Oleh: Pdt. Budi Asali, M.Div
HUKUM 2 (3)
Jangan membuat dan menyembah patung berhala
(Kel 20:4-6)
Kel 20:4-6 - “(4) Jangan
membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau
yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. (5) Jangan
sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang
cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan
yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku, (6) tetapi Aku
menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi
Aku dan yang berpegang pada perintah-perintahKu”.
e) Sikap yang
seharusnya terhadap patung berhala.
Banyak patung berhala yang indah dan bahkan terbuat
dari logam mulia, seperti emas, perak dan sebagainya. Kita tidak boleh
menyenangi / mengaguminya, apalagi membawa patung berhala itu masuk ke rumah
kita, ataupun menginginkan emas dan perak dari berhala-berhala itu; sebaliknya,
kita harus merasa jijik terhadap patung-patung berhala itu, dan
menghancurkannya, bahkan kalau patung-patung berhala itu dibuat dari logam
mulia yang mahal.
Ul 7:25-26 - “(25)
Patung-patung allah mereka haruslah kamu bakar habis; perak dan emas yang ada
pada mereka janganlah kauingini dan kauambil bagi dirimu sendiri, supaya jangan
engkau terjerat karenanya, sebab hal itu adalah kekejian bagi TUHAN, Allahmu.
(26) Dan janganlah engkau membawa sesuatu kekejian masuk ke dalam rumahmu,
sehingga engkaupun ditumpas seperti itu; haruslah engkau benar-benar merasa
jijik dan keji terhadap hal itu, sebab semuanya itu dikhususkan untuk dimusnahkan.’”.
Jadi:
1. Kita
harus memusnahkan patung berhala. Memang hal ini tidak bisa kita lakukan,
kecuali kita memang mempunyai otoritas dalam hal itu, misalnya terhadap patung
berhala yang ada di rumah kita. Karena itu, jangan secara sembarangan / sembrono
menghancurkan seadanya patung berhala / kelenteng! Bahwa kita tidak seharusnya
melakukan hal itu, kecuali kita memang mempunyai otoritas, terbukti dari
rasul-rasul sendiri, seperti Paulus, juga tidak secara sembarangan
menghancurkan kuil-kuil / patung-patung berhala. Apa yang harus kita lakukan
adalah memberitakan Injil kepada para penyembah berhala itu, sehingga mereka
bertobat dan menghancurkan sendiri patung-patung berhala mereka.
2. Kita
tidak boleh menginginkan emas atau perak dari patung berhala itu.
3. Kita
tidak boleh membawa patung berhala itu masuk ke rumah kita, apakah sebagai
hiasan, atau dengan alasan apapun juga!
4. Kita
harus merasa jijik dan keji terhadap patung berhala, juga yang indah
pembuatannya, dan bahkan yang terbuat dari emas / berlapiskan emas!
Matthew Henry (tentang Ul 7:25-26): “The idols which the heathen had
worshipped were an abomination to God, and therefore must be so to them: all
that truly love God hates what he hates. ... They must not retain the images to
gratify their covetousness: Thou shalt not desire the silver nor gold that is
on them, nor think it a pity to have that destroyed. ... ‘Neither shalt thou
bring it into thy house, to be hung up as an ornament, or preserved as a
monument of antiquity. No, to the fire with it, that is the fittest place for
it.’”
(= Patung-patung berhala yang telah disembah oleh orang-orang kafir adalah
kekejian bagi Allah, dan karena itu harus demikian bagi mereka: semua orang
yang sungguh-sungguh mengasihi Allah membenci apa yang Ia benci. ... Mereka
tidak boleh mempertahankan patung-patung untuk memuaskan ketamakan mereka:
Janganlah engkau menginginkan perak atau emas yang ada pada mereka, atau
menganggap sayang untuk menghancurkannya. ... ‘Janganlah engkau membawanya ke
dalam rumahmu, untuk menggantungnya sebagai suatu hiasan, atau memeliharanya
sebagai suatu monumen keantikan. Tidak, itu harus dibuang ke dalam api, itu
adalah tempat yang paling cocok baginya’.).
Adam Clarke (tentang Ul 7:25): “Some of the ancient idols were plated
over with gold, and God saw that the value of the metal and the excellence of
the workmanship might be an inducement for the Israelites to preserve them; and
this might lead, ... to idolatry. As the idols were accursed, all those who had
them, or anything appertaining to them, were accursed also, Deut 7:26” (= Beberapa /
sebagian dari patung-patung berhala kuno dilapisi dengan emas, dan Allah
melihat bahwa nilai dari logam itu dan keindahan dari pembuatannya bisa menjadi
suatu bujukan bagi orang-orang Israel untuk memelihara mereka; dan ini bisa
membimbing, ... pada penyembahan berhala. Karena patung-patung berhala itu
terkutuk, semua mereka yang mempunyai patung-patung itu, atau apapun yang
berhubungan dengan patung-patung itu, juga terkutuk, Ul 7:26).
Keil & Delitzsch (tentang Ul 7:25-26): “Trusting to this promise, the
Israelites were to burn up the idols of the Canaanites, and not to desire the
silver and gold upon them (with which the statues were overlaid: see p. 466),
or take it to themselves, lest they should be snared in it, i.e., lest the
silver and gold should become a snare to them. It would become so, not from any
danger lest they should practise idolatry with it, but because silver and gold
which had been used in connection with idolatrous worship was an abomination to
Jehovah, which the Israelites were not to bring into their houses, lest they
themselves should fall under the ban, to which all the objects connected with
idolatry were devoted, as the history of Achan in Josh 7 clearly proves. For
this reason, any such abomination was to be abhorred, and destroyed by burning
or grinding to powder (cf. Ex 32:20; 2 Kings 23:4-5; 2 Chron 15:16)” [= Sambil
mempercayai janji ini, orang-orang Israel harus membakar patung-patung berhala
dari orang-orang Kanaan, dan tidak menginginkan perak atau emas yang ada dari
pada patung-patung itu (dengan mana patung-patung itu dilapisi: lihat hal 466),
atau mengambilnya bagi diri mereka sendiri, supaya jangan mereka terjerat di
dalamnya, yaitu, supaya jangan perak dan emas itu menjadi jerat bagi mereka.
Itu menjadi demikian, bukan dari bahaya apapun bahwa mereka mempraktekkan
penyembahan berhala dengannya, tetapi karena perak dan emas yang telah
digunakan dalam hubungan dengan penyembahan berhala merupakan suatu kejijikan
bagi Yehovah, yang orang-orang Israel tidak boleh membawa masuk ke rumah-rumah
mereka, supaya jangan mereka sendiri jatuh di bawah kutukan, pada mana semua
obyek-obyek yang berhubungan dengan penyembahan berhala diserahkan, seperti
sejarah dari Akhan dalam Yos 7 membuktikannya secara jelas. Karena
alasan ini, kejijikan yang manapun seperti itu harus dibenci / dianggap jijik,
dan dihancurkan dengan membakarnya atau menghancurkannya / menggilingnya
menjadi bubuk (bdk. Kel 32:20; 2Raja 23:4-5; 2Taw 15:16)].
Kel 32:20 - “Sesudah
itu diambilnyalah anak lembu yang dibuat mereka itu, dibakarnya dengan api
dan digilingnya sampai halus, kemudian ditaburkannya ke atas air dan
disuruhnya diminum oleh orang Israel”.
2Raja 23:4-5 - “(4)
Raja memberi perintah kepada imam besar Hilkia dan kepada para imam tingkat dua
dan kepada para penjaga pintu untuk mengeluarkan dari bait TUHAN segala
perkakas yang telah dibuat untuk Baal dan Asyera dan untuk segala tentara
langit, lalu dibakarnyalah semuanya itu di luar kota Yerusalem di
padang-padang Kidron, dan diangkutnyalah abunya ke Betel. (5) Ia
memberhentikan para imam dewa asing yang telah diangkat oleh raja-raja Yehuda
untuk membakar korban di bukit pengorbanan di kota-kota Yehuda dan di sekitar
Yerusalem, juga orang-orang yang membakar korban untuk Baal, untuk dewa
matahari, untuk dewa bulan, untuk rasi-rasi bintang dan untuk segenap tentara
langit”.
2Taw 15:16 - “Bahkan
raja Asa memecat Maakha, neneknya, dari pangkat ibu suri, karena neneknya itu
membuat patung Asyera yang keji. Asa merobohkan patung yang keji itu,
menumbuknya sampai halus dan membakarnya di lembah Kidron”.
Bdk. Kis 17:16 - “Sementara
Paulus menantikan mereka di Atena, sangat sedih hatinya karena ia
melihat, bahwa kota itu penuh dengan patung-patung berhala”.
KJV: ‘his spirit was stirred in him’ (= rohnya
diaduk di dalam dia).
RSV: ‘his spirit was provoked within him’ (= rohnya
diprovokasi di dalam dia).
NIV: ‘he was greatly distressed’ (= ia sangat
sedih).
NASB: ‘his spirit was being provoked within him’
(= rohnya diprovokasi di dalam dia).
Vincent paling menyetujui terjemahan ‘diprovokasi’.
Barnes’ Notes (tentang Kis 17:16): “‘The city wholly given to idolatry.’
Greek: kateidoolon. It is well
translated in the margin, ‘or full of idols.’ ... Petronius (Sat. xvii.) says
humorously of the city, that ‘it was easier to find a god than a man there.’ ...
In this verse we may see how a splendid idolatrous city will strike a pious
mind. Athens then had more that was splendid in architecture, more that was
brilliant in science, and more that was beautiful in the arts, than any other
city of the world; perhaps more than all the rest of the world united. Yet
there is no account that the mind of Paul was filled with admiration; there is
no record that he spent his time in examining the works of art; there is no
evidence that he forgot his high purpose in an idle and useless contemplation
of temples and statuary. His was a Christian mind; and he contemplated all this
with a Christian heart. That heart was deeply affected in view of the amazing
guilt of a people who were ignorant of the true God, who had filled their city
with idols reared to the honor of imaginary divinities, and who, in the midst
of all this splendor and luxury, were going down to destruction. So should
every pious man feel who treads the streets of a splendid and guilty city” [= ‘Kota itu
sepenuhnya diberikan pada penyembahan berhala’. Yunani: KATEIDOOLON. Itu diterjemahkan
dengan baik di catatan tepi, ‘atau penuh dengan patung-patung berhala’. ...
Petronius (Sat. xvii.) berkata secara melucu tentang kota itu, bahwa ‘adalah
lebih mudah untuk bertemu dengan seorang allah / dewa dari pada seorang manusia
di sana’. ... Dalam ayat ini kita bisa melihat bagaimana suatu kota penyembahan
berhala yang indah akan memukul suatu pikiran yang saleh. Athena pada saat itu
mempunyai lebih banyak apa yang indah dalam arsitektur, lebih banyak apa yang cemerlang
dalam ilmu pengetahuan, dan lebih banyak apa yang indah dalam seni, dari pada
kota lain manapun di dunia; mungkin lebih dari pada seluruh sisa dunia
digabungkan. Tetapi di sana tidak ada laporan / cerita bahwa pikiran Paulus
dipenuhi dengan kekaguman; Tak ada catatan bahwa ia menghabiskan waktunya untuk
memeriksa pekerjaan-pekerjaan seni; tidak ada bukti bahwa ia melupakan tujuan /
rencananya yang tinggi dalam perenungan yang sia-sia / malas dan tak berguna
tentang kuil-kuil dan patung-patung. Pikirannya adalah pikiran Kristen; dan ia merenungkan semua ini dengan hati
Kristen. Hati itu dipengaruhi secara mendalam oleh pemandangan dari kesalahan
yang mengherankan dari suatu bangsa yang begitu tidak tahu tentang Allah yang
benar, yang memenuhi kota mereka dengan patung-patung berhala yang didirikan
bagi kehormatan dari keilahian / allah yang bersifat khayalan, dan yang, di
tengah-tengah dari semua kemegahan dan kemewahan ini, akan tenggelam pada
kehancuran / kebinasaan. Demikianlah seharusnya setiap orang yang saleh merasa
pada waktu ia menginjak jalan-jalan dari suatu kota yang indah dan bersalah].
Renungkan:
a. Bagaimana sikap saudara kalau melihat candi
Borobudur, Prambanan, kerajinan yang bersifat penyembahan berhala di Bali atau
di negara-negara seperti Thailand, Cina, dsb?
b. Teman saya pernah mengatakan bahwa ia punya
seorang teman, yang ayahnya mempunyai 3 buah patung Buddha dari emas murni,
masing-masing seberat 25 kg! Ini kalau dijual emasnya saja, harganya lebih dari
Rp 25 M! Seandainya orang itu bertobat, dan menyerahkan ketiga patung itu
kepada saudara, apa yang saudara lakukan?
6) Alasan dari hukum ke 2.
Kel 20:4-6 - “(4) Jangan membuat
bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada
di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. (5) Jangan sujud
menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan
kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat
dari orang-orang yang membenci Aku, (6) tetapi Aku menunjukkan kasih setia
kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang
pada perintah-perintahKu”.
Bdk. Kel 34:14 - “Sebab janganlah engkau
sujud menyembah kepada allah lain, karena TUHAN, yang namaNya Cemburuan, adalah
Allah yang cemburu”.
Ay 5b menunjukkan bahwa
alasan Allah melarang penyembahan berhala adalah kecemburuan dari Allah. Di
atas sudah kita bahas bahwa penyembahan berhala merupakan perzinahan rohani,
dan karena itu hal ini membuat murka Allah yang Cemburuan! Kecemburuan Allah
ini, kelihatannya bukan hanya merupakan alasan dari hukum kedua, tetapi juga
dari hukum pertama.
Keil & Delitzsch: “The
threat and promise, which follow in vv. 5b and 6, relate to the first two
commandments, and not to the second alone” (= Ancaman dan
janji, yang mengikuti dalam ay 5 dan 6, berhubungan dengan dua hukum yang
pertama, dan bukan hanya dengan hukum kedua saja).
Bdk. Ul 6:14-15 - “(14)
Janganlah kamu mengikuti allah lain, dari antara allah bangsa-bangsa
sekelilingmu, (15) sebab TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu di
tengah-tengahmu, supaya jangan bangkit murka TUHAN, Allahmu, terhadap engkau,
sehingga Ia memunahkan engkau dari muka bumi”.
Kecemburuan Allah menunjukkan kasih Allah kepada kita.
Ingat bahwa hubungan Allah dengan kita digambarkan sebagai sepasang calon
pengantin. Kalau Ia memang mencintai kita, Ia pasti cemburu kalau kita
melakukan perzinahan rohani, yaitu menyembah berhala / mempunyai allah lain.
Jadi, kecemburuan ini sebetulnya menunjukkan sesuatu yang positif. Tetapi kalau
kita menyembah patung berhala, maka kecemburuan itu membangkitkan murka Allah,
dan ini merupakan sesuatu yang negatif untuk kita.
The Bible Exposition Commentary: Old Testament: “God is a ‘jealous God,’ not in the
sense that He’s envious of other gods, for He knows that all other ‘gods’ are
figments of the imagination and don’t really exist. The word ‘jealous’
expresses His love for His people because He wants the very best for them. Just
as parents are jealous over their children and spouses over their mates, so God
is jealous over His beloved ones and will not tolerate competition (Zech 1:14;
8:2). In Scripture, idolatry is the equivalent of prostitution and adultery
(Hos 1-3; Jer 2:1-3:25; Ezek 16:1; 23; James 4:4-5). God desires and deserves
the exclusive love of His people (Ex 34:14; Deut 4:24; 5:9; 6:15)” [= Allah adalah
‘Allah yang cemburu’, bukan dalam arti Ia iri hati kepada allah-allah lain,
karena Ia tahu bahwa semua allah-allah lain adalah isapan jempol dari khayalan
dan tidak betul-betul ada. Kata ‘cemburu’ menyatakan kasihNya bagi umatNya
karena Ia menginginkan yang terbaik bagi mereka. Sama seperti orang tua cemburu
atas anak-anak mereka dan orang-orang atas pasangan mereka, demikianlah Allah
cemburu atas orang-orang yang Ia kasihi dan tidak mau mentoleransi persaingan
(Zakh 1:14; 8:2). Dalam Kitab Suci, penyembahan berhala adalah sama dengan
pelacuran dan perzinahan (Hos 1-3; Yer 2:1-3:25; Yeh 16:1; 23; Yak 4:4-5).
Allah menginginkan dan layak mendapatkan kasih yang hanya ditujukan kepadaNya
dari umatNya (Kel 34:14; Ul 4:24; 5:9; 6:15)].
Zakh 1:14 - “Berkatalah
kepadaku malaikat yang berbicara dengan aku itu: Serukanlah ini: Beginilah
firman TUHAN semesta alam: Sangat besar usahaKu untuk Yerusalem dan Sion,”.
Kata ‘usahaKu’ salah terjemahan!
KJV: ‘I am jealous for Jerusalem and for Zion with a
great jealousy’ (= Aku cemburu untuk Yerusalem dan untuk Sion
dengan kecemburuan yang besar).
Zakh 8:2 - “‘Beginilah
firman TUHAN semesta alam: Aku berusaha untuk Sion dengan kegiatan
yang besar dan dengan kehangatan amarah yang besar”.
Ayat ini lagi-lagi terjemahannya
ngawur!
KJV: ‘Thus saith the LORD of hosts; I was jealous for
Zion with great jealousy, and I was jealous for her with great
fury’ (= Demikianlah firman TUHAN semesta alam; Aku cemburu untuk Sion
dengan kecemburuan yang besar, dan Aku cemburu untuknya dengan
kemarahan yang besar).
Ul 4:24 - “Sebab TUHAN,
Allahmu, adalah api yang menghanguskan, Allah yang cemburu”.
Ul 6:15 - “sebab TUHAN,
Allahmu, adalah Allah yang cemburu di tengah-tengahmu, supaya jangan bangkit
murka TUHAN, Allahmu, terhadap engkau, sehingga Ia memunahkan engkau dari muka
bumi”.
7) Janji
dan ancaman.
a) Ancaman.
Kel 20:4-6 - “(4) Jangan membuat
bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada
di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. (5) Jangan sujud
menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan
kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat
dari orang-orang yang membenci Aku, (6) tetapi Aku menunjukkan kasih setia
kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang
pada perintah-perintahKu”.
1. Ancaman ini
ditujukan kepada para penyembah berhala, yang disebut sebagai ‘orang-orang yang
membenci Aku’! Bagaimanapun para penyembah berhala itu merasa /
berpura-pura bahwa mereka menghormati / mengasihi Allah, Allah menganggap
mereka sebagai para pembenci diriNya!
Thomas Watson: “Another reason against image-worship is, that it is hating God. The
Papists, who worship God by an image, hate God. Image-worship is a pretended
love to God, but God interprets it as hating him. ... An image-lover is a God
hater” (= Suatu alasan lain yang menentang penyembahan patung adalah bahwa itu
adalah membenci Allah. Pengikut-pengikut Paus, yang menyembah Allah menggunakan
patung, membenci Allah. Penyembahan patung merupakan suatu kasih yang pura-pura
kepada Allah, tetapi Allah menafsirkannya sebagai membenci Dia. ... Seorang
pecinta patung adalah seorang pembenci Allah) - ‘The Ten
Commandments’, hal 67.
2. Ancamannya.
Ay 5c: ‘yang membalaskan kesalahan bapa kepada
anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat’.
Bdk. Ratapan 5:1-22 - “(1)
Ingatlah, ya TUHAN, apa yang terjadi atas kami, pandanglah dan lihatlah akan
kehinaan kami. (2) Milik pusaka kami beralih kepada orang lain, rumah-rumah
kami kepada orang asing. (3) Kami menjadi anak yatim, tak punya bapa, dan ibu
kami seperti janda. (4) Air kami kami minum dengan membayar, kami mendapat kayu
dengan bayaran. (5) Kami dikejar dekat-dekat, kami lelah, bagi kami tak ada
istirahat. (6) Kami mengulurkan tangan kepada Mesir, dan kepada Asyur untuk
menjadi kenyang dengan roti. (7) Bapak-bapak kami berbuat dosa, mereka tak
ada lagi, dan kami yang menanggung kedurjanaan mereka. (8) Pelayan-pelayan
memerintah atas kami; yang melepaskan kami dari tangan mereka tak ada. (9) Dengan bahaya
maut karena serangan pedang di padang gurun, kami harus mengambil makanan kami.
(10) Kulit kami membara laksana perapian, karena nyerinya kelaparan. (11)
Mereka memperkosa wanita-wanita di Sion dan gadis-gadis di kota-kota Yehuda.
(12) Pemimpin-pemimpin digantung oleh tangan mereka, para tua-tua tidak
dihormati. (13) Pemuda-pemuda harus memikul batu kilangan, anak-anak terjatuh
karena beratnya pikulan kayu. (14) Para tua-tua tidak berkumpul lagi di pintu
gerbang, para teruna berhenti main kecapi. (15) Lenyaplah kegirangan hati kami,
tari-tarian kami berubah menjadi perkabungan. (16) Mahkota telah jatuh dari
kepala kami. Wahai kami, karena kami telah berbuat dosa! (17) Karena inilah
hati kami sakit, karena inilah mata kami jadi kabur: (18) karena bukit Sion
yang tandus, di mana anjing-anjing hutan berkeliaran. (19) Engkau, ya TUHAN,
bertakhta selama-lamanya, takhtaMu tetap dari masa ke masa! (20) Mengapa Engkau
melupakan kami selama-lamanya, meninggalkan kami demikian lama? (21) Bawalah
kami kembali kepadaMu, ya TUHAN, maka kami akan kembali, baharuilah hari-hari
kami seperti dahulu kala! (22) Atau, apa Engkau sudah membuang kami sama
sekali? Sangat murkakah Engkau terhadap kami?”.
Tetapi bagaimana dengan 2 ayat di
bawah ini?
·
Ul 24:16 - “Janganlah ayah dihukum mati karena anaknya, janganlah
juga anak dihukum mati karena ayahnya; setiap orang harus dihukum mati karena
dosanya sendiri”.
·
Yeh 18:20 - “Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati. Anak
tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut
menanggung kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima berkat kebenarannya,
dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya”.
Ada 2 kemungkinan pengharmonisan antara ay 5b ini
dengan Ul 24:16 / Yeh 18:20:
a. Beberapa
penafsir termasuk Calvin, beranggapan bahwa keturunan itu juga ketularan dosa /
kejahatan dari nenek moyangnya, sehingga pada waktu mereka dihukum, mereka
memang layak mendapatkan hukuman itu.
Bandingkan dengan Mat 23:30-36 - “(30) dan berkata: Jika kami hidup di zaman nenek
moyang kita, tentulah kami tidak ikut dengan mereka dalam pembunuhan nabi-nabi itu.
(31) Tetapi dengan demikian kamu bersaksi terhadap diri kamu sendiri, bahwa
kamu adalah keturunan pembunuh nabi-nabi itu. (32) Jadi, penuhilah juga takaran
nenek moyangmu! (33) Hai kamu ular-ular, hai kamu keturunan ular beludak!
Bagaimanakah mungkin kamu dapat meluputkan diri dari hukuman neraka? (34) Sebab
itu, lihatlah, Aku mengutus kepadamu nabi-nabi, orang-orang bijaksana dan
ahli-ahli Taurat: separuh di antara mereka akan kamu bunuh dan kamu salibkan,
yang lain akan kamu sesah di rumah-rumah ibadatmu dan kamu aniaya dari kota ke
kota, (35) supaya kamu menanggung akibat penumpahan darah orang yang tidak
bersalah mulai dari Habel, orang benar itu, sampai kepada Zakharia anak
Berekhya, yang kamu bunuh di antara tempat kudus dan mezbah. (36) Aku berkata
kepadamu: Sesungguhnya semuanya ini akan ditanggung angkatan ini!’”.
Text di atas ini menunjukkan keturunan yang dihukum
karena dosa nenek moyangnya, tetapi mereka sendiri juga jahat, sehingga memang
pantas / layak menerima hukuman tersebut.
Bdk. Im 26:38-42 - “(38)
Dan kamu akan binasa di antara bangsa-bangsa lain, dan negeri musuhmu akan
memusnahkan kamu. (39) Dan siapa yang masih tinggal hidup dari antaramu, mereka
akan hancur lebur dalam hukumannya di negeri-negeri musuh mereka, dan karena
kesalahan nenek moyang mereka juga mereka akan hancur lebur sama seperti nenek
moyangnya. (40) Tetapi bila mereka mengakui kesalahan mereka dan kesalahan
nenek moyang mereka dalam hal berubah setia yang dilakukan mereka terhadap Aku
dan mengakui juga bahwa hidup mereka bertentangan dengan Daku (41) - Akupun
bertindak melawan mereka dan membawa mereka ke negeri musuh mereka - atau
bila kemudian hati mereka yang tidak bersunat itu telah tunduk dan mereka telah
membayar pulih kesalahan mereka, (42) maka
Aku akan mengingat perjanjianKu dengan Yakub; juga perjanjian dengan Ishak dan
perjanjianKu dengan Abrahampun akan Kuingat dan negeri itu akan Kuingat juga”.
Text di atas ini menunjukkan bahwa keturunan dihukum
karena dosa nenek moyangnya, yang juga mereka lakukan. Tetapi kalau satu
generasi sadar akan dosanya dan bertobat, maka Tuhan akan mengampuni dan
menerima mereka kembali.
b. Yang
dimaksud oleh ay 5b bukan hukuman tetapi akibat dari dosa.
Kalau seseorang mencuri dan ia ditangkap dan masuk
penjara, maka anak-anaknya juga ikut menderita. Bukan bahwa anak-anak itu
menerima hukuman karena dosa orang tuanya, tetapi karena itu merupakan akibat
dari dosa orang tuanya.
Demikian juga pada saat Israel
menyembah berhala. Tuhan menjadi marah, lalu menyerahkan mereka kepada bangsa
asing yang menjajah mereka. Keturunan
mereka pasti akan menderita sebagai akibat dosa mereka.
The Bible Exposition Commentary: Old Testament: “God doesn’t punish the children and
grandchildren for somebody else’s sins (24:16: Ezek 18:4), but the sad consequences
of ancestral sins can be passed from generation to generation and innocent
children suffer because of what their parents or grand-parents have done. In
Bible times, it wasn’t unusual for four generations to live in the same
extended family and thus have greater opportunity to influence and affect one
another”
[= Allah tidak menghukum anak-anak dan cucu-cucu untuk / karena dosa-dosa dari
seseorang (24:16: Yeh 18:4), tetapi konsekwensi yang menyedihkan dari dosa-dosa
nenek moyang bisa diteruskan / disampaikan dari generasi ke generasi, dan
anak-anak yang tak bersalah menderita karena apa yang orang tua atau
kakek-nenek mereka telah lakukan. Dalam jaman Alkitab, bukanlah sesuatu yang
luar biasa bagi empat generasi untuk hidup dalam keluarga luas yang sama dan
dengan demikian mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mempengaruhi dan
merusak satu sama lain].
Yang manapun tafsiran yang benar dari 2 penafsiran di atas, jelas bahwa
ancaman ini tidak bisa diartikan seperti penafsiran dari banyak orang-orang
Kharismatik jaman sekarang yang mengatakan bahwa kalau nenek moyang kita
menyembah berhala, maka kita (sampai keturunan ketiga dan keempat) bisa
kerasukan setan!
b) Janji.
Kel 20:4-6 - “(4)
Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas,
atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. (5)
Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang
cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan
yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku, (6) tetapi Aku
menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi
Aku dan yang berpegang pada perintah-perintahKu”.
Catatan: Ada yang menganggap
bahwa ini sebetulnya bukan merupakan janji, karena ay 5b-6 sebetulnya
hanya merupakan penggambaran sifat Allah (Ini akan saya bahas pada waktu
membahas hukum ke 5). Saya berpendapat bahwa ini benar, dan dengan demikian,
maka ay 6 ini hanya merupakan janji yang bersifat implicit. Sifat
implicit ini juga berlaku untuk ancaman dalam ay 5b.
1. Janji
ini ditujukan kepada orang-orang yang mengasihi Allah dan berpegang pada
perintah-perintah Allah (ay 6b).
Bdk. Yoh 14:15 - “‘Jikalau
kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintahKu”.
Ini menunjukkan bahwa ketaatan memang harus muncul
dari hati yang mengasihi Allah. Ketaatan lahiriah, tanpa hati yang mengasihi,
tidak ada nilainya.
2. Kepada
orang-orang itu, Allah akan menunjukkan kasih setiaNya / belas kasihanNya.
Adam Clarke:
“‘And
showing mercy unto thousands.’ ... What a disproportion between the works of
justice and mercy! Justice works to the third or fourth, mercy to thousands of
generations!” (= ‘Dan
menunjukkan belas kasihan kepada ribuan orang.’ ... Betul-betul suatu
ketidak-seimbangan antara pekerjaan dari keadilan dan belas kasihan! Keadilan
bekerja sampai keturunan ketiga dan keempat, belas kasihan sampai ribuan
keturunan!).
Catatan:
a. Kata-kata
‘kasih setia’ adalah ‘mercy’ (=
belas kasihan) dalam KJV.
Kel 20:6 - “tetapi Aku
menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang
mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintahKu”.
KJV: ‘And shewing mercy unto thousands of them that
love me, and keep my commandments’ (= Dan menunjukkan belas kasihan
kepada beribu-ribu dari mereka yang mengasihi Aku, dan memelihara / mentaati
hukum-hukum / perintah-perintahKu).
b. Kel 20:6 mengatakan ‘beribu-ribu orang’, tetapi Ul 7:9
mengatakan ‘beribu-ribu keturunan’.
Ul 7:9-11 - “(9) Sebab itu
haruslah kauketahui, bahwa TUHAN, Allahmu, Dialah Allah, Allah yang setia, yang
memegang perjanjian dan kasih setiaNya terhadap orang yang kasih kepadaNya dan
berpegang pada perintahNya, sampai kepada beribu-ribu keturunan, (10)
tetapi terhadap diri setiap orang dari mereka yang membenci Dia, Ia melakukan
pembalasan dengan membinasakan orang itu. Ia
tidak bertangguh terhadap orang yang membenci Dia. Ia langsung mengadakan
pembalasan terhadap orang itu. (11) Jadi berpeganglah pada perintah, yakni
ketetapan dan peraturan yang kusampaikan kepadamu pada hari ini untuk
dilakukan.’”.
Pulpit Commentary: “Verse
6. - Shewing mercy unto thousands. Or, ‘to the thousandth generation.’ (Compare
Deut 7:9.) In neither case are the numbers to be taken as exact and definite.
The object of them is to contrast the long duration of the Divine love and
favour towards the descendants of those who love him, with the comparatively
short duration of his chastening wrath in the case of those who are his
adversaries”
[= Ayat 6. - Menunjukkan belas
kasihan kepada ribuan orang. Atau, ‘kepada generasi keseribu’. (Bandingkan Ul
7:9). Dalam kasus yang manapun (dari kedua
text itu) bilangan-bilangan itu tidak
boleh diartikan sebagai persis / tepat dan pasti / tertentu. Tujuan
bilangan-bilangan itu adalah untuk mengkontraskan durasi yang lama dari kasih
dan kebaikan Ilahi terhadap keturunan-keturunan dari mereka yang mengasihi Dia,
dengan durasi yang relatif singkat dari murkaNya yang menghajar dalam kasus
dari mereka yang adalah musuh-musuhNya].
HUKUM 3 (1)
Jangan menggunakan nama Tuhan dengan sembarangan / sia-sia
(Kel 20:7)
Kel 20:7 - “Jangan
menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang
bersalah orang yang menyebut namaNya dengan sembarangan”.
1) Ada
penterjemahan yang berbeda.
Dalam Kitab Suci Indonesia
dikatakan ‘dengan
sembarangan’,
sedangkan dalam KJV/RSV/NASB diterjemahkan ‘in vain’ (= dengan sia-sia).
Sedangkan NIV menterjemahkan ‘misuse’ (= menyalah-gunakan).
Tetapi kelihatannya masih
ada terjemahan yang lain lagi. Perhatikan kutipan-kutipan di bawah ini.
Barnes’ Notes:
“Our
translators make the Third commandment bear upon any profane and idle utterance
of the name of God. Others give it the sense, ‘Thou shalt not swear falsely by
the name of Jehovah thy God.’ The Hebrew word which answers to ‘in vain’ may be
rendered either way” (= Penterjemah kita membuat hukum ketiga
berhubungan dengan pengucapan nama Allah yang duniawi / biasa dan sia-sia / tak
berarti. Orang-orang lain memberikannya arti, ‘Janganlah engkau bersumpah palsu
dengan nama Yehovah, Allahmu’. Kata Ibrani
yang cocok / sesuai dengan ‘dengan sia-sia’ bisa diterjemahkan dengan cara yang
manapun).
Pulpit Commentary: “Verse
7. - Thou shalt not take the name of the Lord thy God in vain. It is disputed
whether this is a right rendering. Shav
in Hebrew means both ‘vanity’ and ‘falsehood;’ so that the Third Commandment
may forbid either ‘vain-swearing’ or simply ‘false-swearing’” (= Ayat 7. -
‘Janganlah engkau menggunakan nama Tuhan Allahmu dengan sia-sia’. Merupakan
sesuatu yang diperdebatkan apakah ini merupakan penterjemahan yang benar. SHAV
dalam bahasa Ibrani berarti baik ‘kesia-siaan’ maupun ‘kepalsuan’; sehingga
hukum ketiga bisa melarang ‘sumpah yang sia-sia’ atau sekedar ‘sumpah palsu’).
2) Nama TUHAN / YHWH.
a) Pertama-tama mungkin perlu dipersoalkan apa perbedaan arti kata
‘Allah’ dan ‘Tuhan’.
Saya berpendapat bahwa kata
‘Allah’ menunjuk pada jenisnya. Jadi, kalau kita adalah jenisnya adalah
manusia, Mopi dan Bleki jenisnya adalah anjing, Gabriel dan Mikhael jenisnya
adalah malaikat, maka Dia jenisnya adalah Allah.
Sebagai argumentasi saya menunjuk
pada ayat-ayat Alkitab yang mengkontraskan Allah dengan manusia, yang merupakan
jenis makhluk kita.
1Sam 15:29 - “Lagi Sang Mulia dari Israel tidak berdusta dan Ia tidak
tahu menyesal; sebab Ia bukan manusia yang harus menyesal.’”.
Ayub 9:32 - “Karena Dia bukan manusia seperti aku, sehingga
aku dapat menjawabNya: Mari bersama-sama menghadap pengadilan”.
Ayub 32:13 - “Jangan berkata sekarang: Kami sudah mendapatkan hikmat; hanya
Allah yang dapat mengalahkan dia, bukan manusia”.
Hos 11:9 - “Aku tidak akan melaksanakan murkaKu
yang bernyala-nyala itu, tidak akan membinasakan Efraim kembali. Sebab Aku
ini Allah dan bukan manusia, Yang Kudus di tengah-tengahmu, dan Aku tidak
datang untuk menghanguskan”.
Yes 31:3 - “Sebab orang
Mesir adalah manusia, bukan allah, dan kuda-kuda mereka adalah makhluk
yang lemah, bukan roh yang berkuasa. Apabila TUHAN mengacungkan tanganNya,
tergelincirlah yang membantu dan jatuhlah yang dibantu, dan mereka sekaliannya
habis binasa bersama-sama”.
Yeh 28:2,9 - “(2)
‘Hai anak manusia, katakanlah kepada raja Tirus: Beginilah firman Tuhan ALLAH:
Karena engkau menjadi tinggi hati, dan berkata: Aku adalah Allah! Aku duduk di
takhta Allah di tengah-tengah lautan. Padahal engkau adalah manusia,
bukanlah Allah, walau hatimu menempatkan diri sama dengan Allah. ... (9) Apakah
engkau masih akan mengatakan di hadapan pembunuhmu: Aku adalah Allah!? Padahal
terhadap kuasa penikammu engkau adalah manusia, bukanlah Allah”.
Juga perhatikan ayat-ayat di
bawah ini.
Yes 45:22 - “Berpalinglah
kepadaKu dan biarkanlah dirimu diselamatkan, hai ujung-ujung bumi! Sebab Akulah
Allah dan tidak ada yang lain”.
Yes 46:9 - “Ingatlah
hal-hal yang dahulu dari sejak purbakala, bahwasanya Akulah Allah dan tidak
ada yang lain, Akulah Allah dan tidak ada yang seperti Aku”.
Yes 43:10 - “‘Kamu
inilah saksi-saksiKu,’ demikianlah firman TUHAN, ‘dan hambaKu yang telah
Kupilih, supaya kamu tahu dan percaya kepadaKu dan mengerti, bahwa Aku tetap
Dia. Sebelum Aku tidak ada Allah dibentuk, dan sesudah Aku tidak akan ada
lagi”.
Hakim 6:31 - “Tetapi jawab Yoas kepada semua orang
yang mengerumuninya itu: ‘Kamu mau berjuang membela Baal? Atau kamu mau
menolong dia? Siapa yang berjuang membela Baal akan dihukum mati sebelum pagi. Jika
Baal itu allah, biarlah ia berjuang membela dirinya sendiri, setelah
mezbahnya dirobohkan orang.’”.
1Raja 18:21-24,37-39 - “(21)
Lalu Elia mendekati seluruh rakyat itu dan berkata: ‘Berapa lama lagi kamu
berlaku timpang dan bercabang hati? Kalau TUHAN itu Allah, ikutilah Dia, dan
kalau Baal, ikutilah dia.’ Tetapi rakyat itu tidak menjawabnya sepatah
katapun. (22) Lalu Elia berkata kepada rakyat itu: ‘Hanya aku seorang diri yang
tinggal sebagai nabi TUHAN, padahal nabi-nabi Baal itu ada empat ratus lima
puluh orang banyaknya. (23) Namun, baiklah diberikan kepada kami dua ekor lembu
jantan; biarlah mereka memilih seekor lembu, memotong-motongnya, menaruhnya ke
atas kayu api, tetapi mereka tidak boleh menaruh api. Akupun akan mengolah
lembu yang seekor lagi, meletakkannya ke atas kayu api dan juga tidak akan
menaruh api. (24) Kemudian biarlah kamu memanggil nama allahmu dan akupun akan
memanggil nama TUHAN. Maka allah yang menjawab dengan api, dialah Allah!’
Seluruh rakyat menyahut, katanya: ‘Baiklah demikian!’ .... (37) Jawablah
aku, ya TUHAN, jawablah aku, supaya bangsa ini mengetahui, bahwa Engkaulah
Allah, ya TUHAN, dan Engkaulah yang membuat hati mereka tobat kembali.’
(38) Lalu turunlah api TUHAN menyambar habis korban bakaran, kayu api, batu dan
tanah itu, bahkan air yang dalam parit itu habis dijilatnya. (39) Ketika
seluruh rakyat melihat kejadian itu, sujudlah mereka serta berkata: ‘TUHAN,
Dialah Allah! TUHAN, Dialah Allah!’”.
1Sam 17:46 - “Hari
ini juga TUHAN akan menyerahkan engkau ke dalam tanganku dan aku akan mengalahkan
engkau dan memenggal kepalamu dari tubuhmu; hari ini juga aku akan memberikan
mayatmu dan mayat tentara orang Filistin kepada burung-burung di udara dan
kepada binatang-binatang liar, supaya seluruh bumi tahu, bahwa Israel
mempunyai Allah”.
KJV: ‘that there is a God in Israel’ [= bahwa
ada (suatu / seorang) Allah di Israel].
Daniel 2:28 - “Tetapi
di sorga ada Allah yang menyingkapkan rahasia-rahasia; Ia telah
memberitahukan kepada tuanku raja Nebukadnezar apa yang akan terjadi pada
hari-hari yang akan datang. Mimpi dan penglihatan-penglihatan yang tuanku lihat
di tempat tidur ialah ini:”.
KJV: ‘there is a
God in heaven’ [= ada (suatu /
seorang) Allah di surga].
Maz 14:1 - “[Untuk pemimpin biduan. Dari
Daud.] Orang bebal berkata dalam
hatinya: ‘Tidak ada Allah.’ Busuk dan jijik perbuatan mereka, tidak ada
yang berbuat baik”.
KJV: ‘There is no God’ (= Tidak ada Allah).
Juga Alkitab mengatakan bahwa Yesus adalah Allah yang
menjadi manusia (Yoh 1:1,14). Kalau manusia adalah jenis makhluk, maka rasanya
tak terhindar bahwa Allah juga adalah jenis makhluk.
Sedangkan kata ‘Tuhan’ menunjuk pada kedudukan /
jabatan. Jadi, kalau saya adalah pendeta, si A adalah direktur, si B adalah
sekretaris, SBY adalah presiden, maka Dia adalah Tuhan.
Easton’s Bible Dictionary: “Lord ... Heb. 'adon, means one possessed of absolute control. It denotes a
master, as of slaves (Gen 24:14,27), or a ruler of his subjects (45:8), or a
husband, as lord of his wife (18:12). The old plural form of this Hebrew word
is 'adonai. ... Greek kurios, a supreme master, etc” [= Tuhan ...
Ibr. 'ADON, artinya seseorang yang memiliki kontrol yang mutlak. Itu
menunjukkan seorang tuan, seperti dari budak-budak (Kej 24:14,27), atau seorang
pemerintah / penguasa dari orang-orang bawahannya (45:8), atau seorang suami,
seperti tuan dari istrinya (18:12). Bentuk jamak kuno dari kata Ibrani ini
adalah 'ADONAI. ... Kata Yunani KURIOS, seorang tuan yang tertinggi, dsb].
b) Selanjutnya,
mari kita mempersoalkan lebih jauh kata ‘Tuhan’.
Dalam Perjanjian Lama terjemahan Lembaga Alkitab
Indonesia, ada 2 jenis kata ‘Tuhan’. Kata ‘Tuhan’ (hanya huruf pertamanya saja
yang adalah huruf besar) berasal dari kata Ibrani ADONAY, sedangkan kata
‘TUHAN’ (semua menggunakan huruf besar) berasal dari kata Ibrani YHWH, yang
merupakan nama pribadi / nama diri dari Allah.
Kel 3:15 - “Selanjutnya
berfirmanlah Allah kepada Musa: ‘Beginilah kaukatakan kepada orang Israel: TUHAN,
Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub, telah
mengutus aku kepadamu: itulah namaKu untuk selama-lamanya dan itulah
sebutanKu turun-temurun”.
Kel 6:2 - “Aku telah
menampakkan diri kepada Abraham, Ishak dan Yakub sebagai Allah Yang Mahakuasa,
tetapi dengan namaKu TUHAN Aku belum menyatakan diri”.
Yes 42:8 - “Aku ini TUHAN,
itulah namaKu; Aku tidak akan memberikan kemuliaanKu kepada yang lain atau
kemasyhuranKu kepada patung”.
Yer 16:21 - “‘Sebab
itu, ketahuilah, Aku mau memberitahukan kepada mereka, sekali ini Aku akan
memberitahukan kepada mereka kekuasaanKu dan keperkasaanKu, supaya mereka tahu,
bahwa namaKu TUHAN.’”.
Kadang-kadang muncul kata ‘ALLAH’ (semua dengan huruf besar) dalam Perjanjian Lama
versi Lembaga Alkitab Indonesia. Ini juga berasal dari kata Ibrani YHWH /
YAHWEH. Kalau ada kata-kata Ibrani ADONAY YAHWEH, maka seharusnya terjemahannya
adalah ‘Tuhan TUHAN’. Mungkin karena rasanya tidak enak, maka lalu diubah
menjadi ‘Tuhan
ALLAH’. Contoh: Kej 15:2 - “Abram menjawab: ‘Ya Tuhan ALLAH, apakah yang
akan Engkau berikan kepadaku, karena aku akan meninggal dengan tidak mempunyai
anak, dan yang akan mewarisi rumahku ialah Eliezer, orang Damsyik itu.’”.
KJV/RSV/NASB: ‘Lord GOD’ (= Tuhan ALLAH).
NIV: ‘Sovereign Lord’ (= Tuhan
yang berdaulat).
c) Sekarang
mari kita mempersoalkan kata YHWH / YAHWEH, yang merupakan nama dari Allah itu.
Yang benar sebetulnya bukan YAHWEH tetapi hanya YHWH.
Mungkin saudara merasa heran dengan kata YHWH ini. Mengapa tidak ada huruf
hidupnya? Bagaimana membacanya? Sebetulnya jaman sekarang ini tidak ada orang
yang tahu dengan pasti bagaimana membaca nama itu, jadi pengucapan / penyebutan
YAHWEH hanyalah sebuah tebakan. Perlu saudara ketahui bahwa dalam bahasa Ibrani
sebetulnya tidak ada huruf hidup. Dalam abjad Ibrani ada 22 huruf, dan tidak
satupun merupakan huruf hidup. Jadi mereka menulis dengan huruf mati saja,
tetapi dalam pengucapannya tentu saja ada bunyi huruf hidup. Mungkin
saudara lagi-lagi merasa heran. Bagaimana mungkin orang bisa mengerti kalau
hanya menggunakan huruf mati saja? Coba saudara pikirkan, kalau saudara menulis
sms menggunakan handphone saudara, maka seringkali untuk menyingkat maka
saudara membuang huruf-huruf hidup juga, bukan? Tetapi orang tetap bisa
mengerti kata-kata yang ditulis tanpa huruf hidup. Jadi, kalau seseorang
menguasai suatu bahasa, adalah mungkin baginya untuk mengerti, sekalipun
kata-katanya ditulis tanpa huruf hidup.
Pada waktu Tuhan memperkenalkan namaNya kepada Israel
/ Musa, tentu mereka tahu bagaimana mengucapkan nama YHWH itu. Tetapi pada suatu saat [menurut
Encyclopedia Britannica 2010 (dengan topik ‘Yahweh’) ini dimulai sekitar abad 6
SM], bangsa Israel begitu takut menggunakan nama Tuhan, sehingga setiap kali
mereka membaca Kitab Suci dan menemui nama YHWH, mereka membacanya sebagai
‘ADONAY’ (yang terjemahannya adalah ‘Tuhan’). Apa sebabnya terjadi hal seperti
ini? Ada beberapa kemungkinan:
1. Ketakutan mereka terhadap hukum ketiga
ini.
The Biblical Illustrator (Old Testament): “The Third Commandment: - The name of
God stands for Himself and for that which He has revealed of Himself, not for
our thoughts about Him. It is not surprising that this great name was
invested with a superstitious sanctity. Even the Jews used it rarely. There is
a tradition that it was heard but once a year, when it was uttered by the
high-priest on the great day of atonement. In reading the Scriptures it became
customary never to pronounce it, but to replace it with another Divine name,
which was regarded as less awful and august. The Third Commandment requires
something very different from this ceremonial homage to His name. His name
stands for Himself, and it is to Him that our reverence is due” (= Hukum
ketiga: - Nama Allah mewakili diriNya sendiri dan untuk hal-hal yang telah Ia
nyatakan tentang diriNya sendiri, bukan untuk pemikiran kita tentang Dia. Bukanlah
sesuatu yang mengejutkan bahwa nama yang agung / besar ini ditanamkan dengan
kesucian yang bersifat takhyul. Bahkan orang-orang Yahudi jarang
menggunakannya. Ada tradisi yang mengatakan bahwa nama itu didengar hanya
sekali setahun, pada waktu nama itu diucapkan oleh imam besar pada hari raya
penebusan. Dalam membaca Kitab Suci merupakan suatu kebiasaan untuk tidak
pernah mengucapkannya, tetapi menggantikannya dengan nama Ilahi yang lain, yang
dianggap sebagai kurang mengerikan / dahsyat dan membangkitkan rasa takut.
Hukum ketiga menuntut sesuatu yang sangat berbeda dari penghormatan yang
bersifat upacara terhadap namaNya ini. NamaNya mewakili diriNya sendiri, dan
bagi Dialah takut / hormat kita seharusnya diberikan).
Catatan: ada yang mengatakan, dan kelihatannya ini benar,
bahwa belakangan praktek pengucapan nama oleh imam besar sekali setahun itupun
akhirnya dihapuskan.
Unger’s Bible Dictionary (dengan topik
‘Lord’): “The
Jews, out of a superstitious reverence for the name Jehovah, always
pronounce Adonai where Jehovah is written” (= Orang-orang Yahudi, karena suatu rasa hormat yang bersifat
takhyul bagi nama ‘Yehovah’, selalu mengucapkan ‘ADONAI’ dimana
dituliskan ‘Yehovah’).
Catatan:
sebetulnya agak aneh kalau mereka mulai menghentikan untuk mengucapkan nama
YHWH pada abad 6 SM, padahal hukum ke 3 ini sudah ada sejak jaman Musa (1500
SM). Tetapi memang penafsiran yang aneh, salah, atau bahkan sesat, bisa saja
muncul jauh setelah text Alkitabnya ditulis.
2. Text
dalam Im 24:10-16 yang berbunyi sebagai berikut:
“(10) Pada suatu hari
datanglah seorang laki-laki, ibunya seorang Israel sedang ayahnya seorang
Mesir, di tengah-tengah perkemahan orang Israel; dan orang itu berkelahi dengan
seorang Israel di perkemahan. (11) Anak perempuan Israel itu menghujat nama
TUHAN dengan mengutuk, lalu dibawalah ia kepada Musa. Nama ibunya ialah
Selomit binti Dibri dari suku Dan. (12) Ia dimasukkan dalam tahanan untuk
menantikan keputusan sesuai dengan firman TUHAN. (13) Lalu berfirmanlah TUHAN
kepada Musa: (14) ‘Bawalah orang yang mengutuk itu ke luar perkemahan dan semua
orang yang mendengar haruslah meletakkan tangannya ke atas kepala orang itu,
sesudahnya haruslah seluruh jemaah itu melontari dia dengan batu. (15) Engkau
harus mengatakan kepada orang Israel, begini: Setiap orang yang mengutuki Allah
harus menanggung kesalahannya sendiri. (16) Siapa yang menghujat nama TUHAN,
pastilah ia dihukum mati dan dilontari dengan batu oleh seluruh jemaah itu.
Baik orang asing maupun orang Israel asli, bila ia menghujat nama TUHAN,
haruslah dihukum mati”.
Tetapi
text ini melarang / mengecam orang yang ‘menghujat’ nama TUHAN (YHWH), bukan
sekedar ‘mengucapkan’ nama TUHAN (YHWH). Lalu bagaimana mereka bisa menjadi
takut untuk mengucapkan nama TUHAN (YHWH)? Ada beberapa teori tentang hal ini:
a. Penafsiran
orang-orang Yahudi tentang text ini.
Kalau dilihat dari text bahasa Ibraninya,
maka dalam Im 24:11 sebetulnya tidak ada nama ‘YHWH’ (TUHAN), tetapi hanya
disebutkan HASHEM (= the name), tetapi dalam Im 24:16 nama ‘Yhwh’ itu muncul.
Ay 11: “Anak perempuan Israel itu menghujat nama TUHAN dengan
mengutuk, lalu dibawalah ia kepada Musa. Nama ibunya ialah Selomit binti Dibri
dari suku Dan”.
KJV: ‘blasphemed the name of the LORD’
(= menghujat nama TUHAN).
Catatan: KJV mencetak kata-kata ‘of the LORD’ dengan
huruf miring, yang menandakan kalau dalam bahasa aslinya kata-kata itu
sebetulnya tidak ada.
RSV/NIV/NASB: ‘blasphemed the Name’ (=
menghujat Nama itu).
The Biblical Illustrator (Old Testament)
tentang Im 24:10-16: “It
is striking to notice that in the Hebrew text it is only said that he
blasphemed ‘The name’; what that was being left unwritten. On this omission the
later Jews grounded their prohibition of the use of the word Jehovah, under
almost any circumstances” (=
Merupakan sesuatu yang menyolok untuk diperhatikan, bahwa dalam text Ibrani
hanya dikatakan bahwa ia menghujat ‘nama itu’; apa nama itu dibiarkan tak
dituliskan. Pada tak adanya nama ini, orang-orang Yahudi belakangan mendasarkan
larangan mereka tentang penggunaan kata Yehovah, dalam hampir setiap keadaan).
Catatan: tak adanya nama YHWH dalam ay 11 itu sudah sejak
jaman Musa. Adalah aneh kalau baru pada abad 6 SM mereka mulai takut
menyebutkan nama YHWH. Tetapi sama seperti yang di atas, penafsiran yang
aneh, salah, atau bahkan sesat, bisa saja muncul jauh setelah text Alkitabnya ditulis.
b. Ada yang mengatakan ini disebabkan terjemahan
yang salah dari LXX / Septuaginta.
Pulpit
Commentary: “In the course of
the struggle the Israelitish woman’s son blasphemed the name of the Lord, and
cursed. The word nakav is here
rightly translated ‘blasphemeth’ (cf. verses 14, 16, 23), ... The LXX. have
rendered nakav by a word meaning
‘pronounced’, and on this misunderstanding, adopted by the Jews, has been
founded the Jewish precept forbidding the utterance of the Divine Name. Owing
to that prohibition, the true pronunciation of the word written and called
‘Jehovah’ has been lost” [= Dalam perkelahian itu anak
laki-laki dari perempuan Israel itu menghujat nama Tuhan, dan mengutuk. Kata NAKAV di sini dengan benar diterjemahkan ‘menghujat’ (bdk. ayat-ayat
14,16,23), ... LXX telah menterjemahkan NAKAV dengan suatu kata yang berarti
‘mengucapkan’, dan pada kesalah-pahaman ini, yang diterima oleh orang-orang
Yahudi, telah didirikan ajaran Yahudi yang melarang pengucapan Nama Ilahi.
Karena larangan itu, pengucapan yang benar dari kata yang dituliskan dan
disebut ‘Yehovah’ telah hilang] -
hal 383.
Catatan: agak
aneh kalau ini penyebabnya, karena LXX baru diterjemahkan pada abad 2-3 SM,
sedangkan mulai dihentikannya pengucapan nama YHWH sudah mulai terjadi pada
abad 6 SM. Apakah mereka menganggap bahwa mulai hilangnya pengucapan YHWH itu
terjadi pada abad 2-3 SM dan bukannya pada abad 6 SM?
c. Ada yang mengatakan ini
disebabkan karena perubahan bahasa dari Ibrani ke Aram.
Encyclopedia Wikipedia: “During the Babylonian captivity
the Hebrew language
spoken by the Jews was replaced by the Aramaic language of their Babylonian captors. Aramaic was closely
related to Hebrew and, while sharing many vocabulary words in common, contained
some words that sounded the same or similar but had other meanings. In
Aramaic, the Hebrew word for ‘blaspheme’ used in Leviticus 24:16, ‘Anyone who blasphemes the name
of YHWH must be put to death’ carried the meaning of ‘pronounce’ rather than
‘blaspheme’. When the Jews began speaking Aramaic, this verse was understood to
mean, ‘Anyone who pronounces the name of YHWH must be put to death.’
Since then, observant Jews have maintained the custom of not pronouncing the
name” [=
Selama pembuangan Babilonia bahasa Ibrani yang digunakan oleh orang-orang
Yahudi digantikan oleh bahasa Aram dari para penawan Babilonia mereka. Bahasa
Aram berhubungan dekat dengan bahasa Ibrani dan, sementara menggunakan banyak
perbendaharaan kata yang sama, mempunyai beberapa kata-kata yang bunyinya sama
atau mirip tetapi mempunyai arti yang berbeda. Dalam bahasa Aram, kata Ibrani
untuk ‘menghujat’ yang digunakan dalam Im 24:16, ‘Siapa yang menghujat
nama TUHAN (Yahweh), pastilah ia dihukum mati’ mempunyai arti ‘mengucapkan’ dan bukannya ‘menghujat’. Pada
waktu orang-orang Yahudi mulai berbicara dalam bahasa Aram, ayat ini dimengerti
sebagai berarti ‘Siapa yang mengucapkan nama TUHAN (Yahweh),
pastilah ia dihukum mati’. Sejak saat itu, orang-orang Yahudi yang taat telah
mempertahankan kebiasaan untuk tidak mengucapkan nama itu].
Illustrasi: ini
mungkin seperti bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia, yang sekalipun mempunyai
banyak persamaan, tetapi tetap mempunyai kata-kata yang sama, tetapi artinya
berbeda. Contoh: kata ‘percuma’ dalam
bahasa Indonesia artinya ‘sia-sia’, tetapi dalam bahasa Malaysia artinya
‘gratis / cuma-cuma’. Bayangkan kalau orang Kristen Malaysia mengatakan
‘keselamatan itu percuma’. Bagaimana orang Kristen Indonesia menafsirkan
kata-kata itu? Jadi kacau, bukan?
Yang
manapun yang benar, yang jelas adalah bahwa nama YHWH itu berhenti untuk
diucapkan / digunakan. Setelah berhentinya pengucapan nama YHWH ini berlangsung cukup lama
(mungkin ratusan tahun) maka orang-orang yang tadinya tahu bagaimana
mengucapkan nama YHWH itu mati semua, dan akhirnya tidak ada satupun orang yang
tahu dengan pasti bagaimana sebenarnya pengucapan dari nama YHWH itu! Kebanyakan orang menganggap bahwa pengucapannya adalah
YAHWEH, tetapi tidak ada orang yang pasti tentang hal ini.
Lalu dari mana muncul istilah
YEHOVAH? Ada yang mengatakan bahwa bunyi huruf-huruf hidup dari kata ADONAY
diambil (yaitu A-O-A), dan dimasukkan disela-sela kata YHWH, sehingga
didapatkan kata YAHOWAH, yang lalu (menurut dosen saya) dalam logat Jerman
diucapkan YEHOWAH. Tetapi dalam Encyclopedia Britannica 2010 (dengan topik
‘Yahweh’) dikatakan bahwa huruf-huruf hidup dari kata Ibrani ELOHIM (yaitu
E-O-I) dan kata Ibrani ADONAY (yaitu A-O-A) dimasukkan ke dalam kata YHWH itu
sehingga didapat kata YEHOWAH. Dari penjelasan ini jelas bahwa pengucapan YEHOVAH
sudah pasti merupakan pengucapan yang salah!
Catatan: Perlu saudara ketahui bahwa dalam bahasa Ibrani huruf
V dan W adalah sama.
d) Haruskah
kita menggunakan nama YHWH / YAHWEH / Yehovah / Yehuwa?
Sekarang ada sekte-sekte Kristen (Yahweh-isme dan
Saksi Yehuwa) yang menghendaki bahwa kata ‘TUHAN’ dalam Kitab Suci kita
dikembalikan menjadi YAHWEH / Yehovah / Yehuwa. Saya tidak keberatan kalau
mereka menghendaki hal itu selama mereka tidak mengharuskan hal itu dan
menyalahkan orang-orang yang tetap menggunakan istilah ‘Lord’ / ‘TUHAN’. Mengapa
saya tidak setuju pengharusan penggunakan nama YAHWEH? Karena:
1. LXX
/ Septuaginta (Perjanjian Lama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani)
menterjemahkan kata YHWH itu dengan istilah Yunani KURIOS, yang artinya memang ‘Lord’ / ‘TUHAN’. Satu hal
yang patut diperhatikan adalah: Yesus tidak pernah menyalahkan LXX /
Septuaginta yang menggunakan kata Yunani KURIOS untuk nama YHWH itu.
2. Perjanjian
Baru sendiri, yang menggunakan bahasa asli bahasa Yunani, pada waktu mengutip
ayat-ayat Perjanjian Lama yang menggunakan kata YHWH, pada umumnya menggantinya
dengan kata Yunani KURIOS (misalnya Mat 4:7), yang artinya ‘Lord’ / ‘TUHAN’, dan
kadang-kadang menggantinya dengan kata Yunani THEOS (misalnya Mat 4:4), yang
artinya ‘Allah’.
Karena itu, perubahan / penggantian ini memiliki
otoritas Firman Tuhan / otoritas ilahi, dan karena itu, sudah pasti benar /
bisa dipertanggung-jawabkan.
Catatan: untuk mengatasi argumentasi yang tidak terbantah ini,
kelompok Yahweh-isme lalu mengatakan bahwa Perjanjian Baru itu bahasa aslinya
adalah bahasa Ibrani. Ini merupakan suatu dusta, penyesatan, dan kegilaan, yang
tidak tahu malu, dan yang sama sekali tidak berdasar!
3. Kalau
Tuhan memang mengharuskan kita untuk menggunakan nama YHWH / YAHWEH,
maka adalah aneh bahwa Ia mengijinkan pengucapan nama itu hilang sehingga jaman
sekarang tidak ada orang yang tahu bagaimana mengucapkannya. Dan mengetahui
bahwa nama itu hilang pengucapannya, pada waktu Yesus melayani selama 3 ½ tahun
di dunia ini, mengapa Ia tidak memberitahu murid-muridNya bagaimana mengucapkan
nama itu? Mungkin Yesus tidak pernah menggunakan nama itu, karena kalau Ia
menggunakan nama itu, para murid pasti akan tahu bagaimana mengucapkan nama
itu. Dan kalau para murid tahu, maka seluruh gereja sampai saat ini juga akan
tahu. Tetapi kenyataannya tidak ada yang tahu bagaimana mengucapkan nama
tersebut.
The International Standard Bible Encyclopedia (Revised
Edition) dengan topik ‘God, names of’:
“The
pronunciation of YHWH in the OT can never be certain, since the original Hebrew
text used only consonants. The vowel points added in the MT are not those of
the name itself (see below), which had come to be considered too holy to
pronounce (cf. Ex 20:7; Lev 24:11)” [= Pengucapan / pelafalan dari
YHWH dalam PL tidak pernah bisa pasti, karena text asli dalam bahasa Ibrani
hanya menggunakan huruf-huruf mati. Titik-titik / tanda-tanda huruf hidup yang
ditambahkan dalam MT bukanlah dari nama itu sendiri (lihat di bawah), yang
telah dianggap terlalu kudus / keramat untuk diucapkan (bdk. Kel 20:7; Im
24:11)] - PC Study Bible version 5.
Catatan: saya kira MT = Masoretic Text, Text Ibrani pada
sekitar abad 10 M.
4. Penyebutan
‘YAHWEH’ belum tentu benar. Dan penyebutan ‘Yehovah’ bahkan pasti salah. Lalu
mengapa mengharuskan orang Kristen menggunakan nama yang pasti salah atau belum
tentu benar?
HUKUM 3 (2)
Jangan menggunakan nama Tuhan dengan sembarangan / sia-sia
(Kel 20:7)
3) Hukum ketiga ini melarang untuk
menyebut nama ‘TUHAN’ dengan sembarangan.
a) Hukum ketiga ini bukan melarang kita menggunakan nama Tuhan sama
sekali! Jadi, jangan menanggapinya secara extrim seperti yang dilakukan oleh
bangsa Israel pada jaman dulu. Kalau ada gunanya, apalagi kalau itu merupakan
penyebutan yang memuliakan Allah, maka tentu kita boleh menyebut / menggunakan
nama Tuhan. Itu bukan penyebutan nama Tuhan dengan sembarangan / sia-sia.
b) Sebetulnya kata ‘Tuhan’
dalam Kel 20:7 menunjuk kepada nama ‘YHWH’ / ‘Yahweh’ / ‘Yehovah’, tetapi
saya berpendapat bahwa ini juga bisa diberlakukan terhadap kata-kata ‘Tuhan’, ‘Allah’, ‘Yesus’, ‘Kristus’, ‘God’,
‘Lord’, dsb.
c) Perlu
diingat bahwa sikap / cara kita menggunakan nama Tuhan, menunjukkan sikap kita
terhadap Tuhan sendiri.
The Bible Exposition Commentary: Old Testament: “Your name stands for your character and
reputation, what you are and what you do (John 17:6,26). When you say that
someone has ‘a bad name,’ you’re not criticizing what’s written on his birth
certificate. You’re warning me that the man can’t be trusted. If God is the greatest
being in the universe, then His name is the greatest name and must be honored” [= Namamu
mewakili karakter dan reputasimu, apa adanya kamu dan apa yang kamu lakukan
(Yoh 17:6,26). Pada waktu kamu mengatakan bahwa seseorang mempunyai ‘nama
buruk’, kamu bukannya sedang mengkritik apa yang tertulis dalam akte
kelahirannya. Kamu sedang memperingati saya
bahwa orang itu tidak bisa dipercaya. Jika Allah adalah makhluk terbesar dalam
alam semesta, maka namaNya adalah nama yang terbesar / teragung dan harus dihormati].
Yoh 17:6,26 - “(6) Aku telah
menyatakan namaMu kepada semua orang, yang Engkau berikan kepadaKu dari
dunia. Mereka itu milikMu dan Engkau telah memberikan mereka kepadaKu dan
mereka telah menuruti firmanMu. ... (26) dan Aku telah memberitahukan namaMu
kepada mereka dan Aku akan memberitahukannya, supaya kasih yang Engkau
berikan kepadaKu ada di dalam mereka dan Aku di dalam mereka.’”.
Jelas bahwa tidak mungkin kata ‘nama’ dalam ayat-ayat di atas ini diartikan betul-betul
sebagai nama pribadi / diri. Tidak mungkin Yesus menyatakan nama YHWH itu
kepada semua orang, karena seandainya demikian, kita sekarang pasti tahu
bagaimana mengucapkan nama itu. Lebih-lebih dalam Yoh 17:26, kalau Ia
memang telah memberitahukan nama YHWH itu kepada mereka, lalu untuk apa
ditambahkan kata-kata ‘Aku
akan memberitahukannya’? Apakah
begitu sukar mengerti / mengingat nama YHWH sehingga perlu diberitahukan
berulang-ulang? Jelas bahwa dalam ayat-ayat ini, kata ‘nama’ menunjuk atau kepada diri Allah, atau pada
sifat-sifatNya, atau pada keduanya.
d) Contoh
pelanggaran terhadap hukum ini:
1. Mencaci
maki / menghujat / mengutuk Tuhan (Im 24:10-16,23).
Textnya tidak saya berikan
sekarang, tetapi akan kita baca di bawah nanti.
2. Calvin
menganggap bahwa hukum ketiga ini juga dilanggar pada waktu seseorang bersumpah
demi nama dewa / allah lain atau berdoa kepada dewa / allah lain.
Kel 23:13 - “Dalam
segala hal yang Kufirmankan kepadamu haruslah kamu berawas-awas; nama allah
lain janganlah kamu panggil, janganlah nama itu kedengaran dari mulutmu.’”.
Tentu maksud dari ayat ini bukan kalau kita sekedar
menyebut nama dewa / allah lain itu, tetapi kalau kita berdoa kepadanya atau
bersumpah demi namanya, atau melakukan apapun sambil menyebut namanya, yang
menunjukkan kepercayaan / penghormatan / penyembahan kepadanya.
Bdk. Zef 1:4-6 - “(4)
Aku akan mengacungkan tanganKu terhadap Yehuda dan terhadap segenap penduduk
Yerusalem. Aku akan melenyapkan dari tempat ini sisa-sisa Baal dan nama para
imam berhala, (5) juga mereka yang sujud menyembah di atas sotoh kepada tentara
langit dan mereka yang menyembah dengan bersumpah setia kepada TUHAN, namun
di samping itu bersumpah demi Dewa Milkom, (6) serta mereka yang berbalik
dari pada TUHAN, yang tidak mencari TUHAN dan tidak menanyakan petunjukNya.’”.
Catatan: ini bukan hanya merupakan pelanggaran terhadap hukum
ketiga saja tetapi jelas juga terhadap hukum pertama dan hukum kedua.
3. Bersumpah
menggunakan nama Tuhan, pada saat sumpah itu bersifat:
a. Dusta.
Im 19:12 - “Janganlah
kamu bersumpah dusta demi namaKu, supaya engkau jangan melanggar
kekudusan nama Allahmu; Akulah TUHAN”.
b. Sembarangan.
Kata-kata Yesus dalam Mat 5:33-37 merupakan exposisi
dari hukum ke 3 ini.
Mat 5:33-37 - “(33)
Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan
bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan. (34) Tetapi Aku
berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit, karena
langit adalah takhta Allah, (35) maupun demi bumi, karena bumi adalah tumpuan
kakiNya, ataupun demi Yerusalem, karena Yerusalem adalah kota Raja Besar; (36)
janganlah juga engkau bersumpah demi kepalamu, karena engkau tidak berkuasa
memutihkan atau menghitamkan sehelai rambutpun. (37) Jika ya, hendaklah kamu
katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari
pada itu berasal dari si jahat”.
Jamieson, Fausset & Brown (tentang Kel 20:7): “In a later age of Jewish history the
Rabbis perverted the meaning of this precept by limiting its application to the
use of the name (Yahweh), Jehovah, and hence, they not only tolerated, but
sanctioned the practice of swearing in common conversation as quite harmless,
provided the reference to God was not directly expressed. Our Lord exposes
the falsity of this rabbinical gloss by showing that it was a violation of the
law”
[= Pada jaman belakangan dari sejarah Yahudi rabi-rabi membengkokkan arti dari
hukum ini dengan membatasi penerapannya pada penggunaan dari nama (Yahweh),
Yehovah, dan karena itu, mereka bukan hanya menoleransi, tetapi menyetujui
praktek bersumpah dalam pembicaraan biasa sebagai tidak berbahaya, asal
referensi dengan Allah tidak dinyatakan secara langsung. Tuhan kita
menyingkapkan kepalsuan dari komentar rabi ini dengan menunjukkan bahwa itu
merupakan pelanggaran terhadap hukum itu].
Tetapi mungkin dipertanyakan: bukankah orang Kristen
tidak boleh bersumpah sama sekali? Jawabannya: sebetulnya orang Kristen bukan
dilarang bersumpah secara mutlak. Sepintas lalu, kata-kata Yesus dalam
Mat 5:34a yang berbunyi: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali
bersumpah”, melarang sumpah secara mutlak. Tetapi saya
berpendapat seperti pandangan Calvin dan banyak penafsir lain, yang mengatakan
bahwa sebetulnya ayat ini tidak bisa diartikan bahwa Yesus melarang sumpah secara
mutlak.
Calvin berpendapat bahwa kata-kata Yesus dalam
Mat 5:34a ini tidak boleh dipisahkan dari kata-kata selanjutnya, yang
menunjukkan sumpah yang bagaimana yang Ia maksud, yaitu sumpah demi langit,
demi bumi, demi Yerusalem, demi kepalamu (Mat 5:34-36), yang oleh
orang-orang Yahudi dianggap remeh / tak berarti. Jadi, yang dilarang adalah
sumpah sembarangan.
Alasan-alasan yang menunjukkan bahwa sumpah tidak
mungkin dilarang secara mutlak:
·
Perjanjian Lama
mengijinkan, bahkan mengharuskan sumpah, dalam hal-hal tertentu.
Ul 6:13 - “Engkau
harus takut akan TUHAN, Allahmu; kepada Dia haruslah engkau beribadah dan demi
namaNya haruslah engkau bersumpah”.
Kel 22:7-8 - “(7)
Apabila seseorang menitipkan kepada temannya uang atau barang, dan itu dicuri
dari rumah orang itu, maka jika pencuri itu terdapat, ia harus membayar ganti
kerugian dua kali lipat. (8) Jika pencuri itu tidak terdapat, maka tuan
rumah harus pergi menghadap Allah
untuk bersumpah, bahwa ia tidak mengulurkan tangannya mengambil harta
kepunyaan temannya”.
Ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa sumpah
diharuskan dalam hal-hal tertentu adalah Kel 22:10-11 Bil 5:11-28 1Raja 8:31-32.
Dan Yesus tidak mungkin bertentangan dengan Perjanjian
Lama. Bdk. Mat 5:17-19 - “(17) ‘Janganlah
kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab
para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk
menggenapinya. (18) Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum
lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan
dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. (19) Karena itu siapa yang
meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan
mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling
rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan
segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di
dalam Kerajaan Sorga”.
·
Yes 45:23 - “Demi Aku sendiri Aku telah bersumpah, dari mulutKu
telah keluar kebenaran, suatu firman yang tidak dapat ditarik kembali: dan semua
orang akan bertekuk lutut di hadapanKu, dan akan bersumpah setia dalam segala
bahasa”.
Ayat ini menunjukkan bahwa sumpah seseorang demi nama
Tuhan menunjukkan pengakuannya terhadap Allah yang benar!
·
Pada waktu Yesus
diadili oleh Sanhedrin, dan Ia disuruh berbicara di bawah sumpah, Ia bukannya
menegur mereka yang menyuruhNya bersumpah, tetapi sebaliknya Ia mau menjawab,
padahal tadinya Ia tidak mau berbicara.
Mat 26:63-64 - “(63)
Tetapi Yesus tetap diam. Lalu kata Imam Besar itu kepadaNya: ‘Demi
Allah yang hidup, katakanlah kepada kami, apakah Engkau Mesias, Anak Allah,
atau tidak.’ (64) Jawab Yesus: ‘Engkau telah mengatakannya. Akan tetapi,
Aku berkata kepadamu, mulai sekarang kamu akan melihat Anak Manusia duduk di
sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di atas awan-awan di langit.’”.
Catatan: kata-kata ‘Engkau telah
mengatakannya’ artinya adalah ‘Ya’.
·
Bukan hanya dalam
Perjanjian Lama, tetapi dalam Perjanjian Baru juga ada ayat yang kelihatannya
mengijinkan sumpah.
Ibr 6:13-17 - “(13)
Sebab ketika Allah memberikan janjiNya kepada Abraham, Ia bersumpah demi
diriNya sendiri, karena tidak ada orang yang lebih tinggi dari padaNya, (14)
kataNya: ‘Sesungguhnya Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan akan
membuat engkau sangat banyak.’ (15) Abraham menanti dengan sabar dan dengan
demikian ia memperoleh apa yang dijanjikan kepadanya. (16) Sebab manusia
bersumpah demi orang yang lebih tinggi, dan sumpah itu menjadi suatu pengokohan
baginya, yang mengakhiri segala bantahan. (17) Karena itu, untuk lebih
meyakinkan mereka yang berhak menerima janji itu akan kepastian putusanNya,
Allah telah mengikat diriNya dengan sumpah”.
·
Dalam
Wah 10:5-6 malaikat bersumpah.
Wah 10:5-6 - “(5)
Dan malaikat yang kulihat berdiri di atas laut dan di atas bumi, mengangkat
tangan kanannya ke langit, (6) dan ia bersumpah demi Dia yang hidup sampai
selama-lamanya, yang telah menciptakan langit dan segala isinya, dan bumi
dan segala isinya, dan laut dan segala isinya, katanya: ‘Tidak akan ada
penundaan lagi!”.
·
Paulus sering
bersumpah.
Ro 1:9 - “Karena
Allah, yang kulayani dengan segenap hatiku dalam pemberitaan Injil
AnakNya, adalah saksiku, bahwa dalam doaku aku selalu mengingat kamu”.
Ro 9:1 - “Aku
mengatakan kebenaran dalam Kristus, aku tidak berdusta. Suara hatiku turut
bersaksi dalam Roh Kudus”.
1Kor 15:31 - “Saudara-saudara,
tiap-tiap hari aku berhadapan dengan maut. Demi kebanggaanku akan kamu dalam
Kristus Yesus, Tuhan kita, aku katakan, bahwa hal ini benar”.
2Kor 1:23 - “Tetapi
aku memanggil Allah sebagai saksiku - Ia mengenal aku -, bahwa sebabnya
aku tidak datang ke Korintus ialah untuk menyayangkan kamu”.
Gal 1:20 - “Di
hadapan Allah kutegaskan: apa yang kutuliskan kepadamu ini benar, aku tidak
berdusta”.
Fil 1:8 - “Sebab
Allah adalah saksiku betapa aku dengan kasih mesra Kristus Yesus
merindukan kamu sekalian”.
Betul-betul tidak terbayangkan bahwa Paulus, yang
adalah rasul yang begitu saleh, bisa berulang kali bersumpah kalau sumpah
memang dilarang secara mutlak.
Semua ini menunjukkan bahwa sumpah tidak dilarang
secara mutlak. Dalam pengadilan, atau dalam hal-hal yang penting lainnya, kita
boleh bersumpah.
Calvin bahkan mengatakan bahwa bersumpah bukan hanya
boleh, tetapi itu bahkan merupakan suatu pengakuan bahwa Allah itu lebih tinggi
dari kita dan dengan demikian merupakan suatu penghormatan terhadap Allah.
Bdk. Ibr 6:13,16 - “(13)
Sebab ketika Allah memberikan janjiNya kepada Abraham, Ia bersumpah demi
diriNya sendiri, karena tidak ada orang yang lebih tinggi dari padaNya, ...
(16) Sebab manusia bersumpah demi orang yang lebih tinggi, dan sumpah
itu menjadi suatu pengokohan baginya, yang mengakhiri segala bantahan”.
Yang dilarang adalah bersumpah secara sembarangan,
untuk hal-hal yang tidak penting. Ini tetap salah, sekalipun hal yang
dikatakan itu merupakan kebenaran. Hal ini ditekankan lagi secara lebih khusus
dalam Mat 5:37 - “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak,
hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat”.
4. Penyebutan nama Allah dengan sembarangan /
sia-sia / tidak hormat.
Jamieson, Fausset & Brown: “Henceforth all light appeals and
useless references to the Divine Being were to be avoided” (= Untuk
selanjutnya semua seruan yang enteng dan referensi yang tak berguna pada
Makhluk Ilahi / Allah harus dihindari).
Matthew Henry:
“We
take God’s name in vain, ... By using the name of God lightly and carelessly,
and without any regard to its awful significancy. The profanation of the forms
of devotion is forbidden, as well as the profanation of the forms of swearing;
as also the profanation of any of those things whereby God makes himself known,
his word, or any of his institutions; when they are either turned into charms
and spells, or into jest and sport, the name of God is taken in vain” (= Kita
menggunakan nama Allah dengan sia-sia, ... Dengan menggunakan nama Allah dengan
enteng dan dengan sembarangan, dan tanpa hormat apapun pada arti /
pengertiannya yang dahsyat. Penyekuleran / sikap tidak hormat terhadap
bentuk-bentuk kebaktian dilarang, sama seperti penyekuleran / sikap tidak
hormat terhadap bentuk-bentuk sumpah; seperti juga penyekuleran / sikap tidak
hormat terhadap apapun dari hal-hal itu dengan mana Allah menyatakan diriNya
sendiri, firmanNya, atau apapun dari lembaga-lembagaNya; pada waktu mereka
diubah menjadi guna-guna dan mantera, atau menjadi lelucon dan olok-olok, maka
nama Allah digunakan dengan sia-sia).
Adam Clarke:
“Even
pagan people thought that the names of their gods should be treated with
reverence. ... ‘It is most undoubtedly right not easily to pollute the names of
the gods, using them as we do common names; but to watch with purity and
holiness all things belonging to the gods.’” (= Bahkan
orang-orang kafir menganggap bahwa nama-nama dari dewa-dewa mereka harus
diperlakukan dengan rasa hormat / takut. ... ‘Merupakan sesuatu yang sangat
pasti kebenarannya untuk tidak mengotori nama-nama dari dewa-dewa, menggunakan
nama-nama itu seperti kita menggunakan nama-nama biasa; tetapi untuk menjaga
dengan kemurnian dan kekudusan segala sesuatu yang merupakan milik dari
dewa-dewa’).
Adam Clarke:
“Is
it necessary to say to any truly spiritual mind, that all such interjections as
O God! My God! Good God! Good Heavens! etc., etc., are formal positive
breaches of this law?” (= Apakah perlu untuk mengatakan kepada
pikiran manapun yang benar-benar rohani, bahwa semua seruan seperti Ya Allah!
Allahku! Allah yang baik! Surga yang baik! dsb, dsb, merupakan
pelanggaran-pelanggaran positif yang resmi terhadap hukum ini?).
Catatan: kata-kata seruan dalam bahasa Inggris dalam kutipan
di atas ini, khususnya yang saya garis-bawahi, saya terjemahkan secara hurufiah
/ kata per kata, dan itu menjadikan artinya jadi aneh sekali, karena sebetulnya
memang tidak bisa diterjemahkan seperti itu. Tetapi terjemahannya memang tidak
ada, kecuali kalau sekedar diterjemahkan ‘astaga’, tetapi kalau diterjemahkan
seperti itu, maka tidak ada kesan pelanggaran terhadap hukum ketiga.
The Biblical Illustrator (Old Testament): “we are to remove the habit of using the
holy name in ordinary conversation in which the use has no religious character.
We are not to call a wretched and forlorn person or thing ‘God-forsaken,’ or to
hail a gift as a ‘God-send,’ when, in using these epithets, we have no
design to use their full meaning, and therefore have not the proper
attitude of mind for their utterance” (= kita harus membuang kebiasaan
menggunakan nama yang kudus dalam pembicaraan biasa dimana penggunaannya tidak
mempunyai sifat agamawi. Kita tidak boleh menyebut seseorang atau sesuatu yang
malang / sial / buruk dan menyedihkan sebagai ‘ditinggalkan oleh Allah’, atau
menyebut suatu hadiah sebagai ‘dikirimkan oleh Allah’, jika, dalam
menggunakan sebutan-sebutan itu kita tidak bermaksud untuk menggunakan arti
mereka sepenuhnya, dan karena itu tidak mempunyai sikap dari pikiran yang
benar untuk pengucapan mereka).
Calvin: “men should not drag in His name in light matters,
as in sport or derision of Him, which cannot be done without insulting and
profaning it” (= orang-orang
tidak boleh membawa-bawa namaNya dalam hal-hal yang kecil / remeh, seperti
dalam lelucon atau ejekan / cemooh tentang Dia, yang tidak bisa dilakukan tanpa
menghina dan mencemarkannya).
Misalnya:
a. Seruan-seruan
(kebiasaan) dengan menggunakan nama Tuhan seperti: ‘Masya Allah’, ‘Aduh Allah’,
‘Ya Allah’, ‘Ya Tuhan’, ‘O Allah’, dsb, yang sangat sering dilakukan, bahkan
juga oleh orang-orang Kristen, juga merupakan pelanggaran terhadap hukum ketiga
ini. Dalam bahasa Inggris hal seperti ini juga sangat sering dilakukan,
misalnya dengan kata-kata ‘O my God’, ‘My Lord’, ‘Jesus’, ‘Jesus
Christ’, ‘for Christ’s sake’, dan sebagainya. Mengatakan ‘Insya Allah’ (= Jika
Allah menghendaki), sebetulnya bukan dosa, asal kita betul-betul memaksudkan
hal itu. Tetapi kalau kita mengucapkannya hanya sebagai basa basi, maka itu
juga termasuk menyebut nama Allah dengan sia-sia.
b. Menggunakan
nama Tuhan untuk lelucon / percakapan yang tidak ada gunanya.
Contoh: ada
sebuah gereja yang mengeluarkan warta gereja berisikan lelucon yang berjudul
‘kuda kristen’. Ceritanya adalah sebagai berikut: Ada sebuah gereja yang
mempunyai seekor kuda, dan kuda ini adalah kuda kristen. Kuda itu disebut kuda
kristen karena ia dilatih untuk berjalan kalau mendengar kata-kata ‘Puji
Tuhan’, dan berhenti kalau mendengar kata ‘Haleluya’. Suatu hari seorang
pendeta tamu, yang adalah pendeta dari gereja Pentakosta, menaiki kuda itu
setelah diajar tentang kata sandi yang diperlukan untuk menjalankan dan
menghentikan kuda itu. Ia lalu berkata ‘Puji Tuhan’, dan kuda itu lalu mulai
berjalan. Ia
berkata lagi ‘Puji Tuhan’ berkali-kali dan kuda itu berlari makin lama makin
cepat. Tiba-tiba pendeta itu melihat bahwa di depannya ada suatu sungai. Ia
menjadi panik sehingga lupa kata sandi untuk menghentikan kudanya. Ia lalu
memejamkan matanya dan berdoa: ‘Tuhan tolong hentikan kuda ini, Haleluya,
Amin’. Kuda itu mendengar kata ‘Haleluya’ dalam doa pendeta itu dan ia
berhenti, persis di tepi sungai. Pendeta itu membuka matanya dan melihat kuda
itu berhenti persis di tepi sungai, dan ia lalu berseru ‘Puji Tuhan’, dan
‘byur’, ia dan kudanya masuk ke sungai!
Boleh jadi cerita ini lucu,
tetapi apa manfaatnya? Sedikitpun tidak ada! Dan karena itu ini termasuk cerita
yang menggunakan nama Allah secara sembarangan! Karena itu jangan menceritakan
cerita-cerita seperti ini, kecuali kalau saudara sedang mengajar tentang hukum
ke 3 ini!
c. Mengatakan ‘Haleluya / Puji Tuhan’ sekedar
sebagai suatu kebiasaan sehingga hanya keluar dari mulut, tanpa hatinya
betul-betul memuji Tuhan.
5. Berbakti / beribadah (pasti ada penyebutan
nama Tuhan di dalamnya) secara tidak serius / hormat.
Matthew Henry:
“The
third commandment concerns the manner of our worship, that it be done with all
possible reverence and seriousness, v. 7” (= Hukum ketiga
menyangkut cara dari ibadah / kebaktian kita, supaya itu dilakukan dengan
seluruh rasa hormat / takut dan keseriusan yang dimungkinkan, ay 7).
Renungkan:
kalau saudara berbakti, apakah betul-betul ada rasa hormat / takut kepada
Tuhan, dan keseriusan dalam berbakti?
6. Menyanyi memuji Tuhan atau berdoa tetapi
hanya dengan mulut saja, tidak dengan hati.
Adam Clarke:
“we
may safely add to all these, that every prayer, vociferation, etc., that is not
accompanied with deep reverence and the genuine spirit of piety, is here
condemned also. In how many thousands of instances is this commandment broken
in the prayers, whether read or extempore, of inconsiderate, bold, and
presumptuous worshippers! And how few are there who do not break it, both in
their public and private devotions!” (= kita bisa dengan aman
menambahkan pada semua ini, bahwa setiap doa, teriakan yang keras, dsb, yang
tidak disertai dengan rasa hormat / takut yang dalam dan roh kesalehan yang
sejati, juga dikecam di sini. Dalam berapa ribu contoh / kejadian hukum ini
dilanggar dalam doa-doa, apakah yang dibacakan atau dinaikan tanpa persiapan,
dari penyembah-penyembah yang tidak berpikir, berani, dan congkak / lancang!
Dan alangkah sedikitnya orang yang tidak melanggarnya, baik dalam kebaktian umum
maupun kebaktian pribadi mereka!).
7. Beberapa
ahli theologia / penafsir seperti R. L. Dabney dan penulis dari ‘The Biblical Illustrator’ menganggap bahwa penggunaan ayat-ayat Kitab Suci
secara tidak hormat juga melangar hukum ketiga ini.
Karena itu, jangan bergurau dengan menggunakan
ayat-ayat Kitab Suci!
The Biblical Illustrator (Old Testament): “In respect to God’s written Word, we
are to take it up with reverence both in our hearts and on our tongues” (= Berkenaan
dengan Firman Allah yang tertulis, kita harus membicarakannya dengan rasa
hormat / takut baik dalam hati kita maupun pada lidah kita).
The Biblical Illustrator (Old Testament): “Frivolous use of Scripture: - Nothing
is more easy than to create a laugh by a grotesque association of some
frivolity with the grave and solemn words of Holy Scripture. But surely this is
profanity of the worst kind. ... It contains the highest revelations of Himself
which God has made to man. ... Such a book cannot be a fit material for the
manufacture of jests” (= Penggunaan Kitab Suci yang sembrono:
- Tidak ada yang lebih mudah dari pada menciptakan tawa dengan gabungan yang
aneh sekali dari kesembronoan dengan kata-kata / firman yang penting dan
keramat / kudus dari Kitab Suci yang Kudus. Tetapi pasti ini merupakan penodaan
/ pengotoran dari jenis yang terburuk. ... Itu berisi wahyu tertinggi dari Dia
sendiri yang telah Allah buat bagi manusia. ... Kitab seperti itu tidak bisa
merupakan bahan yang cocok untuk menghasilkan lelucon / olok-olok).
Ada orang Kristen yang tahu bahwa dengan hal-hal di
atas ini mereka melanggar hukum ketiga ini, tetapi mereka terus melakukannya
dengan alasan bahwa itu sudah menjadi kebiasaan yang sukar / tidak bisa
dihentikan. Kalau saudara adalah orang seperti itu perhatikan kata-kata di bawah ini.
The Biblical Illustrator (Old Testament): “Again the swearer says: ‘I know it is
wrong, but it is a habit I have fallen into to such an extent that I often
swear without knowing it.’ Do you not see that habit does not excuse but rather
aggravates the offence? No one can become wicked at once. Your habit only shows
how often you have sinned, how far you have gone down in this kind of
wickedness”
(= Lagi / juga orang yang bersumpah itu berkata: ‘Aku tahu itu salah, tetapi
itu merupakan suatu kebiasaan ke dalam mana aku telah jatuh ke suatu tingkat
sedemikian rupa sehingga aku sering bersumpah tanpa mengetahuinya /
menyadarinya’. Tidakkah engkau melihat bahwa kebiasaan tidak memaafkan tetapi
sebaliknya memperberat pelanggaran itu? Tidak seorangpun menjadi jahat dalam
seketika. Kebiasaanmu hanya menunjukkan betapa sering engkau telah berdosa,
betapa jauh engkau telah turun dalam jenis kejahatan ini).
Thomas Manton (tentang Yak 5:12): “thy custom will not excuse thee; if it
be thy custom to sin, it is God’s custom to destroy sinners” (= kebiasaanmu
tidak akan memaafkan kamu; kalau itu merupakan kebiasaanmu untuk berdosa, maka
adalah kebiasaan Allah untuk menghancurkan orang-orang berdosa)
- ‘James’,
hal 436.
4) Pelanggaran terhadap hukum ketiga ini
merupakan suatu dosa yang tidak remeh!
Ada banyak orang Kristen yang sekalipun tahu /
mengerti bahwa mereka tidak boleh menggunakan nama Tuhan sekarang sembarangan,
tetapi mereka tetap melakukannya, karena mereka menganggapnya sebagai dosa yang
kecil / remeh. Kalau saudara menganggap bahwa pelanggaran terhadap hukum ini
adalah dosa remeh, maka:
a) Ingatlah
bahwa dosa remehpun tidak boleh dibiarkan dalam hidup kita.
b) Pelanggaran
terhadap hukum ketiga ini bukan dosa remeh.
Untuk itu perhatikanlah hal-hal ini:
1. Dalam
10 hukum Tuhan, hukum ini diletakkan pada urutan nomer 3!
2. Kel 20:7b
mengatakan: “TUHAN
akan memandang bersalah orang yang menyebut namaNya dengan sembarangan”.
Mungkin sekali kata-kata ini ditambahkan karena banyak
orang menganggap tindakan menyebut nama Allah dengan sia-sia / sembarangan ini
bukanlah sesuatu yang salah. Tetapi ayat ini / hukum ketiga ini mengatakan
bahwa Tuhan ‘memandang
bersalah’ orang seperti itu. Saudara
boleh saja menganggap itu tidak apa-apa, dan orang banyak / masyarakat boleh
saja menganggap itu tidak apa-apa. Tetapi ingat bahwa anggapan saudara ataupun
anggapan orang banyak / masyarakat, bukanlah standard untuk menentukan apakah
sesuatu itu berdosa atau tidak. Firman Tuhan adalah standardnya, dan Kel 20:7
itu mengatakan bahwa ‘Tuhan
akan memandang bersalah’!
3. Dalam
Perjanjian Lama, orang yang melanggar hukum ini dijatuhi hukuman mati.
Im 24:10-16,23 - “(10)
Pada suatu hari datanglah seorang laki-laki, ibunya seorang Israel sedang ayahnya
seorang Mesir, di tengah-tengah perkemahan orang Israel; dan orang itu
berkelahi dengan seorang Israel di perkemahan. (11) Anak perempuan Israel itu menghujat
nama TUHAN dengan mengutuk, lalu dibawalah ia kepada Musa. Nama ibunya
ialah Selomit binti Dibri dari suku Dan. (12) Ia dimasukkan dalam tahanan untuk
menantikan keputusan sesuai dengan firman TUHAN. (13) Lalu berfirmanlah TUHAN
kepada Musa: (14) ‘Bawalah orang yang mengutuk itu ke luar perkemahan
dan semua orang yang mendengar haruslah meletakkan tangannya ke atas kepala
orang itu, sesudahnya haruslah seluruh jemaah itu melontari dia dengan batu.
(15) Engkau harus mengatakan kepada orang Israel, begini: Setiap orang yang
mengutuki Allah harus menanggung kesalahannya sendiri. (16) Siapa yang
menghujat nama TUHAN, pastilah ia dihukum mati dan dilontari dengan batu oleh
seluruh jemaah itu. Baik orang asing maupun orang Israel asli, bila ia
menghujat nama TUHAN, haruslah dihukum mati. ... (23) Demikianlah Musa
menyampaikan firman itu kepada orang Israel, lalu dibawalah orang yang
mengutuk itu ke luar perkemahan, dan dilontarilah dia dengan batu. Maka
orang Israel melakukan seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa”.
4. Yesus
berkata dalam Mat 12:36-37 - “(36) Tetapi Aku
berkata kepadamu: Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus
dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman. (37) Karena menurut ucapanmu
engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum.’”.
5) Renungkan: berapa kali saudara melanggar
hukum ketiga ini? Dosa-dosa saudara karena melanggar hukum ketiga ini lebih
dari cukup untuk membawa saudara ke neraka selama-lamanya! Karena itu
percayalah kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat saudara! Dan kalau
saudara sudah percaya, buanglah semua pelanggaran terhadap hukum ketiga ini
dari hidup saudara, bahkan, muliakanlah Allah dengan mulut / lidah saudara!! Tuhan memberkati saudara.
HUKUM 4 (1)
Ingatlah dan Kuduskanlah hari sabat
(Kel 20:8-11)
Kel 20:8-11 - “(8) Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: (9) enam
hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, (10) tetapi
hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu
pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu
laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat
kediamanmu. (11) Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut
dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN
memberkati hari Sabat dan menguduskannya”.
I) Perubahan Sabat dari Sabtu ke
Minggu.
1) Dasar dari
hukum tentang hari Sabat: Tuhan menciptakan alam semesta dalam 6 hari, dan Ia
beristirahat pada hari ke 7, lalu menguduskan (memisahkan) hari ke tujuh itu
(Kel 20:11 bdk. Kej 2:1-3).
Kel 20:11 - “Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan
bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah
sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya”.
Kej 2:1-3 - “(1) Demikianlah
diselesaikan langit dan bumi dan segala isinya. (2) Ketika Allah pada hari
ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuatNya itu, berhentilah Ia pada
hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuatNya itu. (3) Lalu Allah
memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia
berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuatNya itu”.
2) Hari Sabat sebetulnya adalah hari Sabtu.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa hari Sabat
sebetulnya adalah hari yang ketujuh. Sekarang, hari ketujuh itu hari apa?
Bangsa Israel / orang-orang Yahudi menghitung hari dengan cara berbeda dari
orang Tionghoa. Bagi orang Tionghoa, hari pertama adalah hari Senin, tetapi
bagi bangsa Israel / orang Yahudi hari pertama adalah hari Minggu, hari kedua
adalah hari Senin, dst., sehingga bagi mereka hari ketujuh adalah hari Sabtu.
Jadi, hari Sabat sebetulnya (pada jaman Perjanjian Lama) adalah hari Sabtu.
Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa pergantian
hari bagi orang-orang Yahudi terjadi pada pk 6 sore. Jadi kalau bagi kita masih
Jumat pk 6 sore, bagi mereka saat itu sudah mulai masuk hari Sabtu / Sabat.
Bdk. Luk 23:53-54 - “(53)
Dan sesudah ia menurunkan mayat itu, ia mengapaninya dengan kain lenan, lalu
membaringkannya di dalam kubur yang digali di dalam bukit batu, di mana belum
pernah dibaringkan mayat. (54) Hari itu adalah hari persiapan dan sabat
hampir mulai”.
Catatan: Yesus mati pada Jumat pk 3 siang, dan setelah itu
mayatNya diturunkan dan dikuburkan. Jadi pada saat penguburan itu selesai,
sudah mendekati pk 6 sore, sehingga sudah hampir memasuki hari Sabat / Sabtu.
3) Perubahan
Sabat dari Sabtu menjadi Minggu.
Sabat Kristen berbeda harinya dengan Sabat Yahudi.
Bagi orang Kristen, hari Sabat berubah dari Sabtu menjadi Minggu.
Thomas Watson:
“The
old-seventh-day Sabbath, which was the Jewish Sabbath, is abrogated, and in the
room of it the first day of the week, which is the Christian Sabbath, succeeds.
The morality or substance of the fourth commandment does not lie in keeping
the seventh day precisely, but keeping one day in seven is what God has
appointed” (= Sabat hari
ke 7 yang lama, yang merupakan hari Sabat Yahudi, dibatalkan / dicabut, dan di
tempatnya digantikan dengan hari pertama dari suatu minggu, yang adalah hari
Sabat Kristen. Moralitas atau substansi / hakekat dari hukum ke 4 tidak
terletak dalam pemeliharaan hari ke 7 secara persis, tetapi pada pemeliharaan 1
dari 7 hari yang merupakan apa yang telah ditetapkan Allah) - ‘The Ten Commandments’, hal 95.
Catatan: ini tentu tidak berarti bahwa setiap kita berhak
menentukan Sabatnya sendiri-sendiri. Setelah Sabat berubah ke hari Minggu, pada
umumnya kita harus menjadikan hari Minggu sebagai Sabat kita. Saya katakan
‘pada umumnya’ karena hamba-hamba Tuhan tidak mungkin bisa mempunyai Sabat pada
hari itu.
Orang-orang Advent menganggap bahwa kalau Sabat memang diubah, maka
harus ada ayat yang secara explicit menunjukkan hal itu. Saya menjawab: tidak
ada alasan untuk menuntut ayat yang explicit. Alkitab memang sering mengajar
secara implicit. Sebagai contoh: perubahan sakramen sunat menjadi baptisan,
sekalipun ada ayatnya (Kol 2:11-12), juga tidak explicit / nyata / jelas. Lebih-lebih
perubahan dari Perjamuan Paskah menjadi Perjamuan Kudus (Mat 26:26-29)! Lalu
mengapa orang Advent sendiri mau mengubah sunat menjadi baptisan dan Perjamuan
Paskah menjadi Perjamuan Kudus, padahal tidak ada ayat yang explicit?
Sekalipun dasar explicit tidak ada, tetapi dasar
implicit ada dan cukup kuat. Apa saja alasan dari Alkitab yang menyebabkan orang
Kristen mengubah Sabat dari Sabtu menjadi Minggu?
a) Kristus
bangkit pada hari Minggu, dan 2 x Ia menampakkan diri setelah kebangkitan, juga
pada hari Minggu.
Bible Knowledge Commentary: “In the present Church Age the day of
worship has been changed from Saturday to Sunday because of Jesus’ resurrection
on the first day of the week (cf. Acts 20:7; 1 Cor 16:2)” [= Dalam Jaman
Gereja sekarang hari kebaktian telah diubah dari Sabtu menjadi Minggu karena
kebangkitan Yesus pada hari pertama dari minggu (bdk. Kis 20:7; 1Kor 16:2)].
Wycliffe Bible Commentary: “The keeping of
the seventh day of the week as the Sabbath is not abrogated in the NT, but the
Sabbath of the New Creation is most naturally to be celebrated on that day when
Christ, having ceased from his finished work, rose from the dead. The
apostolic church celebrated both the first and the seventh days, but they soon
discontinued the old Hebrew observance”
(= Pemeliharaan hari yang ketujuh dari suatu minggu sebagai hari Sabat tidak
dihapuskan dalam Perjanjian Baru, tetapi Sabat dari Ciptaan Yang Baru paling
wajar / alamiah untuk dirayakan pada hari dimana Kristus, setelah berhenti dari
pekerjaanNya yang telah diselesaikan, bangkit dari antara orang mati. Gereja
rasuli merayakan baik hari pertama maupun hari ketujuh, tetapi mereka dengan
cepat menghentikan pemeliharaan Ibrani yang lama).
R. L. Dabney: “After the resurrection of Christ, the perpetual
Divine obligation of a religious rest was transferred to the first day of the
week, and thence to the end of the world, the Lord’s day is the Christian
Sabbath, by Divine and apostolic appointment” (= Setelah
kebangkitan Kristus, kewajiban Ilahi yang kekal tentang istirahat agamawi
dipindahkan ke hari pertama dari suatu minggu, dan dari sana sampai akhir
jaman, hari Tuhan adalah Sabat Kristen, oleh penetapan Ilahi dan rasuli) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 367-368.
Keil & Delitzsch: “...
after the completion of His work, He also rested on the Sabbath. But He rose
again on the Sunday; and through His resurrection, which is the pledge to the
world of the fruits of His redeeming work, He has made this day the kuriakee’ heeme’ra (Lord’s day) for His
Church, to be observed by it till the Captain of its salvation shall return” [= ... setelah penyelesaian pekerjaanNya, Ia juga
beristirahat pada hari Sabat (Sabtu).
Tetapi Ia bangkit kembali pada hari Minggu; dan melalui kebangkitanNya, yang
merupakan janji kepada dunia tentang buah dari pekerjaan penebusanNya, Ia telah
menjadikan hari ini kuriakee’ heeme’ra
(hari Tuhan) bagi GerejaNya, untuk diperhatikan / dihormati olehnya sampai
Kapten keselamatannya datang kembali].
Thomas Watson:
“Christ
rose on the first day of the week, out of the grave, and appeared twice on that
day to his disciples, John 20:19,26, which was to intimate, as Augustine and
Athanasius say, that he transferred the Jewish Sabbath to the Lord’s day” (= Kristus bangkit dari kubur pada hari pertama
dari suatu minggu, dan muncul / menampakkan diri 2 x pada hari itu kepada
murid-muridNya, Yoh 20:19,26, yang tujuannya adalah untuk mengisyaratkan,
seperti yang dikatakan Agustinus dan Athanasius, bahwa Ia memindahkan hari Sabat
Yahudi ke hari Tuhan) - ‘The Ten Commandments’, hal 95.
Sekarang mari kita memperhatikan 2 ayat yang
dibicarakan dalam kutipan Thomas Watson di atas.
1. Yoh 20:19 - “Ketika hari sudah malam pada hari pertama
minggu itu berkumpullah murid-murid Yesus di suatu tempat dengan
pintu-pintu yang terkunci karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi. Pada
waktu itu datanglah Yesus dan berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata:
‘Damai sejahtera bagi kamu!’”.
a. ‘pada hari pertama minggu itu’.
Yohanes menulis
sedemikian rupa sehingga hari pertama itu sangat ditekankan.
KJV: ‘Then the same day at evening, being the first day of
the week’ (= Maka pada hari yang sama pada sore / malam hari, yang merupakan hari
pertama dari minggu).
William Hendriksen mengatakan (hal 457) bahwa Yohanes
mau menekankan hari pertama itu. Ia mulai dengan mengatakan ‘Now when it
was evening of that day’ (=
Pada sore / malam dari hari itu). Dilihat dari kontextnya itu sudah
menunjuk kepada hari pertama (bdk. 20:1). Tetapi Yohanes tidak puas dengan itu,
dan ia melanjutkan ‘that day, the first day of the week’ (= hari itu, hari pertama dari minggu). Ini
menunjukkan penekanan pada hari pertama (hari minggu) itu.
Matthew Henry beranggapan bahwa ini merupakan tanda /
bukti bahwa Allah menghormati hari itu.
b. ‘malam’.
Text yang sedang kita pelajari ini (Yoh 20:19-23)
paralel dengan Luk 24:36-dst. Sekarang mari kita perhatikan kontext dari
Luk 24 itu.
Luk 24:29,33,36 - “(29)
Tetapi mereka sangat mendesakNya, katanya: ‘Tinggallah bersama-sama dengan
kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam.’
Lalu masuklah Ia untuk tinggal bersama-sama dengan mereka. ... (33) Lalu
bangunlah mereka dan terus kembali ke Yerusalem. Di situ mereka mendapati
kesebelas murid itu. Mereka sedang berkumpul bersama-sama dengan teman-teman
mereka. ... (36) Dan sementara mereka bercakap-cakap tentang hal-hal itu, Yesus
tiba-tiba berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata kepada mereka: ‘Damai
sejahtera bagi kamu!’”.
Jadi, kalau dilihat dari Luk 24:29,33,36 ini,
terlihat dengan jelas bahwa saat ini bukan lagi siang / sore (sebelum pk 6
sore) tetapi sudah malam (lewat dari pk 6 sore). Itu berarti bahwa sebetulnya, dari
perhitungan waktu Yahudi, itu bukan lagi hari pertama (minggu) tetapi hari
kedua (senin).
William Hendriksen: “It
was evening. In the light of Luke 24:29,33,36 we have a right to conclude that
it was no longer early in the evening when the great event recorded in the
present paragraph took place. As the Jews compute the days it was no longer
the first day of the week. But John, though a Jew, is writing much later than
Matthew and Mark, and does not seem to concern himself with Jewish
time-reckoning” (= Itu adalah
malam. Dalam terang dari Luk 24:29,33,36 kami mempunyai hak untuk menyimpulkan
bahwa itu bukan lagi awal dari suatu sore ketika peristiwa yang besar yang
dicatat dalam text ini terjadi. Sebagaimana orang-orang Yahudi menghitung
hari, itu bukan lagi hari pertama dari minggu. Tetapi Yohanes, sekalipun ia
adalah orang Yahudi, menulis jauh lebih belakangan dari Matius dan Markus, dan
kelihatannya tidak mempedulikan perhitungan waktu Yahudi) - hal 458.
A. T. Robertson menganggap bahwa kata-kata “Ketika hari sudah malam pada hari pertama minggu
itu” menunjukkan bahwa Yohanes
menggunakan perhitungan waktu Romawi dan bukan Yahudi.
Catatan: kalau Yohanes menggunakan perhitungan waktu Yahudi,
maka ia tidak mungkin menggabungkan ‘malam’ dengan ‘hari pertama
minggu itu’.
Bagian ini perlu diperhatikan karena ada orang-orang yang menolak perubahan
Sabat dari Sabtu menjadi Minggu dengan mengatakan bahwa Yesus menampakkan diri
di sini pada hari Senin, bukan pada hari Minggu. Itu memang Senin berdasarkan
perhitungan waktu Yahudi, tetapi itu adalah Minggu berdasarkan perhitungan
waktu Romawi. Dan Yohanes jelas menggunakan perhitungan waktu Romawi.
Salah satu bukti penggunaan perhitungan waktu Romawi
oleh Yohanes adalah Yoh 19:14 - “Hari itu ialah
hari persiapan Paskah, kira-kira jam dua belas. Kata Pilatus kepada
orang-orang Yahudi itu: ‘Inilah rajamu!’”.
NIV/Lit: ‘about the sixth hour’ (= kira-kira
jam keenam).
Dan kalau digunakan perhitungan waktu Yahudi, maka ini
memang akan menjadi pk 12, seperti dalam terjemahan Kitab Suci Indonesia.
Tetapi ini tidak mungkin, karena akan bertentangan dengan ayat-ayat yang
menunjukkan bahwa Yesus sudah disalibkan pada pk 9 pagi.
Bdk. Mark 15:25,33 - “
(25) Hari jam sembilan (Lit: jam yang ketiga)
ketika Ia disalibkan. ... (33) Pada jam dua belas (Lit: jam yang
keenam), kegelapan meliputi seluruh
daerah itu dan berlangsung sampai jam tiga”.
Hendriksen (juga Tasker, Tyndale) menganggap Yohanes
menggunakan perhitungan jam Romawi, dan itu berarti kira-kira pk 6.00 pagi.
William Hendriksen: “it
has been shown that in other passages the author of the Fourth Gospel in all
probability used the Roman civil day time-computation. See on 1:39; 4:6; 4:52.
If there, why not here?” (= telah
ditunjukkan bahwa dalam text-text lain pengarang dari Injil keempat sangat
mungkin menggunakan perhitungan waktu Romawi. Lihat tentang 1:39; 4:6; 4:52.
Jika di sana demikian, mengapa di sini tidak?) - hal 421.
Pulpit Commentary menambahkan (hal 423)
argumentasi seorang penafsir yang mengatakan bahwa rasul Yohanes menulis Injil
Yohanes ini di Efesus, yang menggunakan perhitungan waktu Asia, yang sama
dengan perhitungan waktu Romawi.
c. ‘berkumpullah
murid-murid Yesus di suatu tempat’.
Kita memang tidak tahu apa tujuan para murid berkumpul
pada saat itu, tetapi sedikitnya itu adalah suatu persekutuan. Bahkan ada
penafsir yang beranggapan bahwa murid-murid berkumpul pada hari minggu dalam
Yoh 20:19 itu, untuk berbakti.
Barnes’ Notes:
“It
is worthy of remark that this is the first assembly that was convened for
worship on the Lord’s Day, and in that assembly Jesus was present. Since that
time, the day has been observed in the church as the Christian Sabbath,
particularly to commemorate the resurrection of Christ” (= Layak diperhatikan bahwa ini adalah perkumpulan
pertama yang dilakukan untuk kebaktian pada hari Tuhan, dan dalam perkumpulan
itu Yesus hadir. Sejak saat itu, hari itu dihormati dalam gereja sebagai Sabat
Kristen, khususnya untuk memperingati kebangkitan Kristus).
2. Yoh 20:26
- “Delapan hari kemudian murid-murid Yesus
berada kembali dalam rumah itu dan Tomas bersama-sama dengan mereka. Sementara
pintu-pintu terkunci, Yesus datang dan Ia berdiri di tengah-tengah mereka dan
berkata: ‘Damai sejahtera bagi kamu!’”.
Maksudnya adalah 8 hari setelah Yoh 20:19. Ini
bukan hari Senin, tetapi hari Minggu! Yoh 20:19 adalah hari Minggu. 8 hari
setelah itu / hari ke 8 setelah itu juga adalah hari Minggu! (bandingkan dengan
Yesus yang mati pada hari Jum’at, lalu bangkit pada hari ke 3 yang adalah hari
Minggu - itulah cara mereka menghitung hari!).
M S S
R K J
S M
----|----|----|----|----|----|----|----|----|---
1 2 3
4 5 6
7 8
Mengapa Yesus muncul lagi-lagi pada hari Minggu? Untuk
menekankan perubahan Sabat dari Sabtu menjadi hari pertama (Minggu). Mari kita
memperhatikan beberapa komentar dari para penafsir tentang bagian ini.
Barnes’ Notes: “‘And after eight days again’. That is, on the return of
the first day of the week. From this it appears that they thus early set
apart this day for assembling together, and Jesus countenanced it by appearing
twice with them. It was natural that the apostles should observe this day,
but not probable that they would do it without the sanction of the Lord Jesus.
His repeated presence gave such a sanction, and the historical fact is
indisputable that from this time this day was observed as the Christian
Sabbath. See Acts 20:7; 1 Cor. 16:2; Rev. 1:10.” (= ‘Dan setelah 8
hari lagi’. Yaitu, pada kembalinya hari pertama dari suatu minggu. Dari sini
kelihatannya mereka demikian awal memisahkan hari ini untuk berkumpul bersama-sama,
dan Yesus menyetujuinya dengan muncul 2 x bersama mereka. Adalah sesuatu
yang wajar bahwa rasul-rasul memperingati hari ini, tetapi tidak mungkin bahwa
mereka melakukan hal itu tanpa persetujuan dari Tuhan Yesus. KehadiranNya yang
terulang memberikan persetujuan seperti itu, dan fakta historis tidak
dapat dibantah bahwa sejak saat ini hari ini diperingati sebagai Sabat Kristen.
Lihat Kis 20:7; 1Kor 16:2; Wah 1:10).
Jadi kelihatannya
Barnes beranggapan bahwa rasul-rasul yang lebih dulu melakukan perubahan Sabat,
dan Yesus lalu merestuinya. Tetapi saya lebih condong pada pandangan dari
beberapa penafsir di bawah ini.
William Hendriksen: “Did the Lord wait until Sunday evening in order to
encourage his disciples to observe that day - and not some other day - as day
of rest and worship? That would seem probable” (= Apakah Tuhan
menunggu sampai Minggu malam untuk mendorong murid-muridNya untuk menghormati
hari itu - dan bukannya hari yang lain - sebagai hari istirahat dan ibadah? Itu
kelihatannya memungkinkan) - hal 464.
Matthew Henry:
“He
deferred it so long as seven days. And why so? ... that he might put an honour
upon the first day of the week, and give a plain intimation of his will, that
it should be observed in his church as the Christian sabbath, the weekly day of
holy rest and holy convocations”
(= Ia menunda itu selama 7 hari. Dan mengapa demikian? ... supaya Ia bisa
meletakkan suatu penghormatan pada hari pertama dari suatu minggu, dan
memberikan suatu isyarat yang jelas dari kehendakNya, bahwa hari itu harus
diperingati / dihormati dalam gerejaNya sebagai Sabat Kristen, hari libur
mingguan dan pertemuan kudus mingguan).
Jamieson, Fausset
& Brown: “‘And after eight days’ - that is, on the
eighth or first day of the following week. They themselves probably met
every day during the preceding week, but their Lord designedly reserved His
second appearance among them until the recurrence of His resurrection-day, that
He might thus inaugurate the delightful sanctities of THE LORD’S DAY (Rev.
1:10)” [= ‘Dan setelah 8 hari’ - yaitu, pada hari ke 8 atau
hari pertama dari minggu berikutnya. Mereka sendiri mungkin bertemu setiap
hari dalam sepanjang minggu yang lalu, tetapi Tuhan mereka dengan terencana
menahan pemunculanNya yang kedua di antara mereka sampai kembalinya hari
kebangkitanNya, supaya dengan demikian Ia bisa melantik kekudusan yang
menggembirakan dari HARI TUHAN (Wah 1:10)].
Jelas bahwa inisiatif perubahan Sabat itu tidak mungkin datang dari
rasul-rasul, yang lalu disetujui oleh Yesus. Inisiatif itu datang dari Yesus
sendiri, yang secara sengaja dan terencana melakukan 2 x pemunculan pada hari
Minggu, dan dengan demikian memberikan isyarat yang jelas tentang hal itu.
b) Hari
Pentakosta (Kis 2:1-13), yang merupakan ‘hari berdirinya gereja’, juga
jatuh pada hari Minggu (bdk. Im 23:15-16
Ul 16:9).
Im 23:15-16 - “(15)
Kemudian kamu harus menghitung, mulai dari hari sesudah sabat itu, yaitu
waktu kamu membawa berkas persembahan unjukan, harus ada genap tujuh minggu;
(16) sampai pada hari sesudah sabat yang ketujuh kamu harus hitung lima
puluh hari; lalu kamu harus mempersembahkan korban sajian yang baru kepada
TUHAN”.
Sabat jatuh pada hari ketujuh. Jadi, hari sesudah
Sabat pasti adalah hari pertama / Minggu.
c) Hari
Minggu disebut sebagai ‘hari Tuhan’.
Wah 1:10 - “Pada
hari Tuhan aku dikuasai oleh Roh dan aku mendengar dari belakangku suatu
suara yang nyaring, seperti bunyi sangkakala”.
Sekalipun ayat ini tak menyebutkan bahwa itu adalah
hari pertama / hari Minggu, tetapi boleh dikatakan semua penafsir menganggapnya
demikian
Thomas Watson:
“As
it is called the ‘Lord’s Supper,’ because of the Lord’s instituting the bread
and wine and setting it apart from a common to a special and sacred use; so it
is called the Lord’s-day, because of the Lord’s instituting it, and setting it
apart from common days, to his special worship and service” [= Sebagaimana itu disebut ‘Makan Malam / Perjamuan
Tuhan’ (=
Perjamuan Kudus), karena Tuhan
menetapkan roti dan anggur dan memisahkannya dari penggunaan yang umum / biasa
menjadi penggunaan yang khusus dan keramat / kudus; demikian juga itu disebut
‘hari Tuhan’, karena Tuhan menetapkannya, dan memisahkannya dari hari-hari yang
umum / biasa, bagi penyembahan dan kebaktianNya yang khusus] - ‘The Ten Commandments’, hal 95.
Catatan: istilah ‘the Lord’s Supper’ muncul dalam 1Kor 11:20 versi KJV.
1Kor 11:20 - “Apabila
kamu berkumpul, kamu bukanlah berkumpul untuk makan perjamuan Tuhan”.
KJV: ‘the Lord’s supper’ (= makan malam Tuhan / perjamuan
Tuhan).
Bdk. Yes 58:13-14 - “(13)
Apabila engkau tidak menginjak-injak hukum Sabat dan tidak melakukan urusanmu
pada hari kudusKu; apabila engkau menyebutkan hari Sabat ‘hari kenikmatan’, dan
hari kudus TUHAN ‘hari yang mulia’; apabila engkau menghormatinya dengan
tidak menjalankan segala acaramu dan dengan tidak mengurus urusanmu atau
berkata omong kosong, (14) maka engkau akan bersenang-senang karena TUHAN, dan
Aku akan membuat engkau melintasi puncak bukit-bukit di bumi dengan kendaraan
kemenangan; Aku akan memberi makan engkau dari milik pusaka Yakub, bapa
leluhurmu, sebab mulut Tuhanlah yang mengatakannya”.
Matthew Henry:
“Even
in Old-Testament times the sabbath was called the Lord’s day, and therefore it
is fitly called so still, and for a further reason, because it is the Lord Christ’s
day, Rev. 1:10” (= Bahkan dalam
jaman Perjanjian Lama Sabat disebut ‘hari Tuhan’, dan karena itu, itu cocok
tetap disebut demikian, dan untuk alasan lain, karena itu adalah hari Tuhan
Kristus, Wah 1:10).
d) Sejak
kebangkitan Tuhan Yesus, orang-orang kristen berbakti pada hari pertama / hari
Minggu.
1. Kis 20:7
- “Pada hari pertama dalam minggu itu,
ketika kami berkumpul untuk memecah-mecahkan roti, Paulus berbicara dengan
saudara-saudara di situ, karena ia bermaksud untuk berangkat pada keesokan harinya.
Pembicaraan itu berlangsung sampai tengah malam”.
Ini jelas merupakan suatu kebaktian, dan itu diadakan
pada hari pertama / hari Minggu.
Matthew Henry:
“They
came together upon the first day of the week, which they called the Lord’s day (Rev.
1:10), the Christian sabbath, celebrated to the honour of Christ and the Holy
Spirit, in remembrance of the resurrection of Christ, and the pouring out of
the Spirit, both on the first day of the week. This is here said to be the day
when the disciples came together, that is, when it was their practice to come
together in all the churches” [= Mereka datang berkumpul pada hari
pertama dari minggu itu, yang mereka sebut ‘hari Tuhan’ (Wah 1:10), hari Sabat
Kristen, dirayakan bagi kehormatan Kristus dan Roh Kudus, dalam peringatan
tentang kebangkitan Kristus, dan pencurahan Roh Kudus, keduanya pada hari
pertama dari minggu. Di sini ini dikatakan sebagai hari dimana murid-murid
datang berkumpul, yaitu, pada waktu itu merupakan praktek mereka untuk datang
berkumpul dalam semua gereja-gereja].
Matthew Henry: “They came together
to break bread, that is, to celebrate the ordinance of the Lord’s supper, ...
In the primitive times it was the custom of many churches to receive the Lord’s
supper every Lord’s day, celebrating the memorial of Christ’s death in the
former, with that of his resurrection in the latter” (=
Mereka datang berkumpul untuk memecahkan roti, yaitu untuk merayakan peraturan Perjamuan Kudus,
... Dalam jaman primitif merupakan kebiasaan dari banyak gereja untuk menerima
Perjamuan Kudus setiap hari Tuhan, merayakan peringatan kematian Kristus dalam
hal yang terdahulu, dan kebangkitanNya dalam hal yang terakhir).
Adam Clarke:
“‘To
break bread.’ To break eucaristia,
the eucharist, as the Syriac has it; intimating, by this, that they were
accustomed to receive the holy sacrament on each Lord’s day. It is likely that,
besides this, they received a common meal together. Some think that the agapee, or love feast, is intended” (= ‘Untuk
memecah-mecahkan roti’. Untuk memecah-mecahkan EUCARISTIA, EUCHARIST, seperti
bahasa Aram menuliskannya; menunjukkan dengan ini bahwa mereka terbiasa untuk
menerima sakramen kudus pada setiap hari Tuhan. Adalah mungkin bahwa disamping
ini mereka menerima makanan bersama. Sebagian orang beranggapan bahwa AGAPE,
atau perjamuan kasih, yang dimaksudkan).
Jamieson, Fausset &
Brown: “‘To
break bread.’ This, when compared with 1 Cor. 16:2, and other similar
allusions, plainly indicates that the Christian observance the first day of the
week - afterward emphatically termed ‘The Lord’s Day’ - was already a
fixed practice of the churches” (= ‘Untuk memecah-mecahkan roti’. Ini,
pada saat dibandingkan dengan 1Kor 16:2, dan bagian-bagian lain yang mirip yang
menunjukkan secara tak langsung, dengan jelas menunjukkan bahwa pemeliharaan
orang-orang Kristen terhadap hari pertama dari minggu - yang belakangan secara
menekankan diistilahkan dengan ‘hari Tuhan’ - sudah merupakan suatu praktek
yang tetap dari gereja-gereja).
Wycliffe: “This is the
earliest clear reference to the Christian practice of observing Sunday as a day
of worship. The first Christians, as Jews, probably continued to observe the
Sabbath as well as the first day of the week. We are not told when or how the
practice of Sunday worship arose in the church. ... Broken bread refers to the
breaking of the bread of the Lord’s Supper. Eaten refers to the agape or love feast, a fellowship meal
that accompanied the Lord’s Supper” (= Ini merupakan referensi yang jelas yang paling awal bagi praktek Kristen untuk
memperingati hari Sabat maupun hari pertama dari minggu. Kita tidak diberitahu
kapan atau bagaimana praktek ibadah minggu muncul dalam gereja. ... Pemecahan
roti menunjuk pada pemecahan roti dari Perjamuan Kudus. ‘Makan’ menunjuk pada
AGAPE atau perjamuan kasih, suatu makan persekutuan yang menyertai Perjamuan
Kudus).
Catatan:
bagian akhir yang saya garis-bawahi menunjuk pada Kis 20:11 - “Setelah kembali
di ruang atas, Paulus memecah-mecahkan roti lalu makan; habis
makan masih lama lagi ia berbicara, sampai fajar menyingsing. Kemudian ia
berangkat”.
Bible Knowledge Commentary: “This is the
clearest verse in the New Testament which indicates that Sunday was the normal
meeting day of the apostolic church. Paul stayed in Troas for seven days (v. 6)
and the church met on the first day of the week. Luke’s method of counting days
here was not Jewish, which measures from sundown to sundown, but Roman, which
counted from midnight to midnight. This can be stated dogmatically because ‘daylight’
(v. 11) was the next day (v. 7)” [= Ini adalah
ayat yang paling jelas dalam Perjanjian Baru yang menunjukkan bahwa hari minggu
adalah hari pertemuan normal dari gereja rasuli. Paulus tinggal di Troas untuk
7 hari (ay 6) dan gereja bertemu pada hari pertama dari minggu. Metode Lukas
tentang penghitungan hari di sini bukanlah metode Yahudi, yang mengukur dari
matahari terbenam sampai matahari terbenam, tetapi metode Romawi, yang
menghitung dari tengah malam sampai tengah malam. Ini bisa dinyatakan secara
dogmatik karena ‘fajar menyingsing’ (ay 11) merupakan hari berikutnya (ay 7)].
Kis 20:6-11 - “(6) Tetapi sesudah hari raya Roti Tidak
Beragi kami berlayar dari Filipi dan empat hari kemudian sampailah kami di
Troas dan bertemu dengan mereka. Di situ kami tinggal tujuh hari lamanya.
(7) Pada hari pertama dalam minggu itu, ketika kami berkumpul untuk
memecah-mecahkan roti, Paulus berbicara dengan saudara-saudara di situ, karena
ia bermaksud untuk berangkat pada keesokan harinya. Pembicaraan itu
berlangsung sampai tengah malam. (8) Di ruang atas, di mana kami berkumpul,
dinyalakan banyak lampu. (9) Seorang muda bernama Eutikhus duduk di jendela.
Karena Paulus amat lama berbicara, orang muda itu tidak dapat menahan
kantuknya. Akhirnya ia tertidur lelap dan jatuh dari tingkat ketiga ke bawah.
Ketika ia diangkat orang, ia sudah mati. (10) Tetapi Paulus turun ke bawah. Ia
merebahkan diri ke atas orang muda itu, mendekapnya, dan berkata: ‘Jangan
ribut, sebab ia masih hidup.’ (11) Setelah kembali di ruang atas, Paulus
memecah-mecahkan roti lalu makan; habis makan masih lama lagi ia berbicara,
sampai fajar menyingsing. Kemudian ia berangkat”.
The Bible Exposition Commentary: New Testament: “The ‘breaking
of bread’ in Acts 20:7 refers to the Lord’s Supper, whereas in Acts 20:11 it describes
a regular meal” (= Pemecahan roti dalam Kis 20:7
menunjuk pada Perjamuan Kudus, sedangkan dalam Kis 20:11 itu menggambarkan
makan biasa).
Kesimpulan: memang ada perbedaan pandangan di antara para
penafsir tentang arti dari 2 x pemecahan roti (ay 7,11), tetapi
bagaimanapun, dari 2 x pemecahan roti itu, salah satu pasti menunjuk pada
Perjamuan Kudus. Dengan demikian, itu pasti dilakukan dalam kebaktian.
2. 1Kor 16:2
- “Pada hari pertama dari tiap-tiap
minggu hendaklah kamu masing-masing - sesuai dengan apa yang kamu peroleh -
menyisihkan sesuatu dan menyimpannya di
rumah, supaya jangan pengumpulan itu baru diadakan, kalau aku datang”.
Kata-kata ‘di rumah’ ini bukan hanya salah terjemahan, tetapi juga tidak
masuk akal. Kalau memang harus disimpan ‘di
rumah’ mengapa mereka harus
mengumpulkan pada hari pertama? Kata-kata ‘di
rumah’ itu seharusnya tidak ada /
dihapuskan. KJV/RSV/NIV/NASB/ASV/NKJV tidak mempunyai kata-kata itu.
NIV: ‘each one of you should set aside a sum of
money in keeping with his income, saving it up, ...’ (= setiap orang dari
kamu harus menyisihkan sejumlah uang sesuai dengan penghasilannya,
menyimpannya, ...).
Adam Clarke:
“It
appears from the whole that the first day of the week, which is the Christian
Sabbath, was the day on which their principal religious meetings were held in
Corinth and the churches of Galatia; and, consequently, in all other places
where Christianity had prevailed. This is a strong argument for the keeping of
the Christian Sabbath” (= Kelihatan dari seluruh bagian ini
bahwa hari pertama dari minggu, yang merupakan Sabat Kristen, adalah hari
dimana pertemuan-pertemuan agama utama mereka dilakukan di Korintus dan
gereja-gereja Galatia; dan karena itu, di semua tempat dimana kekristenan tersebar.
Ini merupakan argumentasi yang kuat untuk memelihara hari Sabat Kristen).
Charles Hodge: “If Paul directed this money to be laid
up at
home, why was the first day of the week
selected? It is evident that the first day must have offered some special
facility for doing what is here enjoined. The only reason that can be assigned
for requiring the thing to be done on the first day of the week, is, that on
that day the Christians were accustomed to meet, and what each one had laid
aside from his weekly gains could be treasured up, i.e. put into the common
treasury of the church” (=
Jika Paulus mengarahkan uang ini untuk disimpan di rumah, mengapa hari pertama
dari minggu dipilih? Adalah jelas bahwa hari pertama pasti memberikan suatu
fasilitas khusus untuk melakukan apa yang diperintahkan di sini. Satu-satunya
alasan yang bisa diberikan untuk mengharuskan hal itu dilakukan pada hari
pertama dari minggu adalah bahwa pada hari itu orang-orang Kristen terbiasa
untuk bertemu, dan apa yang tiap orang telah sisihkan dari keuntungan mingguannya
bisa disimpan, yaitu dimasukkan ke dalam perbendaharaan umum dari gereja).
Berbakti pada hari Minggu ini sudah dimulai sangat
awal, dan beberapa penafsir mengatakan bahwa sejak awal abad kedua, seluruh
gereja sudah meninggalkan Sabat Yahudi, dan menggunakan hari Minggu sebagai
hari Sabat / hari Kebaktian.
Ke-universal-an seperti ini tidak mungkin terjadi kalau hanya orang-orang
kristen tertentu yang mengubahnya. Bahkan saya berpendapat tidak akan mungkin
terjadi seandainya hanya sebagian dari rasul-rasul yang mengubahnya. Ini hanya
bisa terjadi kalau semua rasul-rasul mengubahnya, dan mereka tidak
mungkin mengubah berdasarkan kemauan / pemikiran mereka sendiri. Mereka pasti
mendapat perintah dari Tuhan.
Jewish New Testament Commentary (tentang 1Kor 16:2): “There is good
documentation that the Gentile churches have observed Sunday as a day of
worship since very early times. Specifically, Ignatius writes in the early
second century of Sunday as ‘the Lord’s Day,’ commemorating the day Yeshua rose
from the grave. This we know to have been Sunday from Mt 28:1 and Lk 24:1” (= Ada
dokumentasi yang baik bahwa gereja-gereja dari orang-orang non Yahudi telah
memelihara hari Minggu sebagai suatu hari kebaktian sejak masa yang sangat
awal. Secara khusus, Ignatius menulis pada awal abad ke 2 tentang hari Minggu
sebagai ‘hari Tuhan’, untuk memperingati hari dimana Yesus bangkit dari kubur.
Ini kita ketahui sebagai hari minggu dari Mat 28:1 dan Luk 24:1).
Thomas Watson:
“Augustine
and Innocentius, and Isidore, make the keeping of our gospel Sabbath to be of
apostolic sanction, and affirm, that by virtue of the apostles’ practice, this
day is to be set apart for divine worship. What the apostles did, they did by
divine authority; for they were inspired by the Holy Ghost” (= Agustinus dan Innocentius, dan Isidore,
menganggap pemeliharaan Sabat Injil kita sebagai penetapan rasuli, dan
menegaskan, bahwa berdasarkan praktek rasul-rasul, hari ini harus dipisahkan
untuk penyembahan / ibadah ilahi. Apa yang dilakukan rasul-rasul, mereka
lakukan oleh otoritas ilahi; karena mereka diilhami oleh Roh Kudus) - ‘The Ten Commandments’, hal 95.
Thomas Watson:
“The
primitive church had the Lord’s-day, which we now celebrate, in high
estimation. It was a great badge of their religion to observe this day.
Ignatius, the most ancient father, who lived in the time of John the apostle,
has these words, ‘Let every one that loveth Christ keep holy the first day of
the week, the Lord’s-day.’” (= Gereja
mula-mula sangat meninggikan hari Tuhan, yang sekarang kita rayakan. Merupakan
lencana yang besar dari agama mereka untuk menghormati hari ini. Ignatius, bapa
gereja yang paling kuno, yang hidup pada jaman Yohanes sang rasul, mengatakan
kata-kata ini: ‘Hendaklah setiap orang yang mengasihi Kristus menguduskan hari
pertama dari suatu minggu, hari Tuhan’) - ‘The Ten Commandments’, hal 95-96.
William Barclay: “By early in the
second century the Sabbath had been abandoned and the Lord’s Day was the
accepted Christian day” (= Pada awal abad
kedua hari Sabat telah ditinggalkan dan hari Tuhan diterima sebagai hari
Kristen) - hal 43.
Catatan: ‘awal abad kedua’ berarti tahun 100an, dan itu sangat dekat dengan masa kehidupan rasul Yohanes, yang masih hidup
sampai akhir abad pertama.
Philip Schaff: “The universal and
uncontradicted Sunday observance in the second century can only be explained by
the fact that it had its roots in apostolic practice” (= Ibadah pada hari
Minggu yang bersifat universal dan tidak ditentang pada abad kedua, hanya bisa
dijelaskan oleh fakta bahwa itu mempunyai akarnya dalam praktek rasuli)
- ‘History of the Christian Church’, vol I, hal 478.
Homer Hailey: “The ante-Nicene
writers who wrote after John followed a consistent pattern in considering
‘the first day,’ ‘the Lord’s day,’ the ‘resurrection day,’ and the day of
meeting, Sunday, as identical. Ignatius (30-107 A.D.) writes, ‘Let every
friend of Christ keep the Lord’s day as a festival, the resurrection day, the
queen and chief of all the days (of the week)’ (A-N-F, I, p. 63). Justin
(110-165 A.D.), writing of the day which the saints met for worship identified
it as ‘Sunday ... the first day ... and Jesus Christ our Saviour on the same
day rose from the dead’ (I, p. 168). The teaching of the Twelve (120-190 A.D.):
‘But every Lord’s day do ye gather yourselves, and break bread’ (VII, p. 381).
Clement (153-217 A.D.), writing agonist (against?) Gnostics, identifies the
Lord’s day with the resurrection, saying, ‘He, in fulfillment of the precept,
according to the Gospel, keeps the Lord’s day ... glorifying the Lord’s
resurrection’ (II, p. 545). Tertullian (145-220 A.D.) identifies ‘the Lord’s
day’ as ‘every eighth day’ (III, p. 70). Constitution of the Holy Apostles
(250-325 A.D.): ‘And on the day of our Lord’s resurrection, which is the Lord’s
day, meet more diligently’ (VII, p. 423); and ‘on the day of the resurrection
of the Lord, that is, the Lord’s day, assemble yourselves together, without
fail’ (ibid. p. 471)” [= Penulis-penulis
sebelum Nicea yang menulis setelah Yohanes mengikuti pola yang konsisten dalam menganggap
‘hari pertama’, ‘hari Tuhan’, ‘hari kebangkitan’, dan hari pertemuan, Minggu,
sebagai identik. Ignatius (30-107 M) menulis: ‘Hendaknya setiap teman
Kristus memelihara hari Tuhan sebagai suatu perayaan, hari kebangkitan, ratu
dan kepala dari semua hari (dari suatu minggu)’ (A-N-F, I, hal 63). Justin
(110-165 M), menulis tentang hari dimana orang-orang kudus bertemu untuk
kebaktian menyebutnya sebagai ‘Minggu ... hari yang pertama ... dan Yesus
Kristus Juruselamat kita bangkit dari antara orang mati pada hari yang sama’
(I, hal 168). The teaching of the Twelve (120-190 M): ‘Tetapi setiap hari Tuhan
kamu berkumpul dan memecahkan roti’ (VII, hal 381). Clement (153-217 M),
menulis menentang Gnostics, mengidentikkan hari Tuhan dengan kebangkitan,
dengan berkata: ‘Ia, dalam penggenapan ajaran / perintah, sesuai dengan Injil,
memelihara hari Tuhan ... memuliakan kebangkitan Tuhan’ (II, hal 545).
Tertullian (145-220 M) mengidentikkan / menyebut ‘hari Tuhan’ sebagai ‘setiap
hari ke 8’ (III, hal 70). Constitution of the Holy Apostles (250-325 M): ‘Dan
pada hari kebangkitan Tuhan, yang adalah hari Tuhan, bertemulah dengan makin
rajin’ (VII, hal 423); dan ‘pada hari kebangkitan Tuhan, yaitu, hari Tuhan,
kumpulkanlah dirimu bersama-sama, tanpa gagal (jangan
pernah gagal untuk bertemu)’ (ibid. hal 471)]
- hal 107.
Keberatan:
Tetapi bagaimana dengan ayat-ayat yang menunjukkan
bahwa rasul Pauluspun tetap berbakti pada hari Sabat (hari ketujuh) setelah
kebangkitan Yesus? Misalnya:
·
Kis 13:14
- “Dari Perga mereka (Paulus
dan kawan-kawan)
melanjutkan perjalanan mereka, lalu tiba di Antiokhia di Pisidia. Pada hari
Sabat mereka pergi ke rumah ibadat, lalu duduk di situ”.
·
Kis 13:42
- “Ketika Paulus dan Barnabas
keluar, mereka diminta untuk berbicara tentang pokok itu pula pada hari
Sabat berikutnya”.
·
Kis 13:44
- “Pada hari Sabat
berikutnya datanglah hampir seluruh kota itu berkumpul untuk mendengar firman
Allah”.
·
Kis 16:13
- “Pada hari Sabat kami
(Paulus dan Silas) ke
luar pintu gerbang kota. Kami menyusur tepi sungai dan menemukan tempat
sembahyang Yahudi, yang sudah kami duga ada di situ; setelah duduk, kami
berbicara kepada perempuan-perempuan yang ada berkumpul di situ”.
·
Kis 17:2
- “Seperti biasa Paulus masuk
ke rumah ibadat itu. Tiga hari Sabat berturut-turut ia membicarakan
dengan mereka bagian-bagian dari Kitab Suci”.
·
Kis 18:4
- “Dan setiap hari Sabat
Paulus berbicara dalam rumah ibadat dan berusaha meyakinkan orang-orang Yahudi
dan orang-orang Yunani”.
Catatan: dalam semua ayat di atas, kata ‘Sabat’
menunjuk pada hari ketujuh. Dalam Kitab Suci kata ‘Sabat’ tidak pernah digunakan untuk menunjuk pada hari
Minggu / hari pertama.
Jawaban saya:
Ada 2 kemungkinan untuk menjawab keberatan di atas:
1. Ini
merupakan masa peralihan dari Sabat Yahudi (Hari ketujuh / Sabtu) ke Sabat
Kristen (Hari pertama / Minggu), sehingga orang-orang kristen Yahudi (termasuk
Paulus) beribadah baik pada hari ketujuh / Sabtu, maupun pada hari pertama /
Minggu.
R. L. Dabney:
“After
the establishment of the new dispensation, the Christian converted from among
the Jews had generally combined the practice of Judaism with the forms of
Christianity. They observed the Lord’s day, baptism, and the Lord’s
supper; but they also continued to keep the seventh day, the passover, and
circumcision. ... In the mixed churches of Asia Minor and the West, some
brethren went to the synagogue on Saturday, and to the church-meeting on
Sunday, keeping both days religiously” (= Setelah
penegakan dari sistim agama yang baru, orang Kristen yang bertobat dari antara
orang-orang Yahudi pada umumnya mengombinasikan praktek dari agama Yahudi
dengan bentuk-bentuk dari kekristenan. Mereka memelihara / menghormati hari
Tuhan, baptisan, dan Perjamuan Kudus; tetapi mereka juga terus
memelihara hari ketujuh, Paskah, dan sunat. ... Dalam gereja-gereja
campuran Asia Kecil dan di Barat, sebagian saudara-saudara pergi ke sinagog
pada hari Sabtu, dan ke pertemuan / kebaktian gereja pada hari Minggu,
memelihara kedua hari secara agamawi) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 385-386.
2. Paulus
pergi ke tempat ibadah Yahudi itu bukan dengan tujuan berbakti, tetapi untuk
memberitakan Injil. Kalau ia pergi ke sana pada hari pertama / Minggu, tidak
akan ada siapa-siapa di sana. Lalu siapa yang mau ia injili? Ia harus pergi
pada hari kebaktian Yahudi, yaitu hari ketujuh / Sabtu. Dan memang kalau
saudara perhatikan semua ayat di atas dimana Paulus kelihatannya
berbakti pada hari Sabat / Sabtu, ia selalu memberitakan Injil / Firman
Tuhan.
e) Perubahan
dari Sabtu ke Minggu ini perlu untuk mengingat penebusan dosa kita oleh
Kristus.
Thomas Watson:
“The
grand reason for changing the Jewish Sabbath to the Lord’s-day is that it puts
us in mind of the ‘Mystery of our redemption by Christ.’ The reason why God
instituted the old Sabbath was to be a memorial of the creation; but he has now
brought the first day of the week in its room in memory of a more glorious work
than creation, which is redemption. Great was the work of creation, but greater
was the work of redemption” (= Alasan yang
agung untuk mengubah Sabat Yahudi menjadi hari Tuhan adalah bahwa itu
mengingatkan kita akan ‘Misteri penebusan kita oleh Kristus’. Alasan mengapa
Allah mengadakan Sabat yang lama adalah sebagai peringatan tentang penciptaan;
tetapi sekarang Ia telah membawa hari pertama dari minggu sebagai gantinya
untuk mengingat tentang suatu pekerjaan yang lebih mulia dari pada penciptaan,
yaitu penebusan. Pekerjaan penciptaan itu besar, tetapi pekerjaan penebusan itu
lebih besar)
- ‘The Ten Commandments’, hal 96.
Bagian
ini penting untuk diingat kalau saudara menghadapi orang Advent, yang berkeras
bahwa hari untuk berbakti haruslah Sabtu, yang merupakan hari Sabat Perjanjian
Lama.
Ada satu ayat sukar yang seolah-olah menunjukkan bahwa
dalam Perjanjian Barupun Sabat tetap adalah hari Sabtu (sama dengan Sabat
Perjanjian Lama).
Mat 24:20 - “Berdoalah, supaya waktu kamu melarikan
diri itu jangan jatuh pada musim dingin dan jangan pada hari Sabat”.
Mereka disuruh berdoa supaya hal itu tidak terjadi
pada musim dingin dan tidak terjadi pada hari Sabat. Ini kelihatannya
menunjukkan bahwa pada jaman setelah Yesus (ayat ini menunjuk pada penghancuran
Yerusalem pada tahun 70 M.) para murid tetap harus memelihara Sabat (Sabtu),
karena kalau tidak apa pedulinya tindakan melarikan diri itu dengan hari Sabat?
Tetapi sebetulnya artinya tidak demikian. Arti yang benar adalah sebagai
berikut: Yang dimaksud dengan ‘hari Sabat’ di sini bukanlah Sabat Kristen
(Minggu), tetapi Sabat Yahudi (Sabtu), karena dalam Kitab Suci kata ‘Sabat’
tidak pernah menunjuk pada hari Minggu, tetapi selalu menunjuk pada hari Sabtu.
Orang Kristen sebetulnya sudah tidak terikat lagi dengan hari Sabat Yahudi,
karena sejak kebangkitan Yesus, bagi orang Kristen hari Sabat adalah hari
Minggu. Jadi, ditinjau dari sudut orang-orang kristen itu, sebetulnya tidak
jadi soal kalau hal itu terjadi pada hari Sabat Yahudi (Sabtu), karena bagi
mereka tidak ada larangan apa-apa pada hari itu. Tetapi perlu diingat bahwa
orang-orang Yahudi yang bukan Kristen masih memegang hari Sabat Yahudi (Sabtu)
itu, sehingga mereka tidak mau berjualan, dan mereka bahkan menutup / mengunci
pintu-pintu gerbang kota pada hari itu. Karena itu, kalau hal itu terjadi pada
hari Sabat Yahudi (Sabtu), maka orang-orang kristen yang melarikan diri itu
tidak akan bisa membeli makanan maupun kebutuhan-kebutuhan yang lain, dan juga
tidak bisa memasuki kota-kota dalam perjalanan mereka. Ini pasti akan
menyukarkan mereka dalam melarikan diri itu.
Jadi, ayat ini tidak berarti bahwa orang Kristen tetap
memelihara hari Sabat Yahudi, yaitu hari Sabtu. Hari Sabat akan menyukarkan
orang-orang kristen dalam melarikan diri, bukan karena orang-orang kristen
tetap memelihara hari Sabat itu, tetapi karena orang-orang Yahudi yang non
Kristen tetap memelihara hari Sabat itu.
Catatan:
penjelasan ini perlu saudara camkan, karena orang-orang dari ‘Gereja Masehi
Advent Hari Ketujuh’ menggunakan ayat ini untuk mengatakan bahwa bagi orang
Kristen hari Sabat tetap adalah hari Sabtu.
HUKUM 4 (2)
Ingatlah dan Kuduskanlah hari sabat
(Kel 20:8-11)
II) Pro
kontra penghapusan Sabat.
1) Argumentasi untuk menghapuskan hukum tentang hari Sabat.
a) Itu merupakan ceremonial
law (=
hukum yang berhubungan dengan upacara keagamaan), dan semua ceremonial law dihapuskan pada kematian dan kebangkitan Kristus (Ef 2:15).
Ef 2:15 - “sebab dengan matiNya
sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan
ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam
diriNya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera”.
Kita tidak mungkin
menafsirkan bahwa ayat ini memaksudkan seluruh hukum Taurat dihapuskan, karena
dalam Mat 5:17-19 Yesus berkata: “(17) ‘Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang
untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk
meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. (18) Karena Aku berkata kepadamu:
Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu
titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.
(19) Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat
sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia
akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa
yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan
menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga”.
Jadi, untuk mengharmoniskan
kedua bagian ini, dan juga dengan bagian-bagian Kitab Suci yang lain, haruslah
ditafsirkan bahwa yang dihapuskan hanyalah hukum Taurat yang bersifat ceremonial saja (seperti sunat, najis / tahir, larangan makan, persembahan korban
dsb), sedangkan yang bersifat moral terus berlaku. Kalau hukum tentang hari
Sabat termasuk ceremonial law, maka itu berarti hukum
ini juga dihapuskan.
Calvin termasuk orang yang
menghapuskan hukum Sabat.
John Calvin:
“there
is no doubt that by the Lord Christ’s coming the ceremonial part of this
commandment was abolished” (= tidak
diragukan bahwa oleh kedatangan Tuhan Kristus bagian ceremonial dari perintah ini dihapuskan) - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book II, Chapter VIII, no 31.
Calvin menggunakan Kol 2:16-17 - “(16) Karena itu janganlah kamu biarkan orang
menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru
ataupun hari Sabat; (17) semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus
datang, sedang wujudnya ialah Kristus”.
John Calvin:
“Christians
ought therefore to shun completely the superstitious observance of days” (= Karena itu orang-orang kristen harus
menghindarkan diri secara total dari pemeliharaan hari-hari yang bersifat
takhyul) - ‘Institutes
of the Christian Religion’, Book II,
Chapter VIII, no 31.
Catatan: mungkin yang dimaksud oleh Calvin dengan ‘bersifat takhyul’ adalah bilangan 7 (pemeliharaan hari ke 7).
John Calvin:
“because
it was expedient to overthrow superstition, the day sacred to the Jews was set
aside; because it was necessary to maintain decorum, order, and peace in
the church, another was appointed for that purpose” [= karena merupakan sesuatu yang layak untuk
merobohkan takhyul, (maka) hari yang keramat bagi orang-orang Yahudi
disingkirkan; karena merupakan sesuatu yang perlu untuk memelihara kepantasan, keteraturan,
dan damai dalam gereja, (maka) hari yang lain
ditetapkan untuk tujuan itu] - ‘Institutes
of the Christian Religion’, Book II,
Chapter VIII, no 33.
Catatan: sukar untuk menterjemahkan kata ‘order’. Dalam Webster’s New World Dictionary, kata itu mempunyai bermacam-macam arti, antara lain,
‘keteraturan’, ‘keadaan tenang
/ damai’, atau ‘keadaan dimana segala sesuatu ada di tempat yang
benar dan berfungsi dengan benar’.
Mungkin yang terakhir yang yang dimaksudkan oleh Calvin.
Jadi, sekalipun Calvin berpendapat bahwa Sabat (Sabat
Yahudi - Sabtu) telah dibatalkan / dicabut, tetapi ia juga berpendapat bahwa
kita tetap harus berbakti dan memberi istirahat pegawai dsb (‘Institutes
of the Christian Religion’, Book II,
Chapter VIII, no 32). Dasarnya adalah karena bagian lain dari Kitab Suci,
bahkan Perjanjian Baru (Kis 2:42 1Kor
16:2), mengharuskan hal itu. Disamping itu, hal ini perlu untuk keteraturan dan
kesehatan rohani kita.
Ini menyebabkan Calvin berpendapat bahwa hari untuk
kebaktian boleh dipilih hari apapun.
John Calvin:
“And
I shall not condemn churches that have other solemn days for their meetings,
provided there be no superstition. This will be so if they have regard solely
to the maintenance of discipline and good order” (= Dan saya tidak akan mengecam gereja-gereja yang
mempunyai hari keramat / kudus yang lain untuk pertemuan-pertemuan /
kebaktian-kebaktian mereka, asal disana tidak ada takhyul. Ini akan demikian
jika mereka hanya memperhatikan pada pemeliharaan disiplin dan keteraturan
yang baik) - ‘Institutes
of the Christian Religion’, Book II,
Chapter VIII, no 34.
Penafsiran Calvin bahwa hukum Sabat ini termasuk ceremonial law, ditentang oleh kebanyakan, atau mungkin semua,
orang-orang Reformed, dan juga oleh Westminster Confession of Faith.
Editor dari Calvin’s Institutes: “It is clear from this passage and from sec. 34 that for
Calvin the Christian Sunday is not, as in the Westminster Confession XXI, 8, a
simple continuation of the Jewish Sabbath ‘changed into the first day of the
week,’ but a distinctively Christian institution adopted on the abrogation of
the former one, as a means of church order and spiritual health” [= Adalah jelas
dari bagian ini (no 33) dan dari no 34, bahwa bagi Calvin hari
Minggu orang Kristen bukanlah, seperti dalam Pengakuan Westminster XXI, 8,
suatu kelanjutan / sambungan biasa dari Sabat Yahudi ‘(yang) diubah ke hari pertama dari suatu minggu’, tetapi suatu hukum Kristen
yang diadopsi / diambil pada penghapusan dari hukum yang lama, sebagai suatu
cara dari keteraturan gereja dan kesehatan rohani] - Book II, Chapter VIII, no 33
(footnote, hal 399).
Catatan: tentang kata ‘order’ dalam 2 kutipan terakhir ini, lihat catatan di atas.
b) Ada beberapa text Kitab Suci yang kelihatannya
menghapuskan hukum Sabat.
1. Kol 2:16-17 - “(16) Karena itu
janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau
mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat; (17) semuanya ini
hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus”.
Kalau Sabat merupakan type yang telah digenapi oleh
Kristus, bukankah sekarang Sabat harus dihapuskan?
2. Ro 14:5-6 - “(5) Yang seorang menganggap hari yang satu
lebih penting dari pada hari yang lain, tetapi yang lain menganggap semua hari
sama saja. Hendaklah setiap orang benar-benar yakin dalam hatinya
sendiri. (6) Siapa yang berpegang pada suatu hari yang tertentu, ia
melakukannya untuk Tuhan. Dan siapa makan, ia melakukannya untuk Tuhan,
sebab ia mengucap syukur kepada Allah. Dan siapa tidak makan, ia melakukannya
untuk Tuhan, dan ia juga mengucap syukur kepada Allah”.
3. Gal 4:7-11 - “(7) Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak;
jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah. (8)
Dahulu, ketika kamu tidak mengenal Allah, kamu memperhambakan diri kepada
allah-allah yang pada hakekatnya bukan Allah. (9) Tetapi sekarang sesudah kamu
mengenal Allah, atau lebih baik, sesudah kamu dikenal Allah, bagaimanakah kamu
berbalik lagi kepada roh-roh dunia yang lemah dan miskin dan mau mulai
memperhambakan diri lagi kepadanya? (10) Kamu dengan teliti memelihara hari-hari tertentu, bulan-bulan,
masa-masa yang tetap dan tahun-tahun. (11) Aku kuatir kalau-kalau susah payahku
untuk kamu telah sia-sia”.
2) Argumentasi
untuk mempertahankan hukum tentang hari Sabat.
a) Hukum
tentang hari Sabat ini merupakan hukum yang bersifat moral, dan karena itu
terus berlaku sampai akhir jaman.
Thomas Watson (‘The Ten
Commandments’, hal 94) menganggap bahwa hukum
ini bukan termasuk ceremonial law
tetapi moral law, dan karena itu
terus berlaku sampai kesudahan alam.
Alasan-alasan yang diberikan oleh para ahli theologia
/ penafsir untuk menganggap bahwa hukum Sabat ini merupakan hukum moral, bukan ceremonial:
1. Hukum ini
sudah ada sebelum hukum Taurat / ceremonial law.
Bahwa Sabat sudah ada sebelum pemberian hukum Taurat
kepada Musa terlihat dari:
·
Kej 2:3 - “Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan
menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan
penciptaan yang telah dibuatNya itu”.
·
Kel 16:22-30
- peristiwa pemberian manna, dimana bangsa Israel disuruh beristirahat pada
hari ketujuh.
Calvin sendiri mengakui bahwa text ini menunjukkan
bahwa peraturan Sabat sudah ada sebelum hukum Taurat Musa!
Calvin: “From this
passage it may be probably conjectured that the hallowing of the Sabbath was
prior to the Law; and undoubtedly what Moses has before narrated, that they
were forbidden to gather the manna on the seventh day, seems to have led its
origin from a well-known and received custom; ... But what in the depravity
of human nature was altogether extinct among heathen nations, and almost
obsolete with the race of Abraham, God renewed in His Law” (= Dari text ini mungkin bisa diperkirakan bahwa
pengudusan hari Sabat sudah ada sebelum hukum Taurat; dan tidak diragukan apa
yang telah ditulis oleh Musa sebelumnya, bahwa mereka dilarang mengumpulkan
manna pada hari yang ketujuh, kelihatannya telah membawa asal usulnya dari
suatu tradisi / kebiasaan yang telah dikenal dan diterima; ... Tetapi apa
yang dalam kebejatan manusia telah sama sekali musnah di antara bangsa-bangsa
kafir, dan hampir usang dengan ras / bangsa dari Abraham, diperbaharui oleh
Allah dalam hukum TauratNya) - hal
439.
D. L. Moody:
“I
honestly believe that this commandment is just as binding today as it ever was.
... The Sabbath was binding in Eden, and it has been in force ever since. The
fourth commandment begins with the word ‘remember,’ showing that the Sabbath
already existed when God wrote this law on the tables of stone at Sinai” (= Saya dengan jujur / terus terang percaya bahwa
perintah ini sama mengikatnya pada saat ini seperti pada masa yang lalu. ...
Sabat mengikat di Eden, dan itu selalu berlaku sejak saat itu. Perintah / hukum
keempat dimulai dengan kata ‘Ingatlah’, yang menunjukkan bahwa Sabat telah ada
pada waktu Allah menuliskan hukum ini pada loh-loh batu di Sinai) - ‘D. L. Moody On The Ten Commandments’, hal 47,48.
Catatan: saya tidak tahu apakah kata ‘ingatlah’
memang harus diartikan seperti itu. Ada orang lain yang mengatakan bahwa kata ‘ingatlah’
hanya menunjukkan bahwa hukum / perintah ini sering dilupakan / dilalaikan oleh
manusia.
R. L. Dabney:
“the
enactment of the Sabbath-law does not date from Moses, but was coeval with the
human race. ... The sanctification of the seventh day took place from the very
end of the week of creation. (Gen. 2:3.) For whose observance was the day,
then, consecrated or set apart, if not for man’s? Not for God’s; ... Not surely
for the angels’, but for Adam’s” [= penjadian hukum Sabat sebagai
undang-undang tidak terjadi pada jaman Musa, tetapi sama tuanya dengan umat
manusia. ... Pengudusan dari hari yang ketujuh terjadi sejak akhir dari minggu
penciptaan (Kej 2:3). Untuk pemeliharaan siapa hari itu, yang pada saat itu
dikuduskan atau dipisahkan, jika bukan untuk manusia? Bukan untuk Allah; ...
Pasti bukan untuk malaikat-malaikat, tetapi untuk Adam] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 376.
R. L. Dabney:
“In
Exodus 16:22-30, where we read the first account of the manna, we find the
Sabbath institution already in force; and no candid mind will say that this is
the history of its first enactment. It is spoken of as a rest with which the
people ought to have been familiar. But the people had not yet come to Sinai,
and none of its institution had been given. Here, then, we have the Sabbath’s
rest enforced on Israel, before the ceremonial law was set up” [= Dalam
Keluaran 16:22-30, dimana kita membaca cerita pertama tentang manna, kita
menemukan hukum Sabat sudah berlaku; dan tidak ada pikiran yang jujur yang akan
mengatakan bahwa ini adalah sejarah dari pengundangannya yang pertama. Itu
dikatakan sebagai suatu istirahat dengan mana bangsa itu pasti telah akrab.
Tetapi bangsa itu belum tiba di Sinai, dan tidak ada dari hukum Sinai yang
telah diberikan. Maka, di sini kita mendapatkan istirahat Sabat dijalankan pada
Israel, sebelum ceremonial law (hukum yang
berhubungan dengan upacara agama) ditegakkan] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 377.
R. L. Dabney:
“If
it was not introduced by the Levitical economy for the first time, but was in
force before, and if it was binding not on Jews only, but on all men, then the
abrogation of that economy cannot have abrogated that which it did not
institute”
[= Jika itu (hukum Sabat) tidak diperkenalkan oleh
pengaturan Imamat untuk pertama kalinya, tetapi telah berlaku sebelumnya, dan
jika itu (hukum Sabat) mengikat bukan orang Yahudi saja,
tetapi semua orang, maka pembatalan dari pengaturan Imamat itu tidak bisa
membatalkan apa yang tidak diadakannya]
- ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 375.
R. L. Dabney:
“If
the Sabbath command was in full force before Moses, the passing away of Moses’
law does not remove it” (= Jika perintah Sabat telah berlaku
sepenuhnya sebelum Musa, matinya hukum Taurat Musa tidak menyingkirkannya) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 379.
Bdk. Gal 3:17 - “Maksudku
ialah: Janji yang sebelumnya telah disahkan Allah, tidak dapat dibatalkan oleh
hukum Taurat, yang baru terbit empat ratus tiga puluh tahun kemudian, sehingga
janji itu hilang kekuatannya”.
Gal 3:17 ini menjadi dasar pemikiran / kata-kata Dabney di
atas. Kalau janji (kepada Abraham) itu sudah ada sebelum hukum Taurat, maka
pembatalan hukum Taurat tidak bisa membatalkan janji itu. Demikian juga kalau
hukum tentang hari Sabat sudah ada sebelum hukum Taurat, maka pembatalan hukum
Taurat tidak bisa membatalkan hukum tentang hari Sabat itu.
2. Hukum
ini masuk dalam 10 hukum Tuhan yang semuanya merupakan hukum moral.
R. L. Dabney:
“The
very fact that this precept found a place in the awful ‘ten words,’ is of
itself strong evidence that it is not a positive and ceremonial, but a
moral and perpetual statute. Confessedly, there is nothing else ceremonial
here. ... How can it be believed that this one ceremonial precept has been
thrust in here, where all else is of obligation as old, and as universal as the
race?”
[= Fakta bahwa perintah ini mendapatkan suatu tempat dalam 10 firman yang
hebat, merupakan bukti yang kuat bahwa ini bukan suatu undang-undang yang
bersifat positif dan ceremonial, tetapi
bersifat moral dan kekal. Merupakan sesuatu yang telah diakui bahwa tidak ada
sesuatu yang lain yang bersifat ceremonial di sini (dalam 10 hukum Tuhan). ... Bagaimana dapat dipercaya bahwa
perintah ceremonial yang satu ini
telah dimasukkan di sini, dimana semua yang lain merupakan kewajiban yang sama
tuanya dan sama universalnya dengan umat manusia?] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 378.
Catatan: saya tidak terlalu mengerti apa maksud dari kata ‘positive’ di sini. Dalam Webster’s New World Dictionary dikatakan bahwa kata ‘positive’ bisa diartikan sebagai ‘opposed to natural’ (= bertentangan dengan alamiah). Mungkin itu arti
yang harus diambil di sini.
3. Dasar
dari hukum Sabat ini sama sekali tidak bersifat Yahudi / nasional, tetapi
diambil dari peristiwa penciptaan (Kej 2:3).
Kel 20:8-11 - “(8)
Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: (9) enam hari lamanya engkau akan bekerja
dan melakukan segala pekerjaanmu, (10) tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat
TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu
laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu
perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu. (11) Sebab
enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan
Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan
menguduskannya”.
Ay 11 memang menunjukkan bahwa dasar dari hukum /
peraturan tentang Sabat adalah dari peristiwa penciptaan (Kej 2:3).
Kej 2:3 - “Lalu Allah
memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia
berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuatNya itu”.
R. L. Dabney:
“the
ground first assigned in Genesis, and here repeated for its enactment, is in no
sense Jewish or national. God’s work of creation in six days, and His rest on
the seventh, have just as much relation to one tribe of Adam’s descendants as
to another. Note the contrast: that, in many cases, when ceremonial and Jewish
commands are given, like the passover, a national or Jewish event is assigned
as its ground, like the exodus from Egypt” (= dasar
pertama yang diberikan dalam kitab Kejadian, dan di sini diulangi untuk
pengundang-undangannya, sama sekali tidak bersifat Yahudi ataupun nasional.
Pekerjaan penciptaan Allah dalam enam hari dan istirahatNya pada hari yang
ketujuh, mempunyai hubungan yang sama dengan satu suku bangsa dari keturunan
Adam seperti dengan suku bangsa yang lain. Perhatikan kontrasnya: bahwa, dalam
banyak kasus, dimana perintah-perintah yang bersifat ceremonial dan Yahudi diberikan, seperti
Paskah, suatu peristiwa yang bersifat nasional atau Yahudi diberikan sebagai
dasarnya, seperti keluarnya bangsa Israel dari Mesir) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 378.
4. Hukum
ini merupakan kebutuhan, dan berlaku, tidak hanya untuk bangsa Israel saja,
tetapi untuk semua orang.
Bdk. Kel 20:10 - “tetapi
hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu
pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu
laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di
tempat kediamanmu”.
R. L. Dabney:
“That
it is a positive, moral, and perpetual command, we argue from the facts
that there is a reason in the nature of things, making such an institution
necessary to man’s religious interests; and that this necessity is
substantially the same in all ages and nations” (= Kami
berargumentasi bahwa itu merupakan suatu perintah yang bersifat positif,
moral, dan kekal, dari fakta-fakta bahwa disana ada suatu alasan dalam sifat
alamiah dari hal-hal, yang membuat hukum ini perlu bagi kepentingan agamawi
manusia; dan bahwa kebutuhan ini pada dasarnya sama dalam semua jaman dan
bangsa) - ‘Lectures in Systematic
Theology’, hal 375-376.
Catatan: dalam kutipan di atas Dabney mengatakan bahwa hukum
ini tidak bersifat ‘positive’,
tetapi sekarang ia mengatakan hukum ini bersifat ‘positive’. Apakah ia menggunakan kata itu dalam arti yang
berbeda? Tetapi arti kata ini tidak terlalu berhubungan dengan penekanan saya
dalam bagian ini, yaitu apakah hukum keempat ini bersifat moral atau ceremonial.
R. L. Dabney:
“The
assertion that the Sabbath was coeval with the human race, and was intended for
the observation of all, receives collateral confirmation also from the early
traditions concerning it, which pervades the first pagan literature” (= Penegasan
bahwa Sabat sama tuanya dengan umat manusia, dan dimaksudkan untuk dihormati /
dijalankan oleh semua orang, menerima peneguhan tambahan juga dari
tradisi-tradisi mula-mula mengenainya, yang sangat banyak dalam literatur kafir
mula-mula) - ‘Lectures in
Systematic Theology’, hal 378.
R. L. Dabney (hal 378-379) lalu memberikan banyak
kutipan dari literatur kafir kuno, yang menunjukkan bahwa mereka juga sudah
memelihara hari ketujuh sebagai hari yang kudus / keramat.
R. L. Dabney:
“the
Sabbath never was a Levitical institution, because God commanded its observance
both by Jews and Gentiles, in the very laws of Moses” (= Sabat tidak
pernah merupakan suatu hukum Imamat, karena Allah memerintahkan supaya hukum
ini dihormati / dijalankan oleh orang Yahudi dan orang non Yahudi, dalam hukum
Taurat Musa itu sendiri) - ‘Lectures
in Systematic Theology’, hal 379.
R. L. Dabney:
“To
see the force of the argument from this fact, the reader must contrast the
jealous care with which ‘the stranger,’ the pagan foreigner residing in an
Israelitish community, was prohibited from all share in their ritual services.
No foreigner could partake of the passover - it was sacrilege. He was even
forbidden to enter the court of the temple where the sacrifices were offered,
at the peril of his life. Now, when the foreigner is commanded to share the
Sabbath-rest, along with the Israelite, does not this prove that rest to be no
ceremonial, no type, like the passover and the altar, but a universal moral
institution, designed for Jew and Gentile alike?” (= Untuk
melihat kekuatan dari argumentasi dari fakta ini, pembaca harus mengkontraskan
ketelitian yang penuh kecemburuan, dengan mana ‘orang asing’, yaitu orang kafir
yang tinggal dalam suatu masyarakat Yahudi, dilarang untuk ambil bagian sama
sekali dalam ibadah ritual mereka. Tidak ada orang asing yang bisa ambil bagian
dalam Paskah - itu merupakan sesuatu yang keramat / kudus. Orang asing bahkan
dilarang untuk memasuki pelataran Bait Allah dimana korban dipersembahkan,
dengan ancaman hukuman mati. Sekarang, pada waktu orang asing diperintahkan
untuk ambil bagian dalam istirahat Sabat, bersama-sama dengan bangsa Israel,
bukankah ini membuktikan bahwa istirahat itu bukan bersifat ceremonial, bukan merupakan type /
bayangan, seperti Paskah dan mezbah, tetapi merupakan suatu hukum yang bersifat
moral dan universal, direncanakan bagi orang Yahudi dan orang non Yahudi?) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 379.
R. L. Dabney:
“If
it always was binding, on grounds as general as the human race, on all tribes
of mankind, the dissolution of God’s special covenant with the family of Jacob
did not repeal it” (= Jika itu selalu mengikat, pada dasar yang sama
umumnya seperti umat manusia, pada semua suku bangsa dari umat manusia,
pembubaran dari perjanjian Allah yang khusus dengan keluarga Yakub tidak
mencabutnya) - ‘Lectures in
Systematic Theology’, hal 379.
Ada 2 hal yang bisa diberikan sebagai bantahan
terhadap argumentasi Dabney pada point ini (bahwa Sabat berlaku untuk orang
asing):
a. Calvin
mempunyai pandangan / penafsiran yang berbeda dengan Dabney dalam persoalan
keharusan memelihara Sabat bagi orang asing.
Calvin: “The case of
‘strangers’ was different, who were obliged to rest on the Sabbath, although
they remained uncircumcised; for he does not only refer to the foreigners, who
had subscribed to the Law, but also to the uncircumcised. If any should object
that they were improperly made partakers of the sacred sign whereby God had
bound His elect people to Himself, the reply is easy, that this was not done
for their sakes, but lest anything opposed to the Sabbath should happen beneath
the eyes of the Israelites; as we may understand more clearly from the case of
the oxen and asses. Surely God
would never have required spiritual service of brute animals; yet He ordained
their repose as a lesson, so that wherever the Israelites turned their eyes,
they might be incited to the observation of the Sabbath. ... Besides, if
the very least liberty had been conceded to them, they would have done many
things to evade the Law in their days of rest, by employing strangers and the
cattle in their work” [= Kasus
tentang ‘orang-orang asing’ berbeda, yang diwajibkan untuk beristirahat pada
hari Sabat, sekalipun mereka tetap tidak disunat; karena Ia tidak hanya
menunjuk kepada orang-orang asing, yang telah menganut hukum Taurat, tetapi
juga kepada yang tidak disunat. Jika ada yang keberatan bahwa mereka secara
tidak tepat dibuat menjadi pengambil bagian dari tanda keramat dengan mana
Allah telah mengikat umat pilihanNya kepada diriNya sendiri, jawabannya mudah,
yaitu bahwa ini dilakukan bukan demi diri orang-orang asing itu sendiri, tetapi
supaya tidak ada apapun yang bertentangan dengan hari Sabat terjadi di depan
mata orang-orang Israel; seperti yang bisa kita mengerti dengan lebih jelas
dari kasus lembu dan keledai. Pasti Allah tidak akan pernah menghendaki /
mewajibkan binatang-binatang yang tidak berakal itu untuk melakukan kebaktian
yang bersifat rohani; tetapi Ia menentukan istirahat mereka sebagai suatu
pelajaran, sehingga kemanapun bangsa Israel memalingkan mata mereka, mereka
bisa didorong pada pemeliharaan hari Sabat. ... Disamping itu, jika kebebasan
yang terkecil diserahkan kepada mereka (bangsa Israel), mereka akan melakukan banyak hal untuk menghindari
hukum Taurat pada hari-hari istirahat mereka, dengan mempekerjakan orang-orang
asing dan ternak dalam pekerjaan mereka]
- hal 439.
Calvin mungkin lebih
benar, karena Sabat memang merupakan tanda perjanjian antara Allah dengan
bangsa Israel.
Kel 31:13 - “‘Katakanlah kepada orang Israel, demikian:
Akan tetapi hari-hari SabatKu harus kamu pelihara, sebab itulah peringatan
antara Aku dan kamu, turun-temurun, sehingga kamu mengetahui, bahwa Akulah
TUHAN, yang menguduskan kamu.”.
b. Ada
banyak ayat yang menunjukkan bahwa larangan yang jelas bersifat ceremonial, juga diberlakukan bagi orang asing, seperti:
·
Im 17:13
- “Setiap orang dari orang Israel dan
dari orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu, yang menangkap dalam
perburuan seekor binatang atau burung yang boleh dimakan, haruslah mencurahkan
darahnya, lalu menimbunnya dengan tanah”.
·
Im 17:15
- “Dan setiap orang yang makan bangkai
atau sisa mangsa binatang buas, baik ia orang Israel asli maupun orang asing,
haruslah mencuci pakaiannya, membasuh tubuhnya dengan air dan ia menjadi najis
sampai matahari terbenam, barulah ia menjadi tahir”.
·
Im 22:25
- “Juga dari tangan orang asing janganlah
kamu persembahkan sesuatu dari semuanya itu sebagai santapan Allahmu, karena
semuanya itu telah rusak dan bercacat badannya; TUHAN tidak akan berkenan akan
kamu karena persembahan-persembahan itu.’”.
·
Bil 19:10
- “Dan orang yang mengumpulkan abu lembu
itu haruslah mencuci pakaiannya, dan ia najis sampai matahari terbenam. Itulah
suatu ketetapan untuk selama-lamanya bagi orang Israel dan bagi orang asing
yang tinggal di tengah-tengahmu”.
R. L. Dabney:
“If
its nature is moral and practical, the substitution of the substance for the
types does not supplant it. The reason that the ceremonial laws were
temporary was that the necessity for them was temporary. They were abrogated
because they were no longer needed. But
the practical need for a Sabbath is the same in all ages. When it is made to
appear that this day is the bulwark of practical religion in the world, that
its proper observance everywhere goes hand in hand with piety and the true
worship of God; that where there is no Sabbath there is no Christianity, it
becomes an impossible supposition that God would make the institution
temporary. The necessity for the Sabbath has not ceased, therefore it is not
abrogated. In its nature, as well as its necessity, it is a permanent, moral
command. All such laws are as incapable of change as the God in whose
character they are founded” (= Jika sifat dasarnya bersifat moral
dan praktis, maka penggantian dari substansi untuk typenya tidak
menggantikannya. Alasan bahwa hukum-hukum ceremonial bersifat
sementara adalah bahwa kebutuhan untuk hukum-hukum itu bersifat sementara.
Mereka dibatalkan karena mereka tidak lagi dibutuhkan. Tetapi kebutuhan praktis bagi suatu Sabat adalah
sama dalam semua jaman. Pada waktu terlihat bahwa hari ini merupakan benteng
dari agama praktis dalam dunia, dan bahwa dimana tidak ada Sabat tidak ada
kekristenan, maka menjadi suatu anggapan yang tidak mungkin bahwa Allah membuat
hukum itu bersifat sementara. Kebutuhan untuk hari Sabat belum berhenti, karena
itu hukum ini tidak dibatalkan. Dalam sifat alamiahnya, maupun dalam
kebutuhannya, itu merupakan suatu perintah yang bersifat kekal dan moral.
Semua hukum-hukum seperti itu tidak bisa berubah, sama seperti Allah, dalam
karakter siapa hukum-hukum itu didirikan) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 379-380.
Keberatan:
Ada keberatan bahwa hukum Sabat merupakan hukum yang
bersifat moral, karena Mat 12:1-8 kelihatannya menunjukkan bahwa hukum Sabat
merupakan ceremonial law.
Mat 12:1-8 - “(1)
Pada waktu itu, pada hari Sabat, Yesus berjalan di ladang gandum. Karena lapar,
murid-muridNya memetik bulir gandum dan memakannya. (2) Melihat itu, berkatalah
orang-orang Farisi kepadaNya: ‘Lihatlah, murid-muridMu berbuat sesuatu yang
tidak diperbolehkan pada hari Sabat.’ (3) Tetapi jawab Yesus kepada mereka:
‘Tidakkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang
mengikutinya lapar, (4) bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah dan bagaimana
mereka makan roti sajian yang tidak boleh dimakan, baik olehnya maupun oleh
mereka yang mengikutinya, kecuali oleh imam-imam? (5) Atau tidakkah kamu
baca dalam kitab Taurat, bahwa pada hari-hari Sabat, imam-imam melanggar hukum
Sabat di dalam Bait Allah, namun tidak bersalah? (6) Aku berkata kepadamu: Di
sini ada yang melebihi Bait Allah. (7) Jika memang kamu mengerti maksud firman
ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu
tidak menghukum orang yang tidak bersalah. (8) Karena Anak Manusia adalah Tuhan
atas hari Sabat.’”.
Perhatikan khususnya Mat 12:3-4, yang menunjukkan
bahwa Daud dan para pengikutnya tidak salah pada waktu memakan roti sajian.
Padahal roti sajian itu seharusnya hanya untuk imam-imam
(Kel 29:32-34 Im 24:5-9); ini
merupakan ceremonial law. Mengapa
mereka tidak salah? Karena mereka lapar dan betul-betul membutuhkannya. Jadi, ceremonial
law boleh dilanggar pada waktu memang
ada kebutuhan mendesak. Yesus menggunakan kejadian ini untuk menjawab tuduhan
dari orang-orang Farisi bahwa para murid melanggar hukum Sabat. Bukankah ini
menunjukkan bahwa larangan makan roti sajian mempunyai persamaan dengan
peraturan Sabat, yaitu sama-sama termasuk ceremonial law? Dan keduanya boleh dilanggar pada waktu ada
kebutuhan yang mendesak? Jawabannya adalah tidak!
Penjelasan:
Tujuan Yesus menggunakan kasus Daud ini adalah untuk memberikan suatu
argumentasi sebagai berikut:
·
Daud dan
pengikut-pengikutnya, pada waktu lapar, tidak disalahkan pada waktu melanggar ceremonial
law, padahal ceremonial law itu merupakan Firman Tuhan yang
diberikan oleh Allah sendiri.
·
Karena itu
murid-murid Yesus, pada waktu mereka lapar, juga tidak dapat disalahkan pada
waktu melanggar peraturan orang Farisi, yang tidak diberikan oleh Allah.
Dengan penjelasan ini jelas bahwa Mat 12:1-8,
khususnya Mat 12:3-4, tidak dapat digunakan sebagai argumentasi untuk
mengatakan bahwa hukum Sabat hanya merupakan ceremonial law.
Easton’s Bible Dictionary (dengan topik ‘Sabbath’): “The Sabbath, originally instituted for
man at his creation, is of permanent and universal obligation. The physical
necessities of man require a Sabbath of rest. He is so constituted that his
bodily welfare needs at least one day in seven for rest from ordinary labour.
Experience also proves that the moral and spiritual necessities of men also
demand a Sabbath of rest” (= Sabat, mula-mula diadakan untuk
manusia pada penciptaannya, merupakan kewajiban yang permanen dan universal.
Kebutuhan fisik manusia membutuhkan suatu Sabat dari istirahat. Ia dibentuk
sedemikian rupa sehingga kesejahteraan jasmaninya membutuhkan sedikitnya satu
hari dalam tujuh hari untuk istirahat dari pekerjaan biasa. Pengalaman juga
membuktikan bahwa kebutuhan moral dan rohani dari manusia juga menuntut suatu
Sabat dari istirahat).
HUKUM 4 (3)
Ingatlah dan Kuduskanlah hari sabat
(Kel 20:8-11)
b) Text-text Kitab Suci yang digunakan untuk
menyatakan penghapusan hukum Sabat sama sekali tidak bisa diartikan demikian.
Pembahasan text-text Kitab
Suci yang seolah-olah menghapuskan hukum tentang hari Sabat.
1. Kol 2:16-17 - “(16) Karena itu
janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau
mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat; (17) semuanya ini
hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus”.
Matthew Henry:
“Here
is a caution to take heed of judaizing teachers, or those who would impose
upon Christians the yoke of the ceremonial law: ... but here the apostle
shows that since Christ has come, and has cancelled the ceremonial law, we
ought not to keep it up” (= Di sini ada
suatu peringatan untuk berhati-hati terhadap guru-guru Yudaisme / agama
Yahudi, atau mereka yang ingin membebankan / memaksakan pada orang-orang
kristen kuk dari hukum ceremonial:
... tetapi di sini sang rasul menunjukkan bahwa karena Kristus telah datang,
dan telah membatalkan hukum ceremonial,
kita tidak seharusnya memeliharanya).
Adam Clarke:
“it
is not clear that the apostle refers at all to the Sabbath in this place,
whether Jewish or Christian; his sabbatoon,
‘of sabbaths or weeks,’ most probably refers to their feasts of weeks” (= sama sekali tidak jelas bahwa sang rasul
menunjuk pada Sabat di tempat ini, apakah Sabat Yahudi atau Sabat Kristen; kata
sabbatoon yang digunakannya, yang
berarti ‘tentang Sabat-Sabat atau minggu-minggu’ paling memungkinkan menunjuk pada
perayaan / pesta mingguan mereka).
Barnes’ Notes:
“The
word Sabbath in the Old Testament is applied not only to the seventh day, but to
all the days of holy rest that were observed by the Hebrews, and particularly
to the beginning and close of their great festivals. There is, doubtless,
reference to those days in this place, since the word is used in the plural
number, and the apostle does not refer particularly to the Sabbath properly so
called. There is no evidence from this passage that he would teach that there
was no obligation to observe any holy time, for there is not the slightest
reason to believe that he meant to teach that one of the ten commandments had
ceased to be binding on mankind. If he had used the word in the singular number
- ‘THE Sabbath,’ it would then, of course, have been clear that he meant to
teach that that commandment had ceased to be binding, and that a Sabbath was no
longer to be observed. But the use of the term in the plural number, and the
connection, show that he had his eye on the great number of days which were
observed by the Hebrews as festivals, as a part of their ceremonial and typical
law, and not to the moral law, or the Ten Commandments” [= Kata ‘Sabat’ dalam Perjanjian Lama diterapkan
bukan hanya pada hari ketujuh, tetapi pada semua hari-hari istirahat yang
kudus yang dipelihara oleh orang-orang Ibrani, dan khususnya pada permulaan dan
akhir dari perayaan-perayaan besar mereka. Tidak diragukan, bahwa yang
ditunjuk di tempat ini adalah hari-hari itu, karena kata itu digunakan dalam
bentuk jamak, dan sang rasul tidak menunjuk secara khusus pada Sabat yang
sebenarnya. Tidak ada bukti dari text ini bahwa ia mengajarkan bahwa tidak ada
kewajiban untuk memelihara / menghormati saat kudus manapun, karena tidak ada
alasan yang paling kecil sekalipun untuk percaya bahwa ia bermaksud untuk
mengajar bahwa satu dari 10 hukum Tuhan telah berhenti mengikat umat manusia.
Seandainya ia menggunakan kata itu dalam bentuk tunggal - ‘Sabat’, maka tentu
saja akan jelas bahwa ia bermaksud untuk mengajar bahwa hukum itu (hukum Sabat)
telah berhenti mengikat, dan hari Sabat tidak lagi perlu dihormati /
dipelihara. Tetapi penggunaan istilah ini dalam bentuk jamak, dan
hubungannya, menunjukkan bahwa ia mengarahkan matanya pada sejumlah besar
hari-hari yang dipelihara oleh orang-orang Ibrani sebagai pesta / perayaan,
sebagai suatu bagian dari hukum ceremonial dan yang bersifat type / bayangan, dan
bukan pada hukum moral, atau pada 10 hukum Tuhan].
International Standard Bible Encyclopedia - Revised
Edition (dengan topik ‘Sabbath’): “SABBATH ... The
seventh day of the week (Ex 16:26; 20:10; etc.), as well as certain feast
days (Lev 16:31; 23:32; etc.), marked in ancient Israel, Judaism, and early
Christianity by cessation of work and ceremonial observance” [= Sabat ...
Hari ketujuh dari minggu (Kel 16:26; 20:10; dsb), maupun hari-hari raya
tertentu (Im 16:31; 23:32; dsb), ditandai / diperhatikan pada Israel kuno,
Yudaisme, dan kekristenan awal oleh penghentian pekerjaan dan perayaan yang
bersifat upacara] - PC Study Bible 5.
Im 16:29-31 - “(29)
Inilah yang harus menjadi ketetapan untuk selama-lamanya bagi kamu, yakni pada
bulan yang ketujuh, pada tanggal sepuluh bulan itu kamu harus merendahkan diri
dengan berpuasa dan janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan, baik
orang Israel asli maupun orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu. (30)
Karena pada hari itu harus diadakan pendamaian bagimu untuk mentahirkan kamu.
Kamu akan ditahirkan dari segala dosamu di hadapan TUHAN. (31) Hari itu
harus menjadi sabat, hari perhentian penuh, bagimu dan kamu harus
merendahkan diri dengan berpuasa. Itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya”.
Im 23:30-32 - “(30)
Setiap orang yang melakukan sesuatu pekerjaan pada hari itu, orang itu akan
Kubinasakan dari tengah-tengah bangsanya. (31) Janganlah kamu melakukan
sesuatu pekerjaan; itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya bagimu
turun-temurun di segala tempat kediamanmu. (32) Itu harus menjadi suatu
sabat, hari perhentian penuh bagimu, dan kamu harus merendahkan diri dengan
berpuasa. Mulai pada malam tanggal sembilan bulan itu, dari matahari terbenam
sampai matahari terbenam, kamu harus merayakan sabatmu.’”.
Catatan: kedua text di atas ini ada dalam kontext yang
membicarakan hari raya pendamaian. Ini jelas bukan sabat dalam arti hari
ketujuh dari suatu minggu, tetapi toh disebut dengan istilah ‘Sabat’!
R. L. Dabney:
“it
must be distinctly remembered that the word ‘Sabbath’ was never applied, in
New Testament language, to the Lord’s day, but was always used for the seventh
day, and other Jewish festivals, as distinguished from the Christian Sunday.
... And we assert that, according to well known usage of the word SABBATA at
that time, the Sundays were definitely excluded from the apostle’s assertion. When
he says here, ‘holy-days, new-moons, and Sabbath-days,’ he intentionally
excludes the Lord’s days. We are entitled to assume, therefore, that they
are excluded when he says in the parallel passage of Romans, ‘every day,’ and
in Galatians, ‘days, and months, and times, and years.’’” (= harus
diingat dengan jelas bahwa kata ‘Sabat’ tidak pernah diterapkan, dalam
bahasa Perjanjian Baru, pada ‘hari Tuhan’, tetapi selalu digunakan untuk hari
yang ketujuh, dan pesta-pesta Yahudi yang lain, yang dibedakan dari hari Minggu
orang Kristen. ... Dan kami menegaskan bahwa, sesuai dengan penggunaan yang
telah dikenal dari kata SABBATA pada saat itu, hari Minggu jelas dikeluarkan
dari penegasan sang rasul. Pada waktu ia berkata di sini, ‘hari kudus /
raya, bulan baru, dan hari-hari Sabat’, ia dengan sengaja mengeluarkan
hari-hari Tuhan. Karena itu, kita berhak untuk menganggap bahwa hari-hari
Minggu juga dikeluarkan pada waktu ia berkata dalam text-text yang paralel dari
Roma, ‘setiap / semua hari’, dan dalam Galatia, ‘hari-hari, dan bulan-bulan,
dan masa-masa, dan tahun-tahun’.) - ‘Lectures
in Systematic Theology’, hal 389.
Sekarang kita soroti Kol 2:17 - ‘semuanya ini hanyalah
bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus’.
KJV: ‘Which are a shadow of things to come; but the body is
of Christ’ (= Yang merupakan bayangan dari hal-hal yang akan datang; tetapi
tubuhnya / wujudnya adalah Kristus).
Tentang ayat ini Dabney memberikan komentar /
penafsiran sebagai berikut.
R. L. Dabney:
“the
Sabbath was to the Jews both a perpetual, moral institution, and a type. ...
That it was to the Jews also a type, we admit. ... It was for a time, at least,
a foreshadowing of the rest of Canaan. Heb. 4:4-11. It was to them, as it is to
us, a shadow of the rest in heaven. Heb. 4:9. ... When the Epistle to the
Colossians says that Sabbath, along with holy days and new-moons, are a shadow,
it seems to us much the most simple explanation to say that it is the
sacrificial aspect of those days, or (to employ other words) their use as special
days of sacrifice, in which they together constituted a shadow. They were a
shadow in this: that the sacrifices, which constituted so prominent a part of
their Levitical observance, pointed to Christ the body. This is exactly
accordant with the whole tenor of the Epistles. The seventh day had been, then,
to the Jews, both a moral institution and a ritual type. In its latter use, the
coming of Christ had of course abrogated it. In its former use, its whole
duties and obligations had lately been transferred to the Lord’s day” [= hari Sabat
bagi orang Yahudi merupakan hukum yang bersifat kekal dan moral, dan juga
merupakan suatu type. ... Bahwa bagi orang Yahudi itu juga merupakan suatu
type, kami mengakuinya. ... Setidaknya, untuk suatu waktu tertentu, itu
merupakan bayangan dari istirahat di Kanaan. Ibr 4:4-11. Bagi mereka, dan bagi
kita, itu merupakan bayangan dari istirahat di surga. Ibr 4:9. ... Pada
waktu surat Kolose mengatakan bahwa Sabat, bersama-sama dengan hari-hari kudus
/ raya dan bulan baru, merupakan suatu bayangan, sangat terlihat bagi kita
bahwa penjelasan yang paling sederhana adalah mengatakan bahwa itu merupakan
aspek korban dari hari-hari / saat itu, atau (menggunakan kata-kata yang lain)
penggunaan mereka tentang hari-hari korban khusus, dalam mana mereka
bersama-sama membentuk / merupakan suatu bayangan. Mereka merupakan suatu
bayangan dalam hal ini: bahwa korban-korban, yang merupakan bagian yang begitu
menonjol dari pemeliharaan Imamat mereka, menunjuk pada Kristus yang adalah
wujudnya. Ini secara tepat sesuai dengan seluruh tujuan dari surat. Jadi,
hari ketujuh bagi orang Yahudi merupakan suatu hukum moral dan type / bayangan
yang bersifat ritual / upacara. Dalam penggunaannya yang terakhir, tentu saja
kedatangan Kristus membatalkannya. Dalam penggunaanya yang pertama, seluruh
kewajibannya telah dipindahkan pada hari Tuhan] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal
388-389.
Catatan: bagian yang saya garis-bawahi itu agak sukar
dimengerti. Mungkin maksudnya adalah sebagai berikut: yang ditekankan dari kata
‘Sabat’ dalam Kol 2:16-17 ini, sama seperti dengan kata-kata ‘hari raya’
dan ‘bulan baru’, adalah aspek / sudut korbannya (pada hari Sabat ada
pengorbanan binatang; itu yang ditekankan, bukan peraturan Sabatnya). Semua ini
memang merupakan type, sedangkan wujudnya / anti-typenya adalah Kristus.
2. Ro 14:5-6,10,13 - “(5) Yang seorang
menganggap hari yang satu lebih penting dari pada hari yang lain, tetapi yang
lain menganggap semua hari sama saja. Hendaklah setiap orang benar-benar
yakin dalam hatinya sendiri. (6) Siapa yang berpegang pada suatu hari
yang tertentu, ia melakukannya untuk Tuhan. Dan siapa makan, ia
melakukannya untuk Tuhan, sebab ia mengucap syukur kepada Allah. Dan siapa
tidak makan, ia melakukannya untuk Tuhan, dan ia juga mengucap syukur kepada
Allah. ... (10) Tetapi engkau, mengapakah engkau menghakimi saudaramu?
Atau mengapakah engkau menghina saudaramu? Sebab kita semua harus menghadap
takhta pengadilan Allah. ... (13) Karena itu janganlah kita saling
menghakimi lagi! Tetapi lebih baik kamu menganut pandangan ini: Jangan kita
membuat saudara kita jatuh atau tersandung!”.
Matthew Henry: “Those who thought themselves still under some kind of obligation to the
ceremonial law esteemed one day above another - kept up a respect to the times
of the passover, pentecost, new moons, and feasts of tabernacles; thought those
days better than other days, and solemnized them accordingly with particular
observances, binding themselves to some religious rest and exercise on those
days. Those who knew that all these things were abolished and done away by
Christ’s coming esteemed every day alike. We must understand it with an
exception of the Lord’s day, which all Christians unanimously observed; but
they made no account, took no notice, of those antiquated festivals of the
Jews. Here the apostle speaks of the distinction of meats and days as a thing
indifferent, when it went no further than the opinion and practice of some
particular persons, who had been trained up all their days to such observances,
and therefore were the more excusable if they with difficulty parted with them.
But in the epistle to the Galatians, where he deals with those that were
originally Gentiles, but were influenced by some judaizing teachers, not only
to believe such a distinction and to practise accordingly, but to lay a stress
upon it as necessary to salvation, and to make the observance of the Jewish
festivals public and congregational, here the case was altered, and it is
charged upon them as the frustrating of the design of the gospel, falling from
grace, Gal. 4:9-11. The Romans did it out of weakness, the Galatians did it
out of wilfulness and wickedness; and therefore the apostle handles them thus
differently. This epistle is supposed to have been written some time before
that to the Galatians. The apostle seems willing to let the ceremonial law
wither by degrees, and to let it have an honourable burial; now these weak
Romans seem to be only following it weeping to its grave, but those Galatians
were raking it out of its ashes” (= Mereka yang berpikir bahwa diri mereka masih
berada di bawah kewajiban tertentu pada hukum ceremonial, menilai satu hari
lebih dari yang lainnya - memelihara rasa hormat terhadap masa-masa Paskah,
Pentakosta, bulan-bulan baru, dan hari raya pondok daun; menganggap hari-hari
itu lebih baik / penting dari hari-hari yang lain, dan sesuai dengan pandangan
itu menguduskan hari-hari itu dengan pemeliharaan khusus, mengikat diri mereka
sendiri pada istirahat dan aktivitas agamawi tertentu pada hari-hari itu.
Mereka yang mengerti bahwa semua hal-hal ini telah dicabut / dibatalkan dan
disingkirkan oleh kedatangan Kristus menganggap setiap hari sama. Kita harus
mengerti ini dengan perkecualian tentang hari Tuhan, yang secara sepakat
dipelihara oleh semua orang Kristen; tetapi mereka memperhatikan hari-hari
raya Yahudi kuno itu. Di sini sang rasul berbicara tentang perbedaan tentang
daging dan hari sebagai suatu hal yang tidak penting, dimana itu bukan lain
adalah pandangan dan praktek dari beberapa orang-orang tertentu, yang telah
dididik seumur hidup mereka pada pemeliharaan-pemeliharaan seperti itu, dan
karena itu lebih mudah dimaafkan jika mereka sukar berpisah dengan hal itu.
Tetapi dalam surat Galatia, dimana ia menangani mereka yang asal usulnya
adalah orang non Yahudi, tetapi telah dipengaruhi oleh beberapa guru agama
Yahudi, yang bukan hanya mempercayai perbedaan seperti itu dan
mempraktekkannya, tetapi menekankannya sebagai sesuatu yang perlu untuk
keselamatan, dan membuat pemeliharaan hari-hari raya Yahudi itu bersifat umum
dan jemaat, di sini kasusnya berubah, dan dituduhkan kepada mereka sebagai
menggagalkan rencana / tujuan dari injil, jatuh dari kasih karunia / murtad,
Gal 4:9-11. Orang-orang Roma melakukannya dari kelemahan, orang-orang
Galatia melakukannya dari kesengajaan dan kejahatan; dan karena itu sang rasul
menangani mereka secara berbeda. Surat ini (Roma) diduga / dianggap telah
ditulis beberapa waktu sebelum surat Galatia. Sang rasul kelihatannya mau untuk
membiarkan hukum ceremonial menjadi layu
perlahan-lahan, dan membiarkannya mendapatkan penguburan yang terhormat;
orang-orang Roma yang lemah ini kelihatannya hanya mengikutinya dengan menangis
sampai pada kuburnya, tetapi orang-orang Galatia itu menggaruknya dari abunya).
Barnes’ Notes: “The question has been agitated whether the apostle intends in this to
include the Christian Sabbath. Does he mean to say that it is a matter of
‘indifference’ whether this day be observed, or whether it be devoted to
ordinary business or amusements? This is a very important question in regard to
the Lord’s day. That the apostle did not mean to say that it was a matter of
indifference whether it should be kept as holy, or devoted to business or
amusement, is plain from the following considerations. (1) the discussion
had reference only to the special customs of the ‘Jews,’ to the rites and
practices which ‘they’ would attempt to impose on the Gentiles, ... The
inquiry pertained to ‘meats,’ and festival observances among the Jews, and to
their scruples about partaking of the food offered to idols, etc.; and there is
no more propriety in supposing that the subject of the Lord’s day is introduced
here than that he advances principles respecting ‘baptism’ and ‘the Lord’s
supper.’ (2) the ‘Lord’s day’ was doubtless observed by ‘all’ Christians,
whether converted from Jews or Gentiles; see 1 Cor. 16:2; Acts 20:7; Rev. 1:10;
compare the notes at John 20:26. The propriety of observing ‘that day’ does not
appear to have been a matter of controversy. The only inquiry was, whether
it was proper to add to that the observance of the Jewish Sabbaths, and days of
festivals and fasts” [= Ada pertanyaan yang mengganggu apakah sang rasul bermaksud dengan
ini untuk mencakup Sabat Kristen. Apakah ia bermaksud untuk mengatakan bahwa
merupakan sesuatu yang tidak penting apakah hari ini dipelihara, atau apakah
itu digunakan untuk bisnis dan hiburan biasa? Ini merupakan pertanyaan yang
sangat penting berkenaan dengan hari Tuhan. Bahwa sang rasul tidak bermaksud
untuk mengatakan bahwa merupakan sesuatu yang tidak penting apakah itu (hari Minggu) harus dipelihara sebagai hari yang kudus, atau digunakan untuk bisnis
atau hiburan, adalah jelas dari pertimbangan-pertimbangan berikut. (1) diskusi
itu hanya berhubungan dengan kebiasaan-kebiasaan / tradisi-tradisi khusus dari
‘orang-orang Yahudi’, dengan upacara-upacara dan praktek-praktek yang mereka
usahakan untuk dipaksakan terhadap orang-orang non Yahudi, ... Penyelidikan
/ pertanyaan ini mengenai ‘daging’, dan pemeliharaan hari-hari raya / perayaan
di antara orang-orang Yahudi, dan keberatan mereka tentang ambil bagian
terhadap makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala, dsb.; dan sama tidak
cocoknya untuk menganggap bahwa pokok tentang hari Tuhan diajukan di sini dengan
bahwa ia (Paulus) mengajukan prinsip-prinsip tentang ‘baptisan’ dan
‘Perjamuan Kudus’. (2) tak diragukan bahwa ‘hari Tuhan’ dipelihara oleh ‘semua’
orang-orang kristen, apakah dipertobatkan dari kalangan Yahudi atau non Yahudi;
lihat 1Kor 16:2; Kis 20:7; Wah 1:10; bandingkan dengan catatan pada Yoh 20:26.
Kepatutan / kebenaran tentang pemeliharaan ‘hari itu’ tidak merupakan persoalan
kontroversi. Satu-satunya pertanyaan adalah, apakah merupakan sesuatu yang
benar untuk menambahkan pada itu pemeliharaan terhadap Sabat-Sabat Yahudi, dan
hari-hari perayaan dan puasa].
Catatan: saya menganggap bagian point (1) dari kutipan dari
Barnes ini sebagai sesuatu yang sangat bagus, dan karena itu akan saya perjelas
dengan kata-kata saya sendiri. Barnes mengatakan bahwa text Ro 14:5-6 ini
berkenaan dengan 2 hal, yaitu pandangan tentang ‘hari’, dan pandangan tentang ‘makanan’. Keduanya berkenaan dengan agama Yahudi. Yang
tentang ‘hari’, berurusan dengan Sabat
Yahudi dan hari-hari raya maupun puasa mereka, dan yang tentang ‘makanan’ berkenaan dengan makan daging yang telah
dipersembahkan kepada berhala. Kalau yang tentang ‘hari’ diterapkan pada Sabat
Kristen / hari Minggu, itu sama salahnya dengan kalau yang tentang ‘makanan’ diterapkan pada Perjamuan Kudus.
3. Gal 4:7-11 - “(7) Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak;
jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah. (8)
Dahulu, ketika kamu tidak mengenal Allah, kamu memperhambakan diri kepada
allah-allah yang pada hakekatnya bukan Allah. (9) Tetapi sekarang sesudah kamu
mengenal Allah, atau lebih baik, sesudah kamu dikenal Allah, bagaimanakah kamu
berbalik lagi kepada roh-roh [KJV: ‘elements’ (=
elemen-elemen)] dunia yang lemah dan miskin dan mau mulai
memperhambakan diri lagi kepadanya? (10) Kamu dengan teliti memelihara hari-hari tertentu, bulan-bulan,
masa-masa yang tetap dan tahun-tahun. (11) Aku kuatir kalau-kalau susah payahku
untuk kamu telah sia-sia”.
Baik Adam Clarke maupun Barnes menganggap bahwa
istilah-istilah dalam text Galatia ini berkenaan dengan Sabat Yahudi dan
hari-hari raya Yahudi.
Tentang ketiga text di atas perhatikan komentar /
penafsiran R. L. Dabney di bawah ini.
R. L. Dabney:
“The
facts in which all are agreed, which explain the Apostle’s meaning in these
passages, are these: After the establishment of the new dispensation, the
Christian converted from among the Jews had generally combined the practice of
Judaism with the forms of Christianity. They observed the Lord’s day, baptism,
and the Lord’s supper; but they also continued to keep the seventh day, the
passover, and circumcision. At first it was proposed by them to enforce this
double system on all Gentile Christian; but this project was rebuked by the
meeting of apostles and elders at Jerusalem, recorded in Acts 15. A large part,
however, of the Jewish Christians, out of whom ultimately grew the Ebionite
sect, continued to observe the forms of both dispensations; and restless
spirits among the mixed churches of Jewish and Gentile converts planted by
Paul, continued to attempt their enforcement on Gentiles also; some of them
conjoining with this Ebionite theory the graver heresy of a justification by
ritual observances. Thus, at this day, this spectacle was exhibited. In the
mixed churches of Asia Minor and the West, some brethren went to the synagogue
on Saturday, and to the church-meeting on Sunday, keeping both days
religiously; while some kept only Sunday. Some felt bound to keep all the
Jewish festivals and fasts, while others paid them no regard. And those who had
not Christian light to apprehend these Jewish observances as non-essentials,
found their consciences burdened or offended by the diversity. It was to quiet
this trouble that the apostle wrote these passages. ... We, however, further
assert, that by the beggarly elements of ‘days,’ ‘months,’ ‘times,’ ‘years,’
‘holy-days,’ ‘new-moons,’ ‘Sabbath-days,’ the apostle means Jewish festivals,
and those alone. The Christian’s festival, Sunday, is not here in question;
because about the observance of this there was no dispute nor diversity in the
Christian churches. Jewish and Gentile Christians alike consented
universally in its sanctification. When Paul asserts that the regarding of a
day, or the not regarding it, is a non-essential, like the eating or not eating
of meats, the natural and fair interpretation is, that he means those days
which were in debate, and no others. When he implies that some innocently
‘regarded every day alike,’ we should understand, every one of those days which
were subjects of diversity - not the Christians’ Sunday, about which there was
no dispute” (= Fakta-fakta
dalam mana semua orang setuju, yang menjelaskan maksud dari sang Rasul dalam
text-text ini adalah ini: Setelah penegakan dari sistim agama yang
baru, orang Kristen yang bertobat dari antara orang-orang Yahudi pada umumnya
mengombinasikan praktek dari agama Yahudi dengan bentuk-bentuk dari
kekristenan. Mereka memelihara / menghormati hari Tuhan, baptisan, dan
Perjamuan Kudus; tetapi mereka juga terus memelihara hari ketujuh, Paskah, dan
sunat. Mula-mula mereka bermaksud untuk memaksakan sistim
ganda ini terhadap semua orang Kristen non Yahudi; tetapi rancangan ini dikecam
oleh pertemuan rasul-rasul dan tua-tua di Yerusalem, yang dicatat dalam Kis 15.
Tetapi sebagian besar dari orang-orang kristen Yahudi, dari mana akhirnya
tumbuh sekte Ebionite, terus memelihara bentuk-bentuk dari kedua sistim agama;
dan roh-roh yang resah di antara gereja-gereja campuran dari petobat-petobat
Yahudi dan non Yahudi yang ditanam oleh Paulus, terus berusaha untuk memaksa
orang-orang non Yahudi juga; sebagian dari mereka bergabung dengan teori
Ebionite ini yang merupakan kesesatan yang lebih berat dari pembenaran oleh
ketaatan ritual. Maka, pada saat ini, tontonan ini ditunjukkan. Dalam
gereja-gereja campuran Asia Kecil dan di Barat, sebagian saudara-saudara pergi
ke sinagog pada hari Sabtu, dan ke pertemuan / kebaktian gereja pada hari
Minggu, memelihara kedua hari secara agamawi; sementara sebagian hanya memelihara hari Minggu. Sebagian merasa harus
memelihara semua hari-hari raya dan hari-hari puasa Yahudi, sedangkan yang lain
tidak mempedulikannya. Dan mereka yang tidak mempunyai terang Kristen untuk
memahami bahwa pemeliharaan Yahudi ini sebagai sesuatu yang tidak penting,
mendapati bahwa hati-hati nurani mereka dibebani atau tersinggung / tersandung
oleh perbedaan ini. Untuk menenangkan problem inilah maka sang rasul menulis
text-text ini. ... Tetapi kami selanjutnya menegaskan, bahwa dengan
elemen-elemen / roh-roh yang miskin dari ‘hari-hari’, ‘bulan-bulan’,
‘masa-masa’, ‘tahun-tahun’, ‘hari-hari kudus / raya’, ‘bulan-bulan baru’,
‘hari-hari Sabat’, sang rasul memaksudkan hari-hari raya Yahudi, dan hanya
hari-hari raya Yahudi itu saja. Hari raya Kristen, hari Minggu, tidak
dipertanyakan / dipersoalkan di sini; karena tentang pemeliharaan terhadap hari
ini tidak ada perdebatan ataupun perbedaan dalam gereja-gereja Kristen.
Orang-orang kristen Yahudi maupun non Yahudi sama-sama setuju secara universal
tentang pengudusan hari itu. Pada waktu Paulus menegaskan bahwa
‘menghormati suatu hari’, atau ‘tidak menghormati suatu hari’ merupakan hal
yang tidak penting, seperti ‘makan daging’ atau ‘tidak makan daging’,
penafsiran yang alamiah / wajar dan adil adalah bahwa ia memaksudkan hari-hari
yang diperdebatkan, dan bukan hari-hari yang lain. Pada waktu ia secara
implicit mengatakan bahwa sebagian secara tidak bersalah ‘menganggap semua hari
sama’, kita harus mengertinya bahwa ia memaksudkan setiap hari dari hari-hari
itu yang merupakan pokok perbedaan - bukan hari Minggunya orang Kristen,
tentang mana di sana tidak ada perdebatan) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal
385-386.
Kesimpulan: ketiga text di
atas (Kol 2:16-17 Ro 14:5-6 Gal 4:9-11) berbicara tentang hari-hari raya
dalam agama Yahudi, bukan tentang hari Sabat Kristen (Minggu), dan karena itu
tidak bisa digunakan untuk mengatakan bahwa hari Sabat Kristen ditiadakan.
Jelas bahwa text-text ini juga tidak bisa digunakan untuk menentang perayaan
Natal, seperti yang dilakukan oleh beberapa orang.
c) Sabat
merupakan type dari istirahat di surga, dan karena itu tidak mungkin dihapuskan
sebelum anti type / penggenapannya terjadi.
Adam Clarke:
“The
word shabaat signifies ‘rest or
cessation from labour,’ and the sanctification of the seventh day is commanded,
... for it typifies the rest which remains for the people of God, and in
this light it evidently appears to have been understood by the apostle, Heb. 4.
Because this commandment has not been particularly mentioned in the New
Testament as a moral precept that is binding on all, therefore some have
presumptuously inferred that there is no Sabbath under the Christian
dispensation. The truth is, the Sabbath is considered as a type: All types
are of full force till the thing signified by them takes place; but the thing
signified by the Sabbath is that rest in glory which remains for the people of
God, therefore the moral obligation of the Sabbath must continue till time be
swallowed up in eternity”
(= Kata SHABAAT berarti ‘istirahat atau berhenti dari pekerjaan’, dan pengudusan
hari ketujuh diperintahkan, ... karena itu merupakan type dari istirahat
yang tertinggal bagi umat Allah, dan jelas dalam terang ini itu terlihat
telah dimengerti oleh sang rasul, Ibr 4. Karena perintah ini tidak disebutkan
secara khusus dalam Perjanjian Baru sebagai perintah moral yang mengikat semua
orang, maka sebagian orang secara lancang menyimpulkan bahwa tidak ada Sabat
dalam sistim Kristen. Kebenarannya adalah, Sabat dianggap sebagai type:
Semua type berlaku sampai hal yang dibayangkan olehnya terjadi; tetapi hal yang
dibayangkan oleh Sabat adalah istirahat dalam kemuliaan yang tertinggal bagi
umat Allah, dan karena itu, kewajiban Sabat harus terus berlaku sampai waktu
ditelan dalam kekekalan).
Ibr 4:4-11 - “(4)
Sebab tentang hari ketujuh pernah dikatakan di dalam suatu nas: ‘Dan Allah
berhenti pada hari ketujuh dari segala pekerjaanNya.’ (5) Dan dalam nas itu
kita baca: ‘Mereka takkan masuk ke tempat perhentianKu.’ (6) Jadi sudah jelas,
bahwa ada sejumlah orang akan masuk ke tempat perhentian itu, sedangkan mereka
yang kepadanya lebih dahulu diberitakan kabar kesukaan itu, tidak masuk karena
ketidaktaatan mereka. (7) Sebab itu Ia menetapkan pula suatu hari, yaitu ‘hari
ini’, ketika Ia setelah sekian lama berfirman dengan perantaraan Daud seperti
dikatakan di atas: ‘Pada hari ini, jika kamu mendengar suaraNya, janganlah
keraskan hatimu!’ (8) Sebab, andaikata Yosua telah membawa mereka masuk ke
tempat perhentian, pasti Allah tidak akan berkata-kata kemudian tentang suatu
hari lain. (9) Jadi masih tersedia suatu hari perhentian, hari ketujuh, bagi
umat Allah. (10) Sebab barangsiapa telah masuk ke tempat perhentianNya, ia
sendiri telah berhenti dari segala pekerjaannya, sama seperti Allah berhenti
dari pekerjaanNya. (11) Karena itu baiklah kita berusaha untuk masuk ke
dalam perhentian itu, supaya jangan seorangpun jatuh karena mengikuti contoh
ketidaktaatan itu juga”.
Memang type hanya berlaku sampai anti-typenya /
penggenapannya terjadi. Contoh: korban binatang untuk dosa merupakan type dari
Kristus yang dikorbankan untuk dosa kita. Pada waktu Kristus telah dikorbankan
di atas kayu salib, maka typenya dihapuskan. Demikian juga imam merupakan type
dari Kristus sebagai pengantara. Pada saat Kristus telah datang, mati di salib,
maka imam harus disingkirkan.
Tetapi karena Sabat merupakan type dari istirahat di
surga, itu belum terjadi / tergenapi sampai kita masuk surga. Karena itu,
kewajiban berkenaan dengan Sabat terus berlaku.
HUKUM 4 (4)
Ingatlah dan Kuduskanlah hari sabat
(Kel 20:8-11)
Kel 20:8-11 - “(8) Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: (9) enam
hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, (10) tetapi
hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu
pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu
laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat
kediamanmu. (11) Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut
dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN
memberkati hari Sabat dan menguduskannya”.
III) Larangan
dan keharusan pada hari Sabat.
Sekalipun hari Sabat diubah / dipindahkan dari Sabtu ke
Minggu, tetapi hukum-hukumnya (larangan dan kewajibannya) tetap!
The Biblical Illustrator (Old Testament) tentang Kel
20:8-11: “Though the day
be changed under the Christian dispensation, the obligation of it remains
unaltered”
(= Sekalipun harinya diubah dalam jaman Kristen, kewajiban tentangnya tetap tak
berubah).
Matthew Henry (tentang Yes 58:13): “there remaining still a sabbatism for
the people of God, this law of the sabbath is still binding to us on our Lord’s
day”
(= di sana tetap ada suatu ajaran Sabat bagi umat Allah, hukum tentang Sabat
ini tetap mengikat bagi kita pada hari Tuhan).
Ay 8 mengatakan bahwa kita harus mengingat dan
menguduskan hari Sabat.
Ay 8: “Ingatlah dan
kuduskanlah hari Sabat”.
Arti kata ‘kudus’:
1) Terpisah
dari / berbeda dengan.
Misalnya:
a) Bangsa
Israel disebut sebagai bangsa yang kudus (Im 20:24,26).
b) Orang
Kristen disebut sebagai orang kudus (Ef 1:1 1Pet 2:9).
2) Diperuntukkan
bagi Allah.
a) Bangsa
Israel adalah bangsa milik Allah (Im 20:26).
b) Orang
Kristen juga menjadi milik Allah (1Pet 2:9).
Kalau kita diperintahkan untuk menguduskan hari Sabat,
maka itu berarti kita harus memisahkan hari Sabat dari hari-hari yang lain,
atau kita harus membedakan hari Sabat dari hari-hari yang lain (arti 1), dan
kita harus menggunakan hari Sabat itu untuk Tuhan (arti 2).
Apa tindakan konkrit yang dilarang dan yang harus
dilakukan untuk menguduskan hari Sabat itu?
1. Pada hari
Sabat, kita dilarang bekerja.
Pada hari-hari biasa, kita bekerja, dan kita harus
membedakan hari Sabat, dengan tidak bekerja pada hari itu. Kalau kita tetap
bekerja pada hari Sabat, maka kita menyamakan hari itu dengan hari-hari yang
lain, dan itu berarti kita tidak menguduskannya.
2. Pada hari
Sabat, kita harus berbakti kepada Tuhan.
D. L. Moody:
“Men
seem to think they have a right to change the holy day into a holiday” (= Manusia kelihatannya mengira bahwa mereka
mempunyai hak untuk mengubah hari yang kudus menjadi suatu hari libur) - ‘D. L. Moody On The Ten Commandments’, hal 58.
Bible Knowledge Commentary: “This was not to be a day of slothful
inactivity but of spiritual service through religious observances” (= Ini tidak
boleh menjadi suatu hari ketidak-aktifan yang malas, tetapi suatu kebaktian
rohani melalui ketaatan agamawi).
Sekarang, mari kita menyoroti kedua hal di atas dengan
lebih terperinci:
1) Larangan
bekerja pada hari Sabat.
a) Penambahan
peraturan / larangan Sabat oleh orang-orang Yahudi.
Hukum hari Sabat ditambahi dengan begitu banyak
larangan dan peraturan oleh ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi.
1. Banyaknya
peraturan orang-orang Yahudi tentang hari Sabat.
William Barclay (tentang Yoh 3:1-6): “In
the Bible itself we are simply told that we must remember the Sabbath day to
keep it holy and that on that day no work must be done, either by a man or by
his servants or his animals. Not content with that, the later Jews spent hour
after hour and generation after generation defining what work is and listing
the things that may and may not be done on the Sabbath day. The Mishnah is the
codified scribal law. The scribes spent their lives working out these rules and
regulations. In the Mishnah the section on the Sabbath extends to no fewer than
twenty-four chapters. The Talmud is the explanatory commentary on the Mishnah,
and in the Jerusalem Talmud the section explaining the Sabbath law runs to
sixty-four and a half columns; and in the Babylonian Talmud it runs to one
hundred and fifty-six double folio pages. And we are told about a rabbi who
spent two and a half years in studying one of the twenty-four chapters of the
Mishnah” (= Dalam
Alkitab sendiri kita hanya diberitahu bahwa kita harus mengingat hari Sabat dan
menguduskannya dan bahwa pada hari itu tidak ada pekerjaan yang boleh
dilakukan, apakah oleh seorang manusia atau oleh pelayan-pelayannya atau
binatang-binatangnya. Tidak puas dengan itu, orang-orang Yahudi belakangan
menghabiskan jam demi jam dan generasi demi generasi untuk mendefinisikan
apakah ‘pekerjaan’ itu dan membuat daftar hal-hal yang boleh dan yang tidak
boleh dilakukan pada hari Sabat. Mishnah merupakan hukum dari ahli-ahli Taurat
yang telah disusun dalam sebuah buku. Ahli-ahli Taurat menghabiskan hidup
mereka untuk menyusun / menentukan peraturan-peraturan ini. Dalam Mishnah
bagian / bab tentang hari Sabat mencapai tidak kurang dari 24 pasal. Kitab
Talmud merupakan buku tafsiran yang menjelaskan tentang Mishnah, dan dalam
Talmud Yerusalem bagian / bab yang menjelaskan tentang hari Sabat mencapai 64,5
kolom / artikel; dan dalam Talmud Babilonia itu mencapai 156 halaman
dobel-folio. Dan kita diberi tahu tentang seorang rabi yang menghabiskan 2,5
tahun untuk mempelajari satu dari 24 pasal dari Mishnah) - hal 121.
2. Macam-macam
larangan dalam kalangan agama Yahudi berkenaan dengan hari Sabat.
a. Larangan
membawa ‘beban’ dan mempersiapkan makanan.
·
menuai, menampi, dan mengirik, dan mempersiapkan makanan.
·
merupakan sesuatu yang dilarang untuk membawa beban. Tetapi apakah beban
itu? Beban adalah apapun yang sama beratnya dengan 2 buah ara kering, anggur
yang cukup untuk membuat satu gelas minuman, susu yang cukup untuk satu teguk,
madu cukup untuk diberikan pada suatu luka, minyak cukup untuk mengurapi
anggota yang kecil, air cukup untuk membasahkan salep mata, kertas cukup untuk
menuliskan pemberitahuan suatu rumah cukai, tinta cukup untuk menuliskan 2
huruf dari alfabet, bambu cukup untuk membuat sebuah pena, dan seterusnya tanpa
ada akhirnya.
Demikianlah mereka
menghabiskan banyak waktu untuk berdebat apakah seseorang boleh atau tidak
boleh mengangkat sebuah lampu dari satu tempat ke tempat lain pada hari Sabat,
apakah seorang perempuan boleh memakai rambut palsu, bahkan apakah seseorang
boleh pergi keluar pada hari Sabat dengan gigi palsu atau kaki palsu, apakah
seseorang boleh mengangkat anaknya pada hari Sabat.
·
seseorang berdosa jika ia membawa sebuah jarum di jubahnya pada hari
Sabat.
·
bros dari jenis apapun tidak boleh dipakai pada hari Sabat.
·
Seseorang tidak boleh keluar pada hari Sabat dengan sandal yang
menggunakan paku, karena berat dari paku-paku itu merupakan suatu beban, dan
membawa beban berarti melanggar hari Sabat.
b. Larangan
bepergian / melakukan perjalanan jauh.
Perjalanan pada hari Sabat
dibatasi pada 2000 hasta, yaitu 1000 yard.
Catatan: 1 yard = 3 kaki (kira-kira 91,5 cm). Berdasarkan
kata-kata Barclay ini, jarak yang boleh ditempuh pada hari Sabat hanyalah
sekitar 914 meter.
Kalau saudara mau tahu dari mana mereka mendapatkan
jarak ini, maka perhatikan ayat-ayat ini:
·
Kis 1:12 - “Maka kembalilah rasul-rasul itu ke Yerusalem dari
bukit yang disebut Bukit Zaitun, yang hanya seperjalanan Sabat jauhnya
dari Yerusalem”.
·
Kel 16:29 - “Perhatikanlah, TUHAN telah memberikan sabat itu
kepadamu; itulah sebabnya pada hari keenam Ia memberikan kepadamu roti untuk
dua hari. Tinggallah kamu di tempatmu masing-masing, seorangpun tidak
boleh keluar dari tempatnya pada hari ketujuh itu.’”.
Barnes’ Notes (tentang Kis 1:12): “‘A sabbath-day’s journey.’ As far as
might be lawfully traveled by a Jew on the Sabbath. This was 2,000 paces or
cubits, or seven furlongs and a half - not quite one mile. .. The distance of a
lawful journey on the Sabbath was not fixed by the laws of Moses, but the
Jewish teachers had fixed it at 2,000 paces. This measure was determined on
because it was a tradition that in the camp of the Israelites, when coming from
Egypt, no part of the camp was more than 2000 paces from the tabernacle, and
over this space, therefore, they were permitted to travel for worship” (= ‘Seperjalanan
Sabat’. Jarak yang secara sah boleh ditempuh oleh seorang Yahudi pada hari
Sabat. Ini adalah 2000 langkah atau hasta, atau 7 ½ furlongs - tidak sampai 1
mil. ... Jarak yang boleh ditempuh pada hari Sabat tidak ditentukan oleh hukum
Taurat Musa, tetapi guru-guru Yahudi telah menentukannya sejauh 2000 langkah.
Ukuran ini ditentukan karena merupakan tradisi bahwa dalam perkemahan dari
bangsa Israel, pada waktu keluar dari Mesir, tidak ada bagian dari perkemahan
yang lebih dari 2000 langkah dari Kemah Suci, dan karena itu melalui jarak
inilah mereka diijinkan untuk berjalan untuk berbakti).
Catatan:
¨ saya merasa ada yang aneh dalam kata-kata Barnes ini,
karena sebetulnya ‘langkah’ jauh berbeda dengan ‘hasta’.
¨ dalam kamus dikatakan bahwa 1 furlong = 201 meter.
Jadi 7 ½ furlongs = sekitar 1,5 km. Jadi, agak lebih jauh dari yang dikatakan
oleh Barclay.
Pulpit Commentary (tentang Kel 16:29): “‘Abide ye every man in his place.’ ...
generally it was held that the ‘place’ intended was the camp, which the
Israelites were forbidden to quit; and hence was derived the idea of the
‘sabbath day’s journey,’ which was reckoned at six stadia - the supposed
distance of the furthest bounds of the camp from its centre” (= ‘Tinggallah kamu di tempatmu masing-masing’. ... pada
umumnya dianggap bahwa ‘tempat’ yang dimaksudkan adalah perkemahan, dari mana
orang Israel dilarang meninggalkan; dan karena itu didapatkan gagasan tentang
‘seperjalanan Sabat’, yang diperhitungkan pada 6 stadia - jarak yang dianggap
sebagai batasan terjauh dari perkemahan dari pusatnya).
Catatan: 1 stadium (bentuk tunggal dari stadia) kurang lebih
sama dengan 180-190 meter. Jadi, 6 stadia kurang lebih sama dengan 1,1 km.
Barnes’ Notes (tentang Kel 16:29): “‘Abide ye every man in his place.’ ... The
prohibition must however be understood with reference to its immediate object;
they were not to go forth from their place in order to gather manna, which was
on other days without the camp. The spirit of the law is sacred rest” (= ‘Tinggallah kamu di tempatmu masing-masing’. ...
Tetapi larangan ini harus dimengerti berkenaan dengan obyek / tujuan saat itu;
mereka tidak boleh keluar dari tempat mereka untuk mengumpulkan manna, yang
pada hari-hari yang lain ada di luar perkemahan. Roh / arti sebenarnya dari
hukum ini adalah istirahat yang kudus).
Kesimpulan:
lagi-lagi orang-orang Yahudi melakukan penafsiran yang salah tentang ayat Kitab
Suci (Kel 16:29) sehingga akhirnya mendapatkan jarak yang tidak boleh dilampaui
pada hari Sabat.
c. Larangan
mengobati / menyembuhkan.
·
Dalam kasus dimana nyawa ada dalam bahaya maka boleh dilakukan
penanganan, khususnya seperti kasus penyakit telinga, hidung, tenggorokan, dan
mata. Tetapi bahkan dalam kasus seperti itu, langkah-langkah bisa diambil hanya
untuk mencegah kematian / supaya orang itu jangan menjadi lebih buruk, tetapi
bukan untuk menyembuhkannya / membuatnya lebih baik.
·
Seorang perempuan yang mau melahirkan boleh ditolong pada hari Sabat.
·
Jika sebuah tembok rubuh dan menimpa seseorang, tembok itu boleh disingkirkan
secukupnya untuk melihat apakah ia mati atau hidup; jika ia hidup ia boleh
ditolong, jika ia mati mayatnya harus dibiarkan sampai hari berikutnya.
·
Perban biasa boleh diberikan pada suatu luka, tetapi bukan perban yang
menggunakan obat.
·
Dilarang untuk membetulkan letak dari kaki / tangan yang patah. Tulang
patah tidak boleh dirawat. Air dingin tidak boleh dituangkan pada tangan atau
kaki yang terkilir / keluar dari posisinya.
d. Larangan
menulis.
Menulis pada hari Sabat dianggap
sebagai bekerja. Tetapi ‘menulis’ perlu didefinisikan. Ia yang menulis 2 huruf
dari alfabet dengan tangan kanan atau tangan kirinya, apakah dari satu jenis
atau 2 jenis, jika huruf-huruf itu ditulis dengan tinta yang berbeda atau dalam
bahasa yang berbeda, bersalah. Bahkan jika ia menulis 2 huruf karena lupa, ia
bersalah, apakah ia telah menulis huruf-huruf itu dengan tinta atau dengan cat,
kapur merah, benda tajam, atau apapun yang membuat tanda permanen. Juga ia yang
menulis pada 2 dinding yang membentuk suatu sudut, atau pada 2 lembaran dari
buku catatan / rekeningnya sehingga huruf-huruf itu bisa dibaca bersama-sama,
ia bersalah ... Tetapi jika seseorang menulis dengan cairan gelap, dengan air
buah, atau di tanah di jalanan, atau pada pasir, atau pada apapun yang tidak membuat
tanda permanen, ia tidak bersalah. ... Jika ia menulis satu huruf di tanah, dan
satu di dinding rumah, atau pada 2 halaman dari suatu buku, sehingga
huruf-huruf itu tidak bisa dibaca bersama-sama, ia tidak bersalah.
e. Larangan
menyalakan api / lampu.
Sampai hari ini ada
orang-orang Yahudi orthodox yang ketat di negeri ini yang tidak akan
memperbaiki nyala api pada hari Sabat atau menyalakan skakelar lampu. Jika api
harus dikobarkan seorang non Yahudi digunakan untuk melakukannya. Jika
seorang Yahudi cukup kaya, ia kadang-kadang akan memasang ‘skakelar waktu’ yang
akan menyalakan lampu (secara otomatis) pada sore hari pada hari Sabat tanpa ia
melakukannya sendiri.
f. Larangan
membuat simpul.
Mengikat / membuat simpul
pada hari Sabat adalah bekerja; dan seseorang sama bersalahnya dengan membuat
simpul maupun melepaskan / menguraikannya. Tetapi suatu simpul perlu
didefinisikan. Ada yang boleh dibuat, ada yang tidak boleh.
·
Simpul yang dilarang: simpul dari penunggang-penunggang unta dan simpul
dari pelaut.
·
Simpul yang bisa dibuat / diikat atau dilepaskan / diuraikan dengan satu
tangan adalah simpul yang boleh dilakukan.
·
Seorang perempuan boleh mengikat suatu celah pada pakaiannya, dan tali
pada topi dan pada sabuknya, tali pengikat dari sepatu atau sandal, dari
kantong kulit dari anggur dan minyak.
g. Larangan
berperang / membela diri.
William Barclay (tentang Mark 3:1-6): “a strict Jew would not even defend his life on the
Sabbath” (= seorang
Yahudi yang ketat bahkan tidak akan mempertahankan dirinya / nyawanya pada hari
Sabat) - hal 67-68.
Orang-orang Syria dan Romawi pernah mengalahkan
orang-orang Yahudi dengan cara berperang pada hari Sabat, dan orang-orang
Yahudi itu sama sekali tidak mau membela diri sehingga mereka dapat dibunuh
dengan mudah.
Salah satu cerita dimana orang-orang Yahudi tidak mau
berperang dan rela membiarkan diri dibunuh, karena musuh menyerang pada hari
Sabat, terdapat dalam kitab Apocrypha, yaitu 1Makabe 2:31-38. Pada saat itu
sekitar 1000 orang Yahudi dibunuh pada hari Sabat. Ini menyebabkan seorang
Yahudi yang bernama Matatias lalu mengubah prinsip itu, dan memutuskan untuk
berperang kalau diserang pada hari Sabat (1Makabe 2:41).
Catatan:
·
Kitab apocrypha
tidak kita akui sebagai Firman Tuhan, tetapi paling-paling sebagai buku kuno /
sejarah.
·
Larangan perang /
pembelaan diri pada hari Sabat ini kelihatannya bertentangan dengan peristiwa
dalam Yos 6:15 1Raja 20:29 2Raja 3:9.
h. Macam-macam
larangan yang lain.
·
Seseorang tidak boleh mengisi tempat minyak dengan minyak dan
meletakkannya di sisi lampu dan memasukkan ujung sumbu ke dalamnya.
·
Jika seseorang mematikan sebuah lampu pada hari Sabat untuk menghemat
lampu atau minyak atau sumbunya, ia bersalah.
·
Seseorang tidak boleh menggunting kuku jarinya atau mencabut rambut dari
kepalanya atau janggutnya.
·
Dilarang melakukan hubungan sex dengan istri.
·
Dilarang menunggang binatang apapun, atau bepergian dengan kapal di
laut.
·
Dilarang memukul atau membunuh apapun, atau menangkap seekor binatang,
burung, atau ikan.
·
Dilarang berpuasa pada hari Sabat.
Puasa justru dilarang pada hari Sabat, karena hari
Sabat dianggap sebagai hari pesta / perayaan. Makanan justru merupakan bagian
penting dari perayaan hari Sabat - ‘From Sabbath to Lord’s Day’, hal 50.
i. C.
Rowland mengatakan bahwa ada kelompok Yahudi yang bernama The Essenes, yang
bahkan melarang seseorang buang air besar pada hari Sabat! - ‘From Sabbath
to Lord’s Day’, hal 46.
3. Pertentangan
antara Yesus dan ahli-ahli Taurat / orang-orang Farisi pada jamanNya.
Ada banyak text-text Kitab Suci yang menunjukkan
pertentangan antara Yesus dan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi berkenaan
dengan larangan / peraturan hari Sabat, seperti dalam Mat 12:1-13 (bdk. Mark
2:23-3:6 Luk 6:1-11) Luk 13:10-17
Luk 14:1-6 Yoh 5:1-18 Yoh 7:22-23
Yoh 9:1-16. Dari text-text yang menunjukkan pertentangan antara Yesus
dan orang-orang Yahudi dalam persoalan hukum Sabat ini, kita bisa menyimpulkan
bahwa dalam pandangan Yesus ada hal-hal / pekerjaan yang boleh dilakukan pada
hari Sabat, yaitu:
a. Pekerjaan
/ hal darurat yang betul-betul dibutuhkan.
Luk 14:5 - “Kemudian
Ia berkata kepada mereka: ‘Siapakah di antara kamu yang tidak segera menarik ke
luar anaknya atau lembunya kalau terperosok ke dalam sebuah sumur, meskipun
pada hari Sabat?’”.
Pekerjaan yang berhubungan dengan keadaan darurat ini
jelas mencakup perang / pembelaan diri. Bdk. Yos 6:15 1Raja 20:29
2Raja 3:9.
b. Menolong
orang / berbuat baik.
Mat 12:10-13 - “(10)
Di situ ada seorang yang mati sebelah tangannya. Mereka bertanya kepadaNya:
‘Bolehkah menyembuhkan orang pada hari Sabat?’ Maksud mereka ialah supaya dapat
mempersalahkan Dia. (11) Tetapi Yesus berkata kepada mereka: ‘Jika seorang dari
antara kamu mempunyai seekor domba dan domba itu terjatuh ke dalam lobang pada
hari Sabat, tidakkah ia akan menangkapnya dan mengeluarkannya? (12) Bukankah
manusia jauh lebih berharga dari pada domba? Karena itu boleh berbuat baik pada
hari Sabat.’ (13) Lalu kata Yesus kepada orang itu: ‘Ulurkanlah tanganmu!’ Dan
ia mengulurkannya, maka pulihlah tangannya itu, dan menjadi sehat seperti
tangannya yang lain”.
Karena itu janganlah menggunakan hukum Sabat ini
sebagai alasan untuk tidak menolong orang yang membutuhkan pertolongan.
Diijinkannya kita untuk berbuat baik pada hari Sabat menyebabkan adanya
tempat-tempat yang boleh tetap buka pada hari Sabat, seperti rumah sakit,
apotik. Tetapi motivasinya bukan untuk mencari uang, tetapi untuk berbuat baik
/ melayani / menolong orang. Tentu bukannya semua lalu digratiskan. Mereka
tetap boleh menarik bayaran, tetapi itu tidak boleh menjadi motivasi mereka.
c. Melayani
Tuhan.
Mat 12:5 - “Atau
tidakkah kamu baca dalam kitab Taurat, bahwa pada hari-hari Sabat, imam-imam
melanggar hukum Sabat di dalam Bait Allah, namun tidak bersalah?”.
Jadi, hamba Tuhan yang ‘bekerja’ / melayani pada hari Minggu, tidak
bersalah. Sebaliknya, ia melakukan sesuatu yang baik. Pelayanan pada hari
Minggu bukanlah termasuk bekerja, dan karena itu bukan merupakan pelanggaran
terhadap hukum hari Sabat.
Tetapi lalu bagaimana dengan istirahat Sabat bagi hamba Tuhan? Ada
orang-orang yang mengatakan bahwa hamba Tuhan harus mempunyai hari Sabat
/ hari istirahat di luar hari Minggu. Tetapi dari Kitab Suci maupun dari
buku-buku manapun, saya tidak pernah membaca / menemukan bahwa imam-imam pada
jaman Perjanjian Lama mempunyai hari Sabat / hari istirahat di luar hari Sabtu.
Jadi, menurut saya, Kitab Suci tidak mengharuskan hamba Tuhan untuk
mempunyai satu hari istirahat, tetapi juga tidak melarangnya. Kalau seorang
hamba Tuhan ingin mempunyai hari istirahat, dan memilih satu hari tertentu
(selain Minggu) sebagai hari istirahatnya, saya berpendapat bahwa ia berhak
melakukannya.
b) Ada
banyak hal / pekerjaan yang memang tidak boleh kita lakukan pada hari Sabat.
Kalau orang-orang Yahudi menambahi larangan / peraturan Sabat sehingga
menjadi terlalu ketat, maka pada jaman sekarang, boleh dikatakan semua orang
Kristen jatuh (mungkin secara jauh lebih buruk) pada extrim sebaliknya,
yaitu mengabaikan sebagian / seluruh larangan / peraturan Sabat.
Karena itu, perhatikanlah hal-hal yang tidak boleh
dilakukan pada hari Sabat di bawah ini:
1. Kita
tidak boleh melakukan pekerjaan sehari-hari.
Kel 20:9-10 - “(9)
enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, (10)
tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan
sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau
hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang
di tempat kediamanmu”.
a. Perhatikan
Kel 20:9 - “enam hari lamanya
engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu”.
Kita tidak boleh menjadi pemalas yang tidak mau
bekerja. Kita disuruh untuk bekerja. Tetapi, semua pekerjaan itu harus
dilakukan dalam 6 hari. Untuk itu perhatikan kata ‘segala’ dalam ay 9 di atas. Saya berpendapat bahwa penekanan
dari ay 9 ini bukanlah bahwa kita harus bekerja selama 6 hari itu, tetapi bahwa
segala pekerjaan harus diselesaikan dalam 6 hari sehingga tidak ada
pekerjaan yang tersisa untuk hari Sabat.
Pulpit Commentary (tentang Kel 20:9): “Verse 9. - ‘Six days shalt thou
labour.’ This is not so much a command as a prohibition. ‘Thou shalt not labor
more than six (consecutive) days.’ In them thou shalt do all thy necessary
work, so as to have the Sabbath free for the worship and service of God” [= Ayat 9. -
‘Enam hari lamanya engkau akan bekerja’. Ini lebih merupakan suatu larangan
dari pada suatu perintah. ‘Engkau tidak boleh bekerja lebih dari enam hari
(berturut-turut)’. Dalam hari-hari itu engkau harus melakukan semua pekerjaanmu
yang perlu, sehingga membebaskan hari Sabat untuk penyembahan dan kebaktian /
pelayanan Allah].
Jadi, bekerja ataupun lembur pada hari Sabat jelas tidak
diijinkan. Pada masa sibukpun hari
Sabat harus tetap menjadi hari istirahat.
Bdk. Kel 34:21 - “Enam
harilah lamanya engkau bekerja, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah engkau
berhenti, dan dalam musim membajak dan musim menuai haruslah engkau memelihara
hari perhentian juga”.
Masa menabur dan menuai jelas merupakan masa paling
sibuk. Tetapi Firman Tuhan tidak mengenal kompromi dan tetap memerintahkan
untuk memelihara Sabat sebagai hari perhentian / istirahat pada saat seperti
itu.
Penerapan:
·
Ini berlaku untuk
siswa / mahasiswa yang sedang ujian. Kalau mereka kuatir tidak lulus karena
harus punya 1 hari istirahat dalam 1 minggu, maka perlu mereka camkan bahwa
Tuhan bisa memberkati masa belajar 6 hari, dibandingkan dengan masa belajar 7
hari tanpa istirahat, dalam 1 minggu!
·
Ini juga berlaku
untuk orang yang merasa bahwa dengan bekerja 7 hari dalam 1 minggu ia masih
belum mendapat uang yang cukup untuk hidupnya. Bagaimana mungkin harus
‘membuang’ 1 hari untuk istirahat? Ingat, Tuhan bisa memberkati 6 hari kerja
lebih dari 7 hari kerja dalam 1 minggu! Bdk. Mat 6:33 - “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya,
maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”.
Bandingkan dengan orang yang 100 % gajinya tidak
mencukupi, tetapi dengan memberikan 10 % untuk Tuhan sebagai persembahan
persepuluhan, malah dengan 90 % ia bisa mencukupi hidupnya. Tuhan ada di atas
matematik! Ini juga berlaku bagi orang-orang, yang karena ingin memelihara hari
Sabat, tidak bekerja / belajar pada hari itu!
Bible Knowledge Commentary (tentang Yes 58:13): “By following the rules for the Sabbath
a person acknowledged the importance of worshiping God and showed that he
depended on God to bless him materially for that time he took off from work” (= Dengan
mengikuti peraturan-peraturan untuk Sabat seseorang mengakui pentingnya
penyembahan Allah dan menunjukkan bahwa ia tergantung kepada Allah untuk
memberkatinya secara material untuk waktu yang ia ambil dari pekerjaan).
Kalau kita melanggar hukum hari Sabat dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan, maka perhatikan kutipan di bawah ini.
D. L. Moody: “When the
children of Israel went into the Promised Land, God told them to let their land
rest every seven years, and He would give them as much in six years as in
seven. For four hundred and ninety years they disregarded that law. But mark
you, Nebuchadnezzar came and took them off into Babylon, and kept them seventy
years in captivity, and the land had its seventy sabbaths of rest. Seven times
seventy is four hundred and ninety. So they did not gain much by breaking
this law. You can give God His day, or He will take it” (= Pada waktu bangsa Israel masuk ke Tanah
Perjanjian, Allah memberitahu mereka untuk membiarkan tanah mereka beristirahat
setiap 7 tahun, dan Ia akan memberikan kepada mereka sama banyaknya dalam 6
tahun seperti dalam 7 tahun. Selama 490 tahun mereka mengabaikan hukum tersebut.
Tetapi perhatikan, Nebukadnezar datang dan membawa mereka ke Babilonia, dan
menaruh mereka 70 tahun dalam pembuangan, dan tanah itu mendapatkan 70 x
istirahat Sabatnya. 7 x 70 = 490. Jadi, mereka tidak mendapatkan keuntungan
dengan melanggar hukum ini. Kamu bisa memberikan kepada Allah hariNya, atau
Ia akan mengambilnya sendiri) - ‘D. L. Moody
On The Ten Commandments’, hal 61.
b. Perhatikan
Kel 20:10 - “tetapi hari
ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu
pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu
laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat
kediamanmu”.
Ada beberapa hal yang harus ditekankan / dijelaskan
tentang Kel 20:10 ini:
·
seluruh, bukan
sebagian dari, hari ketujuh itu adalah hari Sabat Tuhan! Jadi, jangan mempunyai
pandangan bahwa kalau saudara sudah berbakti kepada Tuhan pada hari Minggu,
maka saudara boleh menggunakan sisa hari itu sesuka saudara sendiri! Seluruh
hari Minggu adalah hari Sabat Tuhan!
·
bukan hanya kita
yang tidak boleh bekerja, tetapi juga pegawai, anak-anak, dan bahkan binatang
(lembu untuk membajak dsb)!
Kita tidak boleh mempekerjakan pegawai / pelayan, dan kita juga tidak boleh menyuruh
anak kita untuk belajar! Mereka juga membutuhkan istirahat! Ada 6 hari untuk
bekerja / belajar bagi mereka; biarkan mereka beristirahat pada hari Sabat.
Ini perlu dicamkan oleh para boss, yang sering
mengharuskan pegawai-pegawainya untuk lembur / tetap bekerja pada hari Minggu.
Juga oleh para majikan, yang mengharuskan pembantu rumah tangga tetap bekerja
pada hari Minggu.
Ini juga perlu dicamkan oleh para orang tua, khususnya
mereka yang kadang-kadang menghukum anaknya dengan melarang pergi ke gereja dan
menyuruhnya belajar di rumah, karena anak itu mendapatkan nilai / rapor yang
jelek. Hukumlah anak dengan cara lain, bukan dengan menyuruh mereka berdosa
dengan melanggar peraturan Sabat!
Ini merupakan sesuatu yang sangat sukar untuk
dilakukan. Pikirkan tentang naik becak atau taxi. Tidakkah kita mempekerjakan
mereka? Lalu bagaimana kita ke gereja kalau misalnya mobil kita mogok dsb?
Kalau kita membeli bensin / solar, tidakkah kita mempekerjakan pegawai pompa
bensin itu?
·
mengapa ‘istri’
tidak disebutkan?
Matthew Henry mengatakan
bahwa ‘istri’ tidak disebutkan, karena ia dianggap sebagai satu dengan suami.
Sekarang mari kita melihat 2 text Kitab Suci lain
(selain Kel 20:9-10), yang menekankan larangan bekerja pada hari Sabat,
dan juga beberapa komentar dari para penafsir tentang text-text tersebut.
Text pertama:
Yer 17:21-27 - “(21) Beginilah
firman TUHAN: Berawas-awaslah demi nyawamu! Janganlah mengangkut
barang-barang pada hari Sabat dan membawanya melalui pintu-pintu gerbang
Yerusalem! (22) Janganlah membawa barang-barang dari rumahmu ke luar pada
hari Sabat dan janganlah lakukan sesuatu pekerjaan, tetapi kuduskanlah hari
Sabat seperti yang telah Kuperintahkan kepada nenek moyangmu. (23) Namun mereka
tidak mau mendengarkan dan tidak mau memperhatikannya, melainkan mereka
berkeras kepala, sehingga tidak mau mendengarkan dan tidak mau menerima
tegoran. (24) Apabila kamu sungguh-sungguh mendengarkan Aku, demikianlah firman
TUHAN, dan tidak membawa masuk barang-barang melalui pintu-pintu gerbang
kota ini pada hari Sabat, tetapi menguduskan hari Sabat dan tidak melakukan
sesuatu pekerjaan pada hari itu, (25) maka melalui pintu-pintu gerbang kota ini
akan berarak masuk raja-raja dan pemuka-pemuka, yang akan duduk di atas takhta
Daud, dengan mengendarai kereta dan kuda: mereka dan pemuka-pemuka mereka, orang-orang
Yehuda dan penduduk Yerusalem. Dan kota ini akan didiami orang untuk
selama-lamanya. (26) Orang akan datang dari kota-kota Yehuda dan dari
tempat-tempat sekitar Yerusalem, dari tanah Benyamin dan dari Daerah Bukit,
dari pegunungan dan dari tanah Negeb, dengan membawa korban bakaran, korban
sembelihan, korban sajian dan kemenyan, membawa korban syukur ke dalam rumah
TUHAN. (27) Tetapi apabila kamu tidak mendengarkan perintahKu untuk menguduskan
hari Sabat dan untuk tidak masuk mengangkut barang-barang melalui
pintu-pintu gerbang Yerusalem pada hari Sabat, maka di pintu-pintu
gerbangnya Aku akan menyalakan api, yang akan memakan habis puri-puri
Yerusalem, dan yang tidak akan terpadamkan.’”.
Yang dilarang oleh text ini sebetulnya bukan
mengangkut barang, tetapi mengangkut barang dengan tujuan berjualan /
berdagang. Jadi, text ini jelas menentang orang berjualan pada hari
Sabat. Dan kalau menjual dilarang, maka membeli pasti juga tidak boleh.
Text kedua:
Neh 13:15-22 - “(15) Pada masa
itu kulihat di Yehuda orang-orang mengirik memeras anggur pada hari Sabat, pula
orang-orang yang membawa berkas-berkas gandum dan memuatnya di atas keledai,
juga anggur, buah anggur dan buah ara dan pelbagai muatan yang mereka bawa ke
Yerusalem pada hari Sabat. Aku memperingatkan mereka ketika mereka menjual
bahan-bahan makanan. (16) Juga orang Tirus yang tinggal di situ membawa ikan
dan pelbagai barang dagangan dan menjual itu kepada orang-orang Yehuda
pada hari Sabat, bahkan di Yerusalem. (17) Lalu aku menyesali pemuka-pemuka
orang Yehuda, kataku kepada mereka: ‘Kejahatan apa yang kamu lakukan ini dengan
melanggar kekudusan hari Sabat? (18) Bukankah nenek moyangmu telah berbuat
demikian, sehingga Allah kita mendatangkan seluruh malapetaka ini atas kita dan
atas kota ini? Apakah kamu bermaksud memperbesar murka yang menimpa Israel
dengan melanggar kekudusan hari Sabat?’ (19) Kalau sudah remang-remang di
pintu-pintu gerbang Yerusalem menjelang hari Sabat, kusuruh tutup pintu-pintu
dan kuperintahkan supaya jangan dibuka sampai lewat hari Sabat. Dan aku
tempatkan beberapa orang dari anak buahku di pintu-pintu gerbang, supaya tidak
ada muatan yang masuk pada hari Sabat. (20) Tetapi orang-orang yang berdagang
dan berjualan rupa-rupa barang itu kemudian bermalam juga di luar tembok
Yerusalem satu dua kali. (21) Lalu aku memperingatkan mereka, kataku: ‘Mengapa
kamu bermalam di depan tembok? Kalau kamu berbuat itu sekali lagi akan
kukenakan tanganku kepadamu.’ Sejak waktu itu mereka tidak datang lagi pada
hari Sabat. (22) Juga kusuruh orang-orang Lewi mentahirkan dirinya dan datang
menjaga pintu-pintu gerbang untuk menguduskan hari Sabat. Ya Allahku, ingatlah
kepadaku juga karena hal itu dan sayangilah aku menurut kasih setiaMu yang
besar!”.
Catatan: agak aneh bahwa anak buah Nehemia dan orang-orang
Lewi itu diijinkan (bahkan disuruh) bekerja menjaga pintu gerbang (ay 19,22).
Mengapa mereka boleh bekerja? Mungkin itu bukan dianggap bekerja tetapi dianggap
sebagai pelayanan.
Secara hurufiah, Nehemia hanya melarang berjualan,
bukan membeli. Tetapi Matthew Henry mengecam baik yang berjualan maupun yang
membeli (demikian juga dengan Albert Barnes dalam komentarnya tentang
Yer 17:21).
Matthew Henry (tentang Neh 13:15-22): “The
hawkers, and pedlars, and petty chapmen, that were men of Tyre, that famous
trading city, ‘sold all manner of wares’ on the sabbath day (v. 16); and the
children of Judah and Jerusalem had so little grace as to buy of them, and so
encourage them in making our Father’s day a day of merchandise, contrary to
the law of the fourth commandment, which forbids the ‘doing any manner of
work.’”
(= ).
Barnes’ Notes (tentang Yer 17:21): “The
people of Jerusalem for their part took (Jer 17:22) their wares to the gates,
and carried on a brisk traffic there with the villagers. Both parties seem to
have abstained from manual labor, but did not consider that buying and
selling were prohibited by the fourth commandment” (= ).
Dan memang, kalau orang dilarang berjualan, maka sudah
jelas bahwa orang juga dilarang membeli, karena para pembeli ini memotivasi
para penjual untuk terus berjualan pada hari Sabat.
Jadi, shopping /
berbelanja pada hari Sabat / Minggu, yang justru banyak dilakukan orang, jelas merupakan suatu pelanggaran terhadap
hukum keempat ini. Ini semua juga memotivasi pemilik toko untuk tetap buka pada
hari Sabat / Minggu.
Bdk. Neh 10:31 - “Dan
bilamana penduduk negeri membawa barang-barang dan berbagai-bagai gandum
untuk dijual pada hari Sabat, kami tidak
akan membelinya dari mereka pada hari Sabat atau pada hari yang kudus.
Dan kami akan membiarkan begitu saja hasil tanah pada tahun yang ketujuh dan
tidak akan menagih sesuatu hutang”.
Matthew Henry (tentang Neh 10:31): “They
would not only not sell goods themselves for gain on that day, but they would
not encourage the heathen to sell on that day by buying of them, no not
victuals, under pretence of necessity; but would buy in their provisions for
their families the day before, v. 31” (= ).
Catatan: memang ada tempat-tempat yang boleh buka pada hari
Minggu, seperti misalnya rumah sakit dan apotik, karena ini berhubungan dengan
hal-hal darurat. Tetapi mereka harus tetap memberi hari istirahat yang lain
kepada pegawai-pegawainya. Dan kita tetap harus mengusahakan untuk tidak
menggunakan jasa mereka pada hari Minggu, kecuali memang betul-betul perlu /
mendesak.
Sesuatu yang penting untuk ditambahkan dalam persoalan
larangan untuk bekerja pada hari Sabat ini adalah bahwa seseorang bisa
‘bekerja’ pada saat ia kelihatannya tidak bekerja!
The Biblical Illustrator (Old Testament) tentang Kel
20:8-11: “And by working
on Sunday we do not mean only the formal going to the office or counting-room.
We mean the carrying a man’s business about with him on that day; the taking it
home and poisoning the fireside with it; the taking it to church and poisoning
the church with it” (= Dan dengan bekerja pada hari Minggu kami tidak
memaksudkan hanya kepergian formil ke kantor atau kantor bisnis. Kami
memaksudkan tindakan membawa kesibukan / bisnis
seseorang dengannya pada hari itu; tindakan membawanya ke rumah dan merusak rumah
/ kehidupan keluarga dengannya; tindakan membawanya ke gereja dan merusak
gereja dengannya).
Penerapan:
jadi orang yang tidak bekerja pada hari Minggu, dan lalu pergi ke gereja, bisa
tetap melanggar larangan bekerja ini, yaitu kalau pada hari itu ia tetap
‘membawa’ pekerjaannya dalam pikirannya!
Jaman sekarang, pemberitaan larangan berkerja pada hari Sabat (Minggu)
ini makin lama makin langka. Saya menduga banyak ‘hamba Tuhan’ yang justru
senang kalau jemaatnya bekerja pada hari Sabat, karena itu mereka anggap bisa
membuat jemaatnya makin banyak uang, sehingga makin banyak memberi persembahan
juga! Tetapi ‘hamba Tuhan’ yang tidak mau memberitakan larangan ini dengan
motivasi seperti itu, sebetulnya bukan hamba Tuhan tetapi hamba uang!
Mereka harus memperhatikan ancaman Firman Tuhan bagi orang yang
membuang sesuatu dari Firman Tuhan, seperti yang ada dalam ayat-ayat di bawah
ini:
Mat 5:19 - “Karena itu siapa
yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil,
dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang
paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan
mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat
yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga”.
Wah 22:18-19 - “(18) Aku
bersaksi kepada setiap orang yang mendengar perkataan-perkataan nubuat dari
kitab ini: ‘Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini,
maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di
dalam kitab ini. (19) Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari
perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya
dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab
ini.’”.
2. Kita tidak
boleh memasak / mempersiapkan makanan.
Calvin menganggap bahwa memasak makanan termasuk
pekerjaan yang dilarang pada hari Sabat. Dan bahwa Kitab Suci memang melarang
untuk memasak / mempersiapkan makanan pada hari Sabat, terlihat dari text-text
di bawah ini:
a. Kel 16:4-5,22-30 - “(4) Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Musa:
‘Sesungguhnya Aku akan menurunkan dari langit hujan roti bagimu; maka bangsa
itu