaksakan padanya). 2. kerelaan hatinya adalah sesuatu
yang telah Tuhan tetapkan dan toh tidak mungkin dia lawan. Permasalahannya
bukanlah apakah Kalvinis mau mengakui ini ‘memaksa’ atau tidak. Kalvinis boleh
jadi tidak mau mengakui, tetapi saya menyimpulkan. Silakan publik yang menilai”.
(graphe - Liauw4.doc).
Kalau kelahiran baru mau dianggap sebagai paksaan, maka
bagaimana Arminianisme menjelaskan tentang pemberian ‘prevenient grace’ (= kasih karunia yang mendahului) kepada semua
orang sejak lahir? Apakah Allah minta ijin dari manusia untuk memberikannya?
Juga dalam kelahiran jasmani, apakah Allah minta ijin kepada siapapun untuk
menciptakan dia? Dan menciptakan sebagai apa (malaikat, manusia, atau
binatang?). Dan kalau sebagai manusia, manusia yang bagaimana? Itu juga adalah
‘pemaksaan’? Allah berdaulat, dan berhak melakukan semua hal-hal ini, tanpa minta
ijin / persetujuan dari siapapun!
Dan tentang istilah ‘irresistible’
(= yang tidak bisa ditolak), saya kira Steven Liauw tidak memperhitungkan
bahwa kata ‘irresistible’ (= tidak bisa ditolak) diambil dari acrostic /
acronym TULIP. Untuk bisa
mendapatkan acrostic / acronym yang bagus, yaitu kata TULIP, yang merupakan
nama bunga, maka boleh dikatakan kata ‘Irresistible’
itu dipaksakan. Kata yang lebih
tepat sebetulnya adalah ‘effectual’ /
‘effective’ (= berhasil), tetapi
kalau digunakan kata yang tepat ini, maka acrostic / acronym yang didapat
adalah TULEP! Karena itu, maka dipaksakan penggunaan kata ‘irresistible’ (= tak bisa ditolak). Tetapi yang
penting bukan istilah / kata itu sendiri, tetapi bagaimana para Calvinist
menjelaskan / menjabarkan doktrin ‘Irresistible
Grace’ (= Kasih karunia yang tidak bisa ditolak) itu!
Illustrasi: peanut butter
(= selei kacang), kalau diterjemahkan secara hurufiah adalah ‘mentega kacang’,
tetapi ternyata tidak mengandung butter / mentega. Seorang penulis di internet
mengatakan bahwa ‘peanut butter’ tidak mengandung butter / mentega sama seperti
‘butterfly’ (= kupu-kupu) juga tidak mengandung butter / mentega! Lalu mengapa
dinamakan ‘peanut butter’? Karena bisa dioleskan dengan mudah pada roti,
sama seperti mengoleskan butter / mentega pada roti! Jadi, untuk mengartikan
suatu kata, kadang-kadang kita perlu menelusuri dari mana / mengapa kata itu
digunakan.
Catatan: penulis lain
di internet mengatakan bahwa memang ada ‘peanut butter’ yang ditambahi dengan
butter / mentega dan gula dll, tetapi sebetulnya tidak demikian.
Illustrasi lain: istilah ‘Bunda Allah’ (THEOTOKOS) untuk Maria, disetujui oleh
Sidang Gereja Efesus pada tahun 431 M. Ini menyebabkan istilah itu lalu
disalah-artikan dalam Gereja Roma Katolik, dan menyebabkan Maria ditinggikan
dan dihormati lebih dari seharusnya (dan bahkan menurut pandangan kita, ia
disembah oleh orang-orang Katolik). Padahal istilah ini disahkan dalam Sidang
Gereja itu karena pada saat itu ada ajaran sesat yang disebut Nestorianisme,
yang mengatakan bahwa Maria hanyalah mengandung dan melahirkan Kristus (manusia
Yesus), dan lalu Allah masuk ke dalamNya, sehingga Yesus adalah 2 pribadi.
Karena itu, mereka mengusulkan istilah KHRISTOTOKOS (Bunda Kristus) untuk
Maria. Sidang Gereja Efesus secara benar mempertahankan istilah ‘Bunda Allah’
(THEOTOKOS) untuk Maria, karena yang dilahirkan oleh Maria adalah satu pribadi,
yang adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Lagi-lagi dari
contoh ini kita bisa melihat bahwa suatu istilah kadang-kadang perlu ditelusuri
asal usulnya untuk bisa dimengerti dengan benar.
b) Banyak
orang Arminian / non Reformed yang menganggap (atau ‘memfitnah’) bahwa Irresistible Grace (= Kasih karunia yang
tidak bisa ditolak) berarti bahwa Allah memaksa orang-orang tertentu untuk
masuk surga sekalipun mereka tidak menginginkannya, dan tidak mengijinkan
orang-orang lain untuk masuk surga padahal mereka ingin percaya Kristus dan
masuk surga.
Suhento
Liauw: “Sama seperti Limited Atonement, Irresistible Grace adalah poin nalar
lanjutan dari serangkaian nalar Calvin. Karena nalar mereka menyimpulkan bahwa
Kristus hanya memilih sebagian orang sehingga Ia tidak mungkin menebus semua
orang, maka penebusan Kristus sewajarnya bersifat terbatas dari situ
terciptalah konsep Limited Atonement. Nalar lanjutannya, jika Kristus hanya
memilihi sebagian kecil orang untuk masuk Sorga, dan hanya menebus mereka saja,
maka orang yang terpilih serta yang tertebus tidak mungkin dapat menolak
anugerah itu. Inilah dasar dari konsep Irresistible Grace. Bisakah disimpulkan bahwa sesungguhnya
ada orang yang pada dasarnya tidak ada keinginan masuk Sorga namun apa boleh
buat karena telah terpilih maka tidak dapat menolak sehingga terpaksa masuk
Sorga? Sebaliknya ada orang yang sangat ingin masuk Sorga namun saying (sayang)
sekali ia tidak terpilih dan akhirnya masuk neraka? Sebagian
Calvinis mengiyakan dan sebagian membantah.”.
Catatan: ini dari
tulisan Suhento Liauw tentang ‘Irresistible
Grace’ (= Kasih karunia yang tidak bisa ditolak). Kalimat terakhir yang saya garis-bawahi itu jelas merupakan
fitnahan! Mengapa? Saya tidak percaya ada ahli theologia Calvinist atau
Calvinist sejati manapun yang mengiyakan omong kosong ini. Kalau
memang ada, mengapa Suhento Liauw tidak memberikan kutipan dari kata-kata orang
Calvinist itu? Doktor murahan ini hanya bicara (memfitnah) tanpa bukti apapun!
Omong kosong yang mengatakan bahwa Allah membawa orang-orang dengan paksaan ke
surga itu, merupakan suatu karikatur (gambaran yang sengaja disalahkan) tentang
ajaran / doktrin ‘Irresistible Grace’
(= Kasih karunia yang tidak bisa ditolak) ini!
R. C. Sproul:
“Much
confusion exists on this point. I remember the first lecture I ever heard from
John Gerstner. It was on the subject of predestination. Shortly into his lecture
Dr. Gerstner was interrupted by a student who was waving his hand in the air.
Gerstner stopped and acknowledged the student. The student asked, ‘Dr.
Gerstner, is it safe to assume that you are a Calvinist?’ Gerstner answered,
‘Yes,’ and resumed his lecture. A few moments later a gleam of recognition
appeared in Gerstner’s eyes and he stopped speaking in mid-sentence and asked
the student, ‘What is your definition of a Calvinist?’ The student replied, ‘A
Calvinist is someone who believes that God forces some people to choose Christ
and prevents other people from choosing Christ.’ Gerstner was horrified. He
said, ‘If that is what a Calvinist is, then you can be sure that I am not a
Calvinist.’ The student’s misconception of irresistible grace is widespread. I
once heard the president of a Presbyterian seminary declare, ‘I am not a
Calvinist because I do not believe that God brings some people, kicking and
screaming against their wills, into the kingdom, while he excludes others from
his kingdom who desperately want to be there.’ I was astonished when I heard
these words. I did not think it possible that the president of a Presbyterian
seminary could have such a gross misconception of his own church’s theology. He
was reciting a caricature which was as far away from Calvinism as one could
get. Calvinism does not teach and never has taught that God brings people
kicking and screaming into the kingdom or has ever excluded anyone who wanted
to be there. Remember that the cardinal point of the Reformed doctrine of
predestination rests on the biblical teaching of man’s spiritual death. Natural
man does not want Christ. He will only want Christ if God plants a desire for
Christ in his heart. Once that desire is planted, those who come to Christ do
not come kicking and screaming against their wills. They come because they want
to come. They now desire Jesus. They rush to the Savior. The whole point of
irresistible grace is that rebirth quickens someone to spiritual life in such a
way that Jesus is now seen in his irresistible sweetness. Jesus is irresistible
to those who have been made alive to the things of God. Every soul whose heart
beats with the life of God within it longs for the living Christ. All whom the
Father gives to Christ come to Christ (John 6:37).” [= Ada banyak kebingungan tentang pokok ini. Saya
teringat pelajaran pertama yang pernah saya dengar dari John Gerstner. Itu
adalah tentang pokok predestinasi. Begitu masuk ke dalam pelajarannya, Dr.
Gerstner diinterupsi oleh seorang mahasiswa yang melambaikan tangannya di
udara. Gerstner berhenti dan mengenali / menjawab mahasiswa itu. Mahasiswa itu
bertanya, ‘Dr. Gerstner, apakah tepat untuk
menganggap bahwa engkau adalah seorang Calvinist?’ Gerstner menjawab, ‘Ya’, dan
melanjutkan pelajarannya. Beberapa saat kemudian sekilas perhatian tampak /
muncul di mata Gerstner dan ia berhenti berbicara di tengah-tengah kalimat dan
bertanya kepada mahasiswa itu, ‘Apa definisimu tentang seorang Calvinist?’ Mahasiswa itu menjawab, ‘Seorang Calvinist adalah seseorang
yang percaya bahwa Allah memaksa sebagian orang untuk memilih Kristus dan
mencegah orang-orang lain dari memilih Kristus’. Gerstner terkejut. Ia
berkata, ‘Jika itu adalah seorang Calvinist, maka engkau bisa yakin / pasti
bahwa saya bukanlah seorang Calvinist’. Kesalah-mengertian mahasiswa
itu tentang ‘kasih karunia yang tidak bisa ditolak’ tersebar luas. Saya pernah mendengar seorang presiden dari suatu seminari
Presbyterian menyatakan, ‘Saya bukanlah seorang Calvinist karena saya tidak
percaya bahwa Allah membawa sebagian orang, sambil menendang-nendang dan
menjerit-jerit bertentangan dengan kehendak mereka, ke dalam kerajaan,
sementara / sedangkan Ia mengeluarkan orang-orang lain dari kerajaanNya, yang
benar-benar ingin untuk berada di sana’. Saya heran pada waktu saya mendengar kata-kata
ini. Saya menganggap mustahil bahwa presiden dari suatu seminari Presbyterian
bisa mempunyai suatu kesalah-mengertian yang begitu besar tentang theologia
gerejanya sendiri. Ia sedang mengutip suatu karikatur / penggambaran
yang sengaja disalahkan, yang adalah sejauh mungkin dari Calvinisme yang bisa
didapatkan seseorang. Calvinisme tidak mengajar
dan tidak pernah mengajar bahwa Allah membawa orang-orang, yang sambil
menendang-nendang dan menjerit-jerit, ke dalam kerajaan, atau pernah
mengeluarkan siapapun yang ingin berada di sana. Ingat bahwa pokok
utama dari doktrin Reformed tentang predestinasi bersandar / terletak pada
ajaran Alkitabiah tentang kematian rohani manusia. Manusia alamiah tidak
menghendaki Kristus. Ia hanya akan menghendaki Kristus jika Allah menanamkan
suatu keinginan untuk Kristus dalam hatinya. Satu
kali keinginan itu ditanamkan, mereka yang datang kepada Kristus tidak datang
dengan menendang-nendang dan menjerit-jerit bertentangan dengan kehendak
mereka. Mereka datang karena mereka ingin / mau datang. Sekarang mereka
menginginkan Yesus. Mereka lari dengan tergesa-gesa kepada sang
Juruselamat. Seluruh pokok tentang kasih karunia yang tidak bisa ditolak adalah
bahwa kelahiran kembali menghidupkan seseorang pada kehidupan rohani dengan
cara sedemikian rupa sehingga sekarang Yesus terlihat dalam kemanisanNya yang
tidak bisa ditolak. Yesus tidak bisa ditolak bagi mereka yang telah dibuat
hidup bagi hal-hal dari Allah. Setiap jiwa yang hatinya berdenyut dengan kehidupan
dari Allah di dalamnya rindu akan Kristus yang hidup. Semua yang Bapa berikan
kepada Kristus datang kepada Kristus (Yoh 6:37).] - ‘Chosen By
God’, hal 121-123.
Yoh 6:37 - “Semua
yang diberikan Bapa kepadaKu akan datang kepadaKu, dan barangsiapa datang
kepadaKu, ia tidak akan Kubuang.”.
R. C. Sproul: “The position of Augustine, Martin Luther,
John Calvin, and others is so often caricatured to mean that in God’s gracious
election he brings people kicking and screaming against their wills into his
kingdom. The Augustinian view is that God changes the recalcitrant and enslaved
sinner’s will by the Spirit’s changing his internal bent, disposition, or
inclination. Augustinians have spelled out this view so often and so clearly,
it is amazing that the caricature is so often repeated.” [= Posisi dari Agustinus, Martin Luther, John Calvin, dan yang
lain-lain, begitu sering dengan sengaja digambarkan secara salah sehingga
berarti bahwa dalam pemilihan yang bersifat kasih karunia dari Allah, Ia
membawa orang-orang yang menendang-nendang dan menjerit-jerit bertentangan
dengan kehendak mereka ke dalam kerajaanNya. Pandangan
Agustinian adalah bahwa Allah mengubah kehendak yang keras kepala dan
diperbudak dari orang berdosa oleh Roh yang mengubah kecenderungan atau kecondongan
batinnya. Orang-orang Agustinian telah menunjukkan pandangan ini
begitu sering dan dengan begitu jelas, dan adalah mengherankan bahwa karikatur
/ gambaran yang sengaja disalahkan ini begitu sering diulang.] - ‘Willing to Believe’,
hal 94 (Libronix).
Bdk. Kis 16:14-15 - “(14)
Seorang dari perempuan-perempuan itu yang bernama Lidia turut mendengarkan. Ia
seorang penjual kain ungu dari kota Tiatira, yang beribadah kepada Allah. Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang
dikatakan oleh Paulus. (15) Sesudah ia dibaptis bersama-sama dengan
seisi rumahnya, ia mengajak kami, katanya: ‘Jika kamu berpendapat, bahwa aku
sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan, marilah menumpang di rumahku.’ Ia
mendesak sampai kami menerimanya.”.
Saya akan memberi komentar dari 2 penafsir Arminian
tentang text ini, yaitu dari Adam Clarke dan Lenski.
Adam Clarke (tentang
Kis 16:14): “‘Whose
heart the Lord opened,’ As she was a sincere worshipper of God, she was
prepared to receive the heavenly truths spoken by Paul and his companions; and,
as she was faithful to the grace she had received, so God gave her more grace,
and gave her now a divine conviction that what was spoken by Paul was true; and
therefore she attended unto the things - she believed them and received them as
the doctrines of God; and in this faith she was joined by her whole family, and
in it they were all baptized.”
(= ‘Yang hatinya Tuhan bukakan’, Karena ia adalah
seorang penyembah Allah yang tulus / sungguh-sungguh, ia siap / disiapkan
untuk menerima kebenaran-kebenaran surgawi yang dikatakan oleh Paulus dan
teman-temannya; dan, karena ia setia pada
kasih karunia yang telah ia terima, maka Allah memberi dia kasih karunia lebih banyak lagi, dan
sekarang memberinya suatu keyakinan ilahi bahwa apa yang dikatakan oleh Paulus
adalah benar; dan karena itu ia memperhatikan hal-hal itu - ia
mempercayainya dan menerimanya sebagai doktrin / ajaran dari Allah; dan dalam
iman ini ia digabungkan dengan seluruh keluarganya, dan di dalamnya mereka
semua dibaptis.).
Tanggapan saya: perhatikan bagaimana Adam Clarke menafsirkan ayat
ini, sehingga menjadi sesuai dengan pandangan Arminian, yang telah saya bahas
di atas. Perlu ditanyakan kepada Adam Clarke: karena apa Lidia menjadi
penyembah Allah yang sungguh-sungguh? Karena dia sendiri, atau karena pekerjaan
Tuhan?
Lenski (tentang Kis 16:14): “The Lord opens the heart, but the hand
with which he lifts the latch and draws the door is the Word which he makes us
hear, and the door opens as we heed, προσέχειν, keep holding our mind to what we hear.
No man can open the door of his heart (καρδία is the center of thought and will) himself, nor can
he help the Lord to open it by himself lifting the latch and moving the door.
The one thing he can do is to bolt the door, i. e., refuse to hear and to heed;
and thus he can keep the door closed and bar it even more effectually than it
was at first. This prevents conversion.” [= Tuhan membuka hati, tetapi
tangan dengan mana Ia mengangkat palang pintu dan menarik pintu adalah Firman
yang Ia buat kita mendengar, dan pintu terbuka pada saat kita memperhatikan, προσέχειν / PROSEKHEIN, tetap mempertahankan pikiran kita
pada apa yang kita dengar. Tak seorangpun bisa membuka pintu hatinya (καρδία /
KARDIA adalah pusat dari pikiran dan kehendak) sendiri, juga ia tidak bisa
menolong Tuhan untuk membukanya dengan dirinya sendiri mengangkat palang pintu
dan menggerakkan pintu. Satu hal yang bisa ia
lakukan adalah memalang / menggrendel pintu, yaitu, menolak untuk mendengar dan
memperhatikan; dan dengan demikian ia bisa menjaga pintu sehingga tetap
tertutup dan memalangnya bahkan dengan lebih efektif dari pada pada awalnya.
Ini menghalangi pertobatan.].
Tanggapan saya:
lagi-lagi suatu pembengkokan ayat, supaya menjadi sesuai dengan pandangan
Arminian. Bagaimana mungkin Kis 16:14 yang berbunyi ‘Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang
dikatakan oleh Paulus’ bisa diartikan
bahwa Lidia bisa menutup hatinya dengan tidak mendengar / memperhatikan?
Bdk. Wah 3:7-8 - “(7)
‘Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Filadelfia: Inilah firman dari Yang
Kudus, Yang Benar, yang memegang kunci Daud; apabila
Ia membuka, tidak ada yang dapat menutup; apabila Ia menutup, tidak
ada yang dapat membuka. (8) Aku tahu segala pekerjaanmu: lihatlah, Aku telah membuka pintu bagimu, yang tidak dapat ditutup oleh
seorangpun. Aku tahu bahwa kekuatanmu tidak seberapa, namun engkau
menuruti firmanKu dan engkau tidak menyangkal namaKu.”.
Sekalipun ada yang menafsirkan bahwa pintu di sini
adalah pintu pada pelayanan, tetapi saya yakin bahwa kata-kata ini juga berlaku
bagi ‘pintu hati’. Kalau Tuhan membuka pintu hati kita, kita pasti mau
mendengar dan memperhatikan firman. Perhatikan kata ‘sehingga’ yang saya
garis-bawahi dalam Kis 16:14 di atas.
Bandingkan dengan:
Luk 24:45 - “Lalu
Ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci.”.
Kis 26:17-18 - “(17)
Aku akan mengasingkan engkau dari bangsa ini dan dari bangsa-bangsa lain. Dan
Aku akan mengutus engkau kepada mereka, (18) untuk membuka
mata mereka, supaya mereka berbalik dari
kegelapan kepada terang dan dari kuasa Iblis kepada Allah, supaya mereka
oleh iman mereka kepadaKu memperoleh pengampunan dosa dan mendapat bagian dalam
apa yang ditentukan untuk orang-orang yang dikuduskan.”.
Tetapi bagaimana dengan Wah 3:20 - “Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok;
jikalau ada orang yang mendengar suaraKu dan membukakan pintu, Aku akan masuk
mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama
dengan Aku.”?
Memang kalau dilihat Wah 3:20 ini, seakan-akan manusia
bisa ‘tidak membuka pintu hatinya’. Tetapi yang perlu diperhatikan tentang ayat
ini adalah bahwa di sini tidak dikatakan bahwa Tuhan
membuka pintu hati. Hanya dikatakan Yesus mengetok pintu. Ini menunjuk pada
pemberitaan Injil secara lahiriah, yang memang bisa ditolak oleh orang yang
mendengarnya.
Sekarang mari kita bandingkan dengan tafsiran dari Calvin
tentang Kis 16:14-15.
Calvin (tentang Kis 16:14): “it may be that Lydia had some
companions, whereof there is no mention made, because she did far excel them
all. And Luke doth not assign that for the cause why this one woman did show
herself apt to be taught, because she was more witty than the rest, or because
she had some preparation of herself; but he saith that the Lord opened her
heart that she might give ear and take heed to the speech of Paul. He had of
late commended her godliness; and yet he showeth that she could not comprehend
the doctrine of the gospel, save only through the illumination of the Spirit.
Wherefore, we see that not faith alone, but all understanding and knowledge of
spiritual things, is the peculiar gift of God, and that the ministers do no
good by teaching and speaking unless the inward calling of God be thereunto
added. By the word ‘heart,’ the Scripture meaneth sometimes the mind, as when
Moses saith, ‘God hath not given thee hitherto a heart to understand.’ So
likewise in this place, Luke doth not only signify unto us that Lydia was
brought by the inspiration of the Spirit, with affection of heart to embrace
the gospel, but that her mind was lightened, that she might understand it. By
this let us learn that such is the blockishness, such is the blindness of men,
that in seeing they see not, in hearing they hear not, until such time as God
doth give them new eyes and new ears.” (= mungkin Lidia mempunyai beberapa teman, tentang siapa tak ada
penyebutan dibuat, karena ia melakukan apa yang jauh melebihi mereka semua. Dan Lukas memberikan
sebagai alasan mengapa perempuan yang satu ini menunjukkan dirinya sendiri
cocok untuk diajar, bukan karena ia lebih pandai dari pada sisanya / yang lain,
atau karena ia telah menyiapkan dirinya sendiri; tetapi ia mengatakan bahwa Tuhan membuka hatinya sehingga ia
bisa mendengar dan memperhatikan ucapan Paulus. Ia baru saja memuji
kesalehannya; tetapi ia menunjukkan bahwa ia tidak
bisa mengerti doktrin / ajaran dari injil, kecuali melalui pencerahan dari Roh.
Karena itu, kita melihat bahwa bukan iman saja,
tetapi semua pengertian dan pengetahuan tentang hal-hal rohani, adalah karunia
khusus dari Allah, dan bahwa pendeta-pendeta / pelayan-pelayan tidak
melakukan kebaikan dengan pengajaran dan pembicaraan kecuali panggilan di dalam dari Allah ditambahkan padanya.
Dengan kata ‘hati’, Kitab Suci kadang-kadang memaksudkan ‘pikiran’, seperti
pada waktu Musa berkata, ‘Allah tidak / belum memberi kamu sampai saat ini
suatu hati untuk mengerti’. Demikian juga di tempat ini, Lukas tidak
hanya memberitahu kita bahwa Lidia dibawa oleh ilham dari Roh, dengan perasaan
/ kasih dari hati untuk mempercayai injil, tetapi bahwa pikirannya diterangi, supaya ia bisa mengertinya. Dengan ini hendaklah
kita belajar bahwa demikianlah kebodohan / ketumpulan, demikianlah kebutaan,
dari manusia, sehingga dalam melihat mereka tidak melihat, dalam mendengar
mereka tidak mendengar, sampai waktu dimana Allah
memberi mereka mata yang baru dan telinga yang baru.).
Ul 29:4 - “Tetapi
sampai sekarang ini TUHAN tidak
memberi kamu akal budi untuk mengerti atau mata untuk melihat atau telinga
untuk mendengar.”.
Jadi, istilah ‘irresistible’ (= tidak bisa ditolak) tidak berarti bahwa orang itu terpaksa
/ dipaksa menerima keselamatan. Tetapi melalui kelahiran baru ia diubahkan sedemikian
rupa sehingga ia sendiri mau menerima keselamatan dalam Yesus Kristus
itu.
Calvin memberi komentar tentang Yoh 6:44 - “Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepadaKu,
jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang
mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman.”.
Calvin (tentang Yoh 6:44): “True, indeed, as to the
kind of drawing, it is not violent, so as
to compel men by external force; but still it is a powerful impulse of the Holy
Spirit, which makes men willing who formerly were
unwilling and reluctant” (= Memang, tentang jenis tarikan,
itu bukan sesuatu tarikan yang keras / kasar, seakan-akan
memaksa manusia dengan kekuatan luar; tetapi itu tetap merupakan dorongan
yang kuat dari Roh Kudus, yang membuat manusia yang tadinya tidak mau dan segan menjadi mau) - hal 257.
Jadi, Alkitab sendiri menggunakan kata ‘ditarik’ yang seolah-olah menunjukkan suatu pemaksaan, tetapi
dalam menafsirkan ayat itu, Calvin mengatakan bahwa itu bukan menggunakan
kekuatan luar untuk memaksa seseorang untuk percaya, tetapi dengan mengubah
orang tersebut sehingga ia yang tadinya tidak mau, menjadi mau.
Arthur W. Pink: “the Holy Spirit does something more in each of God’s elect
than He does in the non-elect: He works in them ‘both to will and to do of
God’s good pleasure’ (Philippians 2:13).” [= Roh
Kudus memang melakukan sesuatu yang lebih dalam setiap orang-orang
pilihan dari pada yang Ia lakukan dalam orang-orang non pilihan: Ia
bekerja dalam mereka ‘baik untuk menghendaki maupun untuk melakukan dari
perkenan yang baik dari Allah’ (Fil 2:13).] - ‘The Sovereignty of God’ (AGES), hal 118.
Fil 2:13 - “karena Allahlah
yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun
pekerjaan menurut kerelaanNya”.
Terjemahan Kitab Suci Indonesia kurang jelas. Perhatikan dan bandingkan
dengan terjemahan-terjemahan Kitab Suci bahasa Inggris di bawah ini:
KJV: ‘For it is God which worketh in you both to will and to do of his good pleasure’
(= Karena Allahlah yang bekerja dalam kamu baik
untuk menghendaki maupun untuk melakukan dari kesenanganNya yang
baik).
RSV: ‘for God is at work in you, both to will and to work for his good pleasure’
(= karena Allah bekerja dalam kamu, baik untuk
menghendaki maupun untuk mengerjakan untuk kesenanganNya yang baik).
NIV: ‘for it is God who works in you to will and to act according to his good purpose’
(= karena Allahlah yang bekerja dalam kamu untuk
menghendaki dan untuk berbuat menurut rencanaNya yang baik).
NASB: ‘for it is God who is at work in you, both to will and to work for His good pleasure’
(= karena Allahlah yang bekerja dalam kamu, baik
untuk menghendaki maupun untuk mengerjakan untuk kesenanganNya yang
baik).
Fil 2:13
ini jelas menunjukkan bahwa baik kemauan, maupun
kemampuan, diberikan oleh Allah. Tanpa itu, kita
tidak akan mau ataupun mampu, melakukan apapun
yang baik. Tetapi dengan pekerjaan Allah itu, kita akan mau (jadi, bukan terpaksa / dipaksa), dan mampu, untuk melakukan apa yang baik (termasuk percaya
kepada Yesus).
II) Dasar dari Doktrin ‘Irresistible Grace’ (= Kasih karunia yang tidak bisa ditolak).
1) Doktrin ini
merupakan akibat dari doktrin-doktrin lain, yaitu:
a) Total
Depravity (= Kebejatan total).
Ajaran Reformed dalam persoalan ini mengatakan bahwa
manusia sudah sangat rusak karena pengaruh negatif dari dosa, dan karena itu
kalau manusia dibiarkan dalam keadaannya, maka semua manusia akan menolak
Injil.
1Kor 2:14 - “Tetapi manusia
duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya
adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat
memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani”.
Kalau manusia memang bejat total, sesuai dengan 1Kor
2:14 ini, mereka tidak
akan mau dan tidak akan bisa datang kepada Kristus. Jadi,
kalau hanya diberikan penebusan Kristus saja, tidak akan ada yang datang kepada
Kristus. Harus diberikan kasih karunia Allah kepada mereka sehingga mereka mau dan bisa
datang kepada Kristus.
Calvin (tentang 1Kor 2:14): “While, however, Paul here tacitly
imputes it to the pride of the flesh, that mankind dare to condemn as foolish
what they do not comprehend, he at the same time shows how great is the
weakness or rather bluntness of the human understanding, when he declares it to
be incapable of spiritual apprehension. For he
teaches, that it is not owing simply to the obstinacy of the human will,
but to the impotency, also, of the understanding, that man does not attain to
the things of the Spirit. Had he said that men are not willing to be wise, that
indeed would have been true, but he states farther that they are not able.
Hence we infer, that faith is not in one’s own power, but is divinely
conferred.”
(= Tetapi sementara Paulus di sini secara implicit memperhitungkannya pada
kesombongan dari daging, bahwa umat manusia berani mengecam sebagai bodoh apa
yang tidak mereka mengerti, ia pada saat yang sama menunjukkan betapa besar
kelemahan, atau lebih tepat ketumpulan, dari pengertian manusia, pada waktu ia
menyatakannya sebagai ‘tidak dapat’ berkenaan
dengan pengertian rohani. Karena ia mengajar, bahwa itu bukan sekedar berhutang / disebabkan oleh ketegaran dari kehendak
manusia, tetapi
juga pada ketidak-mampuan dari pengertian, sehingga manusia tidak
mencapai hal-hal dari Roh. Seandainya ia mengatakan bahwa manusia ‘tidak mau’ menjadi bijaksana, maka hal itu memang
benar, tetapi ia menyatakan lebih jauh bahwa mereka ‘tidak dapat’. Maka kami
menyimpulkan, bahwa iman bukanlah berada dalam
kuasa / kekuatan seseorang, tetapi dianugerahkan secara ilahi.).
R. L. Dabney:
“The
great necessity for the effectual calling of men is in his original sin. Were
he not by nature depraved, and his disposition wholly inclined to ungodliness,
the mere mention of a plan, by which deliverance from guilt and unholiness was
assured, would be enough; all would flock to embrace it. But such is man’s
depravity, that a redemption must not only be provided, but he must be
effectually persuaded to embrace it”
(= Kebutuhan yang besar dari manusia untuk panggilan yang efektif ada dalam
dosa asalnya. Seandainya ia secara alamiah tidak
bejat, dan kecondongannya sepenuhnya condong pada kejahatan, semata-mata suatu
penyebutan tentang suatu rencana, dengan mana pembebasan dari kesalahan dan
ketidak-kudusan dipastikan, akan mencukupi; semua orang akan berkumpul untuk
memeluknya / mempercayainya. Tetapi demikianlah kebejatan manusia, sehingga suatu
penebusan bukan saja harus disediakan, tetapi ia harus dibujuk / diyakinkan secara efektif untuk
memeluk / mempercayainya)
- ‘Lectures in Systematic Theology’,
hal 554.
R. C. Sproul:
“Most
non-Reformed views of predestination fail to take seriously the fact that
fallen man is spiritually dead. Other
evangelical positions acknowledge that man is fallen and that his fallenness is
a serious matter. They even grant that sin is a radical problem. They are quick
to grant that man is not merely ill, but mortally ill, sick unto death. But he
has not quite died yet. He still has one tiny breath of spiritual life left in
his body. He still has a tiny island of righteousness left in his heart, a tiny
and feeble moral ability that abides in his fallenness. I have heard two
illustrations from evangelists who plead for the repentance and conversion of
their hearers. The first is an analogy of a person suffering from a terminal
illness. The sinner is said to be gravely ill, on the very brink of death. He
does not have it within his own power to cure himself of the disease. He is
lying on his deathbed almost totally paralyzed. He cannot recover unless God
provides the healing medicine. The man is so bad off that he cannot even
stretch forth his arm to receive the medicine. He is almost comatose. God must
not only offer the medicine but God must put it on a spoon and place it by the
dying man’s lips. Unless God does all that, the man will surely perish. But
though God does 99 percent of what is necessary, the man is still left with 1
percent. He must open his mouth to receive the medicine. This is the necessary
exercise of free will that makes the difference between heaven and hell. The
man who opens his mouth to receive the gracious gift of the medicine will be
saved. The man who keeps his lips tightly clenched will perish. This analogy almost does justice to the Bible
and to Paul’s teaching of the grace of regeneration. But not quite. The Bible
does not speak of mortally ill sinners. According to Paul they are dead. There is not an ounce of
spiritual life left in them. If they are to be made alive, God must do more
than offer them medicine. Dead men will not open their mouths to receive
anything. Their jaws are locked in death. Rigor mortis has set in. They must be
raised from the dead. They must be new creations, crafted by Christ and reborn
by his Spirit. A second illustration is equally popular with those committed to
evangelism. In this view fallen man is seen as a drowning man who is unable to
swim. He has gone under twice and bobbed to the surface for the last time. If
he goes under again he will die. His only hope is for God to throw him a life
preserver. God throws the lifeline and tosses it precisely to the edge of the
man’s outstretched fingers. All the man has to do to be saved is to grab hold.
If he will only grab hold of the life preserver, God will tow him in. If he
refuses the life preserver, he will certainly perish. Again, in this
illustration the utter helplessness of sinful man without God’s assistance is
emphasized. The drowning man is in a serious condition. He cannot save himself.
However, he is still alive; he can still stretch forth his fingers. His fingers
are the crucial link to salvation. His eternal destiny depends upon what he
does with his fingers. Paul says the man is dead. He is not merely drowning, he
has already sunk to the bottom of the sea. It is futile to throw a life
preserver to a man who has already drowned. If I understand Paul, I hear him
saying that God dives into the water and pulls a dead man from the bottom of
the sea and then performs a divine act of mouth-to-mouth resuscitation. He
breathes into the dead man new life. It is important to remember that
regeneration has to do with new life. It is called the new birth or being born
again.” (= Kebanyakan
pandangan non-Reformed tentang predestinasi gagal untuk menerima secara serius
fakta bahwa manusia yang telah jatuh itu adalah mati
secara rohani. Pandangan-pandangan injili yang lain mengakui bahwa
manusia itu jatuh, dan bahwa kejatuhannya itu merupakan persoalan yang serius.
Mereka bahkan mengakui bahwa dosa adalah suatu problem yang radikal. Mereka dengan cepat
mengakui bahwa manusia bukan sekedar sakit, tetapi sakit yang mematikan, sakit
menuju pada kematian. Tetapi ia belum sungguh-sungguh mati. Ia masih tetap mempunyai satu nafas yang sangat kecil dari
kehidupan rohani yang tersisa dalam tubuhnya. Ia tetap mempunyai suatu pulau
yang sangat kecil dari kebenaran yang tersisa dalam hatinya, suatu kemampuan
moral yang sangat kecil dan lemah yang tertinggal dalam kejatuhannya. Saya
telah mendengar dua ilustrasi dari penginjil-penginjil yang memohon untuk
pertobatan dari para pendengar mereka. Yang pertama adalah suatu analogi
tentang seseorang yang menderita karena suatu penyakit yang mengakhiri
hidupnya. Orang berdosa itu dikatakan sebagai sangat sakit, di tepi kematian.
Ia tidak mempunyai dalam kekuatannya sendiri untuk menyembuhkan dirinya sendiri
dari penyakit itu. Ia berbaring di ranjang kematiannya dan hampir lumpuh secara
total. Ia tidak bisa pulih kecuali Allah menyediakan obat yang menyembuhkan.
Orang itu begitu buruk keadaannya sehingga ia bahkan tidak bisa mengulurkan
lengan / tangannya untuk menerima obat. Ia hampir-hampir seperti dalam keadaan
koma. Allah bukan hanya harus menawarkan obat tetapi Allah harus meletakkannya
pada sebuah sendok dan menempatkannya di bibir dari orang yang sekarat itu.
Kecuali Allah melakukan semua itu, orang itu pasti akan binasa. Tetapi sekalipun Allah
melakukan 99 % dari apa yang perlu, orang itu masih tersisa dengan 1 %. Ia
harus membuka mulutnya untuk menerima obat itu. Ini adalah penggunaan yang
perlu dari kehendak bebas yang membuat perbedaan antara surga dan neraka. Orang
yang membuka mulutnya untuk menerima pemberian obat yang murah hati / bersifat
kasih karunia akan diselamatkan. Orang yang tetap mengatupkan bibirnya dengan
keras akan binasa. Analogi ini hampir
bersikap adil kepada Alkitab dan ajaran Paulus tentang kasih karunia dari
kelahiran baru. Tetapi tidak betul-betul demikian. Alkitab tidak
berbicara tentang orang-orang berdosa yang sakit secara mematikan. Menurut Paulus mereka adalah mati. Tidak ada sedikitpun kehidupan rohani tersisa di dalam
mereka. Jika mereka mau dibuat hidup, Allah harus melakukan lebih dari
menawarkan obat kepada mereka. Orang mati tidak akan membuka mulut mereka untuk
menerima apapun. Rahang-rahang mereka dikunci dalam kematian. Kekakuan mayat
telah tiba. Mereka harus dibangkitkan dari
kematian. Mereka harus menjadi ciptaan-ciptaan baru, dicangkokkan oleh Kristus
dan dilahirbarukan oleh RohNya. Ilustrasi kedua yang sama
populernya bagi mereka yang membaktikan diri pada penginjilan. Dalam pandangan
ini manusia yang terjatuh dilihat sebagai seorang manusia yang tenggelam dan
tidak bisa berenang. Ia telah tenggelam di bawah permukaan air 2 x dan muncul
ke permukaan untuk kali yang terakhir. Jika ia tenggelam lagi ia akan mati.
Satu-satunya harapan adalah bagi Allah untuk melemparkan kepadanya suatu
pelindung kehidupan / nyawa. Allah melemparkan tali kehidupan dan
melemparkannya persis di sisi dari jari-jari yang diulurkan dari orang itu. Semua yang harus
dilakukan oleh orang itu untuk diselamatkan adalah menggenggam. Jika saja ia
mau menggenggam pelindung kehidupan / nyawa itu, Allah akan menariknya ke
dalam. Jika ia menolak penjaga kehidupan / nyawa itu, ia pasti akan binasa.
Lagi-lagi, dalam ilustrasi ini ketidak-berdayaan sama sekali dari orang berdosa
tanpa pertolongan Allah ditekankan. Orang yang tenggelam itu ada dalam keadaan
yang serius. Ia tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Tetapi, ia masih tetap hidup; ia tetap bisa
mengulurkan jari-jarinya. Jari-jarinya adalah penghubung yang sangat penting
kepada keselamatan. Nasib / tujuan kekalnya tergantung pada apa yang ia lakukan
dengan jari-jarinya. Paulus mengatakan
manusia itu mati. Ia bukan sekedar mau /
sedang tenggelam, ia sudah tenggelam ke dasar laut. Adalah sia-sia untuk
melemparkan suatu penjaga kehidupan / nyawa kepada seorang manusia yang sudah
tenggelam. Jika saya mengerti Paulus, saya
mendengarnya mengatakan bahwa Allah menyelam ke dalam air dan menarik seorang
yang mati dari dasar laut dan lalu melakukan suatu tindakan ilahi dari
penghidupan kembali dari mulut ke mulut. Ia menghembuskan ke dalam orang mati
itu kehidupan yang baru. Merupakan sesuatu yang penting untuk
diingat bahwa kelahiran baru berurusan dengan kehidupan yang baru. Itu disebut
kelahiran baru atau dilahirkan lagi.)
- ‘Chosen By God’, hal 114-116.
Loraine Boettner: “Dr. Warfield says, ‘Sinful man stands in need, not of
inducements or assistance to save himself, but precisely of saving; and Jesus
Christ has come not to advise, or urge, or woo, or help him to save himself,
but to save him.’” (= Dr. Warfield mengatakan, ‘Orang
berdosa ada dalam kebutuhan, bukan terhadap bujukan atau bantuan untuk
menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi secara tepat terhadap penyelamatan; dan
Yesus Kristus telah datang bukan untuk menasehati, atau mendesak, atau
membujuk, atau menolong dia untuk menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi untuk
menyelamatkannya’.) - ‘The
Reformed Doctrine of Predestination’, hal 164 (Libronix).
b) Unconditional
Election (= Pemilihan yang tidak bersyarat) atau Predestinasi.
Kis 13:48 - “Mendengar itu bergembiralah
semua orang yang tidak mengenal Allah dan mereka memuliakan firman Tuhan; dan semua
orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal, menjadi percaya”.
Calvin (tentang Kis 13:48): “‘And they believed.’ ... For Luke
showeth what manner [of] glory they gave to the word of God. And here we must
note the restraint, [reservation,] when he saith that they believed, (but)
not all in general, but those who were ordained unto life. And we need not
doubt but that Luke calleth those tetagmenouv, who were
chosen by the free adoption of God. For it is a ridiculous cavil to refer
this unto the affection of those which believed, as if those received the
gospel whose minds were well-disposed. For this ordaining must be
understood of the eternal counsel of God alone. Neither doth Luke say that
they were ordained unto faith, but unto life; because the Lord doth
predestinate his unto the inheritance of eternal life. And this place teacheth that faith dependeth upon God’s election.
And assuredly, seeing that the whole race of mankind is blind and stubborn, those diseases stick fast in our nature until they be
redressed by the grace of the Spirit, and that redressing floweth from the
fountain of election alone. For in that of two which hear the same
doctrine together, the one showeth himself apt to be taught, the other
continueth in his obstinacy. It is not, therefore,
because they differ by nature, but because God doth lighten [illumine] the
former, and doth not vouchsafe the other the like grace. We are,
indeed, made the children of God by faith; as faith, as touching us, is the
gate and the first beginning of salvation; but there is a higher respect of
God. For he doth not begin to choose us after that we believe; but he
sealeth his adoption, which was hidden in our hearts, by the gift of faith,
that it may be manifest and sure. For if this be proper to the children of
God alone to be his disciples, it followeth that it doth not appertain unto all
the children of Adam in general. No marvel, therefore, if all do not receive
the gospel; because, though our heavenly Father inviteth all men unto the faith
by the external voice of man, yet doth he not call
effectually by his Spirit any save those whom he hath determined to save.
Now, if God’s
election, whereby he ordaineth us unto life, be the cause of faith and
salvation, there remaineth nothing for worthiness or merits.
Therefore, let us hold and mark that which Luke saith, that those were
ordained before unto life, who, being ingrafted into the body of Christ by
faith, do receive the earnest and pledge of their adoption in Christ.
Whence we do also gather what force the preaching of the gospel hath of itself.
For it doth not find faith in men, save only because
God doth call those inwardly whom he hath chosen, and because he draweth
those who were his own before unto Christ, (John 6:37.)” [= ‘Dan mereka percaya’. ... Karena Lukas
menunjukkan cara kemuliaan apa yang mereka berikan kepada firman Allah. Dan di
sini kita harus memperhatikan kekangan (pembatasan,) pada waktu ia mengatakan
bahwa mereka percaya, (tetapi) tidak semua secara umum, tetapi mereka yang
ditentukan kepada hidup. Dan kita tidak perlu meragukan bahwa Lukas menyebut
mereka TETAGMENOUS, yang telah dipilih oleh adopsi yang bebas / cuma-cuma dari
Allah. Karena merupakan suatu pertengkaran yang menggelikan untuk
menunjukkan hal ini kepada perasaan dari mereka yang percaya, seakan-akan
mereka menerima injil yang pikirannya telah dicondongkan dengan baik. Karena
penentuan ini harus dimengerti tentang rencana kekal dari Allah saja.
Juga Lukas tidak mengatakan bahwa mereka telah ditentukan kepada iman, tetapi
kepada hidup; karena Tuhan memang mempredestinasikan milikNya kepada warisan
hidup yang kekal. Dan tempat ini mengajarkan
bahwa iman tergantung pada pemilihan Allah. Dan pasti, melihat bahwa
seluruh umat manusia adalah buta dan keras kepala, penyakit-penyakit
itu melekat kuat dalam sifat dasar kita sampai mereka diperbaiki oleh kasih
karunia dari Roh, dan perbaikan itu mengalir dari sumber pemilihan saja.
Karena dalam hal dimana dua orang mendengar doktrin / ajaran yang sama
bersama-sama, yang satu menunjukkan dirinya sendiri cocok / mudah untuk diajar,
sedangkan yang lain terus ada dalam kekeras-kepalaannya. Karena itu, bukanlah karena mereka berbeda dalam sifat dasar
mereka, tetapi karena Allah memang menerangi (mencerahi) yang pertama, dan
tidak bersedia memberikan yang lain kasih karunia yang serupa / sama.
Kita memang dibuat menjadi anak-anak Allah oleh iman; karena iman, berkenaan
dengan kita, adalah pintu gerbang dan awal pertama dari keselamatan; tetapi di
sana ada suatu pertimbangan yang lebih tinggi tentang Allah. Karena Ia tidak
mulai memilih kita setelah kita percaya; tetapi Ia memeteraikan adopsiNya, yang
disembunyikan dalam hati kita, oleh karunia iman, supaya itu menjadi nyata /
jelas dan pasti. Karena jika adalah benar bagi anak-anak Allah saja untuk
menjadi murid-muridNya, akibatnya adalah bahwa itu tidak berhubungan dengan
semua anak-anak / keturunan Adam secara umum. Karena itu, tak mengherankan jika
tidak semua orang menerima injil; karena, sekalipun Bapa surgawi kita
mengundang semua orang kepada iman oleh suara luar / lahiriah dari manusia, tetapi Ia tidak memanggil secara efektif oleh RohNya siapapun
kecuali mereka yang telah Ia tentukan untuk selamatkan. Sekarang, jika pemilihan
Allah, dengan mana Ia menentukan kita kepada hidup, adalah penyebab dari iman
dan keselamatan, di sana tidak tertinggal apapun bagi kelayakan dan jasa.
Karena itu, hendaklah kita memegang dan memperhatikan apa yang Lukas katakan,
bahwa mereka ditentukan sebelumnya kepada hidup, yang, setelah dicangkokkan
ke dalam tubuh Kristus oleh iman, menerima jaminan / uang muka dari
pengadopsian mereka dalam Kristus. Dari mana kita juga mendapatkan kekuatan
apa yang dimiliki oleh pemberitaan injil dari dirinya sendiri. Karena pemberitaan injil itu tidak mendapati iman dalam manusia,
kecuali kalau Allah memanggil mereka secara batin / dari dalam orang-orang yang
sebelumnya telah Ia pilih, dan karena Ia menarik mereka yang adalah
milikNya kepada Kristus (Yoh 6:37).].
Allah mempunyai rencana tentang keselamatan setiap
orang. Orang-orang yang Ia tetapkan / rencanakan / predestinasikan untuk
selamat, pasti akan percaya kepada Kristus dan selamat. Karena itu, pada saat
tertentu, sesuai dengan rencana Allah, Allah bekerja dalam diri orang-orang itu
sehingga mereka mau dan bisa percaya kepada Kristus!
Seandainya Allah bekerja dalam diri orang-orang itu
sehingga mereka bisa / mungkin (tetapi tidak pasti)
percaya, maka predestinasi bisa gagal. Dan ini tidak mungkin, karena semua
rencana Allah pasti berhasil.
Ayub 42:1-2 - “(1) Maka jawab Ayub kepada TUHAN: (2)
‘Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencanaMu yang gagal”.
John Walvoord:
“The doctrine of efficacious grace is
vital to predestination. It is essential to the plan of God that all the
elect be saved. It is therefore necessary that more than common grace be given
to the elect. Grace must be effectual in bringing the elect to salvation.
Predestination and effectual calling are definitely linked in Scripture. God
calls according to His purpose (Rom. 8:28), and it is further revealed: ‘Whom
he foreordained, them he also called: and whom he called, them he also justified:
and whom he justified, them he also glorified’ (Rom. 8:30). It is manifest that
the calling herein mentioned is the efficacious call. All who are foreordained
are called, and all who are called are justified and glorified.” [= Doktrin dari
kasih karunia yang efektif adalah sangat penting untuk predestinasi. Merupakan
sesuatu yang hakiki bagi rencana Allah bahwa semua orang-orang pilihan
diselamatkan. Karena itu adalah perlu bahwa lebih dari kasih karunia yang
bersifat umum diberikan kepada orang-orang pilihan. Kasih karunia haruslah
efektif dalam membawa orang-orang pilihan kepada keselamatan. Predestinasi dan
panggilan yang efektif jelas dihubungkan dalam Kitab Suci. Allah memanggil
sesuai dengan rencanaNya (Ro 8:28), dan selanjutnya dinyatakan: ‘Yang Ia
tentukan lebih dulu, mereka juga Ia panggil: dan yang Ia panggil, mereka juga
Ia benarkan: dan yang Ia benarkan, mereka juga Ia muliakan’ (Ro 8:30).
Adalah jelas bahwa panggilan yang disebutkan di sini adalah panggilan efektif.
Semua yang ditentukan lebih dulu dipanggil, dan semua yang dipanggil dibenarkan
dan dimuliakan.] - ‘The Holy
Spirit’, hal 124.
Ro 8:28-30 - “(28)
Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk
mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang
terpanggil sesuai dengan rencana Allah. (29) Sebab semua orang yang
dipilihNya dari semula, mereka juga ditentukanNya dari semula untuk menjadi
serupa dengan gambaran AnakNya, supaya Ia, AnakNya itu, menjadi yang sulung di
antara banyak saudara. (30) Dan mereka yang ditentukanNya dari semula,
mereka itu juga dipanggilNya. Dan mereka yang dipanggilNya, mereka itu juga
dibenarkanNya. Dan mereka yang dibenarkanNya, mereka itu juga dimuliakanNya.”.
c) Limited
Atonement (= Penebusan Terbatas).
Berbeda dengan ajaran Arminianisme,
yang mengatakan bahwa Kristus mati untuk menebus semua
dan setiap orang, untuk memungkinkan
keselamatan mereka, maka ajaran Calvinisme / Reformed
mengatakan bahwa Kristus mati hanya untuk menebus orang-orang pilihan, dan ini memastikan
keselamatan mereka.
Bagaimana keselamatan mereka bisa pasti, kalau manusia
diberi kasih karunia yang hanya memampukan mereka
untuk percaya? Kalau ini adalah kasusnya, bagaimana kalau ternyata
mereka tidak percaya? Bukankah penebusan Kristus bagi mereka menjadi sia-sia?
Ini tidak mungkin terjadi! Dan karena itu pemberian kasih karunia, harus bersifat efektif / tidak bisa
ditolak. Itu harus mempertobatkan.
Arthur W. Pink: “Christ did not die to make possible the
salvation of all mankind, but to make certain the
salvation of all that the Father had given to Him” (= Kristus tidak
mati untuk membuat keselamatan itu memungkinkan untuk seluruh
umat manusia, tetapi untuk membuat pasti keselamatan dari
semua orang yang telah diberikan Bapa kepadaNya) - ‘The Sovereignty of God’, hal 57.
d) Regeneration
(= Kelahiran Baru).
Dalam pasal yang terkenal tentang kelahiran baru,
yaitu Yoh 3, pekerjaan Roh Kudus yang melahirbarukan itu dianalogikan dengan jalannya
/ bertiupnya angin.
Yoh 3:8 - “Angin
bertiup ke mana ia mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau
tidak tahu dari mana ia datang atau ke mana ia pergi. Demikianlah halnya dengan tiap-tiap orang yang
lahir dari Roh.’”.
Sama seperti angin tak bisa ditahan, demikian juga
pekerjaan Roh Kudus dalam melahirbarukan tidak bisa ditahan. Kalau Roh Kudus
mau melahir-barukan seseorang, Ia pasti berhasil.
Penerapan:
Kita harus bersyukur dan memuji Tuhan atas hal ini, karena seandainya kita bisa
menolak pekerjaan Roh Kudus dalam melahir-barukan kita, maka kita, sebagai
orang berdosa yang condong kepada dosa, pasti menolak kelahiran baru itu!
John Walvoord:
“Analogy from regeneration. The work of
efficacious grace as wholly an act of God is supported by analogy from the
doctrine of regeneration. Like efficacious grace, regeneration is an act of
God, not a process, matter of persuasion, or rational change. If regeneration
is wholly an act of God, instantaneous, and independent of human assistance,
efficacious grace may well be in the same category. Both are inscrutable, and
both are essential to salvation.” (= Analogi dari kelahiran baru.
Pekerjaan dari kasih karunia yang efektif sebagai sepenuhnya suatu tindakan
dari Allah didukung oleh analogi dari doktrin tentang kelahiran baru. Seperti
kasih karunia yang efektif, kelahiran baru adalah suatu tindakan Allah, bukan
suatu proses, persoalan bujukan atau perubahan pikiran. Jika kelahiran baru sepenuhnya
merupakan suatu tindakan dari Allah, bersifat seketika, dan tak tergantung dari
pertolongan manusia, kasih karunia yang efektif juga bisa ada dalam kategori
yang sama. Keduanya tidak dapat diduga, dan keduanya hakiki / perlu bagi
keselamatan.) - ‘The Holy Spirit’,
hal 125.
John Murray:
“How
can a man dead in trespasses and sins, and at enmity with God, answer a call to
the fellowship of the Father and the Son? ... How can his will incline to the
overtures of God’s grace in the gospel? ... The answer to these questions is
impossibility, moral and spiritual. ... But the question must have an answer in
another direction, since the call is effectual and does meet with the
appropriate response. The only possible answer is that there must be a change
that man himself cannot initiate, a change that cannot take its origin from
resources resident in human nature, a change radical and all-pervasive. ...
There is a change that God effects in man, radical and reconstructive in its
nature, called new birth, new creation, regeneration, renewal - change that
cannot be accounted for by anything that is in lower terms than the
interposition of the almighty power of God. ... It is the Holy Spirit working
directly, efficaciously and irresistibly upon man’s heart and mind, making the
man over again, and creating him anew after the image of Christ in holiness and
righteousness of the truth” (= Bagaimana seorang manusia yang mati
dalam kesalahan dan dosa, dan ada dalam permusuhan dengan Allah, bisa menjawab
suatu panggilan kepada persekutuan dengan Bapa dan Anak? ... Bagaimana
kehendaknya bisa condong pada tawaran dari kasih karunia Allah dalam injil? ...
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini adalah ketidak-mungkinan, moral dan
rohani. ... Tetapi pertanyaan itu harus mempunyai suatu jawaban dalam suatu
arah yang lain, karena panggilan itu efektif dan mendapat tanggapan yang tepat
/ cocok. Satu-satunya jawaban yang memungkinkan adalah bahwa di sana harus ada
suatu perubahan yang tidak bisa dimulai oleh manusia itu sendiri, suatu
perubahan yang tidak bisa mempunyai asal usulnya dari sumber-sumber yang
tinggal dalam hakekat / sifat dasar manusia, suatu perubahan yang radikal dan
merekonstruksi / memulihkan dalam sifat dasarnya, disebut kelahiran baru,
ciptaan baru, kelahiran lagi, pembaharuan - perubahan yang tidak bisa
dijelaskan secara memuaskan oleh apapun yang ada dalam istilah-istilah yang
lebih rendah dari pada campur tangan dari kuasa yang maha kuasa dari Allah. ...
Adalah Roh Kudus yang bekerja secara langsung, secara efektif dan tidak dapat
ditolak pada hati dan pikiran manusia, membuat ulang manusia, dan menciptanya
menjadi baru menurut gambar Kristus dalam kekudusan dan kebenaran dari kebenaran) - ‘Collected Writings of John Murray’, vol II,
hal 169,170,171.
1. Dalam
kelahiran baru, kita yang mati rohani diberi telinga
yang dapat mendengar dan mata yang dapat melihat.
Amsal 20:12 - “Telinga
yang mendengar dan mata yang melihat, kedua-duanya dibuat oleh TUHAN.”.
Abraham Kuyper:
“‘The hearing ear, and the seeing eye, the
Lord hath even made both of them.’ This testimony of the Holy Spirit contains the
whole mystery of regeneration.
An unregenerate person is deaf and blind; not only as a stock or block, but worse. For neither stock nor block is
corrupt or ruined, but an unregenerate person is wholly dead and a prey to the
most fearful dissolution. ... Hence without regeneration the sinner is utterly
unprofitable. What is the use of an ear except it hear, or of an eye except it
see? Therefore the Holy Ghost testifies: ‘The hearing ear and the seeing eye,
the Lord has made even both of them.’ ... in regeneration, man is neither worker nor coworker; he is merely wrought upon; and the only Worker in this
matter is God. ... That God regenerates one and not another is according to
a fixed and unalterable rule. He comes with regeneration to all the elect; and
the non-elect He passes by. Hence this act of God is irresistible. No man has the power to say, ‘I will not be born again,’ or to prevent
God’s work or to put obstacles in His way, or to make it so difficult that it
can not be performed.” (= ‘Telinga yang
mendengar dan mata yang melihat, kedua-duanya dibuat oleh TUHAN’. Kesaksian dari Roh Kudus ini berisikan seluruh misteri kelahiran baru. Seseorang yang
belum / tidak dilahirkan baru adalah tuli dan buta; bukan hanya seperti batang
pohon atau balok, tetapi lebih buruk dari itu. Karena baik batang pohon atau
balok tidak jahat atau hancur, tetapi seseorang yang belum / tidak dilahirkan
baru adalah mati sepenuhnya dan suatu mangsa / sasaran dari akhir /
penghancuran yang menakutkan. ... Maka tanpa kelahiran baru orang berdosa itu
sama sekali tidak berguna. Apa gunanya telinga kecuali telinga itu mendengar,
atau mata kecuali mata itu melihat? Karena itu Roh Kudus memberi kesaksian: ‘Telinga
yang mendengar dan mata yang melihat, kedua-duanya dibuat oleh TUHAN’. ... dalam kelahiran
baru, manusia bukanlah pekerja atau rekan kerja; ia semata-mata dikerjai; dan satu-satunya
Pekerja dalam persoalan ini adalah Allah. ... Bahwa Allah
melahirbarukan yang satu dan tidak yang lain adalah sesuai dengan suatu
peraturan yang tertentu dan tak bisa berubah. Ia datang dengan kelahiran baru
kepada semua orang-orang pilihan; dan orang-orang non pilihan Ia lewati. Karena
itu tindakan Allah ini tidak bisa ditolak.
Tak ada orang yang mempunyai kuasa untuk mengatakan, ‘Aku tidak mau dilahirkan
kembali’, atau untuk mencegah pekerjaan Allah atau untuk meletakkan
halangan-halangan dalam jalanNya, atau membuatnya begitu sukar sehingga hal itu
tidak bisa dilaksanakan.) - ‘The
Work of the Holy Spirit’, hal 304,305,306,307 (Libronix).
Abraham Kuyper:
“Hence the
question, whether this regenerating act precedes,
accompanies, or follows
the hearing of the Word. ... We answer: The Holy Spirit may perform this work
in the sinner’s heart before, during,
or after the preaching of the
Word. The inward call may be associated with the outward call, or it may follow
it. But that which precedes the inward call, viz., the opening of the deaf ear, so that it may be heard, is
not dependent upon the preaching of the Word; and therefore may precede the preaching.” [= Maka
pertanyaan, apakah tindakan melahir-barukan ini mendahului, berjalan
bersama-sama, atau mengikuti pendengaran terhadap Firman. ... Kami menjawab:
Roh Kudus bisa melaksanakan pekerjaan ini dalam hati orang berdosa sebelum,
selama / bersama-sama, atau setelah pemberitaan Firman. Panggilan di dalam bergabung
/ bersama-sama dengan panggilan luar, atau itu bisa mengikutinya. Tetapi hal
yang mendahului panggilan di dalam, yaitu pembukaan dari telinga yang tuli,
sehingga itu bisa didengar, tidaklah tergantung pada pemberitaan Firman; dan
karena itu bisa mendahului pemberitaan (Firman)] - ‘The Work of the Holy Spirit’, hal 317-318
(Libronix).
Louis Berkhof: “b. Points of difference between regeneration
and effectual calling. Regeneration in the strictest sense of the word,
that is, as the begetting again,
takes place in the sub-conscious life of man, and is quite independent of any
attitude which he may assume with reference to it. Calling, on the other hand,
addresses itself to the consciousness, and implies a certain disposition of the
conscious life. This follows from the fact that regeneration works from within,
while calling comes from without. ... Furthermore, regeneration is a creative,
a hyper-physical operation of the Holy Spirit, by which man is brought from one
condition into another, from a condition of spiritual death into a condition of
spiritual life. Effectual calling, on the other hand, is teleological, draws
out the new life and points it in a God-ward direction. It secures the
exercises of the new disposition and brings the new life into action. c. The relative order of calling and
regeneration. This is perhaps best understood, if we note the following
stages: (1) Logically, the external call in the preaching of the Word (except
in the case of children) generally precedes or coincides with the operation of
the Holy Spirit, by which the new life is produced in the soul of man. (2) Then
by a creative word God generates the new life, changing the inner disposition
of the soul, illuminating the mind, rousing the feelings, and renewing the
will. In this act of God the ear is implanted that enables man to hear the call
of God to the salvation of his soul. This
is regeneration in the most restricted sense of the word. In it man is
entirely passive. (3) Having received the spiritual ear, the call of God in the
gospel is now heard by the sinner, and is brought home effectively to the
heart. The desire to resist has been changed to a desire to obey, and the
sinner yields to the persuasive influence of the Word through the operation of
the Holy Spirit. This is the effectual
calling through the instrumentality of the word of preaching, effectively
applied by the Spirit of God.” [= b. Pokok-pokok
perbedaan antara kelahiran baru dan panggilan efektif. Kelahiran
baru dalam arti kata yang paling ketat, yaitu, seperti tindakan melahirkan
lagi, terjadi dalam kehidupan bawah sadar dari manusia, dan betul-betul tak
tergantung pada sikap apapun yang bisa ia ambil berkenaan dengannya.
Panggilan, di sisi
lain, menujukan dirinya sendiri kepada kesadaran, dan menunjukkan secara
implicit suatu kecondongan tertentu dari kehidupan yang sadar. Ini
merupakan akibat dari fakta bahwa kelahiran baru
bekerja dari dalam, sedangkan panggilan dari dari luar. ... Selanjutnya, kelahiran baru adalah suatu operasi yang bersifat mencipta,
di atas fisik / melampaui fisik, dari Roh Kudus, dengan mana manusia dibawa
dari satu keadaan ke dalam keadaan yang lain, dari suatu keadaan dari kematian
rohani ke dalam suatu keadaan dari kehidupan rohani. Panggilan efektif, di
sisi lain, berhubungan dengan penyebab akhir / rancangan / rencana, mengambil /
menarik kehidupan baru itu dan mengarahkannya ke arah Allah. Itu memastikan
pelaksanaan dari kecenderungan yang baru dan membawa kehidupan yang baru ke dalam
tindakan. c. Urut-urutan relatif dari panggilan
dan kelahiran baru. Ini mungkin dimengerti
secara terbaik, jika kita memperhatikan tahap-tahap sebagai berikut: (1) Secara
logika, panggilan luar dalam pemberitaan Firman (kecuali dalam kasus dari
anak-anak) biasanya mendahului atau bersamaan dengan operasi / pekerjaan dari
Roh Kudus, dengan mana kehidupan baru itu dihasilkan dalam jiwa dari manusia.
(2) Lalu oleh suatu firman yang bersifat mencipta Allah melahirkan suatu
kehidupan yang baru, dengan mengubah kecondongan batin dari jiwa, dan mencerahi
pikiran, dan membangkitkan perasaan-perasaan, dan memperbaharui kehendak. Dalam tindakan Allah ini telinga ditanamkan yang memampukan
manusia untuk mendengar panggilan Allah pada keselamatan dari jiwanya.
Ini adalah kelahiran baru dalam arti kata yang
paling ketat. Dalam hal ini manusia sepenuhnya pasif. (3) Setelah
menerima telinga rohani, panggilan Allah dalam injil sekarang terdengar oleh
orang berdosa, dan menyadarkan hati secara efektif. Keinginan untuk menolak telah diubah menjadi suatu
keinginan untuk taat, dan orang berdosa menyerah kepada pengaruh yang
meyakinkan dari Firman melalui pekerjaan Roh Kudus. Ini adalah panggilan
efektif melalui peralatan firman yang diberitakan, diterapkan
secara efektif oleh Roh Allah.] - ‘Systematic
Theology’, hal 471.
2. Dalam
kelahiran baru kita diberi hati yang baru dan roh
yang baru, menggantikan roh dan hati yang lama / keras.
Yeh 11:19 - “Aku
akan memberikan mereka hati yang lain dan
roh yang baru di dalam batin mereka; juga Aku akan menjauhkan dari tubuh mereka
hati yang keras dan memberikan mereka hati yang taat,”.
KJV: ‘And I will
give them one heart, and I will put a new
spirit within you; and I will take the stony heart out of their flesh, and
will give them an heart of flesh:’ (= Dan Aku akan memberi mereka satu hati, dan Aku akan meletakkan suatu roh yang
baru di dalam kamu; dan Aku akan mengambil / mengeluarkan hati yang keras dari daging
mereka, dan akan memberi mereka suatu hati dari daging).
RSV: ‘And I will
give them one heart, and put a new spirit
within them; I will take the stony heart out of their flesh and give them a heart of flesh,’
(= Dan Aku akan memberi mereka satu hati,
dan Aku akan meletakkan suatu roh yang baru di dalam kamu; dan Aku akan
mengambil / mengeluarkan hati yang keras dari daging mereka, dan akan memberi mereka suatu hati
dari daging:).
NIV: ‘I will
give them an undivided heart and put a
new spirit in them; I will remove from them their heart of stone and give them a heart of flesh.’
(= Aku akan memberi mereka suatu hati yang tidak
terbagi dan meletakkan suatu roh yang baru di dalam mereka; Aku akan
menyingkirkan dari mereka hati mereka yang dari batu dan memberi mereka suatu hati dari daging.).
NASB: “‘And I
will give them one heart, and put a new
spirit within them. And I will take the heart of stone out of their flesh and
give them a heart of flesh,”
(= ‘Dan Aku akan memberi mereka satu hati,
dan meletakkan suatu roh yang baru di dalam mereka. Dan Aku akan mengambil /
mengeluarkan hati dari batu dari daging mereka dan memberi mereka suatu hati dari daging,).
Calvin (tentang Yeh 11:19): “God promises to give the people one
heart. ... in this place ‘one heart’ is rather opposed to ‘a divided one;’ ... that
one heart is understood in the sense of regeneration. ... We understand
then what the Prophet means, and at chapter 36, where he repeats the same
sentiment, for one heart he puts a new spirit, ... We see, therefore, that by
these words the Prophet testifies that men have need of a complete renovation
that they may return into the way from which they once began to wander.” (= Allah
berjanji untuk memberi umat / bangsa itu satu hati. ... di tempat ini ‘satu hati’ dikontraskan dengan ‘suatu hati yang terbagi’;
... ‘satu hati’ itu dimengerti dalam arti dari
kelahiran baru. ... Maka kami mengerti apa yang sang Nabi maksudkan,
dan pada pasal 36, dimana ia mengulang pengertian
yang sama, untuk ‘satu hati’ ia memberikan ‘suatu roh
yang baru’, ... Karena itu, kami melihat, bahwa oleh kata-kata ini sang
Nabi menyaksikan bahwa manusia mempunyai kebutuhan dari suatu renovasi lengkap / menyeluruh supaya mereka bisa
kembali ke dalam jalan dari mana mereka pernah mulai mengembara.).
Yeh 36:26 - “Kamu
akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru
di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan
Kuberikan kepadamu hati yang taat.”.
Calvin (tentang Yeh 11:19): “Afterwards he adds, ‘I will take away
the heart of stone, or the stony heart, from their flesh, and will give them a
heart of flesh.’ ... When God regenerates his elect, he does not change either
their flesh, or skin, or blood; the spiritual and interior grace has no
relation to their body: ... For ‘flesh’ in the former clause meant the same as
body: but at the end of the verse a fleshy heart is put for a flexible heart:
an opposition also must be marked between the flesh and a stone: ... the sense
is by no means ambiguous: namely, since the Israelites were full of obstinacy,
God afterwards changed their heart, so that they became flexible and obedient -
that is, by correcting their hardness he rendered their heart soft.” (= Setelah itu
ia menambahkan, ‘Aku akan mengambil hati dari batu, atau hati yang keras, dari
daging mereka, dan akan memberi mereka suatu hati dari daging’. ... Pada waktu
Allah melahir-barukan orang-orang
pilihanNya, Ia tidak mengubah daging, atau kulit, atau darah mereka; kasih
karunia rohani dan dalam tidak berhubungan dengan tubuh mereka: ... Karena ‘daging’ dalam anak kalimat yang terdahulu artinya
sama dengan ‘tubuh’: tetapi pada akhir dari ayat itu ‘suatu hati dari daging’
diletakkan untuk ‘suatu hati yang lunak / lentur’: suatu pertentangan juga
harus diperhatikan antara ‘daging’ dan ‘sebuah batu’: ... artinya sama
sekali tidak mendua: yaitu, karena bangsa Israel penuh dengan kekeras-kepalaan,
Allah belakangan mengubah hati mereka,
sehingga mereka menjadi lunak / lentur dan taat - artinya, dengan membetulkan
kekerasan mereka, Ia membuat hati mereka lunak.).
Calvin (tentang Yeh
11:19): “He adds
afterwards, ‘that they may walk in my statutes, and keep my judgments, and do
them, and they shall be my people, and I will be their God.’ Now the Prophet
more clearly expresses how God would give his elect hearts of flesh instead of
those of stone, when he regenerates them by his Spirit, and when he forms them
to obey his law, so that they may willingly observe his commands, and
efficiently accomplish what he causes them to will.” (= Ia
belakangan menambahkan, ‘supaya mereka
hidup menurut segala ketetapanKu dan peraturan-peraturanKu dengan setia; maka
mereka akan menjadi umatKu dan Aku akan menjadi Allah mereka.’ Sekarang sang
Nabi dengan lebih jelas menyatakan bagaimana Allah akan memberi orang-orang
pilihanNya hati dari daging dan bukannya hati dari batu, pada waktu Ia melahir-barukan mereka oleh RohNya, dan pada waktu
Ia membentuk mereka untuk mentaati hukumNya, sehingga mereka bisa dengan sukarela mentaati perintah-perintahNya, dan
secara efektif mencapai apa yang Ia sebabkan mereka untuk mau.).
Calvin (tentang Yeh 11:19): “God pronounces that he gives to his
elect one heart and new spirit. It follows, therefore, that the whole soul is
vitiated, from reason even to the affections. The sophists in the Papacy
confess that man’s soul is vitiated, but only in part. ... it is a common
saying of theirs, that man’s free will was wounded and injured, but that it did
not perish. ... The Papists do not deny that free will is injured and wounded,
but as I have already said, they hold back something, as if men were partly
right by their own proper motion, and some inclination or flexible motion of
the will remained as well towards good as evil. Thus indeed they prate in the
schools: but we see what the Holy Spirit pronounces. For if there is need of a
new spirit and a new heart, it follows that the soul of man is not only injured
in each part, but so corrupt that its depravity may be called death and
destruction, as far as rectitude is concerned. ... Hence whatever reason and
intelligence there is in us, it does not bring us into the path of obedience to
God, and much less leads by continual perseverance to the goal. ... this
passage also with sufficient clearness refutes comments of this kind, where God
pronounces that newness of heart and spirit is his own free gift. Therefore Scripture
uses the name of creation elsewhere, which is worthy of notice. For as often as
the Papists boast that they have even the least particle of rectitude, they
reckon themselves creators: since when Paul says that we are born again by
God’s Spirit, he calls us to< poi>hma, his fashioning
or workmanship, and explains that we are created unto good works. (Ephesians
2:10.) To the same purpose is the language of the Psalm, (Psalm 100:3,) he made
us, not we ourselves. For he is not treating here of that first creation by
which we became men, but of that special grace by which we are born again by
the Spirit of God. If therefore regeneration is a creation of man, whoever
arrogates to himself even the least share in the matter, seizes so much from
God, as if he were his own creator, which is detestable to be heard of.” [= Allah mengumumkan bahwa Ia memberikan kepada
orang-orang pilihanNya satu hati dan roh yang baru. Karena itu, logikanya adalah bahwa seluruh jiwa rusak, dari
akal bahkan sampai pada perasaan-perasaan. Ahli-ahli argumentasi dalam kepausan
(Katolik) mengakui
bahwa jiwa manusia
dirusak, tetapi hanya sebagian.
... merupakan suatu perkataan mereka yang umum, bahwa kehendak bebas manusia terluka tetapi tidak binasa. ...
Para pengikut Paus tidak menyangkal bahwa kehendak bebas terluka, tetapi seperti yang telah saya
katakan, mereka menahan sesuatu, seakan-akan sebagian manusia adalah baik /
benar oleh gerakan yang benar dari diri mereka sendiri, dan sebagian
kecondongan atau gerakan lunak / lentur dari kehendak tetap ada, baik kepada
yang baik maupun kepada yang jahat. Demikianlah mereka banyak bicara
secara tolol dalam sekolah-sekolah: tetapi kita melihat apa yang Roh Kudus
umumkan. Karena jika di sana ada kebutuhan akan
suatu roh yang baru dan suatu hati yang baru, logikanya adalah bahwa jiwa
manusia bukan hanya terluka dalam setiap bagian, tetapi begitu rusak sehingga
kebejatannya bisa disebut kematian dan kehancuran, sejauh berkenaan dengan
kelurusan karakter. ... Maka akal dan kecerdasan apapun yang ada di
dalam kita, itu tidak membawa kita ke dalam jalan ketaatan kepada Allah, dan
lebih-lebih lagi tidak membimbing oleh ketekunan yang terus menerus kepada
tujuan. ... text ini dengan kejelasan yang cukup juga membantah
komentar-komentar dari jenis ini, dimana Allah
mengumumkan bahwa ke-baru-an dari hati dan roh adalah anugerahNya yang
cuma-cuma. Karena itu Kitab Suci menggunakan nama dari ‘ciptaan’ di
tempat lain, yang layak untuk diperhatikan. Karena sesering para pengikut Paus
membanggakan bahwa mereka mempunyai bahkan partikel terkecil dari kelurusan
karakter, mereka menganggap diri mereka sendiri sebagai pencipta-pencipta:
karena pada waktu Paulus mengatakan bahwa kita dilahirbarukan oleh Roh Allah,
ia menyebut kita to< poi>hma (TO POIEMA), ciptaanNya atau buatanNya, dan menjelaskan bahwa kita
diciptakan untuk perbuatan-perbuatan baik (Ef 2:10). Pada tujuan yang sama
adalah bahasa / kata-kata dari Mazmur, (Maz 100:3), Ia
membuat kita, bukan kita membuat diri kita sendiri. Karena di sini
Ia tidak sedang membicarakan tentang penciptaan pertama itu dengan mana kita
menjadi manusia, tetapi tentang kasih karunia khusus itu dengan mana kita
dilahirkan kembali oleh Roh Allah. Karena itu, jika kelahiran baru adalah suatu penciptaan dari manusia,
siapapun merebut bagi dirinya sendiri bahkan bagian terkecil dalam persoalan
itu, merampas begitu banyak dari Allah, seakan-akan ia adalah pencipta dirinya
sendiri, yang merupakan sesuatu yang menjijikkan untuk didengar.].
Ef 2:10 - “Karena
kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik,
yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.”.
Maz 100:3 - “Ketahuilah,
bahwa Tuhanlah Allah; Dialah yang menjadikan kita
dan punya Dialah kita, umatNya dan kawanan domba gembalaanNya.”.
2Kor 5:17 - “Jadi
siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan
baru: yang lama sudah berlalu,
sesungguhnya yang baru sudah datang”.
Gal 6:15 - “Sebab bersunat atau tidak bersunat
tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru,
itulah yang ada artinya”.
e) Kelahiran
baru harus mendahului iman.
R. C. Sproul:
“The classic
issue between Augustinian theology and all forms of semi-Pelagianism focuses on
one aspect of the order of salvation (ordo salutis): What is the relationship between
regeneration and faith? Is regeneration a monergistic or synergistic work? Must
a person first exercise faith in order to be born again? Or must rebirth occur
before a person is able to exercise faith? Another way to state the question is
this: Is the grace of regeneration operative or cooperative? Monergistic
regeneration means that regeneration is accomplished by a single actor, God. It
means literally a ‘one-working.’ Synergism, on the other hand, refers to a work
that involves the action of two or more parties. It is a co-working. All forms
of semi-Pelagianism assert some sort of synergism in the work of regeneration.
Usually God’s assisting grace is seen as a necessary ingredient, but it is
dependent on human cooperation for its efficacy. The Reformers taught not only
that regeneration does precede
faith but also that it must
precede faith. Because of the moral bondage of the unregenerate sinner, he
cannot have faith until he is changed internally by the operative, monergistic
work of the Holy Spirit. Faith is regeneration’s fruit, not its cause.
According to semi-Pelagianism regeneration is wrought by God, but only in those
who have first responded in faith to him. Faith is seen not as the fruit of
regeneration, but as an act of the will cooperating with God’s offer of grace.” [= Persoalan
klasik antara theologia Augustinian dan semua bentuk dari Semi-Pelagianisme
terfokus pada satu aspek dari urut-urutan keselamatan (ordo salutis): Apa hubungan kelahiran baru dan iman? Apakah kelahiran baru
itu suatu pekerjaan yang bersifat monergistik atau sinergistik? Haruskah seseorang menjalankan / mempunyai iman
lebih dulu untuk dilahirbarukan? Atau haruskah kelahiran lagi terjadi sebelum
seseorang mampu untuk menjalankan / mempunyai iman? Suatu cara lain untuk
menyatakan pertanyaan adalah ini: Apakah kasih karunia dari kelahiran baru itu
efektif atau bersifat kerja sama? Kelahiran baru
yang bersifat monergistik artinya bahwa kelahiran baru dicapai oleh satu aktor,
Allah. Kata itu secara hurufiah berarti
‘satu yang bekerja’. Sinergisme, di sisi
lain, menunjuk pada suatu pekerjaan yang melibatkan tindakan dari dua atau
lebih pihak. Itu merupakan suatu kerja sama. Semua bentuk dari Semi-Pelagianisme menegaskan
sejenis sinergisme dalam pekerjaan kelahiran baru. Biasanya kasih karunia yang menolong dari Allah dilihat
sebagai unsur yang perlu, tetapi itu tergantung kepada kerja sama manusia untuk
bisa menjadi efektif. Para tokoh Reformasi mengajar
bukan hanya bahwa kelahiran baru memang mendahului iman tetapi juga bahwa
kelahiran baru harus mendahului iman. Karena
perbudakan moral dari orang berdosa yang belum / tidak dilahirbarukan, ia tidak
bisa mempunyai iman sampai ia diubahkan secara batin / dalam oleh pekerjaan
yang efektif dan monergistik dari Roh Kudus. Iman adalah buah, dan bukan penyebab, dari
kelahiran baru. Menurut Semi-Pelagianisme kelahiran baru dilakukan
oleh Allah, tetapi hanya dalam diri mereka yang telah lebih dulu menanggapi
dengan iman kepadaNya. Iman dipandang bukan sebagai buah dari kelahiran baru,
tetapi sebagai suatu tindakan dari kehendak yang bekerja sama dengan tawaran
kasih karunia Allah.] - ‘Willing
to Believe’, hal 23-24.
Catatan: kelihatannya John Murray berpendapat bahwa
regeneration harus terjadi bersamaan dengan iman. Ia beranggapan bahwa
‘regeneration mendahului iman’ hanya merupakan persoalan
logika, tetapi bukan persoalan khronologis. (‘Collected Writings
of John Murray’, vol II, hal 262). Saya tidak
setuju dengan dia. Saya berpendapat bahwa tanpa kelahiran baru seseorang
tak bisa mendengar, mengerti ataupun menghargai injil (1Kor 2:14), apalagi
percaya kepada injil. Jadi kelahiran baru secara
khronologis harus terjadi sebelumnya, lalu baru orang itu bisa
mendengar, mengerti, menghargai Injil, dan lalu imanpun masih harus
dianugerahkan kepadanya (Fil 1:29), yang membuatnya percaya. Bdk. Louis
Berkhof, ‘Systematic Theology’, hal
471.
f) Iman
merupakan pemberian / anugerah Allah.
Ada banyak ayat yang menunjukkan bahwa ‘iman’ (bukan ‘kemampuan untuk beriman’!) memang merupakan pemberian / anugerah Allah kepada kita.
Mari kita melihat ayat-ayat tersebut.
1. Ef 2:8-9
- “(8)
Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu
bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, (9) itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan
ada orang yang memegahkan diri”.
Catatan: kata ‘itu’ (Yunani: TOUTO) sebetulnya hanya muncul dalam ay 8;
yang dalam ay 9 sebetulnya tidak ada.
Tetapi ada banyak pro dan kontra tentang apakah kata ‘itu’ menunjuk pada ‘keselamatan’, atau kepada
‘iman’.
Adam Clarke
(tentang Ef 2:8): “But whether are we to understand, faith
or salvation as being the gift of God? This question is answered by the Greek
text: tee gar chariti este sesoosmenoi
dia tees pisteoos; kai touto ouk ex humoon; Theou to dooron, ouk ex ergoon;
hina mee tis kaucheeseetai. ‘By this grace ye are saved through faith;
and THIS (touto, this
salvation) not of you; it is the gift of God, not of works: so that no one can
boast.’ ‘The relative touto,
this, which is in the neuter gender, cannot stand for pistis, faith, which is the feminine; but it has the
whole sentence that goes before for its antecedent.’” (= Tetapi apakah kita harus mengerti,
iman atau keselamatan sebagai pemberian / karunia dari Allah? Pertanyaan ini
dijawab oleh text bahasa Yunaninya: tee
gar chariti este sesoosmenoi dia tees pisteoos; kai touto ouk ex humoon; Theou
to dooron, ouk ex ergoon; hina mee tis kaucheeseetai. ‘Oleh kasih
karunia ini kamu diselamatkan melalui iman; dan INI (TOUTO, keselamatan ini)
bukan dari kamu; itu adalah karunia / pemberian Allah, bukan dari pekerjaan /
perbuatan baik: sehingga tak seorangpun bisa bermegah’. ‘Kata TOUTO, ini, yang ada dalam jenis
kelamin netral,
tidak bisa berarti / menunjuk pada PISTIS, ‘iman’, yang adalah feminin /
perempuan;
tetapi itu mempunyai seluruh
kalimat yang ada sebelumnya sebagai penggantinya’.).
Catatan: dalam terjemahan LAI kata ‘ini’ yang
dibicarakan oleh Adam Clarke diterjemahkan ‘itu’.
Sampai sini kata-kata Adam Clarke masih
masuk akal, tetapi ia lalu melanjutkan kata-katanya sebagai berikut:
Adam Clarke
(tentang Ef 2:8-9): “But it may be asked: Is not faith
the gift of God? Yes, as to the grace by which it is produced; but the grace or
power to believe, and the act of believing, are two different things.
Without the grace or power to believe no man ever did or can believe; but with
that power the act of faith is a man’s own. God never believes for any man, no
more than he repents for him; the penitent, through this grace enabling him,
believes for himself: nor does he believe necessarily, or impulsively when he
has that power; the power to believe may be present long before it is
exercised, else, why the solemn warnings with which we meet everywhere in the
word of God, and threatenings against those who do not believe? Is not this a
proof that such persons have the power but do not use it? They believe not, and
therefore are not established. This, therefore, is the true state of the case: God
gives the power, man uses the power thus given, and brings glory to God: without
the power no one can believe; with it, any one may.” [= Tetapi bisa dipertanyakan: Bukankah
iman adalah karunia / pemberian
dari Allah? Ya, berkenaan dengan kasih
karunia dengan mana itu (iman itu) dihasilkan; tetapi kasih karunia atau kuasa
untuk percaya,
dan tindakan
percaya itu sendiri,
adalah dua hal yang berbeda. Tanpa
kasih karunia atau kuasa untuk percaya tak seorangpun pernah percaya atau bisa
percaya; tetapi dengan kuasa itu tindakan iman adalah dari manusia itu sendiri
/ milik manusia.
Allah tidak pernah percaya untuk manusia manapun, sama seperti Ia tidak
bertobat untuknya; orang yang bertobat / menyesal, melalui kasih karunia yang
memampukannya ini, percaya untuk dirinya sendiri: ia tidak harus percaya, atau
percaya secara terpaksa pada waktu ia mempunyai kuasa itu; kuasa untuk percaya
bisa ada jauh sebelum itu digunakan, kalau tidak, mengapa ada peringatan-peringatan yang khidmat yang
kita temui dimana-mana dalam firman Allah, dan ancaman-ancaman terhadap mereka
yang tidak percaya? Bukankah ini adalah suatu bukti bahwa orang-orang seperti
itu mempunyai kuasa tetapi tidak menggunakannya? Mereka tidak percaya, dan karena itu
tidak ditegakkan. Karena
itu, ini adalah keadaan yang sebenarnya dari kasusnya: Allah memberi kuasa,
manusia menggunakan kuasa yang diberikan itu, dan membawa kemuliaan bagi Allah:
tanpa kuasa itu tak seorangpun bisa percaya; dengan kuasa itu, siapapun bisa
(percaya).].
Barnes’ Notes (tentang Ef
2:8): “‘And that not of yourselves.’ That is, salvation does
not proceed from yourselves. The word rendered ‘that’
- touto - is in the
neuter gender, and the word ‘faith’ - pistis
- is in the feminine. The word ‘that,’ therefore, does not refer particularly
to faith, as being the gift of God, but to ‘the salvation by grace’ of which he
had been speaking. This is the interpretation of the passage which is the most
obvious, and which is now generally conceded to be the true one; see
Bloomfield. Many critics, however, as Doddridge, Beza, Piscator, and
Chrysostom, maintain that the word ‘that’ touto
refers to ‘faith’ pistis;
and Doddridge maintains that such a use is common in the New Testament.
As a matter of GRAMMAR this opinion is certainly doubtful, if not untenable;
but as a matter of THEOLOGY it is a question of very little importance.” [= ‘Dan itu bukan dari dirimu sendiri’. Artinya,
keselamatan tidak keluar / dihasilkan dari dirimu sendiri. Kata yang diterjemahkan ‘itu’ - TOUTO - ada
dalam jenis kelamin netral, dan kata ‘iman’ - PISTIS - ada dalam jenis kelamin
feminin / perempuan. Karena itu, kata
‘itu’ tidak menunjuk secara khusus kepada ‘iman’, sebagai pemberian / karunia
dari Allah, tetapi kepada ‘keselamatan oleh kasih karunia’ tentang mana ia
telah berbicara. Ini adalah penafsiran dari text yang adalah paling
jelas, dan yang sekarang pada umumnya diakui sebagai penafsiran yang benar;
lihat Bloomfield. Tetapi banyak pengkritik, seperti Doddridge, Beza, Piscator,
dan Chrysostom, mempertahankan bahwa kata ‘itu’ (TOUTO) menunjuk kepada ‘iman’
(PISTIS); dan Doddridge mempertahankan bahwa penggunaan seperti itu adalah umum
dalam Perjanjian Baru. Sebagai suatu persoalan gramatika pandangan ini pastilah
meragukan, jika bukannya tidak bisa dipertahankan; tetapi sebagai persoalan
theologia itu adalah suatu pertanyaan yang tidak penting.].
Sampai titik ini, Albert Barnes sama dengan Adam
Clarke. Tetapi lanjutan kata-kata Barnes sangat berbeda dengan lanjutan dari
kata-kata Clarke.
Barnes’ Notes (tentang Ef
2:8): “Whether this passage proves it or not, it is
certainly true that faith is the gift of God. It exists in the mind only when
the Holy Spirit produces it there, and is, in common with every other Christian
excellence, to be traced to his agency on the heart. This opinion, however,
does not militate at all with the doctrine that man himself ‘believes.’ It is
not God that ‘believes’ for him, for that is impossible. It is his own mind
that actually believes, or that exercises faith; ...
In the same manner ‘repentance’ is to be traced to God. It is one of the
fruits of the operation of the Holy Spirit on the soul. But the Holy Spirit
does not ‘repent’ for us. It is our ‘own mind’ that repents; our own heart that
feels; our own eyes that weep - and without this there can be no true
repentance. No one can repent for another; and God neither can nor ought to
repent for us. He has done no wrong, and if repentance is ever exercised,
therefore, it must be exercised by our own minds. So of faith. God cannot
believe for us. ‘We’ must believe, or ‘we’ shall be damned. Still this does not
conflict at all with the opinion, that if we exercise faith, the inclination to
do it is to be traced to the agency of God on the heart.” (= Apakah text ini
membuktikannya atau tidak, adalah pasti benar bahwa iman adalah pemberian /
karunia dari Allah. Itu / iman itu ada dalam pikiran hanya pada
waktu Roh Kudus menghasilkannya di sana, dan, sama seperti setiap keunggulan
Kristen yang lain, harus ditelusuri jejaknya kepada tindakan / kegiatanNya pada
hati. Pandangan ini, bagaimanapun, sama sekali
tidak melawan doktrin bahwa manusia itu sendiri yang percaya. Bukan Allah yang
percaya bagi dia, karena itu adalah mustahil. Adalah pikirannya sendiri yang
sungguh-sungguh percaya, atau yang menjalankan iman; ... Dengan cara
yang sama ‘pertobatan’ harus ditelusuri jejaknya kepada Allah. Itu adalah salah
satu buah dari pekerjaan dari Roh Kudus pada jiwa. Tetapi Roh Kudus tidak
bertobat bagi kita. Adalah pikiran kita sendiri yang bertobat; hati kita
sendiri yang merasa; mata kita sendiri yang menangis - dan tanpa ini di sana
tidak bisa ada pertobatan yang sejati / benar. Tak seorangpun bisa bertobat
bagi orang lain; dan Allah juga tidak bisa atau tidak harus bertobat bagi kita.
Ia tidak melakukan kesalahan, dan karena itu jika pertobatan pernah dijalankan,
itu harus dijalankan oleh pikiran kita sendiri. Begitu
juga tentang iman. Allah tidak bisa percaya bagi kita. ‘Kita’ harus percaya,
atau ‘kita’ akan dihukum. Ini tetap sama sekali
tidak bertentangan dengan pandangan, bahwa jika kita menjalankan iman,
kecondongan untuk melakukannya harus ditelusuri jejaknya pada tindakan /
kegiatan Allah pada hati.).
A. T. Robertson (tentang Ef 2:8): “‘And
that’ kai touto. Neuter, not
feminine tautee, and so refers
not to pistis (feminine) or to charis (feminine also), but to the
act of being saved by grace conditioned on faith on our part.” [= ‘Dan itu’ KAI TOUTO. Netral, bukan feminin / perempuan TAUTEE, dan
dengan demikian tidak menunjuk pada PISTIS (feminin / perempuan) atau pada
KHARIS (juga feminin / perempuan), tetapi pada tindakan diselamatkan oleh kasih
karunia yang disyaratkan pada iman pada pihak kita.].
Ef 2:8 - “Sebab karena kasih karunia (KHARIS - feminine)
kamu diselamatkan oleh iman (PISTIS - feminine) - ; itu
(TOUTO - netral) bukan hasil
usahamu, tetapi pemberian Allah,”.
Lenski (tentang Ef 2:8): “The neuter τοῦτο does not refer
to πίστις or to χάρις, both of which
are feminine, but to the divine act of saving us” (= Kata TOUTO
yang berjenis kelamin netral tidak menunjuk pada PISTIS atau pada KHARIS, yang
keduanya ada dalam jenis kelamin feminin / perempuan, tetapi pada tindakan
ilahi menyelamatkan kita).
William Hendriksen (tentang Ef 2:8-9): “Three
explanations deserve consideration: (1) That
offered by A. T. Robertson. Commenting on this passage in his Word Pictures in the New Testament,
Vol. IV, p. 525, he states, ‘Grace is God’s part, faith ours.’ He adds that
since in the original the demonstrative ‘this’ (and ‘this’ not of yourselves) is neuter and does not correspond with
the gender of the word ‘faith,’ which is feminine, it does not refer to the
latter ‘but to the act of being saved by grace conditioned on faith on our
part.’ Even more clearly in Gram.N.T., p. 704, he states categorically, ‘In
Eph. 2:8 … there is no reference to διὰ πίστεως (through faith) in τοῦτο (this), but
rather to the idea of salvation in the clause before.’ Without any hesitancy I
answer, Robertson, to whom the entire world of New Testament scholarship is
heavily indebted, does not express himself felicitously in this instance. This is true first because in a context in which the apostle
places such tremendous stress on the fact that from start to finish man owes
his salvation to God, to him alone, it would have been very strange, indeed,
for him to say, ‘Grace is God’s part, faith ours.’ True though it be
that both the responsibility of believing and also its activity are ours, for
God does not believe for us, nevertheless, in the
present context (verses 5–10) one rather expects emphasis on the fact that both
in its initiation and in its continuation faith is entirely dependent on God,
and so is our complete salvation. Also, Robertson, a grammarian famous
in his field, knew that in the original the demonstrative (this), though neuter, by no means
always corresponds in gender with its antecedent. That he knew this is shown by
the fact that on the indicated page of his Grammar (p. 704) he points out that ‘in general’ the demonstrative ‘agrees
with its substantive in gender and number.’ When he says ‘in general,’ he must
mean, ‘not always but most of
the time.’ Hence, he should have considered more
seriously the possibility that, in view of the context, the exception to the
rule, an exception by no means rare, applies here. He should have made
allowance for it. Finally, he should have justified the departure from the
rule that unless there is a compelling reason to do otherwise the antecedent
should be looked for in the immediate vicinity of the pronoun or adjective that
refers to it. (2) That presented,
among others, by F. W. Grosheide. As he sees it, the words ‘and this not
of yourselves’ mean ‘and this being
saved by grace through faith is not of yourselves’ but is the gift of
God. Since, according to this theory - also endorsed, it would seem, by John
Calvin in his Commentary - faith is
included in the gift, none of the objections against theory (1) apply
with respect to theory (2). Does this mean then that (2) is entirely
satisfactory? Not necessarily. This brings us to (3) That defended by A. Kuyper, Sr. in his book
Het Werk van den Heiligen Geest (Kampen, 1927), pp. 506–514. Dr. Kuyper
is, however, not this theory’s sole defender, but his defence is, perhaps, the
most detailed and vigorous. The theory amounts, in brief, to the following:
Paul’s words may be paraphrased thus, “I had the right to speak about ‘the
surpassing riches of his grace’ for
it is, indeed, by grace that you are saved, through faith; and lest you should
now begin to say, ‘But then we deserve credit, at least, for believing,’ I will immediately add
that even this faith (or: even this exercise of faith) is not of yourselves
but is God’s gift.” With
variations as to detail this explanation was the one favored by much of the
patristic tradition. Supporting it were also Beza, Zanchius, Erasmus, Huigh de
Groot (Hugo Grotius), Bengel, Michaelis, etc. It is shared, too, by Simpson (op. cit., p. 55) and by Van Leeuwen
and Greijdanus in their commentaries. H. C. G. Moule
(Ephesian Studies, New York,
1900, pp. 77, 78) endorses it, with the qualification, ‘We
must explain τοῦτο (this)
to refer not to the feminine noun πίστις (faith)
precisely, but to the fact of our exercising faith.’ Moreover, it is
perhaps no exaggeration to say that the explanation offered is also shared by
the average man who reads 2:8 in his A.V. or A.R.V. Salmond, after presenting
several grounds in its favor, particularly also this that ‘the formula καὶ
τοῦτο
might rather favor it, as it often adds to the idea to which it is attached,’
finally shies away from it because ‘salvation
is the main idea in the preceding statement,’ which fact, of course, the
advocates of (3) would not deny but do, indeed, vigorously affirm, but which is
not a valid argument against the idea that faith, as well as everything else in
salvation, is God’s gift. It is not a valid argument against (3), therefore. I
have become convinced that theory (3) is the most logical explanation of the
passage in question. Probably the best argument in its favor is this one: If
Paul meant to say, ‘For by grace you have been saved through faith, and this
being saved is not of yourselves,’ he would have been guilty of needless
repetition - for what else is grace
but that which proceeds from God and not from ourselves? - a repetition
rendered even more prolix when he now (supposedly) adds, ‘it, that is,
salvation, is the gift of God,’ followed by a fourth and fifth repetition,
namely, ‘not of works, for we are his handiwork.’ No wonder that Dr. A. Kuyper
states, “If the text read, ‘For by grace you have been saved, not of
yourselves, it is the work of God,’ it would make some sense. But first to say,
‘By grace you have been saved,’ and then, as if it were something new, to add, ‘and this having been saved is not of
yourselves,’ this does not run smoothly but jerks and jolts.… And while with
that interpretation everything proceeds by fits and starts and becomes lame and
redundant, all is excellent and meaningful when you follow the ancient
interpreters of Jesus’ church.” This, it would seem to me also, is the
refutation of theory (1) and, to a certain extent, of theory (2). Basically,
however, theories (2) and (3) both stress the same truth, namely, that the
credit for the entire process of salvation must be given to God, so that man is
deprived of every reason for boasting, which is exactly what Paul says in the
words which now follow, namely, 9, 10.
not of works, lest anyone should boast.” (= ).
Catatan:
·
Dalam buku dari
Abraham Kuyper, ‘The Work of the Holy
Spirit’, ini dibahas dalam hal 407-dan seterusnya.
·
Saya tidak
menterjemahkan kutipan kata-kata William Hendriksen tetapi saya memberikan
ringkasan dan analisa saya di bawah ini.
William Hendriksen memberikan beberapa bantahan
terhadap pandangan yang mengatakan bahwa kata ‘itu’ (TOUTO) tidak menunjuk kepada ‘iman’
tetapi pada ‘keselamatan melalui iman’ atau pada
‘keselamatan oleh kasih karunia melalui iman’.
Argumentasi-argumentasi yang diberikan oleh William Hendriksen adalah sebagai
berikut:
a. Kontext
dari Ef 2:8 (mulai ay 5) menekankan bahwa iman dari permulaannya dan juga
kelanjutannya tergantung kepada Allah dan karena itu seluruh keselamatan juga
demikian.
Tanggapan saya:
terus terang saya tak bisa melihat bahwa kontext menekankan seperti yang
William Hendriksen katakan. Baca Ef 2 itu untuk memastikan hal itu!
b. William
Hendriksen mengatakan bahwa A. T. Robertson dalam buku gramatikanya mengatakan
bahwa kata penunjuk (‘itu’ / TOUTO) biasanya
sesuai dengan kata yang ditunjuknya dalam jumlah
(tunggal / jamak) dan jenis kelamin. Kata ‘biasanya’
menunjukkan bahwa ada perkecualian. Dan Ef 2:8 harus dianggap sebagai
perkecualian. William Hendriksen mengatakan bahwa A.
T. Robertson harus membenarkan penyimpangan dari hukum / peraturan gramatika
itu kecuali di sana ada alasan yang memaksa pemberlakuan hukum / peraturan
gramatika itu.
Tanggapan saya:
Kata-kata bagian akhir ini saya anggap sangat tidak masuk akal. Yang benar
adalah sebaliknya. Kalau dalam gramatika ada suatu hukum / peraturan, maka kita
harus menuruti hukum / peraturan itu, kecuali kita mempunyai alasan yang kuat untuk
menyimpang dari hukum itu (membuat perkecualian).
c. William
Hendriksen memberikan daftar banyak orang / tokoh-tokoh yang mempercayai
penafsiran seperti yang ia percayai.
Tanggapan saya:
banyak dan nama besar tidak berarti benar. Lagi pula, yang mempercayai
pandangan sebaliknya lebih banyak lagi, dan juga tokoh-tokoh bernama besar
termasuk Calvin sendiri.
d. William
Hendriksen memberikan pandangan dari Abraham Kuyper dan H. G. C. Moule yang
mengatakan bahwa kata ‘itu’ (TOUTO) tidak menunjuk pada ‘iman’ itu
sendiri tetapi pada ‘tindakan kita menjalankan iman’.
Tanggapan saya:
ini memungkinkan.
e. William
Hendriksen mengatakan bahwa kalau Paulus memaksudkan ‘Karena
oleh kasih karunia kamu telah diselamatkan melalui iman, dan penyelamatan ini
bukan dari dirimu sendiri’, maka Paulus melakukan pengulangan yang tidak
perlu.
Tanggapan saya:
Seluruh text ini (Ef 2:8-9) penuh dengan pengulangan, yang tujuannya adalah melakukan penekanan / membuang jauh-jauh
jasa kita dalam urusan keselamatan. Apakah kata-kata ‘itu bukan hasil usahamu’ (ay 8) dan ‘bukan
hasil pekerjaanmu’ (ay 9), bukan
merupakan pengulangan?
Ef 2:8-9 - “(8)
Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah,
(9) itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang
memegahkan diri.”.
Kesimpulan / pandangan saya tentang Ef 2:8: sekalipun masih
memungkinkan untuk menggunakan Ef 2:8 sebagai dasar untuk mengatakan bahwa
iman adalah anugerah / pemberian Allah, tetapi
mengingat perdebatan yang begitu hebat dalam persoalan itu, dan juga kuatnya
argumentasi dari pihak lawan, maka saya berpendapat lebih baik kita tidak menggunakan ayat ini dalam menekankan bahwa iman adalah
anugerah / pemberian Allah. Ada
ayat-ayat lain yang jauh lebih kuat untuk menekankan hal itu, dan tanpa ada
kemungkinan untuk diperdebatkan dalam artinya.
2. Fil 1:29
- “Sebab
kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya
kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia.”.
Bandingkan dengan terjemahan-terjemahan Kitab Suci
bahasa Inggris di bawah ini.
KJV: ‘For unto
you it is given in the behalf of Christ,
not only to believe on him, but also to suffer for
his sake;’ (= Karena kepadamu diberikan demi kepentingan Kristus, bukan hanya untuk
percaya kepadaNya, tetapi juga untuk menderita demi
kepentinganNya;).
RSV: ‘For it has
been granted to you that for the sake of Christ
you should not only believe in him but also suffer for
his sake,’ (= Karena telah diberikan kepadamu bahwa untuk kepentingan Kristus kamu bukan hanya harus
percaya kepadaNya tetapi juga menderita demi
kepentinganNya,).
NIV: ‘For it has
been granted to you on behalf of Christ
not only to believe on him, but also to suffer for
him,’ (= Karena telah diberikan kepadamu demi kepentingan Kristus bukan hanya untuk
percaya kepadaNya, tetapi juga untuk menderita untuk
Dia).
NASB: ‘For to
you it has been granted for Christ’s sake,
not only to believe in Him, but also to suffer for
His sake,’ (= Karena kepadamu telah diberikan demi kepentingan Kristus, bukan hanya untuk
percaya kepadaNya, tetapi juga untuk menderita demi
kepentinganNya,).
Pertama-tama:
karena adanya kata-kata ‘demi kepentingan Kristus’ atau ‘demi Kristus’ dalam
Kitab Suci - Kitab Suci bahasa Inggris, maka saya merasa perlu menjelaskan arti
istilah itu di sini.
Barnes’ Notes (tentang Fil
1:29): “‘In the behalf of Christ.’ In
the cause of Christ, or with a view to honor Christ. Or, these things
are brought on you in consequence of your being Christians.” (= ‘Demi kepentingan Kristus’. Dalam perkara Kristus, atau dengan suatu pandangan untuk
menghormati Kristus. Atau, hal-hal ini dibawa kepadamu sebagai
konsekwensi dari menjadinya kamu sebagai orang-orang Kristen.).
Catatan: kata-kata bagian akhir (yang saya garis-bawahi)
rasanya tak masuk akal. Kalau ‘penderitaan’, memang bisa merupakan konsekwensi
dari menjadi Kristennya seseorang. Tetapi bagaimana mungkin ‘percaya kepada
Kristus’ merupakan konsekwensi dari menjadi Kristennya seseorang?
Sekarang kita melihat bahwa ayat ini mengatakan bahwa
baik percaya kepada Kristus (iman) maupun penderitaan bagi Dia, merupakan
karunia / pemberian dari Allah kepada kita (orang-orang percaya). Saya tak
membahas tentang penderitaan pada saat ini. Jadi saya hanya menekankan bahwa
ayat ini menyatakan bahwa iman adalah pemberian Allah.
Fil 1:29 - “Sebab
kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga
untuk menderita untuk Dia,”.
Kedua:
sekarang mari kita perhatikan kata ‘dikaruniakan’. Apa artinya?
Ralph P. Martin (Tyndale) tentang Fil 1:29: “‘It has been granted,’ echaristhē, is derived from charis, ‘grace’,
‘favour’. ... So the Philippians were called, not only to the privilege of
believing in him - the ability to believe and the act of faith being itself a
gift of God - but equally to endure privation and pain for him, as did the apostle himself (2 Cor. 1:5; 12:10).” [= ‘Itu telah diberikan / dianugerahkan / dikaruniakan’,
EKHARISTHE, diturunkan dari KHARIS, ‘kasih karunia’, ‘kebaikan’. ...
Jadi / maka, orang-orang Filipi dipanggil, bukan hanya pada hak untuk percaya
kepadaNya - kemampuan untuk percaya dan tindakan
iman itu sendiri merupakan suatu karunia / pemberian dari Allah -
tetapi secara sama untuk menanggung / menahan kemiskinan dan rasa sakit untuk
Dia, seperti yang dilakukan sang rasul sendiri (2Kor 1:5; 12:10)] - Libronix.
Catatan: kata Yunani EKHARISTHE berasal dari kata kerja cari,zomai
(KHARIZOMAI) yang salah satu artinya adalah ‘to
give freely’ (= memberi dengan cuma-cuma) - Bible Works 7.
Pulpit Commentary (tentang Fil 1:29): “On you it was conferred (e)xari/sqh) as a gracious
gift, a free spontaneous act of Divine bounty. Faith
in Christ is the gift of God, so is ‘the fellowship of his sufferings.’” [= Kepadamu
diberikan / dianugerahkan (e)xari/sqh /
EKHARISTHE) sebagai suatu karunia yang
murah hati / bersifat kasih karunia, suatu tindakan spontan yang bebas dari
hadiah / karunia Ilahi. Iman kepada Kristus adalah
pemberian / karunia dari Allah, demikian juga ‘persekutuan dalam
penderitaanNya’.].
Jadi, ayat ini secara sangat jelas dan tak
terhindarkan menunjukkan bahwa ‘iman’ (kepercayaan kepada Kristus) merupakan
karunia / pemberian cuma-cuma dari Allah.
Perhatikan bahwa Fil 1:29 ini tidak mengatakan bahwa yang dikaruniakan
adalah ‘kemampuan
untuk beriman’, tetapi ‘iman’ itu sendiri! Kalau memang demikian,
apakah kita, dengan menggunakan kehendak bebas kita, yang memilih untuk percaya
atau tidak percaya kepada Kristus? Apakah ajaran ini, yang merupakan ajaran
Arminian, sesuai dengan Fil 1:29 ini? Kalau
kita percaya karena kita menghendaki
untuk percaya, apakah iman itu bisa disebut sebagai pemberian Allah?
Kalau yang
dikaruniakan hanyalah ‘kemampuan untuk beriman’ maka memang orang yang dikaruniai itu bisa saja tetap tidak mau beriman.
Tetapi kalau yang dikaruniakan itu adalah ‘iman’ itu sendiri, bagaimana mungkin orang yang dikaruniai itu
bisa tidak beriman?
Dan ini secara pasti dan jelas mengarah pada
doktrin Irresistible Grace (= Kasih
karunia yang tidak bisa ditolak)!
Sekarang mari kita melihat komentar dari beberapa
penafsir, baik yang berhaluan Arminian, maupun dari Calvin sendiri dan
penafsir-penafsir yang berhaluan Calvinist.
Adam Clarke (tentang Fil
1:29): “We learn from
this that it is as great a privilege to
suffer for Christ as to believe on him; and the former in certain cases (as far
as the latter in all cases) becomes the means of salvation to them who are thus
exercised.” [= Kita belajar
dari ini bahwa adalah suatu hak yang sama
besarnya untuk menderita bagi Kristus seperti untuk percaya kepadaNya; dan yang
lebih dulu dalam kasus-kasus tertentu (sama jauhnya seperti yang belakangan
dalam semua kasus) menjadi cara / jalan keselamatan bagi mereka yang dilatih
seperti itu.].
Komentar saya:
Adam Clarke sama sekali tidak membahas (atau memang sengaja menghindarinya?)
persoalan dimana ayat ini mengatakan ‘iman sebagai
karunia / pemberian Allah’! Ia bahkan mengatakan itu hanya sebagai suatu ‘hak’ yang besar,
tetapi selanjutnya tidak menjelaskan apa-apa tentang hal itu!
Lenski mengakui bahwa iman adalah pemberian Allah
tetapi tidak memberi penjelasan apapun bagaimana hal itu bisa sesuai dengan
pandangan Arminiannya.
Calvin (tentang Fil 1:29): “Here Paul clearly testifies, that
faith, as well as constancy in enduring persecutions, is an unmerited gift of
God. ... This passage is also at variance with the doctrine of the schoolmen,
in maintaining that gifts of grace latterly conferred are rewards of our merit,
on the ground of our having made a right use of those which had been previously
bestowed.”
(= Di sini Paulus dengan jelas menyaksikan, bahwa iman, maupun kekonstanan dalam menahan penganiayaan, adalah
suatu karunia Allah yang tidak layak
kita terima. ... Text ini juga bertentangan dengan ajaran dari guru-guru
theologia abad pertengahan, dalam mempertahankan bahwa karunia-karunia dari
kasih karunia yang diberikan belakangan adalah pahala / upah dari jasa kita,
berdasarkan penggunaan kita yang benar terhadap hal-hal yang telah diberikan
lebih dulu.).
Catatan: kata-kata Calvin yang saya beri garis bawah ganda
jelas merupakan serangannya terhadap ajaran Arminian / Semi Pelagianisme.
William Hendriksen (tentang Fil 1:29): “Says Paul, ‘For to you it has been granted in behalf of Christ not only to believe in
him but also to suffer in his behalf.’ It has been granted to you, says Paul; that is,
as a privilege, a gift of God’s
grace. ... to believe in him, that is, to rest
on Christ, surrendering oneself to his loving heart, depending on his
accomplished mediatorial work. The form of the
expression as used in the original shows that here genuine, personal trust in
the Anointed One is meant. ... Whether or not one regards Eph.
2:8 as proof for the proposition that such faith is God’s gift, the conclusion
is at any rate inescapable that here in Phil. 1:29 faith - not only its
inception but also its continued activity - is so regarded. It is at one
and the same time God’s gift and man’s responsibility.” [= Kata Paulus, ‘Karena kepadamu telah dikaruniakan
untuk kepentingan Kristus / demi Kristus bukan hanya untuk percaya kepadaNya
tetapi juga untuk menderita demi kepentinganNya / demi Dia’. Itu telah dikaruniakan kepadamu, kata Paulus;
yaitu, sebagai suatu hak, suatu karunia dari kasih
karunia Allah. ... percaya kepada Dia,
yaitu bersandar kepada Kristus, penyerahan diri sendiri kepada hatiNya yang
mengasihi, bergantung pada pekerjaan pengantaraanNya yang sudah selesai. Bentuk dari ungkapan seperti yang digunakan dalam bahasa aslinya
menunjukkan bahwa di sini yang dimaksudkan adalah kepercayaan / tindakan
mempercayakan (trust) yang asli /
sungguh-sungguh dan bersifat pribadi kepada Yang Diurapi. ... Apakah seseorang menganggap Ef 2:8
sebagai bukti untuk persoalan bahwa iman seperti itu adalah karunia / pemberian
Allah atau tidak, bagaimanapun juga kesimpulannya yang tak terhindarkan adalah
bahwa di sini dalam Fil 1:29, iman - bukan hanya permulaannya, tetapi juga
aktivitas selanjutnya - dianggap seperti itu. Itu adalah pada saat yang sama karunia Allah dan tanggung jawab
manusia.].
Jamieson, Fausset &
Brown (tentang Fil 1:29): “Faith
is the gift of God (Eph 2:8), not worked in the soul by the will of man, but by
the Holy Spirit (John 1:12-13).”
[= Iman adalah pemberian / karunia dari Allah (Ef
2:8), tidak
dikerjakan dalam jiwa oleh kehendak dari manusia, tetapi oleh Roh Kudus
(Yoh 1:12-13)].
Yoh 1:12-13 - “(12)
Tetapi semua orang yang menerimaNya diberiNya kuasa supaya menjadi anak-anak
Allah, yaitu mereka yang percaya dalam namaNya;
(13) orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani
oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah.”.
Catatan:
·
Text ini (Yoh
1:12-13) akan saya bahas nanti (point 6. di bawah).
·
Jamieson, Fausset
& Brown bukan Calvinist, tetapi di sini pandangan mereka sama dengan
pandangan Calvinisme.
3. Kis 11:18
- “Ketika mereka mendengar hal itu, mereka
menjadi tenang, lalu memuliakan Allah, katanya: ‘Jadi kepada bangsa-bangsa lain
juga Allah mengaruniakan pertobatan yang memimpin kepada hidup.’”.
Perhatikan bagian yang saya beri garis bawah ganda.
KJV/RSV/NIV/Lit: ‘repentance unto life’ (= pertobatan kepada / menuju hidup).
Kata ‘repentance’ (= pertobatan) di sini
pasti tidak menunjuk pada pertobatan dari dosa, karena:
a. Kalau dilihat dari kontextnya, ini menunjuk
pada percayanya Kornelius kepada Kristus dalam Kis 10. Jadi, kata itu harus
diartikan menunjuk kepada iman.
b. Kalau
kata itu diartikan sebagai pertobatan dari dosa, maka kata-kata selanjutnya
yaitu ‘yang memimpin kepada hidup’
akan menjadikan seluruh ayat mengajarkan doktrin sesat ‘keselamatan karena
perbuatan baik’.
Adam Clarke (tentang Kis
11:18): “‘They held
their peace.’ Their prejudices were confounded; they considered the subject,
and saw that it was from God; then they glorified him, because they saw
that he had granted unto the Gentiles repentance unto life. As the word metanoia, which we translate
‘repentance,’ signifies literally ‘a change of mind,’ it may be here referred
to a change of religious views, etc. And as repentance signifies a change of
life and conduct, from evil to good, so the word metanoian may be used here to signify a change from a false
religion to the true one; from idolatry, to the worship of the true God.
Rosenmuller thinks that, in several cases, where it is spoken of the Jews, it
signifies their change from a contempt of the Messiah to reverence for him, and
the consequent embracing of the Christian religion.” (= ‘Mereka menjadi tenang’. Prasangka mereka
dikacaukan; mereka mempertimbangkan / merenungkan pokok itu, dan melihat bahwa itu adalah dari Allah; lalu mereka memuliakan Dia,
karena mereka melihat bahwa Ia telah menganugerahkan
kepada orang-orang non Yahudi pertobatan kepada hidup. Karena kata
METANOIA, yang kami terjemahkan ‘pertobatan’, secara hurufiah berarti ‘suatu
perubahan pikiran’, di
sini itu bisa menunjuk pada suatu perubahan tentang pandangan-pandangan agamawi,
dsb. Dan karena pertobatan menunjukkan suatu perubahan dari kehidupan dan
tingkah laku, dari jahat kepada baik, maka kata METANOIAN bisa digunakan di sini untuk menunjukkan
suatu perubahan dari suatu agama palsu / salah kepada agama yang benar; dari
penyembahan berhala kepada penyembahan kepada Allah yang benar.
Rosenmuller berpikir / menganggap bahwa, dalam
beberapa kasus, dimana itu dikatakan tentang orang-orang Yahudi, itu
menunjukkan perubahan mereka dari suatu kejijikan / kebencian terhadap Mesias
menjadi suatu rasa hormat untuk Dia, dan konsekwensinya dalam memeluk /
mempercayai agama Kristen).
Catatan: tentang kata-kata yang
saya beri garis bawah ganda, itu tidak mungkin merupakan kasusnya di sini,
karena dari kontextnya terlihat bahwa ayat ini berbicara tentang Kornelius,
yang memang sudah merupakan pemeluk agama Yahudi (Yudaisme). Jadi ia bukan
seorang penyembah berhala.
Lenski (tentang Kis 11:18): “On μετάνοια see 2:38; it
consists of contrition and faith, the turn of the heart from sin to Christ and
his pardon.” (= Tentang
METANOIA lihat Kis 2:38; itu terdiri dari penyesalan / pertobatan dan iman,
berbaliknya hati dari dosa kepada Kristus dan pengampunanNya.).
Kis 2:38 - “Jawab Petrus kepada
mereka: ‘Bertobatlah (Yunani: METANOESATE) dan
hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus
untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus.”.
Lenski (tentang Kis 2:38): “In μετανοεῖν and μετάνοια we have one of
the great concepts of the Bible. The word originally signified to perceive or
understand afterward (μετά), i. e., too
late; then it advanced to the idea of a later change of mind and thus came to
mean ‘repent.’ But throughout the New Testament the word has been deepened to
mean an inner change of heart that is decisive for the whole personality, one
away from sin and unbelief with their guilt unto Christ, faith, and cleansing
through Christ. When it is used without modifiers as here, ‘to repent’ includes
the entire inner change or contrition and faith (like ἐπιστρέφειν, ‘to turn,’ ‘to
be converted’); but when ‘to believe’ is added, contrition alone is referred to
but as accompanying faith. So ‘repent’ here = turn wholly to Jesus as your
Savior (‘Lord and Christ,’ v. 36) and accept him as such. ... The aorist imperative
is one of authority and demands a decisive act that is to stand once for all. A
present imperative would imply that the repentance is to be renewed daily even
as Luther calls the Christian’s entire life a repentance.” [= Dalam μετανοεῖν (METANOEIN)
dan μετάνοια (METANOIA)
kita / kami mempunyai salah satu konsep agung / besar dari Alkitab. Kata itu
mula-mula berarti ‘mengerti belakangan’ (μετά / META), yaitu,
‘terlambat’; lalu kata itu maju pada ‘gagasan tentang suatu perubahan
belakangan dari pikiran’ dan lalu menjadi berarti ‘bertobat’. Tetapi dalam seluruh Perjanjian Baru kata itu telah
diperdalam sehingga berarti suatu perubahan dalam / batin dari hati yang tegas
/ menentukan untuk seluruh kepribadian, meninggalkan dosa dan ketidak-percayaan
dengan kesalahan mereka kepada Kristus, iman, dan penyucian melalui Kristus.
Pada waktu kata itu digunakan tanpa pemodifikasi seperti di sini, ‘bertobat’
mencakup seluruh perubahan dalam atau penyesalan / pertobatan dan iman (seperti
ἐπιστρέφειν / EPISTREPHEIN, ‘berbalik’, ‘bertobat /
dipertobatkan’); tetapi pada waktu ‘percaya’ ditambahkan, penyesalan /
pertobatan saja yang ditunjuk tetapi sebagai menyertai / mengiringi iman. Jadi, ‘bertobat’ di sini = berbalik sepenuhnya kepada Yesus
sebagai Juruselamatmu (‘Tuhan dan Kristus’, ay 36) dan menerimaNya seperti itu. ... Kata perintah bentuk aorist / lampau adalah kata perintah tentang
otoritas dan menuntut suatu tindakan tegas / menentukan yang bertahan untuk
selamanya. Suatu kata perintah bentuk present akan menunjukkan bahwa pertobatan
itu harus diperbaharui setiap hari seperti yang Luther sebut tentang seluruh
kehidupan Kristen sebagai suatu pertobatan.].
Baik Adam Clarke maupun
Lenski lagi-lagi menyetujui bahwa pertobatan (dalam arti ‘iman’) dikaruniakan
oleh Allah. Tetapi mereka tidak menunjukkan bagaimana hal itu bisa sesuai
dengan pandangan Arminian mereka!
Calvin (tentang Kis 11:18): “This member, to give repentance, may be
expounded two manner of ways; either that God granted to the Gentiles place for
repentance, when as he would have his gospel preached to them; or that he
circumcised their hearts by his Spirit, as Moses saith, (Deuteronomy 30:6,) and
made them fleshy hearts of stony hearts, as saith Ezekiel, (Ezekiel 11:19.) For
it is a work proper to God alone to fashion and to beget men again, that they
may begin to be new creatures; and it agreeth better with this second sense; it
is not so much racked, and it agreeth better with the phrase (phraseology) of
Scripture.”
[= Bagian ini, memberi pertobatan, bisa dijelaskan dengan dua cara; atau bahwa
Allah memberikan kepada orang-orang non Yahudi tempat untuk pertobatan, pada
waktu Ia memerintahkan injilNya diberitakan kepada mereka; atau bahwa Ia menyunat hati mereka oleh RohNya, seperti
dikatakan Musa, (Ul 30:6), dan membuat hati keras mereka menjadi hati dari
daging, seperti dikatakan Yehezkiel (Yeh 11:19). Karena adalah suatu
pekerjaan yang hanya cocok untuk Allah saja untuk membentuk dan melahirkan
manusia lagi, supaya mereka bisa mulai menjadi makhluk-makhluk /
ciptaan-ciptaan baru; dan itu sesuai dengan lebih
baik dengan arti kedua ini; itu tidak begitu menyakiti (?), dan itu
lebih sesuai dengan ungkapan (cara penyusunan / pengungkapan) dari Kitab Suci.].
Catatan: kelihatannya Calvin mencampur-adukkan iman /
pertobatan dengan kelahiran baru, mungkin karena iman tidak mungkin terjadi
kalau tak ada kelahiran baru. Tetapi yang jelas ia mengatakan bahwa Allahlah
yang melakukan hal itu.
Ul 30:6 - “Dan TUHAN, Allahmu, akan menyunat hatimu dan hati keturunanmu,
sehingga engkau mengasihi TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu, supaya engkau hidup.”.
Yeh 11:19 - “Aku akan memberikan mereka hati yang lain dan roh
yang baru di dalam batin mereka; juga Aku
akan menjauhkan dari tubuh mereka hati yang keras dan memberikan mereka hati
yang taat,”.
Yeh 11:19 (KJV): ‘And
I will give them one heart, and I will
put a new spirit within you; and I will take the stony heart out of their flesh, and
will give them an heart of flesh:’ (= Dan Aku akan memberi mereka satu hati, dan Aku akan meletakkan suatu roh yang
baru di dalam kamu; dan Aku akan mengambil / mengeluarkan hati yang keras dari daging
mereka, dan akan memberi mereka suatu hati dari daging).
Jamieson, Fausset &
Brown (tentang Kis 11:18): “To
‘grant’ this is something more than what Grotius makes it, to be willing to
grant pardon upon repentance. The case of Cornelius was so manifestly one of
grace reigning in every stage of his religious history, that we can hardly doubt
that this very thing was meant to be conveyed here; and this is just the grace
that reigns in every real conversion.”
(= ‘Mengaruniakan’ ini adalah sesuatu yang lebih dari pada apa yang Grotius buat
dengannya, mau
untuk mengaruniakan pengampunan atas
pertobatan. Kasus Kornelius adalah kasus
yang dengan begitu jelas tentang kasih karunia yang bertakhta dalam setiap
tahap dari sejarah agamawinya, sehingga kita tidak bisa meragukan
bahwa hal inilah yang dimaksudkan untuk disampaikan di sini; dan inilah persisnya
kasih karunia yang bertakhta dalam setiap pertobatan yang sejati.).
Catatan: pandangan Grotius, yang saya beri garis bawah ganda,
jelas merupakan pandangan tolol yang dipaksakan. Kis 11:18 itu mengatakan bahwa
‘Allah mengaruniakan pertobatan’, tetapi Grotius mengartikan ‘Allah mau mengaruniakan pengampunan kalau orangnya bertobat’,
yang tentu saja merupakan dua hal yang sangat berbeda!
4. Ibr 12:2
- “Marilah kita melakukannya dengan mata
yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam
iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang
dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan
bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.”.
Kata-kata yang saya garis-bawahi itu salah terjemahan.
KJV: ‘Jesus the author and finisher of our faith’ (= Yesus pencipta dan penyelesai dari iman kita).
RSV: ‘Jesus the pioneer and perfecter of our faith’ (= Yesus pelopor dan penyempurna dari iman kita).
NIV: ‘Jesus, the
author and perfecter of our faith’
(= Yesus, pencipta dan penyempurna dari
iman kita).
NASB: ‘Jesus,
the author and perfecter of faith’
(= Yesus, pencipta dan penyempurna dari
iman).
Sesuatu yang perlu diperhatikan adalah bahwa kata
Yunani yang diterjemahkan ‘author’ (=
pencipta) oleh KJV/NIV/NASB adalah ARKHEGON, yang mengandung kata Yunani ARKHE,
yang biasanya diterjemahkan ‘beginning’
(= permulaan / pemulai), tetapi juga bisa diartikan sebagai ‘source’ (= sumber), atau ‘origin’ (= asal usul / asal mula).
Adam Clarke (tentang Ibr
12:2): “‘The author and finisher of our faith.’ Archeegos, translated here author,
signifies, in general, captain or leader, or the first inventor of a thing; see
Heb 2:10. But the reference seems to be here to the brabeus, compare brabeuoo
to judge in the games, one whose business it was to admit the contenders, and
to give the prize to the conqueror. Jesus is here represented as this officer;
every Christian is a contender in this race of life, and for eternal life. The
heavenly course is begun under Jesus; and under him it is completed. He is the
finisher, by awarding the prize to them that are faithful unto death. Thus he
is the author or the judge under whom, and by whose permission and direction,
according to the rules of the heavenly race, they are permitted to enter the
lists, and commence the race, and he is the finisher, teleiootees, the perfecter, by awarding and giving the prize
which consummates the combatants at the end of the race.” (= ‘Pencipta dan penyelesai dari iman kita’.
ARKHEGOS, diterjemahkan di sini ‘pencipta’, secara umum berarti kapten atau
pemimpin, atau penemu pertama dari suatu benda; lihat Ibr 2:10. Tetapi referensi di sini kelihatannya berkenaan dengan
BRABEUS, bandingkan dengan BRABEUO, ‘menghakimi / menilai dalam
pertandingan-pertandingan’, seseorang yang pekerjaannya / tugasnya adalah untuk
menerima orang-orang yang akan bertanding, dan memberi hadiah kepada para
pemenang. Yesus
di sini digambarkan sebagai pejabat ini; setiap orang Kristen adalah
seorang petanding / orang yang bertanding dalam perlombaan kehidupan ini, dan
untuk hidup yang kekal. Jalanan surgawi dimulai di bawah Yesus; dan di bawah Dia itu
diselesaikan. Ia adalah penyelesai, dengan memberi hadiah kepada
mereka yang setia sampai mati. Jadi Dia adalah pencipta atau hakim di bawah siapa, dan oleh
ijin dan pengarahan siapa, sesuai dengan peraturan-peraturan dari perlombaan
surgawi, mereka diijinkan untuk masuk dalam daftar, dan mulai dalam perlombaan,
dan Ia adalah penyelesai, TELEIOTES, penyempurna, dengan memberikan pahala dan
hadiah yang melengkapi para pejuang pada akhir dari perlombaan.).
Ibr 2:10 - “Sebab memang
sesuai dengan keadaan Allah - yang bagiNya dan olehNya segala sesuatu dijadikan
-, yaitu Allah yang membawa banyak orang kepada kemuliaan, juga
menyempurnakan Yesus, yang memimpin mereka kepada keselamatan, dengan
penderitaan.”.
Ini lagi-lagi salah terjemahan.
KJV: ‘to make
the captain of their salvation perfect
through sufferings.’ (= membuat kapten
dari keselamatan mereka sempurna melalui penderitaan.).
RSV: ‘should
make the pioneer of their salvation
perfect through suffering.’ (= membuat pelopor
dari keselamatan mereka sempurna melalui penderitaan.).
NIV: ‘should
make the author of their salvation
perfect through suffering.’ (= membuat pencipta
dari keselamatan mereka sempurna melalui penderitaan.).
NASB: ‘to
perfect the author of their salvation
through sufferings.’ (= menyempurnakan pencipta
dari keselamatan mereka melalui penderitaan).
Catatan: kata yang saya garis-bawahi dalam bahasa Yunani
adalah ARKHEGON.
Saya menganggap Adam Clarke membelokkan arti secara
paksa. Bagaimana kata ARKHEGOS (author / pencipta) tahu-tahu dihubungkan
dengan BRABEUS, sehingga hanya menunjukkan Yesus sebagai petugas yang menerima
para petanding? Betul-betul tafsiran yang konyol!
Lenski: “‘ever looking
away (durative present) to the author and completer of the faith who,’ etc. We
may see many things to dishearten us to continue the running, even to halt us
entirely, but by ever keeping our eyes upon the originator and completer of the
faith our speed will increase rather than lessen, our stamina will grow rather
than fade out. When Moffatt, like Delitzsch, makes ἀρχηγός ‘the pioneer of
personal faith,’ he disagrees with 2:10 and 5:9; with all the Greek exegetes
who regard ἀρχηγός = αἴτιος; with the fact
that Scripture nowhere speaks of Christ as a believer (Delitzsch states that
this is the only place); with the second term τελειωτής which cannot
mean that Christ is the completer of his own faith, an example for us likewise
to complete our faith. ‘The archegos of their salvation’ (2:10) = the ‘αἴτιος, cause of
eternal salvation’ (5:9); in the same sense we now again have ‘the archegos and
completer of the faith,’ i. e., the originator and completer. C.-K. 179 presents
the linguistic evidence to prove that only in certain connections does archegos
mean an originator who himself first partakes of what he originates, and that
this sense does not apply to 2:10 and 12:2. It is, therefore, unconvincing to
quote irrelevant connections. The R. V. margin offers ‘captain,’ a meaning that
might fit Acts 5:31 (‘prince,’ Herzog) but does not fit here. Luther is right: ‘the
beginner and completer of faith’ (A. V. margin: ‘beginner’). Christ starts our
faith and leads it to its consummation. ... As the object of faith Christ is
the cause of faith; ... From start to finish we need the divine Christ as the
One who can fill us with faith, keep us in faith, and finally crown our faith.
The relative clause states what makes Christ the One who causes and completes
the faith of believers: ... This is the Savior, crucified, glorified, who is
the originator and the completer of faith, also of ours. When the writer and
the readers had him brought to them by the gospel they believed, he filled them
with faith; when they shall see him at the right hand of the throne of God, he
shall complete their faith by bestowing upon them the glory hoped for and not
seen for so long (11:1).” [= ‘selalu melihat
/ memandang (bentuk present yang bersifat terus menerus) kepada pencipta dan
penyelesai dari iman yang’, dst. Kita bisa melihat banyak hal yang mengecilkan
hati kita untuk terus berlari, bahkan menghentikan kita sepenuhnya, tetapi
dengan selalu mengarahkan mata kita kepada pemulai dan penyelesai dari iman,
kecepatan kita akan bertambah dan bukannya berkurang, stamina kita akan
bertumbuh dan bukannya menghilang. Pada waktu
Moffatt, seperti Delitzsch, membuat ARKHEGOS ‘pelopor dari iman yang bersifat
pribadi’ ia tidak sesuai dengan 2:10 dan 5:9; dengan semua penafsir / peng-exegesis
bahasa Yunani yang menganggap bahwa ARKHEGOS = AITIOS; dengan fakta bahwa Kitab
Suci tak pernah membicarakan Kristus sebagai seorang percaya (Delitzsch
menyatakan bahwa ini adalah satu-satunya tempat); dengan istilah kedua
TELEIOTES yang tidak bisa berarti bahwa Kristus adalah penyelesai dari imannya
sendiri, suatu teladan bagi kita untuk juga menyelesaikan iman kita.
‘ARKHEGOS dari
keselamatan mereka’ (2:10) = AITIOS, penyebab dari keselamatan kekal’ (5:9);
dalam arti yang sama kita sekarang mendapatkan lagi ‘ARKHEGOS dan penyelesai
dari iman’, artinya pemulai dan penyelesai. C.-K. 179 memberikan bukti yang berhubungan dengan ilmu
bahasa untuk membuktikan bahwa hanya dalam hubungan-hubungan tertentu ARKHEGOS
berarti seorang pemulai yang dirinya sendiri pertama-tama ambil bagian dari apa
yang ia mulai, dan bahwa arti ini tidak bisa diterapkan pada 2:10 dan 12:2.
Karena itu adalah tidak meyakinkan untuk mengutip hubungan-hubungan yang tidak
relevan. Catatan tepi dari R.V. menawarkan ‘kapten’, suatu arti yang bisa cocok
dengan Kis 5:31 (‘pangeran’, Herzog) tetapi tidak cocok di sini. Luther adalah benar:
‘pemulai dan penyelesai dari iman’ (catatan tepi A.V.: ‘pemulai’). Kristus
memulai iman kita dan membimbingnya sampai pada akhirnya. ... Sebagai obyek dari iman,
Kristus (juga) adalah penyebab dari iman; ... Dari awal sampai akhir kita membutuhkan Kristus yang ilahi
sebagai Seseorang yang menyebabkan dan menyelesaikan iman dari orang-orang
percaya: ... Inilah sang
Juruselamat, yang telah disalibkan, dan dipermuliakan, yang adalah pemulai dan penyelesai
dari iman, juga dari iman kita. Pada
waktu penulis dan pembaca telah membawa Dia kepada mereka oleh injil yang
mereka percayai, Ia memenuhi mereka dengan iman; pada waktu mereka akan melihat
Dia di sebelah kanan takhta Allah, Ia akan menyelesaikan iman mereka dengan
memberikan kepada mereka kemuliaan yang mereka harapkan dan tidak lihat untuk
begitu lama (11:1).].
Catatan: C.-K adalah nama suatu kamus.
Ibr 5:9 - “dan sesudah Ia
mencapai kesempurnaanNya, Ia menjadi pokok
keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepadaNya,”.
KJV: ‘the author of eternal salvation’ (= pencipta dari keselamatan kekal).
RSV/NIV/NASB: ‘the
source of eternal salvation’ (= sumber dari keselamatan kekal).
Dalam ayat ini kata yang diterjemahkan ‘pokok’ (dalam
LAI), atau ‘author’ (dalam KJV), atau
‘source’ (dalam RSV/NIV/NASB), bukan
ARKHEGOS tetapi AITIOS, yang oleh Lenski dikatakan artinya sama dengan
ARKHEGOS.
Pada bagian awal kata-kata Lenski benar, tetapi ia
tahu-tahu mengakhirinya dengan kata-kata yang sama sekali salah. Saya kutip
ulang kata-katanya pada bagian akhir itu.
Lenski: “When the writer and the
readers had him brought to them by the gospel they believed, he filled them
with faith; when they shall see him at the right hand of the throne of God, he
shall complete their faith by bestowing upon them the glory hoped for and not
seen for so long (11:1).” [= Pada waktu penulis dan pembaca telah
membawa Dia kepada mereka oleh injil yang mereka
percayai, Ia
memenuhi mereka dengan iman; pada
waktu mereka akan melihat Dia di sebelah kanan takhta Allah, Ia akan menyelesaikan iman mereka dengan memberikan kepada mereka
kemuliaan yang mereka harapkan dan tidak lihat untuk begitu lama (11:1).].
Catatan: perhatikan bagaimana bagian yang saya beri garis
bawah tunggal bertentangan dengan bagian yang saya beri garis bawah ganda.
Kalau mereka sudah percaya kepada injil yang dibawakan
kepada mereka, berarti mereka sudah
beriman, lalu untuk apa Yesus ‘memenuhi mereka dengan iman’?
Dan kalau mereka sudah melihat Dia di sebelah kanan
takhta Allah, itu berarti mereka sudah masuk surga, lalu untuk apa Yesus
menyelesaikan iman mereka? Dan bagaimana itu diartikan sebagai memberikan
kemuliaan kepada mereka?
Barnes’ Notes
(tentang Ibr 12:2): “The
word ‘author’ - archeegon -
(marg. beginner) - means properly the source, or cause of anything; or one who
makes a beginning. ... The phrase ‘the beginner of faith,’ or the leader on of
faith, would express the idea. He is at the head of all those who have
furnished an example of confidence in God, for he was himself the most
illustrious instance of it. The expression, then, does not mean properly that
he produces faith in us, or that we believe because he causes us to believe - whatever
may be the truth about that - but that he stands at the head as the most
eminent example that can be referred to on the subject of faith. ... The word
‘finisher’ - teleiooteen -
corresponds in meaning with the word ‘author.’ It means that he is the
completer as well as the beginner; the last as well as the first.” [= Kata ‘pencipta’ - ARKHEGON - (catatan tepi - pemulai) - secara
tepat berarti sumber, atau penyebab dari apapun; atau seseorang yang membuat
suatu pemulaian. ...
Ungkapan ‘pemulai dari iman’, atau pemimpin dari iman, menyatakan gagasan /
artinya. Ia adalah kepala dari semua mereka, yang telah memberikan suatu
teladan tentang keyakinan kepada Allah, karena Ia sendiri adalah contoh yang
paling menonjol darinya. Maka, ungkapan itu secara tepat tidak berarti bahwa Ia
menghasilkan iman di dalam kita, atau bahwa kita percaya karena Ia menyebabkan
kita untuk percaya - apapun adanya kebenaran tentang itu - tetapi bahwa Ia berdiri
sebagai kepala seperti contoh yang paling menonjol yang bisa ditunjukkan dalam
persoalan tentang iman. ... Kata
‘penyelesai’ - TELEIOTEN - sesuai / cocok dalam arti dengan kata ‘pencipta’.
Itu berarti bahwa Ia adalah penyempurna maupun pemulai; yang terakhir maupun
yang pertama.].
Catatan: saya hanya menekankan bagian yang saya garis-bawahi.
Bagian tengah dari kutipan kata-kata Barnes ini bagi saya sangat tidak masuk
akal, dan bertentangan dengan bagian yang saya garis-bawahi. Itu juga secara
tepat sudah dibantah oleh kata-kata Lenski di atas, maupun oleh kata-kata
Abraham Kuyper di bawah ini.
Abraham Kuyper:
“Hence it may not
be said that Jesus had saving faith. For Jesus was no sinner, and therefore
could not have ‘that assured confidence that not only to others, but to Him
also, was given the righteousness of the Mediator.’ We have only to connect the
name of Jesus with the clear and transparent description of saving faith by the
Heidelberg Catechism to show how foolish it is for the Ethical theologians to
explain the words, ‘Jesus, the Author and Finisher of our faith,’ as tho He had
saving faith like every child
of God. Hence saving faith is unthinkable in heaven. Faith is saving; and he that is saved has
obtained the end of faith. He no longer walks by faith, but by sight. It should
therefore be thoroughly understood that saving faith refers only to the sinner, and that Christ in the
garments of the Sacred Scripture is its only object.” (= Maka tidak bisa / tidak boleh
dikatakan bahwa Yesus mempunyai iman yang menyelamatkan. Karena Yesus bukan orang berdosa, dan karena itu
tidak bisa mempunyai ‘keyakinan yang pasti itu yang bukan hanya kepada
orang-orang lain, tetapi kepada Dia juga, diberikan kebenaran dari sang Pengantara.’
Kita hanya harus menghubungkan nama Yesus dengan penggambaran yang jelas dan
nyata tentang iman yang menyelamatkan oleh Katekismus Heidelberg untuk
menunjukkan betapa bodohnya bagi ahli-ahli
theologia Etika untuk menjelaskan kata-kata ‘Yesus, Pencipta dan Penyelesai
dari iman kita’ seakan-akan Ia mempunyai iman yang menyelamatkan seperti setiap
anak Allah. Jadi, iman yang
menyelamatkan merupakan sesuatu yang tak terpikirkan di surga. Iman itu menyelamatkan; dan ia yang sudah
selamat (maksudnya ‘sudah masuk surga’) telah memperoleh
tujuan dari iman. Ia tidak lagi berjalan dengan
iman, tetapi dengan penglihatan. Karena itu, harus dimengerti secara teliti / sepenuhnya bahwa iman yang
menyelamatkan hanya menunjuk kepada orang berdosa, dan bahwa Kristus
dalam pakaian dari Kitab Suci yang Kudus adalah satu-satunya obyeknya.) - ‘The Work of the Holy Spirit’, hal 397.
Ro 8:24
- “Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan
yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan
apa yang dilihatnya?”.
Ibr
11:1 - “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan
dan bukti dari segala sesuatu yang tidak
kita lihat.”.
Dari dua ayat di atas jelaslah bahwa kalau kita sudah di surga, dan sudah
melihat semuanya, maka tidak ada lagi iman!
John Owen (tentang Ibr
12:2): “he works it in
us, or bestows it on us, by his Spirit, in the beginning and all the increases
of it from first to last. Hence his disciples prayed unto him, ‘Lord, increase
our faith,’ Luke 17:5. ... So he is the ‘author’ or beginner of our faith, in
the efficacious working of it in our hearts by his Spirit; and ‘the finisher’
of it in all its effects, in liberty, peace, and joy, and all the fruits of it
in obedience: for ‘without him we can do nothing.’” [= Ia mengerjakannya (iman) di
dalam kita, atau memberikannya kepada kita, oleh RohNya, pada mulanya / awalnya
dan semua peningkatannya / pertumbuhannya dari pertama sampai akhir. Karena itu murid-muridNya berdoa kepadaNya,
‘Tuhan, tambahkanlah iman kami’, Luk 17:5. ... Jadi,
Ia adalah ‘pencipta’ atau pemulai dari iman kita, dalam pekerjaan yang mujarab
tentangnya dalam hati kita oleh RohNya; dan ‘penyelesai’ darinya dalam semua
hasil-hasilnya, dalam kebebasan, damai, dan sukacita, dan semua
buah-buah darinya dalam ketaatan: karena ‘tanpa Dia / di luar Dia kita tidak
bisa berbuat apa-apa’.] - ‘Hebrew 12’,
hal 25-26 (AGES).
Luk 17:5 - “Lalu
kata rasul-rasul itu kepada Tuhan: ‘Tambahkanlah
iman kami!’”.
Yoh 15:5 - “Akulah
pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku
dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di
luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.”.
John Owen (tentang Ibr 12:2): “‘the author and finisher of our faith.’
- He both begins it in us, and carries it on unto perfection.” [= ‘pencipta
dan penyelesai dari iman kita’ - Ia memulainya di
dalam kita, dan meneruskannya / melanjutkannya sampai pada kesempurnaan.] - ‘Hebrew 12’,
hal 27 (AGES).
5. 2Kor
4:13 - “Namun karena kami memiliki roh iman yang sama, seperti ada tertulis: ‘Aku
percaya, sebab itu aku berkata-kata’, maka kami juga percaya dan sebab itu kami
juga berkata-kata.”.
Adam Clarke (tentang 2Kor
4:13): “‘We having the same spirit of faith.’ As David had when he
wrote Ps 116:10: ‘I believed, therefore have I spoken’: we also believe that we
shall receive the fulfilment of all God’s promises; and being fully convinced
of the truth of the Christian religion, we speak and testify that our
deliverance is from God; and that he does not fail those who trust in him; and
that he saves to the uttermost them who come unto him through Christ Jesus.” (= ‘Kamu mempunyai roh iman yang sama’. Seperti yang
Daud punyai ketika ia menulis Maz 116:10: ‘Aku percaya, karena aku telah
berbicara’: kita juga percaya bahwa kita akan menerima penggenapan dari semua
janji-janji Allah; dan karena sepenuhnya diyakinkan tentang kebenaran dari
agama Kristen, kita berbicara dan menyaksikan bahwa pembebasan kita adalah dari
Allah; dan bahwa Ia tidak meninggalkan /
mengecewakan mereka yang percaya kepadaNya; dan bahwa Ia menyelamatkan sampai
akhir mereka yang datang kepadaNya melalui Yesus Kristus.).
Catatan:
a. Maz 116:10 - “Aku percaya, sekalipun
aku berkata: ‘Aku ini sangat tertindas.’”.
KJV: ‘I believed, therefore have I spoken’ (= Aku percaya, karena itu aku telah berbicara).
RSV: ‘I kept my faith, even when I said,’ (= Aku memelihara imanku, bahkan / yaitu pada waktu aku
berkata,).
NIV: ‘I believed; therefore I said’ (= Aku percaya; karena itu aku berkata).
NASB: ‘I believed when I said,’
(= Aku percaya pada waktu aku berkata).
b. Adam
Clarke sama sekali tak menyinggung arti dari kata-kata ‘spirit of faith’ / ‘roh iman’! Dan kata-katanya pada bagian akhir
membuat saya heran, bagaimana dengan mengatakan kata-kata seperti itu ia bisa
percaya bahwa keselamatan bisa hilang.
Calvin (tentang 2Kor 4:13): “By metonymy, he gives the name of ‘the
spirit of faith’ to faith itself, because it is a gift of the Holy Spirit.” (= Oleh suatu metonymy, ia memberikan sebutan ‘roh iman’ kepada
iman itu sendiri, karena itu adalah suatu karunia
dari Roh Kudus.).
Catatan: kata ‘metonymy’ berarti ‘use of the name of one thing for that of another
assossiated with or suggested by it’
(= penggunaan nama / sebutan dari satu hal untuk untuk hal yang lain yang
berhubungan dengannya atau dikesankan ditunjukkan secara tak langsung olehnya) - ‘Webster’s New World Dictionary’.
Charles Hodge
(tentang 2Kor 4:13): “‘That same spirit of faith.’ ‘Spirit of faith’ may be a way of
saying faith itself, or the word ‘spirit’
may refer to ‘the human spirit,’ and the whole would then mean, ‘having the
same believing spirit.’ It is more in accordance with scriptural usage, and
especially with Paul’s manner, to make ‘spirit’
refer to ‘the Holy Spirit,’ who is so often designated from the effects that he
produces. (= ‘Roh
iman yang sama itu’. ‘Roh iman’ bisa menjadi suatu cara untuk mengatakan ‘iman
itu sendiri’, atau kata
‘roh’ bisa menunjuk pada ‘roh manusia’, dan maka seluruhnya akan berarti
‘mempunyai roh percaya yang sama’. Adalah lebih
sesuai dengan penggunaan yang Alkitabiah, dan khususnya dengan cara Paulus,
untuk membuat ‘roh’ menunjuk kepada ‘Roh Kudus’, yang begitu sering ditunjukkan
/ disebutkan dari hasil / akibat yang Ia hasilkan.).
Hodge lalu memberi beberapa contoh:
a. Roh
Kudus disebut ‘Roh ke-anak-an’.
Ro 8:15 - “Sebab kamu
tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu
telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah.
Oleh Roh itu kita berseru: ‘ya Abba, ya Bapa!’”.
KJV: ‘the Spirit of adoption’
(= Roh adopsi).
RSV: ‘the spirit of sonship’
(= roh ke-anak-an).
NIV: ‘the Spirit of sonship’
(= Roh ke-anak-an).
NASB: ‘a spirit of adoption’
(= suatu roh adopsi).
Kata Yunani yang diterjemahkan ‘adoption’ / ‘sonship’ adalah
HUIOTHESIAS, yang berarti ‘pengadopsian sebagai anak’ (Bible Works 7).
b. Roh
Kudus disebut ‘Roh hikmat’.
Ef 1:17 - “dan meminta
kepada Allah Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Bapa yang mulia itu, supaya Ia
memberikan kepadamu Roh hikmat dan wahyu
untuk mengenal Dia dengan benar.”.
c. Roh
Kudus disebut ‘Roh kasih karunia’.
Ibr 10:29 - “Betapa
lebih beratnya hukuman yang harus dijatuhkan atas dia, yang menginjak-injak
Anak Allah, yang menganggap najis darah perjanjian yang menguduskannya, dan
yang menghina Roh kasih karunia?”.
d. Roh
Kudus disebut ‘Roh kemuliaan’.
1Pet 4:14 - “Berbahagialah
kamu, jika kamu dinista karena nama Kristus, sebab Roh
kemuliaan, yaitu Roh Allah ada padamu.”.
Untuk ayat yang terakhir ini saya merasa tidak tepat
penggunaannya, karena saya beranggapan bahwa ‘Roh
Kemuliaan’ bukan berarti ‘Roh yang
memberi kemuliaan’ tetapi ‘Roh yang mulia’. Bandingkan dengan istilah ‘The Lord of glory’ bagi Yesus dalam
1Kor 2:8, yang jelas berarti ‘Tuhan yang mulia’.
Jadi, kalau Roh Kudus
disebut ‘Roh iman’, itu menunjukkan bahwa Ia adalah pemberi / penyebab dari
iman itu.
6. Yoh
1:12-13 - “(12) Tetapi semua orang yang
menerimaNya diberiNya kuasa supaya menjadi anak-anak
Allah, yaitu mereka yang percaya dalam namaNya; (13) orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani
oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari
Allah.”.
Adam Clarke (tentang Yoh
1:13): “‘Which were
born, not of blood.’ Who were regenerated, ouk ex haimatoon, not of bloods - the union of father and
mother, or of a distinguished or illustrious ancestry; for the Hebrew language
makes use of the plural to point out the dignity or excellence of a thing: and
probably by this the evangelist intended to show his countrymen, that having
Abraham and Sarah for their parents would not entitle them to the blessings of
the new covenant; as no man could lay claim to them,
but in consequence of being born of God; therefore, neither the will of the
flesh - anything that the corrupt heart of man could purpose or determine in
its own behalf; nor the will of man - anything that another may be disposed to
do in our behalf, can avail here; this new birth must come through the will of
God - through his own unlimited power and boundless mercy, prescribing salvation by Christ Jesus alone.
It has been already observed that the Jews required circumcision, baptism, and
sacrifice, in order to make a proselyte. They allow that the Israelites had in
Egypt cast off circumcision, and were consequently out of the covenant; but at
length they were circumcised, and they mingled the blood of circumcision with
the blood of the paschal lamb, and from this union of bloods they were again
made the children of God. See Lightfoot. This was the only way by which the
Jews could be made the sons of God; but the evangelist shows them that, under
the Gospel dispensation, no person could become a child of God, but by being
spiritually regenerated.” (= ‘Yang diperanakkan,
bukan dari darah’. Yang dilahirbarukan, OUK EX HAIMATON, ‘bukan dari
darah-darah’ - persatuan dari ayah dan ibu, atau dari suatu keturunan yang
terhormat / terkemuka atau termasyhur; karena bahasa Ibrani menggunakan bentuk jamak untuk
menunjukkan kewibawaan atau keunggulan dari sesuatu: dan mungkin
oleh hal ini sang penginjil bermaksud untuk menunjukkan bahwa mempunyai Abraham
dan Sara sebagai orang tua / nenek moyang mereka tidak akan membuat mereka
berhak atas berkat-berkat dari perjanjian baru; karena
tak ada orang yang bisa meletakkan claim kepada mereka, tetapi sebagai konsekwensi
dari kelahiran dari Allah; karena itu, bukan karena kehendak dari daging -
apapun yang hati yang jahat dari manusia bisa rencanakan atau putuskan untuk
kepentingannya sendiri; juga bukan dari kehendak manusia / orang laki-laki -
apapun yang orang lain bisa / mungkin tentukan untuk lakukan demi kepentingan
kita, bisa berguna di sini; kelahiran baru ini harus datang melalui kehendak
Allah - melalui kuasaNya sendiri yang tak terbatas dan belas kasihanNya yang
tak terbatas, menentukan keselamatan
oleh Yesus Kristus saja. Telah pernah diamati bahwa
orang-orang Yahudi menuntut / mensyaratkan sunat, baptisan, dan korban, untuk
membuat seorang proselit. Mereka mengijinkan bahwa orang Israel di Mesir telah
membuang sunat, dan sebagai akibatnya ada di luar perjanjian; tetapi akhirnya
mereka disunat, dan mereka mencampur darah dari sunat dengan darah dari domba
Paskah, dan dari persatuan darah-darah ini mereka dibuat lagi menjadi anak-anak
Allah. Lihat Lighfoot. Ini adalah satu-satunya cara dengan mana orang-orang
Yahudi bisa dibuat menjadi anak-anak Allah; tetapi sang
penginjil menunjukkan kepada mereka bahwa, di
bawah jaman Injil, tak ada orang bisa menjadi
seorang anak Allah, kecuali dengan dilahirkan baru secara rohani.).
Catatan:
a. Saya
tidak terlalu percaya bagian yang saya beri garis bawah ganda, sekalipun hal
itu dinyatakan oleh banyak penafsir. Teori itu digunakan oleh para Unitarian /
Saksi-Saksi Yehuwa untuk menafsirkan kata-kata bentuk jamak yang dipakai untuk
menunjuk kepada Allah, hanya dalam arti ini, untuk menghindari doktrin Allah
Tritunggal.
b. Bagian
yang saya cetak dengan huruf besar menurut saya ditambahkan oleh Clarke untuk
mengaburkan arti! Ayatnya sama sekali tak membicarakan hal itu. Kalau
keselamatan ditentukan Allah oleh Yesus Kristus saja, maka Clarke bisa
melanjutkan dengan mengatakan: lalu bagaimana seseorang bisa percaya kepada
Yesus Kristus? Tergantung kehendak bebasnya! Tetapi kalau jadi seperti ini,
maka itu menjadi ‘karena kehendak manusia’, dan akan bertentangan frontal
dengan Yoh 1:13 ini.
Lenski (tentang Yoh 1:13): “‘Which were born, not of blood, nor of the
will of the flesh, nor of the will of man, but of God,’ ... describing
the birth of God’s children as not being due to natural generation but to a
generation that has its source in God, ἐκ Θεοῦ.” (= ‘yang diperanakkan bukan dari darah atau
dari kehendak daging, ataupun dari kehendak manusia / seorang laki-laki, melainkan
dari Allah’, ... menggambarkan kelahiran anak-anak Allah sebagai bukan disebabkan
karena tindakan memperanakkan secara alamiah, tetapi karena suatu tindakan
memperanakkan yang mempunyai sumbernya dalam Allah, EK THEOU.).
William Hendriksen (tentang Yoh 1:13): “The evangelist teaches that God’s true
children do not owe their origin to blood
(physical descent; for example, from Abraham), nor to the will of the flesh (carnal desire, the sexual impulse of man
or woman), nor to the will of man
(the procreative urge of the male) but to God alone.” [= Sang
penginjil mengajar bahwa anak-anak yang sejati dari Allah tidak berhutang asal
usul mereka dari darah (keturunan fisik; sebagai contoh, dari Abraham), ataupun
dari kehendak dari daging (keinginan daging, dorongan sex dari orang laki-laki
atau perempuan), atau dari kehendak manusia / laki-laki (dorongan memperanakkan
dari laki-laki) tetapi dari Allah saja.].
Matthew Henry: “Man is called ‘flesh and blood,’ because
thence he has his original: but we do not become the children of God as we
become the children of our natural parents. Note, Grace does not run in the
blood, as corruption does. Man polluted ‘begat a son in his own likeness’ (Gen
5:3); but man sanctified and renewed does not beget a son in that likeness. The
Jews gloried much in their parentage, and the noble blood that ran in their
veins: ‘We are Abraham’s seed;’ and therefore to them pertained the adoption
because they were born of that blood; but this New-Testament adoption is not
founded in any such natural relation. ... it is the grace of God that makes us
willing to be his.” [= Manusia disebut
‘daging dan darah’, karena dari sana ia mendapatkan asal usulnya: tetapi kita
tidak menjadi anak-anak Allah pada waktu kita menjadi anak-anak dari orang tua
alamiah kita. Perhatikan: Kasih karunia tidak
mengalir dalam darah, seperti kejahatan mengalir dalam darah. Manusia yang telah dikotori ‘memperanakkan seorang anak
laki-laki dalam gambarnya sendiri’ (Kej 5:3); tetapi manusia yang dikuduskan
dan diperbaharui tidak memperanakkan seorang anak dalam gambar itu.
Orang-orang Yahudi banyak bermegah dalam asal usul mereka, dan darah mulia yang
mengalir dalam pembuluh darah mereka: ‘Kami adalah keturunan Abraham’; dan
karena itu milik merekalah pengadopsian itu karena mereka dilahirkan oleh darah
itu; tetapi pengadopsian Perjanjian Baru ini tidak
didasarkan pada hubungan alamiah seperti itu. ... adalah kasih karunia Allah
yang membuat kita mau untuk menjadi milikNya.].
Kej 5:3 - “Setelah
Adam hidup seratus tiga puluh tahun, ia memperanakkan seorang laki-laki menurut rupa dan gambarnya, lalu memberi nama Set
kepadanya.”.
Mat 3:9 - “Dan
janganlah mengira, bahwa kamu dapat berkata dalam
hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan
anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini!”.
Yoh 8:33,39,40 - “(33)
Jawab mereka: ‘Kami adalah keturunan Abraham
dan tidak pernah menjadi hamba siapapun. Bagaimana Engkau dapat berkata: Kamu
akan merdeka?’ ... (39) Jawab mereka kepadaNya: ‘Bapa
kami ialah Abraham.’ Kata Yesus kepada mereka: ‘Jikalau sekiranya kamu anak-anak Abraham,
tentulah kamu mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham.
(40) Tetapi yang kamu
kerjakan ialah berusaha membunuh Aku; Aku, seorang yang mengatakan
kebenaran kepadamu, yaitu kebenaran yang Kudengar dari Allah; pekerjaan yang demikian
tidak dikerjakan oleh Abraham.”.
Saya tidak mengerti mengapa Matthew Henry mengatakan ‘Perjanjian Baru’ sedangkan di atas tadi Adam Clarke
mengatakan ‘di bawah jaman Injil’. Menurut
saya, bahkan dalam jaman Perjanjian Lama, kelahiran
baru juga datang dari Allah!
Yeh 11:19 - “Aku akan memberikan mereka hati yang lain dan roh
yang baru di dalam batin mereka; juga Aku
akan menjauhkan dari tubuh mereka hati yang keras dan memberikan mereka hati
yang taat,”.
Calvin: “But faith is
the principal work of the Holy Spirit. ... to believers in Christ is given the
privilege of becoming children of God, who are born not of flesh and blood, but
of God (John 1:12-13). Contrasting God with flesh and blood, he declares it to
be a supernatural gift that those who would otherwise remain in unbelief
receive Christ by faith. Similar to this is that reply of Christ’s: ‘Flesh and
blood have not revealed it to you, but my Father, who is in heaven’ (Matthew
16:17).”
[= Tetapi iman adalah pekerjaan utama dari Roh Kudus.
... kepada orang-orang percaya dalam Kristus diberikan hak untuk menjadi
anak-anak Allah, yang dilahirkan bukan dari daging dan darah, tetapi dari Allah
(Yoh 1:12-13). Mengkontraskan Allah dengan daging
dan darah, ia menyatakannya sebagai
karunia supranatural sehingga mereka yang seharusnya tetap tidak percaya,
menerima Kristus oleh / dengan iman. Mirip dengan ini adalah jawaban
Kristus: ‘Daging dan darah tidak menyatakan ini kepadamu, tetapi BapaKu, yang
ada di surga’ (Mat 16:17).] - ‘Institutes
of the Christian Religion’, Book III, Chapter 1, no 4.
7. Mat
16:15-17 - “(15) Lalu Yesus
bertanya kepada mereka: ‘Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?’ (16) Maka jawab
Simon Petrus: ‘Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!’ (17) Kata Yesus
kepadanya: ‘Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan BapaKu yang di sorga.”.
KJV: ‘for flesh and blood
hath not revealed it unto thee, but my Father which
is in heaven’ (= karena daging dan darah tidak menyatakannya kepadamu, tetapi BapaKu yang ada di
surga).
Perhatikan bahwa Petrus baru memberikan suatu
pengakuan iman yang benar tentang Kristus dalam Mat 16:16, tetapi Yesus lalu
mengatakan bahwa hal itu bukan dinyatakan oleh ‘manusia’ (KJV/Lit: ‘daging dan
darah’) kepadanya, tetapi oleh Bapa yang di surga!
Adam Clarke (tentang Mat
16:17): “Is it not
evident, from our Lord’s observation, that it requires an express revelation of
God in a man’s soul, to give him a saving acquaintance with Jesus Christ; and
that not even the miracles of our Lord, performed before the eyes, will effect
this? The darkness must be removed from the heart by the Holy Spirit, before a
man can become wise unto salvation.”
(= Bukankah jelas, dari pengamatan Tuhan kita, bahwa membutuhkan suatu wahyu / penyataan yang jelas / explicit dari Allah dalam
jiwa seorang manusia, untuk memberinya suatu pengenalan yang menyelamatkan
dengan Yesus Kristus; dan bahwa bahkan mujijat-mujijat dari Tuhan
kita, yang dilakukan di hadapan mata kita, tidak akan menghasilkan hal ini? Kegelapan harus
disingkirkan dari hati oleh Roh Kudus, sebelum seorang manusia bisa menjadi
bijaksana untuk keselamatan.).
Catatan: bagi saya, bagian yang saya beri garis bawah tunggal
cukup jelas, tetapi bagian yang saya beri garis bawah ganda kurang jelas, dan
bisa berarti ganda, misalnya bisa diartikan bahwa orang itu menjadi bijaksana,
tetapi tetap dia bisa memilih untuk tidak percaya. Tetapi kalau seseorang
memilih untuk tidak percaya, apakah orang itu ‘menjadi
bijaksana’?
Lenski (tentang Mat 16:17): “Peter’s confession is in no way the
product of his own reason, his superior intellect, or of any meritorious
quality or effort on his part. ... The faith and the knowledge which uttered
Peter’s confession were not in any way the product of ‘flesh and blood,’ i.e.,
of fallible and mortal man. ... What is true of the inability of Peter’s flesh
and blood is equally true of the inability of the flesh and the blood or the
natural powers of all men. To make a confession such as that which Peter made requires
far more. In the verb ‘did reveal’ Jesus declares the contents of Peter’s
confession to be an impenetrable mystery as far as the powers of mere flesh and
blood are concerned. Actually to realize in the man Jesus the presence of the
Christ and Son of God requires more than sinful flesh and blood is able to
muster. It remains so to this day. This realization is produced by a
revelation, one that is wrought by ‘my Father in the heavens,’ who is thus
infinitely exalted above ‘flesh and blood.’ It lies on the surface that the
revelation here referred to goes beyond mere intellectual knowledge and extends
to spiritual conviction and apprehension.” (= Pengakuan Petrus sama sekali bukan hasil dari
akalnya sendiri, inteleknya yang superior, atau dari kwalitet atau usaha yang
berjasa apapun di pihaknya. ... Iman dan pengetahuan yang mengucapkan pengakuan
Petrus sama sekali bukan hasil dari ‘daging dan darah’, yaitu dari manusia yang
bisa salah dan fana. ... Apa yang benar tentang
ketidak-mampuan dari daging dan darah Petrus adalah benar secara sama dengan
ketidak-mampuan dari daging dan darah atau kuasa alamiah dari semua manusia.
Untuk membuat pengakuan seperti yang Petrus buat membutuhkan jauh lebih banyak.
Dalam kata kerja ‘menyatakan’ Yesus menyatakan bahwa isi dari pengakuan Petrus
sebagai suatu misteri yang tidak bisa ditembus sejauh berkenaan dengan
kuasa-kuasa dari semata-mata daging dan darah. Untuk sungguh-sungguh menyadari
kehadiran dari Kristus dan Anak Allah dalam manusia Yesus membutuhkan lebih
dari daging dan darah yang berdosa bisa kumpulkan / kerahkan. Itu tetap
demikian sampai hari ini. Kesadaran ini dihasilkan
oleh suatu wahyu / penyataan, sesuatu yang dikerjakan oleh ‘BapaKu yang di
surga’, yang begitu ditinggikan secara tak terbatas di atas ‘daging dan darah’.
Terlihat dari luar bahwa wahyu / penyataan di sini
melampaui pengetahuan intelektual dan menjangkau pada pengertian dan keyakinan rohani.).
Sampai sini, kata-kata Lenski benar dan bisa saya
terima. Tetapi perhatikan bagaimana lanjutan kata-kata Lenski persis setelah
kata-katanya yang ada di atas, yang saya berikan di bawah ini.
Lenski: “But
we must not suppose that the Father exercised either an arbitrary or an
irresistible will in regard to Peter. This revelation was not made to him without
means. The Father revealed Jesus to Peter through Jesus himself, and he
endeavors to do this in the case of all men by bringing Jesus into contact with
them. Verses 13, 14 show how in that day men refused to receive
the Father’s revelation and preferred their own foolish estimates of Jesus.
... Only those know Jesus whose souls have come into living touch with him
through faith that is wrought by the Father’s revelation; others, even when
they call him God’s Son, do not know what they are saying.” (= Tetapi kita tidak boleh menganggap bahwa Bapa menggunakan
atau suatu kehendak yang sewenang-wenang atau tidak bisa ditolak berkenaan
dengan Petrus. Wahyu / penyataan ini tidak dibuat kepadanya tanpa jalan / cara.
Bapa menyatakan Yesus kepada Petrus melalui Yesus sendiri, dan Ia berusaha
melakukan hal ini dalam kasus dari semua
orang dengan membawa Yesus ke dalam kontak dengan mereka. Ay 13,14
menunjukkan bagaimana pada saat itu orang-orang menolak untuk menerima wahyu /
penyataan Bapa dan lebih memilih penilaian yang tolol dari mereka sendiri
tentang Yesus. ... Yang mengenal Yesus hanya mereka yang jiwanya
telah datang ke dalam sentuhan yang hidup dengan Dia melalui iman yang dikerjakan oleh wahyu /
penyataan Bapa; orang-orang lain, bahkan pada waktu mereka menyebut
/ memanggilNya Anak Allah, tidak tahu apa yang mereka katakan.).
Mat 16:13-14 - “(13)
Setelah Yesus tiba di daerah Kaisarea Filipi, Ia bertanya kepada
murid-muridNya: ‘Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?’ (14) Jawab mereka:
‘Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada
pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi.’”.
Bagaimana Lenski bisa mengucapkan kata-kata yang
kontradiksi seperti ini betul-betul tidak bisa saya mengerti.
Saya berpendapat bahwa pada waktu Lenski memberikan
ay 13-14 sebagai contoh dari orang-orang yang sudah menerima wahyu /
penyataan Bapa, tetapi tetap lebih memilih penilaian yang tolol dari mereka
sendiri, ini adalah sesuatu yang sangat tolol dan tidak berdasar. Dari mana ia
menyimpulkan bahwa orang-orang itu sudah menerima wahyu / penyataan dari Bapa?
Jelas bahwa mereka memang mengerti dan berpendapat seperti itu (secara salah) tentang
Yesus! Dan jelas bahwa mereka belum / tidak mendapat wahyu / penyataan dari
Bapa, bahkan jelas bahwa Bapa menyembunyikan penyataan itu dari mereka.
Bdk. Mat 11:25-27 - “(25)
Pada waktu itu berkatalah Yesus: ‘Aku bersyukur kepadaMu, Bapa, Tuhan langit
dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan
bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil.
(26) Ya Bapa, itulah yang berkenan kepadaMu. (27) Semua telah diserahkan
kepadaKu oleh BapaKu dan tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal
Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya.”.
Catatan: text ini akan saya bahas di bawah (point 8).
Calvin (tentang Mat 16:17): “‘Flesh and blood hath not revealed it
to thee.’ In the person of one man Christ reminds all that we must ask faith
from the Father, and acknowledge it to the praise of his grace; for the special
illumination of God is here contrasted with flesh and blood. Hence we infer,
that the minds of men are destitute of that sagacity which is necessary for
perceiving the mysteries of heavenly wisdom which are hidden in Christ; and
even that all the senses of men are deficient in this respect, till God opens
our eyes to perceive his glory in Christ. Let no man, therefore, in proud
reliance on his own abilities, attempt to reach it, but let us humbly suffer
ourselves to be inwardly taught by the Father of Lights, (James 1:17,) that his
Spirit alone may enlighten our darkness. And let those who have received faith,
acknowledging the blindness which was natural to them, learn to render to God
the glory that is due to Him.” [= ‘Daging dan darah tidak
menyatakannya kepadamu’. Dalam diri satu orang, Kristus mengingatkan semua
orang, bahwa kita harus meminta iman dari Bapa, dan mengakuinya bagi kemuliaan kasih
karuniaNya; karena pencerahan khusus dari Allah di
sini dikontraskan dengan daging dan darah. Maka kami menyimpulkan,
bahwa pikiran manusia tidak mempunyai kecerdasan
yang perlu untuk mengerti misteri-misteri dari hikmat surgawi yang tersembunyi
dalam Kristus; dan bahkan bahwa semua indera manusia kurang dalam hal ini,
sampai Allah membuka mata kita untuk mengerti kemuliaanNya dalam Kristus.
Karena itu, jangan ada orang, sambil bersandar dengan bangga pada
kemampuan-kemampuannya sendiri, berusaha untuk mencapainya, tetapi hendaklah
kita dengan rendah hati membiarkan diri kita untuk diajar secara batin oleh
Bapa segala terang, (Yak 1:17), sehingga RohNya saja bisa menerangi kegelapan
kita. Dan hendaklah mereka yang telah menerima iman, mengakui kebutaan yang
adalah alamiah bagi mereka, belajar untuk memberikan kepada Allah kemuliaan
yang adalah hakNya.].
Yak 1:17 - “Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna,
datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; padaNya
tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran.”.
William Hendriksen (tentang Mat 16:17): “In continuing his address to Peter,
Jesus emphasizes that ‘flesh and blood,’ that is, merely human calculation,
cogitation, intuition, or tradition, could never have produced in this
disciple’s heart and mind the insight into the sublime truth that he had just
now so gloriously professed. ... It was, says Jesus, ‘my Father who is in
heaven’ who had disclosed this truth to Simon Bar-Jonah and had enabled him to
give buoyant expression to it.” (= Dalam melanjutkan kata-kataNya
kepada Petrus, Yesus menekankan bahwa ‘daging dan darah’, yaitu, semata-mata
perhitungan, perenungan, intuisi, atau tradisi manusia, tidak pernah bisa
menghasilkan dalam hati dan pikiran dari murid ini suatu pengertian ke dalam
kebenaran yang agung yang sekarang baru ia akui dengan begitu mulia. ... Adalah, kata Yesus, ‘BapaKu yang di surga’ yang telah
menyatakan kebenaran ini kepada Simon bar Yonah / bin Yunus dan telah
memampukan dia untuk memberikan pernyataan yang meluap / gembira kepadanya.).
8. Mat
11:25-27 - “(25) Pada waktu
itu berkatalah Yesus: ‘Aku bersyukur kepadaMu, Bapa, Tuhan langit dan bumi,
karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang
bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. (26) Ya Bapa,
itulah yang berkenan kepadaMu. (27) Semua telah diserahkan kepadaKu oleh BapaKu
dan tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal
Bapa selain Anak dan orang
yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya.”.
Kata-kata bagian akhir “dan
orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya”, dalam NASB diterjemahkan dengan lebih tepat yaitu: ‘and anyone
to whom the Son wills to reveal Him.’ (= dan
siapapun kepada siapa Anak menghendaki untuk menyatakan Dia).
Adam Clarke (tentang Mat
11:25): “‘Wise and
prudent.’ The scribes and Pharisees, vainly puffed up by their fleshly minds,
and having their foolish hearts darkened, refusing to submit to the
righteousness of God (God’s method of saving man by Christ) and going about to
establish their own righteousness (their own method of saving themselves), they
rejected God’s counsel, and God sent the peace and salvation of the Gospel to
others, called here babes (his disciples), simple-hearted persons, who
submitted to be instructed and saved in God’s own way. Let it be observed, that
our Lord does not thank the Father that he had hidden these things from the
wise and prudent, but that, seeing they were hidden from them, he had revealed
them to the others.” [= ‘orang bijak
dan orang pandai’. Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, secara sia-sia
menyombongkan diri oleh pikiran daging mereka, dan setelah hati mereka yang
tolol digelapkan, menolak untuk tunduk pada kebenaran Allah (metode Allah untuk
menyelamatkan manusia oleh Kristus) dan terus mendirikan kebenaran mereka
sendiri (metode mereka tentang menyelamatkan diri mereka sendiri), mereka
menolak rencana Allah, dan Allah mengirimkan damai dan keselamatan dari Injil
kepada orang-orang lain, menyebut mereka bayi-bayi (murid-muridNya),
orang-orang yang berhati sederhana, yang tunduk / menyerah untuk diajar dan
diselamatkan dengan cara Allah sendiri. Hendaklah diperhatikan, bahwa Tuhan
kita tidak bersyukur kepada Bapa bahwa Ia telah menyembunyikan hal-hal ini dari
orang bijak dan orang pandai, tetapi bahwa, melihat hal-hal itu disembunyikan
dari mereka, Ia telah menyatakan hal-hal itu kepada orang-orang lain.].
Catatan: ini jelas merupakan tafsiran yang membengkokkan ayat.
Ayatnya secara jelas mengatakan Bapa yang
menyembunyikan, dan Bapa yang menyatakan,
dan Yesus bersyukur untuk hal itu. Tetapi Clarke menafsirkan dengan menekankan jasa orangnya
yang menolak atau menerima, sombong atau tunduk dan sebagainya.
Adam Clarke (tentang Mat
11:27): “‘No man knoweth
the Son, but the Father; neither knoweth any man the Father, save the Son, and
he to whomsoever the Son will reveal him.’ None can fully comprehend the nature
and atttributes of God, but Christ; and none can fully comprehend the nature,
incarnation, etc., of Christ, but the Father. The full comprehension and
acknowledgment of the Godhead, and the mystery of the Trinity, belong to God
alone.” (= ‘tidak
seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain
Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan
menyatakannya’. Tak seorangpun bisa mengerti sepenuhnya hakekat dan sifat-sifat
dari Allah, kecuali Kristus; dan tak seorangpun bisa mengerti sepenuhnya
hakekat, inkarnasi, dsb, dari Kristus, kecuali Bapa. Pengertian penuh dan
pengakuan tentang Allah, dan misteri tentang Tritunggal, adalah milik Bapa
saja.).
Catatan: perhatikan bahwa kalimat terakhir dari ay 27 itu sama
sekali tak dibahas.
Lenski (tentang Mat 11:25): “in the very word νήπιοι, ‘infants,’ lies the hint of the reason
for thus blessing them. ... The act on account of which Jesus exalts his
Father is a double one: concealing certain things from wise and intellectual
men and revealing them to men who, compared with these, are nothing but babes.
... Yet in the designations ‘wise and intelligent men,’ on the one hand, and
‘infants,’ on the other, the reason for God’s act is suggested. The wise and
intelligent are filled with their own wise and learned ideas, and thus God,
finding them filled and satisfied with what they have, can give them nothing.
The infants, however, are those who lack everything and realize their
emptiness. They are the poor that mourn and are meek and hunger and thirst,
5:3–6; 18:3; Phil. 3:8. Having nothing, God can fill them with everything.” (= dalam kata NEPIOI, ‘bayi-bayi’, terletak petunjuk tentang
alasan untuk memberkati mereka seperti itu. ... Tindakan yang
menyebabkan Yesus memuji Bapa adalah tindakan ganda: menyembunyikan hal-hal
tertentu dari orang bijak dan orang pandai dan menyatakan hal-hal itu kepada
orang-orang yang, dibandingkan dengan orang-orang ini, hanyalah bayi-bayi. ... Tetapi
dalam penunjukan ‘orang bijak dan orang pandai’, di
satu sisi, dan ‘bayi-bayi’ di sisi lain, alasan dari tindakan Allah dinyatakan
secara implicit. Orang bijak dan orang
pandai dipenuhi dengan gagasan-gagasan bijak dan terpelajar mereka sendiri, dan
maka Allah, yang mendapati mereka penuh dan puas dengan apa yang mereka miliki,
tidak bisa memberi apa-apa kepada mereka. Tetapi bayi-bayi, adalah mereka yang
kekurangan segala sesuatu dan menyadari kekosongan mereka. Mereka adalah
orang-orang miskin yang berkabung dan lemah lembut dan lapar dan haus, 5:3-6;
18:3; Fil 3:8. Karena mereka tak mempunyai apa-apa, Allah bisa mengisi mereka
dengan segala sesuatu.).
Mat 5:3-6 - “(3)
‘Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang
empunya Kerajaan Sorga. (4) Berbahagialah orang yang berdukacita, karena
mereka akan dihibur. (5) Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena
mereka akan memiliki bumi. (6) Berbahagialah orang yang lapar dan haus
akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.”.
Mat 18:3 - “lalu
berkata: ‘Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi
seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.”.
Fil 3:8 - “Malahan
segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku,
lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan
semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus,”.
Catatan: sama dengan Clarke, Lenski
menekankan ‘jasa’ manusianya, dan tafsiran ini berkebalikan dengan bunyi
ayatnya. Persoalannya adalah: apakah manusia bisa membuat dirinya sendiri, dengan kekuatan
dan kemauannya sendiri, menjadi ‘bayi-bayi’?
Lenski (tentang Mat 11:25): “The Father’s action, therefore, comports
with his whole plan of universal grace. He arranged it so that nothing should
be required of us, that all should come from him. If high intellectual
attainments on our part were required, this would automatically shut out all
who have no such attainments. If we had to bring something, grace would be only
partial and not complete on God’s part. Moreover, the fact is that no man can
bring anything and if he thinks he can, he deceives himself. ... We must add,
however, that no man is a νήπιος by nature, be
his education ever so primitive. 1 Cor. 1:26 makes it plain that the sense of
Christ’s word is not that the gospel is intended only for the ignorant and not
for the educated. The terms wise, intelligent, as well as infants, are here
used, not to describe men in their state before the gospel comes to them, but
as subsequent to its work upon them. Every man, even the most ignorant, has
some pet wisdom of his own with which he at first reacts against the gospel of
grace. By its power this gospel removes that pet wisdom and makes men infants
so that they receive everything from God. This work succeeds in the case of
some of the most learned and highly educated. But some cling to their foolish
wisdom in spite of all efforts of grace. Such were not only the scribes and the
Pharisees but the unlearned Jews as well who allowed these men to influence
them (v. 15–24). So today some of the worst opponents of the gospel are those
who follow the scientists and advanced religious thinkers of our time. All
these are the wise and intelligent referred to by Jesus.” [= Karena itu, tindakan Bapa sesuai dengan seluruh
rencanaNya tentang kasih karunia yang bersifat
universal. Ia
mengaturnya sehingga tak ada apapun yang harus dituntut dari kita, sehingga
semua harus datang dari Dia. Jika pencapaian intelektual yang tinggi dituntut
dari kita, ini akan secara otomatis menutup semua yang tidak mempunyai
pencapaian seperti itu. Jika kita harus membawa sesuatu, kasih karunia hanya
sebagian saja dan bukan sepenuhnya, merupakan bagian Allah. Lebih lagi,
faktanya adalah bahwa tak ada orang bisa membawa apapun dan jika ia mengira ia
bisa, ia menipu dirinya sendiri. ... Tetapi kami harus menambahkan bahwa tak seorangpun adalah
seorang NEPIOS (bayi) secara alamiah, sekalipun pendidikannya
begitu primitif. 1Kor 1:26
membuat jelas bahwa arti dari kata-kata Kristus bukanlah bahwa injil
dimaksudkan hanya untuk orang-orang bodoh dan bukan untuk orang-orang terpelajar.
Istilah-istilah bijak, pandai, maupun bayi,
digunakan di sini, bukan untuk menggambarkan manusia dalam keadaan sebelum
injil datang kepada mereka, tetapi sebagai mengikuti pekerjaannya pada mereka.
Setiap orang, bahkan yang paling bodoh, mempunyai sedikit hikmat khusus dari
dirinya sendiri dengan mana ia mula-mula bereaksi terhadap injil kasih karunia.
Oleh kuasanya injil
ini menyingkirkan hikmat khusus itu dan membuat manusia bayi-bayi sehingga
mereka menerima segala sesuatu dari Allah. Pekerjaan ini berhasil dalam kasus
dari sebagian / beberapa dari orang-orang yang paling terpelajar dan
berpendidikan tinggi. Tetapi sebagian / beberapa bepegang erat-erat pada hikmat
bodoh mereka sekalipun ada semua usaha-usaha dari kasih karunia. Yang seperti itu bukan hanya ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi tetapi juga orang-orang Yahudi yang tak
terpelajar yang mengijinkan orang-orang ini mempengaruhi mereka (ay 15-24).
Demikianlah pada jaman ini sebagian / beberapa dari penentang-penentang yang
terburuk dari injil adalah mereka yang mengikuti para ilmuwan dan
pemikir-pemikir agamawi yang maju / terkemuka dari jaman kita. Semua ini adalah
orang-orang bijak dan orang-orang pandai yang ditunjuk oleh Yesus.].
Catatan: bagi saya, kata-kata Lenski ini begitu saling
bertentangan satu sama lain. Yang saya beri garis bawah tunggal kelihatannya
merupakan kepercayaan Arminian, sedangkan yang saya beri garis bawah ganda
kelihatannya merupakan kepercayaan Reformed. Jadi, ia kelihatannya
terombang-ambing di antara kedua kepercayaan ini.
Lenski (tentang Mat 11:26): “Yet why the Father did what he did calls
for an explanation. One explanation we have noted, the one that speaks of the
persons concerned. But this takes us only halfway. The profoundest reason lies
in the Father himself. And this Jesus gives us by saying that it was his εὐδοκία. ... This is
not an arbitrary, incomprehensible will or decree but the ‘good pleasure’ or
‘good thought’ of God, his gracious purpose and will of salvation, as the
following clear passages show: Eph. 1:5, 9; Phil. 2:13; 2 Thess 1:11; Luke
12:32; 2 Pet. 1:17. ... The ultimate source of our salvation is this great εὐδοκία. When God’s
acts (concealing, revealing) are traced back to this source, the ultimate point
is reached. If man was to be saved, God had to save him by his ‘good thought’
or εὐδοκία, by devising means and ways that were in harmony
with him who devised them.” [= Tetapi mengapa Bapa melakukan apa yang Ia
lakukan membutuhkan suatu penjelasan. Satu penjelasan telah kami perhatikan,
yang berbicara tentang orang-orang yang bersangkutan. Tetapi ini membawa kita
hanya setengah jalan. Alasan terdalam terletak dalam
Bapa sendiri. Dan ini diberikan Yesus kepada kita dengan mengatakan bahwa itu
adalah EUDOKIA-Nya. ... Ini bukanlah kehendak atau ketetapan yang sewenang-wenang
dan tidak bisa dimengerti tetapi ‘perkenan yang baik’ atau ‘pemikiran yang
baik’ dari Allah, rencana dan kehendakNya yang murah hati / bersifat kasih
karunia tentang keselamatan, seperti yang ditunjukkan oleh text-text yang jelas
berikut ini: Ef 1:5,9; Fil
2:13; 2Tes 1:11; Luk 12:32; 2Pet. 1:17. ... Sumber
terakhir / tertinggi dari keselamatan kita adalah EUDOKIA yang besar / agung
ini. Pada waktu tindakan-tindakan Allah (menyembunyikan, menyatakan)
ditelusuri kepada sumber ini, titik terakhir / tertinggi dicapai. Jika manusia
harus diselamatkan, Allah harus menyelamatkan dia oleh ‘pemikiran baik’ atau
EUDOKIA, dengan merencanakan cara-cara dan jalan-jalan yang sesuai dengan Dia
yang merencanakannya.].
Ef 1:5,9 - “(5)
Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk
menjadi anak-anakNya, sesuai dengan kerelaan kehendakNya, ... (9) Sebab Ia
telah menyatakan rahasia kehendakNya kepada kita, sesuai dengan rencana
kerelaanNya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkanNya di
dalam Kristus”.
Fil 2:13 - “karena
Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut
kerelaanNya.”.
2Tes 1:11 - “Karena
itu kami senantiasa berdoa juga untuk kamu, supaya Allah kita menganggap kamu
layak bagi panggilanNya dan dengan kekuatanNya menyempurnakan kehendakmu untuk
berbuat baik dan menyempurnakan segala pekerjaan imanmu,”.
Luk 12:32 - “Janganlah
takut, hai kamu kawanan kecil! Karena Bapamu telah berkenan memberikan kamu
Kerajaan itu.”.
2Pet 1:17 - “Kami
menyaksikan, bagaimana Ia menerima kehormatan dan kemuliaan dari Allah Bapa,
ketika datang kepadaNya suara dari Yang Mahamulia, yang mengatakan: ‘Inilah
Anak yang Kukasihi, kepadaNyalah Aku berkenan.’”.
Catatan: saya tak mengerti apa hubungannya ayat terakhir ini,
sehingga bisa dijadikan ayat referensi.
Dalam bagian ini Lenski kelihatannya menjadi Reformed,
sekalipun tetap ada bau Arminian dalam kata-katanya!
Lenski (tentang Mat 11:27): “The third statement follows: ‘and he to
whom,’ etc. Luther writes that here there is no reluctance on the part of the
Son to reveal the Father but the vast condescension of the Son of this Lord of
heaven and earth (v. 25). He to whom all things have been given speaks here.
‘He to whom,’ etc., has reference to the ‘infants’ mentioned in V. 25. In BOULETAI
we have the EUDOKIA; the Father’s good pleasure and the Son’s will are one. This is not an arbitrary selection of persons who are
admitted to this knowledge but the pure grace which fills all whom it can
induce to discard their own empty and haughty wisdom. The strong
verb EPIGINOSKEIN applies also to these persons. They shall know with real
experimental heart knowledge as children know their Father on the basis of all
the manifestations of his fatherhood and his love. This is supreme spiritual
blessedness but a closed book to the wise and intelligent of this world. Only
by the Son’s revelation can any man really know the Father and by no wisdom of
his own. ‘Here the bottom falls out of all merit,
all powers and abilities of reason, or the free will men dream of, and it all
counts nothing before God; Christ must do and must give everything.’ Luther.
Jesus wills to reveal the Father only through his own person, work, and Word,
John 14:6; 9–11; for in no other way can a poor sinner ever come to know God.” [= Pernyataan ketiga mengikuti: ‘dan ia yang kepadanya’, dst. Luther menulis bahwa di sini tidak
ada keengganan dari Anak untuk menyatakan Bapa tetapi perendahan yang sangat
besar dari Anak dari Tuhan surga / langit dan bumi ini (ay 25). Ia kepada siapa
segala sesuatu telah diberikan berbicara di sini. ‘Ia yang kepadanya’, dst.,
mempunyai referensi / hubungan dengan ‘bayi-bayi’ yang disebutkan dalam
ay 25. Dalam BOULETAI (= menghendaki) kita mempunyai EUDOKIA (= berkenan); perkenan yang baik dari Bapa dan kehendak
Anak adalah satu. Ini
bukanlah suatu penyeleksian yang sewenang-wenang dari orang-orang yang diterima
pada pengenalan ini tetapi kasih karunia murni yang mengisi semua yang bisa
dibujuknya untuk membuang hikmat mereka sendiri yang kosong dan sombong. Kata kerja yang keras EPIGINOSKEIN (= mengenal) juga diterapkan kepada orang-orang ini.
Mereka akan mengenal dengan pengenalan hati yang bersifat pengalaman yang nyata
seperti anak-anak mengenal Bapa mereka berdasarkan semua manifestasi dari
kebapaannya dan kasihnya. Ini adalah keberkatan rohani yang tertinggi tetapi
suatu kitab yang tertutup bagi orang bijak dan orang pandai dari dunia ini.
Hanya oleh penyataan / wahyu Anak maka manusia manapun bisa dengan
sungguh-sungguh mengenal Bapa dan bukan oleh hikmatnya sendiri. ‘Di sini dasar dari semua jasa rontok, semua kuasa dan
kemampuan dari akal, atau kehendak bebas yang dimimpikan manusia, dan itu semua
tak ada nilainya di hadapan Allah; Kristus harus melakukan dan harus memberikan
segala sesuatu’ (Luther). Yesus
menghendaki untuk menyatakan Bapa hanya melalui diriNya sendiri, pekerjaanNya,
dan FirmanNya, Yoh 14:6; 9-11; karena tidak ada jalan lain dalam mana seorang
berdosa pernah bisa mengenal Allah.].
Yoh 14:6,9-11 - “(6)
Kata Yesus kepadanya: ‘Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada
seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku. ... (9) Kata Yesus
kepadanya: ‘Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau
tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa;
bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami. (10) Tidak
percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku
katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diriKu sendiri, tetapi Bapa, yang diam
di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaanNya. (11) Percayalah kepadaKu,
bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku; atau setidak-tidaknya,
percayalah karena pekerjaan-pekerjaan itu sendiri.”.
William Hendriksen (tentang Mat 11:27): “Since the Son knows the Father he, he
alone, is able to reveal him, and does reveal him (John 1:18; 6:46; 14:8–11).
Therefore to the words ‘nor does anyone know the Father but the Son’ there is
added: ‘and he to whom the Son is willing
to reveal (him).’ This must not be interpreted to mean that the Son is
reluctant to reveal the Father, for just a moment ago (verse 25) the Son has
been praising the Father for having revealed salvation to his humble children.
The words indicate that the salvation of God’s children is dependent not upon
anything in man but solely upon revelation, and that this revelation, in turn,
is based solely upon the will and delight of both the Father and the Son, for
not only as to essence but also as to purpose Father and Son are one (John
10:30). From start to finish therefore salvation is based on sovereign grace.” [= Karena Anak mengenal Bapa, Ia, Ia sendiri, bisa
menyatakan Dia, dan memang menyatakan Dia (Yoh 1:18; 6:46; 14:8-11). Karena itu
kepada kata-kata ‘tak seorangpun mengenal Bapa kecuali Anak’ di sana
ditambahkan ‘dan ia kepada siapa Anak itu menghendaki untuk menyatakan (Dia)’. Ini
tidak boleh ditafsirkan untuk berarti bahwa Anak itu enggan untuk menyatakan
Bapa, karena sesaat yang lalu (ayat 25) Anak telah memuji Bapa karena telah
menyatakan keselamatan kepada anak-anakNya yang rendah hati / sederhana. Kata-kata itu menunjukkan bahwa
keselamatan dari anak-anak Allah tergantung bukan pada apapun dalam diri
manusia tetapi semata-mata pada wahyu / penyataan dan wahyu / penyataan ini,
dalam urut-urutannya, didasarkan semata-mata pada kehendak dan kesenangan dari
baik Bapa dan Anak, karena
bukan hanya berkenaan dengan hakekat tetapi juga berkenaan dengan tujuan /
rencana Bapa dan Anak adalah satu (Yoh 10:30). Karena
itu, dari awal sampai akhir, keselamatan didasarkan pada kasih karunia yang
berdaulat.].
Yoh 1:18 - “Tidak seorangpun yang
pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa,
Dialah yang menyatakanNya.”.
Yoh 6:46 - “Hal itu tidak berarti,
bahwa ada orang yang telah melihat Bapa. Hanya Dia yang datang dari Allah,
Dialah yang telah melihat Bapa.”.
Yoh 14:8-11 - “(8) Kata Filipus
kepadaNya: ‘Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi
kami.’ (9) Kata Yesus kepadanya: ‘Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu,
Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia
telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada
kami. (10) Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam
Aku? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diriKu sendiri,
tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaanNya. (11)
Percayalah kepadaKu, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku; atau setidak-tidaknya,
percayalah karena pekerjaan-pekerjaan itu sendiri.”.
Calvin (tentang Mat 11:27): “‘None knoweth the Father except the
Son, and he to whom the Son shall be pleased to reveal him.’ ... The passage
may be thus summed up: First, it is the gift of the Father, that the Son is
known, because by his Spirit he opens the eyes of our mind to discern the glory
of Christ, which otherwise would have been hidden from us.” (= ‘Tidak
seorangpun mengenal Bapa selain Anak, dan ia kepada siapa Anak itu berkenan menyatakan
Dia.’ Text ini bisa disimpulkan seperti ini: Pertama, itu merupakan karunia
dari Bapa, bahwa Anak itu dikenal, karena oleh RohNya Ia membuka mata dari
pikiran kita untuk melihat kemuliaan Kristus, yang kalau tidak akan tersembunyi
dari kita.).
9. 2Pet 1:1 - “Dari
Simon Petrus, hamba dan rasul Yesus Kristus, kepada mereka yang bersama-sama dengan kami memperoleh iman oleh karena keadilan Allah dan
Juruselamat kita, Yesus Kristus.”.
Bagian
yang saya garis-bawahi itu kurang terjemahannya.
KJV:
‘to them that have obtained
like precious faith with us’ (= kepada mereka yang telah mendapatkan iman yang sama
berharganya dengan kita).
RSV: ‘To those who have obtained a faith of equal standing with ours’ (=
Kepada mereka yang telah mendapatkan suatu iman yang kedudukannya setara dengan iman
kita).
NIV: ‘To those who ...
have received a
faith as precious as ours’ (= Kepada mereka yang ... telah menerima suatu iman yang
sama berharganya dengan iman kita).
NASB: ‘To those who
have received a
faith of the same kind as ours’ (= Kepada mereka yang telah menerima suatu iman dari
jenis yang sama seperti iman kita).
Adam Clarke sama sekali
tidak membahas kata ‘memperoleh’ / ‘mendapatkan’ /
‘menerima’ ini.
Calvin: “This is a
commendation of the grace which God had indiscriminately shewed to all his
elect people; for it was no common gift, that they had all been called to one
and the same faith, ...” (= Ini adalah suatu pujian / penghargaan
tentang kasih karunia yang Allah telah tunjukkan secara tak pandang bulu kepada
semua orang-orang pilihanNya; karena itu bukanlah pemberian umum, bahwa mereka
semua telah dipanggil kepada iman yang satu dan yang sama, ...).
Matthew Henry: “This precious faith is obtained of God. Faith is the
gift of God, wrought by the Spirit, who raised up Jesus Christ from the dead.” (= Iman yang berharga ini didapatkan dari
Allah. Iman adalah karunia / pemberian
dari Allah, dikerjakan oleh Roh, yang membangkitkan Yesus dari
antara orang mati.).
Lenski: “Λαγχάνω means ‘to obtain by lot’ and then simply ‘to
obtain,’ yet not without the connotation expressed in Acts 11:17, the fact that
God gave them this valuable
gift, their faith.” (= Lankhano
berarti ‘mendapatkan oleh undian’ dan lalu sekedar ‘mendapatkan’, tetapi
bukannya tanpa konotasi / pengertian tambahan yang dinyatakan dalam Kis 11:17,
fakta bahwa Allah memberikan mereka karunia / pemberian yang berharga ini, iman
mereka.).
Kis 11:15-17 - “(15) Dan ketika aku mulai berbicara, turunlah Roh Kudus ke atas
mereka, sama seperti dahulu ke atas kita. (16) Maka teringatlah aku akan
perkataan Tuhan: Yohanes membaptis dengan air, tetapi kamu akan dibaptis dengan
Roh Kudus. (17) Jadi jika Allah memberikan karuniaNya
kepada mereka sama seperti kepada kita pada waktu kita mulai percaya kepada
Yesus Kristus, bagaimanakah mungkin aku mencegah Dia?’”.
Catatan:
a. Saya
berpendapat bahwa Lenski salah dalam menggunakan ayat. Kis 11:17 itu kalau
dilihat dari ayat-ayat yang mendahuluinya, menunjukkan bahwa karunia yang
dimaksudkan dalam ay 17nya bukanlah iman tetapi karunia Roh Kudus atau Roh
Kudusnya sendiri.
b. Dalam
kutipan dari Lenski ini, saya tak mengerti apa yang ia maksudkan pada bagian
yang saya garis-bawahi.
Pulpit Commentary: “The
word rendered ‘obtained’ (TOIS LAKHOUSIN) means properly ‘to obtain by lot,’ as
in Luke 1:9. It is noticeable that one of the few places in which it occurs in
the New Testament is in a speech of St. Peter’s (Acts 1:17); its use here implies that faith is a gift of God” [= Kata yang diterjemahkan ‘mendapatkan / menerima / memperoleh’
(TOIS LAKHOUSIN) sebetulnya berarti ‘mendapatkan oleh undian’,
seperti dalam Luk 1:9. Bisa terlihat dengan jelas bahwa salah satu dari
beberapa tempat dimana kata itu muncul dalam Perjanjian Baru adalah dalam
khotbah Santo Petrus (Kis 1:17); penggunaannya di
sini secara implicit menunjukkan bahwa iman adalah suatu karunia dari Allah].
Luk 1:9 - “Sebab ketika diundi,
sebagaimana lazimnya, untuk menentukan imam yang bertugas, dialah yang ditunjuk
untuk masuk ke dalam Bait Suci dan membakar ukupan di situ.”.
Kis 1:17 - “Dahulu ia termasuk bilangan kami dan mengambil bagian di dalam pelayanan ini.’”.
Bible Knowledge Commentary: “‘Received’ is from the unusual verb lanchano, ‘to obtain by lot’ (cf.
Luke 1:9; John 19:24). This implies God’s sovereign choice rather than anything
they might have done to deserve such a gift”
[= Kata ‘menerima’ berasal dari kata kerja yang tidak umum / luar biasa LANKHANO, ‘mendapatkan
oleh undian’ (bdk. Luk 1:9; Yoh 19:24). Ini
secara implicit menunjukkan pemilihan yang berdaulat dari Allah dan bukannya
dari apapun yang mereka telah lakukan untuk layak mendapatkan karunia seperti
itu].
Luk 1:9 - “Sebab ketika diundi, sebagaimana lazimnya, untuk menentukan imam yang
bertugas, dialah yang ditunjuk untuk masuk ke dalam Bait Suci dan membakar
ukupan di situ”.
Yoh 19:24 - “Karena itu mereka berkata seorang kepada yang lain:
‘Janganlah kita membaginya menjadi beberapa potong, tetapi baiklah kita membuang undi
untuk menentukan siapa yang mendapatnya.’ Demikianlah hendaknya supaya genaplah
yang ada tertulis dalam Kitab Suci: ‘Mereka membagi-bagi pakaianKu di antara
mereka dan mereka membuang undi atas jubahKu.’ Hal itu telah dilakukan
prajurit-prajurit itu”.
Mengapa Petrus
menggunakan kata kerja yang sebetulnya berarti ‘mendapatkan
oleh undian’? Apakah dalam melakukan pemilihan, Tuhan melakukannya
dengan pengundian? Tentu tidak. Perhatikan penjelasan dari Jamieson, Fausset
& Brown di bawah ini.
Jamieson, Fausset &
Brown: “Divine election
is as independent of man’s control, as the lot which is cast forth.” (= Pemilihan ilahi sama tak
tergantungnya pada kendali manusia, seperti undian yang dilemparkan.).
Bdk. Amsal 16:33 - “Undi dibuang di
pangkuan, tetapi setiap keputusannya berasal dari
pada TUHAN.”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar