Oleh: Pdt. Budi Asali, M.Div
Kalimat ketujuh
Luk 23:46
Luk 23:46 - “Lalu
Yesus berseru dengan suara nyaring: ‘Ya Bapa, ke dalam tanganMu Kuserahkan
nyawaKu.’ Dan sesudah berkata demikian Ia menyerahkan nyawaNya”.
Ayat-ayat lain yang berhubungan
dengan Luk 23:46 adalah:
·
Mat 27:50 - “Yesus berseru pula
dengan suara nyaring lalu menyerahkan nyawaNya”.
·
Mark 15:37 - “Lalu berserulah
Yesus dengan suara nyaring dan menyerahkan nyawaNya (EXEPNEUSEN)”.
·
Yoh 19:30 - “Sesudah Yesus
meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: ‘Sudah selesai.’ Lalu Ia menundukkan
kepalaNya dan menyerahkan nyawaNya”.
Catatan: semua kata ‘nyawa’ dalam
Mat 27:50 Luk 23:46a dan
Yoh 19:30 seharusnya adalah ‘roh’ (Yunani:
PNEUMA). Tetapi kata-kata ‘menyerahkan nyawaNya’
dalam Mark 15:37 dan Luk 23:46b adalah EXEPNEUSEN. Kata Yunani ini
juga muncul dalam Mark 15:39.
A. T. Robertson dalam tafsirannya
tentang Luk 23:46 mengatakan bahwa kata Yunani EXEPNEUSEN berasal dari
kata Yunani EKPNEO, yang berasal dari akar kata PNEUMA.
I) Kata-kata ini dikutip dari kata-kata Daud dalam Perjanjian Lama.
1) Kalimat ini merupakan bagian dari Kitab Suci
(Perjanjian Lama).
A. T. Robertson
mengatakan bahwa kata-kata yang Yesus ucapkan dalam Luk 23:46 itu dikutip
dari Maz 31:6 - “Ke dalam tanganMulah
kuserahkan nyawaku; Engkau membebaskan aku, ya TUHAN, Allah yang setia”.
Matthew Henry juga
berpandangan seperti A. T. Robertson dalam hal ini.
Perhatikan bahwa
Kristus hanya mengutip / mengucapkan Maz 31:6a, tetapi tidak
Maz 31:6b. Mengapa? Adam Clarke mengatakan karena memang hanya
Maz 31:6a yang cocok dengan Dia, sedangkan Maz 31:6b-nya tidak cocok.
William Hendriksen juga berpendapat sama dengan Clarke.
Ada penafsir
seperti Jamieson, Fausset & Brown yang mengatakan bahwa Maz 31:6b juga
berlaku untuk Kristus, dan menunjuk pada pembebasan Kristus oleh Bapa dari
Setan, kematian dan kubur, dalam kebangkitanNya dari antara orang mati.
Tetapi saya
lebih setuju dengan tafsiran Clarke / William Hendriksen.
Matthew Henry
(tentang Luk 23:46): “He
borrowed these words from his father David (Ps. 31:5); not that he needed to
have words put into his mouth, but he chose to make use of David’s words to
show that it was the Spirit of Christ that testified in the Old-Testament
prophets, and that he came to fulfil the scripture. Christ died with scripture
in his mouth. Thus he directs us to make use of scripture language in our
addresses to God” [= Ia meminjam kata-kata ini
dari nenek moyangNya, Daud (Maz 31:6); bukan bahwa Ia butuh kata-kata untuk
diletakkan ke dalam mulutNya, tetapi Ia memilih untuk menggunakan kata-kata
Daud untuk menunjukkan bahwa adalah Roh Kristus yang bersaksi dalam nabi-nabi
Perjanjian Lama, dan bahwa Ia datang untuk menggenapi Kitab Suci. Kristus mati
dengan Kitab Suci di mulutNya. Demikianlah Ia mengarahkan kita untuk
menggunakan bahasa / kata-kata dari Kitab Suci dalam berbicara kepada Allah].
Albert Barnes,
dalam tafsirannya tentang Maz 31:6, mengatakan bahwa sekalipun Kristus
menggunakan kata-kata dalam Maz 31:6a, itu tidak berarti bahwa kata-kata
itu betul-betul menunjuk kepada Dia, dan merupakan suatu nubuat yang lalu
digenapi olehNya. Ia mengucapkan kata-kata itu, hanya karena kata-kata itu
cocok dengan Dia.
Barnes’ Notes
(tentang Maz 31:5): “this
does not prove that the psalm had originally a reference to him, or that he
meant to intimate that the words originally were a prophecy. The language
was appropriate for him, as it is for all others in the hour of death; and his
use of the words furnished the highest illustration of their being appropriate
in that hour. The act of the psalmist was an act of strong confidence in God in
the midst of dangers and troubles; the act of the Saviour was of the same
nature, commending his spirit to God in the solemn hour of death”
(= ini tidak membuktikan bahwa mazmur itu dari semula mempunyai hubungan
dengan Dia, atau bahwa Ia memaksudkan untuk menunjukkan bahwa kata-kata itu
dari semula merupakan suatu nubuat. Bahasa / kata-kata itu cocok bagi Dia,
seperti itu cocok bagi semua orang lain pada saat kematian; dan penggunaan
kata-kata ini olehNya memberikan ilustrasi tertinggi tentang kecocokan kata-kata
itu pada saat itu. Tindakan dari si pemazmur merupakan tindakan dari keyakinan
yang kuat kepada Allah di tengah-tengah bahaya dan kesukaran; tindakan dari
sang Juruselamat merupakan tindakan yang sifatnya sama, menyerahkan rohNya
kepada Allah pada saat yang khidmat dari kematian).
2) Perbedaan Daud dan Yesus dalam mengucapkan
kalimat ini.
Lenski, dalam
tafsirannya tentang Luk 23:46, menekankan perbedaan antara Daud dan Yesus,
dalam mengucapkan kata-kata ini, yaitu:
a) Yesus menambahkan kata ‘Bapa’,
yang tidak ada dalam Maz 31:6.
Ingat bahwa
dalam arti sebenarnya, Yesus adalah satu-satunya Anak dari Bapa, dan karena itu
Ia disebut sebagai Anak Tunggal (Yoh 1:14,18).
b) Pada saat Daud mengucapkan
kata-kata itu, ia bukannya sedang sekarat / mau mati. Kata-kata itu diucapkan
justru supaya ia luput dari kematian. Sedangkan Kristus mengucapkan kata-kata
itu pada saat mau mati. Dia bukannya mengucapkan kata-kata itu supaya
diluputkan dari kematian.
c) Daud mengucapkan kata-kata
itu pada saat ia sedang ada dalam kesukaran, dan ia mengucapkan kata-kata itu
supaya Allah menolongnya dari kesukaran itu. Kristus mengucapkan kata-kata itu,
setelah Ia mengucapkan kata-kata ‘Sudah selesai’, dan
jelas menunjukkan bahwa kesukaran yang Ia alami memang sudah lewat, dan karena
itu, Ia lalu menyerahkan rohNya ke dalam tangan Bapa.
Lenski
(tentang Luk 23:46): “The
appropriation of David’s words on the part of Jesus is thus to be understood
only in a limited sense and should not be stressed beyond this narrow
limitation” (= Karena itu, kecocokan
kata-kata Daud pada pihak Yesus harus dimengerti hanya dalam arti yang
terbatas, dan tidak boleh ditekankan melebihi batasan yang sempit ini)
- hal 1153.
II) Kematian yang sengaja dan sukarela dari Yesus.
Ini merupakan
kematian yang sukarela dan disengaja oleh Yesus. Bukti-bukti berkenaan dengan
kesengajaan dan kesukarelaan dari kematian Yesus ini:
1) Ayat-ayat di atas mengatakan bahwa Yesus ‘menyerahkan
nyawa / rohNya’.
Bahwa Yesus
menyerahkan rohNya, menunjukkan bahwa:
a) KematianNya merupakan tindakan aktif.
Untuk
menunjukkan kelahiranNya, Ia sering menggunakan kata ‘datang’
yang menunjukkan tindakan aktif (Yoh 1:11
10:10 dsb).
Sekarang
untuk menunjukkan kematianNya, Ia menggunakan kata ‘Kuserahkan rohKu’
yang juga merupakan tindakan aktif.
Semua
ini menunjukkan bahwa Yesus bukan sekedar manusia biasa, tetapi juga adalah
Allah sendiri!
Catatan:
kata-kata Yesus ini sekalipun mirip, tetapi berbeda, dengan kata-kata Stefanus:
“Tuhan
Yesus, terimalah rohku” (Kis 7:59). Kata-kata Stefanus
ini tidak menunjuk pada tindakan aktif, dan juga tidak menunjukkan bahwa Ia
mati oleh kehendaknya sendiri. Kata-kata Stefanus ini hanya merupakan suatu
permohonan supaya rohnya diterima oleh Yesus.
Arthur W.
Pink: “The uniqueness of
our Lord’s action may be seen by comparing His words on the Cross with those of
dying Stephen. As the first Christian martyr came to the brink of the river, he
cried, ‘Lord Jesus, receive my spirit’ (Acts 7:59). But in contrast with this
Christ said, ‘Father, into Thy hands I commend My spirit.’ Stephen’s spirit was
being taken from him. Not so with the Saviour. None could take from Him His
life. He ‘gave up’ His spirit” [= Keunikan dari
tindakan Tuhan kita bisa terlihat dengan membandingkan kata-kataNya di kayu
salib dengan kata-kata dari Stefanus yang sedang sekarat. Pada waktu martir
Kristen pertama itu sampai di tepi sungai, ia berseru: ‘Tuhan Yesus, terimalah
rohku’ (Kis 7:59). Tetapi kontras dengan ini Kristus berkata: ‘Bapa, ke
dalam tanganMu Kuserahkan rohKu’. Roh Stefanus diambil dari dia. Tidak demikian
dengan sang Juruselamat. Tidak seorangpun bisa mengambil nyawaNya dari Dia. Ia
‘menyerahkan’ rohNya] - ‘The
Seven Sayings of the Saviour on the Cross’, hal 5.
Catatan: ‘sampai di tepi sungai’
menunjuk pada perbatasan antara hidup dan mati.
b) Ia mati karena kehendakNya sendiri.
Bdk. Yoh 10:17-18 - “(17) Bapa mengasihi Aku, oleh
karena Aku memberikan nyawaKu untuk menerimanya kembali. (18) Tidak
seorangpun mengambilnya dari padaKu, melainkan Aku memberikannya menurut kehendakKu sendiri. Aku
berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah tugas yang
Kuterima dari BapaKu.’”.
William Hendriksen: “He gave it. No one
took it away from him. He laid down his life” (= Ia menyerahkannya. Tidak
seorangpun yang mengambilnya dari Dia. Ia menyerahkan nyawaNya) - hal 435.
A. T. Robertson (tentang Mat 27:50)
mengutip kata-kata Agustinus: “He gave up his life because he willed it,
when he willed it, and as he willed it”
(= Ia menyerahkan nyawaNya karena Ia menghendakinya, pada saat Ia
menghendakinya, dan sebagaimana Ia menghendakinya).
Arthur W.
Pink: “The Death of
Christ was super-natural. By this we mean that it was different from every
other death. In all things He has the pre-eminence. His birth was different from
all other births. His life was different from all other lives. And His death
was different from all other deaths. This was clearly intimated in His own
utterance upon the subject - ‘Therefore doth My Father love Me, because I lay
down My life, that I might take it again. No man taketh it from Me, but I lay
it down Myself. I have power to take it again’ (John 10:17,18)”
[= Kematian Kristus merupakan sesuatu yang bersifat supra natural. Dengan ini
kami memaksudkan bahwa kematianNya itu berbeda dengan setiap kematian yang
lain. Dalam segala hal Ia mempunyai keunggulan. KelahiranNya berbeda dengan
semua kelahiran yang lain. KehidupanNya berbeda dengan semua kehidupan yang
lain. Dan kematianNya berbeda dengan semua kematian yang lain. Ini dengan jelas
ditunjukkan dalam ucapanNya sendiri tentang hal ini - ‘Bapa mengasihi Aku, oleh karena
Aku memberikan nyawaKu untuk menerimanya kembali. Tidak seorangpun mengambilnya
dari padaKu, melainkan Aku memberikannya menurut kehendakKu sendiri. Aku
berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali’
(Yoh 10:17-18)] - ‘The Seven
Sayings of the Saviour on the Cross’, hal 3.
Adam Clarke
(tentang Mat 27:50): “as
giving up the spirit, ghost, or soul, is an act not proper to man, though
commending it to God, in our last moments, is both an act of faith and piety;
and as giving up the ghost, i. e. dismissing his spirit from his body, is
attributed to Jesus Christ, to whom alone it is proper, I therefore
object against its use in every other case” (= karena
penyerahan roh atau jiwa bukanlah suatu tindakan yang cocok bagi manusia,
sekalipun tindakan mempercayakannya kepada Allah, pada saat terakhir kita,
merupakan suatu tindakan iman dan kesalehan; dan karena penyerahan roh, yaitu
pembubaran / pembebasan rohNya dari tubuhNya, dihubungkan dengan Yesus Kristus,
bagi siapa itu cocok, maka karenanya saya menentang penggunaannya dalam
setiap kasus yang lain).
Catatan: saya tidak bisa
menterjemahkan bagian yang saya garis bawahi itu dengan persis, dan ada kata
penting yang saya hilangkan, yaitu kata ‘alone’
(= hanya, sendirian, seorang diri). Adanya kata itu menunjukkan bahwa Clarke
menganggap bahwa hanya Kristus yang bisa melakukan hal itu, tidak ada orang
lain yang bisa.
Wycliffe Bible Commentary (tentang Mat 27:50): “All the Synoptics indicate the death of Christ was not the
exhaustion of crucifixion, but a voluntary surrender of his life” (= Semua Injil sinoptik menunjukkan bahwa kematian Kristus
bukanlah karena kehabisan tenaga karena penyaliban, tetapi merupakan suatu
penyerahan yang sukarela dari nyawaNya).
Leon Morris
(NICNT) - tentang Yoh 19:30: “John
goes on, ‘and gave up his spirit’. This is not the usual way of referring to
death. Indeed in none of the four Gospels is there any usual expression to
describe the manner of Jesus’ end. His relation to death is not the same as
that of other people. It may be going too far to say that He ‘dismissed His
spirit’, but there does seem to be an element of voluntariness that is not
found in the case of others” (= Yohanes melanjutkan ‘dan
menyerahkan nyawa / rohNya’. Ini bukan suatu cara yang biasa untuk menunjuk
pada kematian. Dalam keempat Injil tidak ada ungkapan biasa untuk menggambarkan
cara kematian dari Yesus. HubunganNya dengan kematian tidaklah sama dengan
hubungan orang-orang lain dengan kematian. Mungkin terlalu jauh untuk
mengatakan bahwa Ia ‘membubarkan rohNya’, tetapi memang kelihatannya ada suatu
unsur kesengajaan / kesukarelaan yang tidak ditemukan dalam kasus orang-orang
lain) - hal 815-816.
2) Dalam bahasa Yunani kata-kata ‘menyerahkan
nyawa / roh’ itu bukan merupakan imperfect tense, tetapi aorist
tense.
Wycliffe Bible Commentary (tentang Mark 15:37): “‘Gave up the ghost.’ The Greek word is exepneusen ... It was not a prolonged struggle, such
as the imperfect tense would describe. Instead, the aorist tense depicts a
brief, momentary occurrence. He breathed out his spirit and was gone” (= ‘Menyerahkan rohNya’. Kata Yunaninya adalah EXEPNEUSEN ... Itu
bukanlah suatu pergumulan yang berkepanjangan, seperti seandainya
digunakan imperfect tense untuk menggambarkan hal itu. Sebaliknya, digunakan
aorist / past tense yang menggambarkan suatu kejadian yang singkat /
sebentar. Ia menghembuskan rohNya dan pergi).
Kalau Ia
betul-betul mati sepenuhnya dan semata-mata karena penyaliban itu, maka Ia
pasti mati melalui suatu pergumulan yang berkepanjangan. Bahwa matinya itu
merupakan suatu tindakan sesaat, menunjukkan bahwa Ia mati dengan sengaja /
sukarela, dan sesuai dengan kehendakNya sendiri.
3) Ia mengucapkan kata-kata dalam Luk 23:46 itu dengan
suara nyaring.
Luk 23:46 -
“Lalu
Yesus berseru dengan suara nyaring:
‘Ya Bapa, ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu.’ Dan sesudah berkata demikian
Ia menyerahkan nyawaNya”.
Bahwa Yesus
mengucapkan kata-kata itu ‘dengan suara nyaring’
jelas berbeda dengan pengucapan kata-kata yang keluar dari mulut orang lain
yang sedang sekarat, yang biasanya hampir-hampir tak terdengar, karena orangnya
memang sudah tidak mempunyai kekuatan untuk mengucapkannya. Bahwa Kristus bisa
mengucapkan kata-kata terakhir itu dengan suara nyaring, menunjukkan bahwa
sekalipun Ia telah mengalami semua rasa sakit dan kelelahan itu, Ia tetap cukup
kuat. Ini menunjukkan bahwa kehidupanNya / nyawaNya bukan ‘diambil dengan
paksa’ dari Dia, tetapi dengan sukarela Ia berikan kepada Bapa.
A. T. Robertson (tentang Mat 27:50): “Jesus
did not die from slow exhaustion, but with a loud cry”
(= Yesus tidak mati karena pelan-pelan kehabisan tenaga, tetapi dengan teriakan
yang nyaring).
Arthur W.
Pink: “Why is it that the
Holy Spirit tells us that the Saviour uttered that terrible cry ‘with a loud
voice?’ ... Do they not intimate that His strength had not failed Him? that He
was still the Master of Himself, that instead of being conquered by death, He
was but yielding Himself to it?” (= Mengapa Roh
Kudus memberitahu kita bahwa sang Juruselamat mengucapkan teriakan yang dahsyat
itu ‘dengan suara yang nyaring’? ... Bukankah ini menunjukkan bahwa kekuatanNya
belum meninggalkanNya? bahwa Ia masih tetap merupakan tuan dari diriNya
sendiri, dan bukannya dikalahkan oleh kematian, tetapi Ia hanya menyerahkan
diriNya sendiri kepada kematian itu?) - ‘The Seven Sayings of the Saviour on the Cross’, hal 4.
4) Ia menundukkan kepalaNya, lalu menyerahkan
nyawa / rohNya.
Bdk.
Yoh 19:30 - “Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah
Ia: ‘Sudah selesai.’ Lalu Ia menundukkan kepalaNya dan menyerahkan nyawaNya”.
Ada 2 hal yang
perlu diperhatikan:
a) Ia menundukkan kepala dengan sengaja.
Arthur W.
Pink (tentang Yoh 19:30): “What
are we intended to learn from these words? What is here signified by this act
of the Saviour? Surely the answer is not far to seek. The implication is clear.
Previous to this our Lord’s head had been held erect. It was no impotent
sufferer that hung there in a swoon. Had that been the case His head had lolled
helplessly on His chest, and it would have been impossible for Him to ‘bow’ it.
And mark attentively the verb used here: it is not His head ‘fell,’ but He -
consciously, calmly, reverently - bowed His head”
(= Apa yang dimaksudkan untuk kita pelajari dari kata-kata ini? Apa yang
ditunjukkan di sini oleh tindakan sang Juruselamat ini? Jelas bahwa jawabannya
tidak usah dicari terlalu jauh. Maksud / pengertiannya jelas. Sebelum ini
kepala Tuhan kita tetap tegak. Itu bukanlah seorang penderita yang tidak
bertenaga yang tergantung di sana dengan lemah. Seandainya itu merupakan
kasusnya maka kepalaNya telah bersandar tak berdaya di dadaNya, dan adalah
tidak mungkin bagiNya untuk menundukkannya. Dan perhatikanlah dengan penuh
perhatian kata kerja yang digunakan di sini: bukan bahwa kepalaNya ‘jatuh’,
tetapi Ia, dengan sadar, dengan pelan-pelan / tenang, dengan hormat,
menundukkan kepalaNya) - ‘The
Seven Sayings of the Saviour on the Cross’, hal 5.
b) Ia menundukkan kepalaNya dulu, baru menyerahkan
nyawa / roNya.
Perhatikan
bahwa urut-urutannya adalah ‘menundukkan kepalaNya’
lebih dulu, dan setelah itu baru ‘menyerahkan nyawa / rohNya’!
Renungkan / pikirkan hal ini! Bukankah ini aneh dan seharusnya terbalik?
Matthew
Henry (tentang Yoh 19:30): “he
bowed his head. Those that were crucified, in dying stretched up their heads to
gasp for breath, and did not drop their heads till they had breathed their
last; but Christ, to show himself active in dying, bowed his head first,
composing himself, as it were, to fall asleep”
(= ‘Ia menundukkan kepalaNya’. Mereka yang disalibkan, pada saat mati
menjulurkan kepala mereka ke atas untuk mengambil nafas, dan tidak menjatuhkan
kepala mereka sampai mereka telah menghembuskan nafas terakhir mereka; tetapi Kristus,
untuk menunjukkan diriNya sendiri aktif dalam matiNya, menundukkan kepalaNya lebih
dulu, menyusun / mengatur tubuhNya sendiri, seakan-akan jatuh tertidur).
Saya menganggap
ini sebagai suatu komentar yang luar biasa, dan memang menunjukkan bahwa kematianNya
itu disengaja. Tetapi Matthew Henry lalu menambahkan sebagai berikut:
Matthew
Henry (tentang Yoh 19:30): “God
had laid upon him the iniquity of us all, putting it upon the head of this
great sacrifice; and some think that by this bowing of his head he would
intimate his sense of the weight upon him” (= Allah telah
meletakkan padaNya kejahatan kita sekalian, meletakkannya pada kepala dari
Korban agung ini; dan beberapa orang menganggap bahwa dengan menundukkan
kepalaNya ini Ia menunjukkan perasaanNya tentang berat dari beban itu padaNya).
Catatan: Saya tidak tahu apakah
kata-kata / pandangan Matthew Henry yang ini bisa dibenarkan.
5) Bukti-bukti dari bagian-bagian lain dari
Kitab Suci:
a) Pada waktu Ia tahu bahwa
waktunya sudah tiba bagiNya untuk mati, Ia sengaja pergi ke Yerusalem (Mat
16:21-24).
b) Pada waktu ditangkap, Ia
tidak melawan / lari (Yoh 18:1-11).
c) A. W. Pink menganggap bahwa
kematian Yesus yang terjadi begitu ‘cepat’ (hanya dalam 6 jam) pada waktu
disalibkan, sehingga membuat Pontius Pilatus menjadi heran (Mark 15:44), karena
kematian karena salib biasanya baru terjadi dalam 2-3 hari, menunjukkan bahwa
Ia memang sengaja menyerahkan nyawaNya / rohNya.
Penerapan: kerelaan dan kesengajaan
Yesus untuk menderita dan mati bagi kita harus selalu kita renungkan dan
camkan, khususnya pada saat kita sendiri segan, berat hati, tidak rela
melakukan apapun yang Ia kehendaki untuk kita lakukan, seperti:
- berbakti.
- belajar Firman Tuhan.
- berdoa.
- melayani.
- memberitakan Injil.
- memberikan persembahan / persembahan persepuluhan.
- mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, dan kesenangan kita, dan bahkan diri kita sendiri, untuk kepentinganNya / kemuliaanNya.
Pantaskah
kerelaanNya kita balas dengan ketidak-relaan kita?
III) Hal-hal theologis berkenaan dengan kematian Yesus.
1) Ini menunjukkan roh / jiwa tetap ada pada
saat terpisah dari tubuh.
Matthew Henry:
“By this it appears that our Lord
Jesus, as he had a true body, so he had a reasonable soul, which existed in a
state of separation from the body” (= Dengan ini
terlihat bahwa Tuhan kita Yesus, sebagaimana Ia mempunyai tubuh yang
sungguh-sungguh, demikian juga Ia mempunyai jiwa yang bisa berpikir, yang tetap
ada dalam keadaan terpisah dari tubuh).
Adam Clarke
(tentang Luk 23:46): “Another
proof of the immateriality of the soul, and of its separate existence when the
body is dead” (= Bukti yang lain dari jiwa
yang bukan bersifat materi, dan tentang keberadaannya yang terpisah pada waktu
tubuh mati).
2) Kematian Yesus tidak mempengaruhi persatuan
LOGOS dengan hakekat manusia Yesus.
Lenski
(tentang Luk 23:46): “The
death of Jesus affected in no way the union of the Logos with the human nature.
This death affected only the human nature, for by it alone was the Son able to
die. God’s Son died in his human nature, and in that alone”
(= Kematian Yesus tidak mempengaruhi dengan cara apapun persatuan Logos dengan
hakekat manusia. Kematian ini hanya mempengaruhi hakekat manusia, karena
olehNya saja Anak bisa mati. Anak Allah mati dalam hakekat manusiaNya, dan
hanya dalam hakekat manusia saja) - hal 1154.
3) Kematian Kristus ini sudah ditetapkan dalam
rencana kekal dari Allah.
Arthur W.
Pink: “the Death of
Christ was preter-natural. By this we mean that it was marked out and
determined for Him beforehand. He was the Lamb slain from the foundation of the
world (Rev. 13:8). Before Adam was created the Fall was anticipated. Before sin
entered the world, salvation from it had been planned by God. In the eternal
counsels of Deity it was fore-ordained that there should be a Saviour for
sinners, a Saviour who should die in order that we might live. ... It was in
view of that approaching Death that God ‘justly passed over the sins done
aforetime’ (Rom. 3:25 R. V.). Had not Christ been, in the reckoning of God, the
Lamb slain from the foundation of the world, every sinning person in the Old
Testament times would have gone down to the Pit the moment he sinned!”
[= Kematian Yesus bersifat preter-natural. Dengan ini kami memaksudkan
bahwa hal itu telah ditandai dan ditentukan bagiNya sebelumnya. Ia adalah Anak
Domba yang disembelih sebelum dunia dijadikan (Wah 13:8). Sebelum Adam
diciptakan, kejatuhan ke dalam dosa telah diantisipasi. Sebelum dosa masuk ke
dalam dunia, keselamatan dari dosa telah direncanakan oleh Allah. Dan rencana
kekal Allah ditentukan lebih dulu bahwa harus ada seorang Juruselamat bagi
orang-orang berdosa, seorang Juruselamat yang harus mati supaya kita bisa
hidup. ... Dengan memandang pada Kematian yang mendekat inilah Allah ‘dengan
adil membiarkan dosa-dosa yang terjadi dahulu’ (Ro 3:25). Seandainya dalam
perhitungan Allah, Kristus bukanlah Anak Domba yang telah disembelih sejak
penciptaan dunia, maka setiap orang yang berbuat dosa dalam jaman Perjanjian
Lama akan sudah turun ke neraka pada saat ia berbuat dosa!] - ‘The Seven Sayings of the Saviour on the
Cross’, hal 2-3.
Catatan: kata ‘preter’ berarti
‘sebelum’ atau ‘lampau’.
Wah 13:8 (KJV): ‘And all that dwell upon the earth shall worship him, whose names are not
written in the book of life of the Lamb slain from the foundation of the
world’ (= Dan
semua yang diam di bumi akan menyembahnya, yang nama-namanya tidak tertulis
dalam kitab kehidupan dari Anak Domba yang disembelih sejak penciptaan dunia).
Ada 2
kemungkinan untuk menterjamahkan ayat ini. Kata-kata ‘sejak penciptaan
dunia’ bisa dihubungkan dengan kata ‘disembelih’,
dan ini yang diambil oleh KJV. Tetapi kata-kata ‘sejak penciptaan
dunia’ juga bisa dihubungkan dengan kata-kata ‘tidak tertulis
dalam kitab kehidupan’, dan ini yang diambil oleh Kitab Suci Indonesia.
Tetapi kalaupun Kitab Suci Indonesia yang benar, kita tetap percaya bahwa
kematian Kristus bagi dosa-dosa umat manusia memang sudah ditentukan dalam
rencana Allah sebelum dunia dijadikan.
Bdk.
Kis 2:23 - “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan
rencanaNya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa
durhaka”.
Ro 3:25 - “Kristus
Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam
darahNya. Hal ini dibuatNya untuk menunjukkan keadilanNya, karena Ia telah
membiarkan dosa-dosa yang telah terjadi dahulu pada masa kesabaranNya”.
4) Yesus adalah Anti Type dari anak domba
Paskah.
Kristus mati
pada sekitar pukul 3 siang, dan itu bertepatan dengan saat penyembelihan domba
Paskah.
Luk 23:44-46
- “(44)
Ketika itu hari sudah kira-kira jam dua belas, lalu kegelapan meliputi seluruh
daerah itu sampai jam tiga, (45) sebab matahari tidak bersinar. Dan
tabir Bait Suci terbelah dua. (46) Lalu Yesus berseru dengan suara nyaring: ‘Ya
Bapa, ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu.’ Dan sesudah berkata demikian Ia
menyerahkan nyawaNya”.
Matthew Henry
(tentang Mat 27:50), dan juga Adam Clarke (tentang Mark 15:37), mengatakan
bahwa saat Kristus mengucapkan kata-kata ini adalah saat penyembelihan domba
Paskah.
Bdk.
Kel 12:6 - “Kamu harus mengurungnya sampai hari yang keempat
belas bulan ini; lalu seluruh jemaah Israel yang berkumpul, harus
menyembelihnya pada waktu senja”.
Dengan demikian
lagi-lagi Yesus menggenapi TYPE dalam Perjanjian Lama, dan Ia menjadi ANTI TYPE
dari domba Paskah.
Bdk.
1Kor 5:7b - “Sebab anak domba Paskah kita juga telah
disembelih, yaitu Kristus”.
Bahwa Kristus
menjadi penggenapan dari type anak domba Paskah ini, maka kita bisa melihat
adanya analogi antara anak domba Paskah itu dengan Kristus. Pada jaman itu, darah
anak domba Paskah, yang disapukan pada ambang pintu, merupakan satu-satunya
jalan untuk bebas dari hukuman Allah. Sekarang, darah Kristus juga merupakan
satu-satunya jalan untuk bebas dari hukuman Allah. Bdk. Ibr 9:22 - “Dan
hampir segala sesuatu disucikan menurut hukum Taurat dengan darah, dan tanpa
penumpahan darah tidak ada pengampunan”.
6) Yesus memang harus betul-betul mati untuk
memikul hukuman dosa yaitu kematian / maut.
Pulpit
Commentary (tentang Mark 15): “the
most stupendous, pathetic, and momentous event which this world has witnessed. The
Being who was ‘the Life’ bowed his head in death”
(= peristiwa yang paling mengagumkan / menakjubkan, menyedihkan, dan penting,
yang telah disaksikan oleh dunia ini. Makhluk / Orang yang adalah ‘hidup’
menundukkan kepalaNya dalam kematian) - hal 316.
Matthew Henry
(tentang Mat 27:50): “That
then he yielded up the ghost. ... His soul was separated from his body, and so
his body was left really and truly dead. It was certain that he did die, for it
was requisite that he should die; ... Death being the penalty for the breach of
the first covenant (Thou shalt surely die), the Mediator of the new covenant
must make atonement by means of death, otherwise no remission, Heb. 9:15”
[= Bahwa lalu Ia menyerahkan rohNya. ... JiwaNya terpisah dari tubuhNya, dan
dengan demikian tubuhNya ditinggalkan dan betul-betul mati. Adalah pasti bahwa
Ia memang mati, karena memang dibutuhkan bahwa Ia harus mati; ... Kematian
merupakan hukuman dari pelanggaran dari perjanjian pertama (pastilah engkau
mati), sang Pengantara dari perjanjian yang baru harus membuat penebusan dengan
cara / melalui kematian, karena kalau tidak, maka tidak ada pengampunan, Ibr
9:15].
Ibr 9:15 - “Karena
itu Ia adalah Pengantara dari suatu perjanjian yang baru, supaya mereka yang
telah terpanggil dapat menerima bagian kekal yang dijanjikan, sebab Ia telah
mati untuk menebus pelanggaran-pelanggara yang telah dilakukan selama
perjanjian yang pertama”.
Catatan: Kata-kata ‘pastilah
engkau mati’ diambil dari Kej 2:17 - “tetapi pohon
pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya,
sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.’”.
George
Hutcheson: “Death,
and no less than death, is the wages of sin; therefore, after the former sufferings,
our Surety behoved also to give up the ghost, to finish his work”
(= Kematian, dan tidak kurang dari kematian, merupakan upah dari dosa; karena
itu, setelah penderitaan-penderitaan sebelumnya, Penanggung kita juga perlu
untuk menyerahkan rohNya, untuk menyelesaikan pekerjaanNya) - hal 405.
George
Hutcheson: “Christ,
by undergoing bodily death for his people, hath hereby purchased that however
they must die, yet death is no punishment of sin to them; for his suffering of
death hath taken that sting out of it” (= Kristus,
dengan mengalami kematian jasmani bagi umatNya, telah dengan ini membeli,
sehingga bagaimanapun mereka harus mati, tetapi kematian itu bukanlah hukuman
dosa bagi mereka; karena penderitaan kematianNya telah mengambil sengat dari kematian
itu) - hal
405.
Bdk. Ibr 2:14-15
- “(14)
Karena anak-anak itu adalah anak-anak dari darah dan daging, maka Ia juga
menjadi sama dengan mereka dan mendapat bagian dalam keadaan mereka, supaya oleh
kematianNya Ia memusnahkan dia, yaitu Iblis, yang berkuasa atas maut; (15) dan
supaya dengan jalan demikian Ia membebaskan mereka yang seumur hidupnya berada
dalam perhambaan oleh karena takutnya kepada maut”.
Dengan telah
terjadinya kematian Kristus untuk menebus dosa-dosa kita, maka kematian,
sekalipun tetap harus terjadi pada diri orang percaya, tidak lagi merupakan
sesuatu yang menakutkan. Kita bisa, bersama-sama dengan Paulus, berkata seperti
dalam Fil 1:21-23 - “(21) Karena bagiku hidup adalah
Kristus dan mati adalah keuntungan. (22) Tetapi jika aku harus hidup di
dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus
kupilih, aku tidak tahu. (23) Aku didesak dari dua pihak: aku ingin pergi
dan diam bersama-sama dengan Kristus - itu memang jauh lebih baik”.
Kesimpulan / penutup.
Sesuai dengan rencana Allah,
Yesus Kristus bukan saja telah mengalami bermacam-macam penderitaan, tetapi
juga telah mati dengan sengaja dan sukarela, untuk menebus dosa-dosa kita.
Karena itu, kalau kita mau percaya kepadaNya, sekalipun kita tetap akan mati,
tetapi itu bukan lagi hukuman dosa, tetapi merupakan pintu gerbang, melalui
mana kita akan masuk ke surga. Maukah saudara percaya dan menerima Dia sebagai
Tuhan dan Juruselamat saudara? Kiranya Tuhan memberkati saudara.
-AMIN-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar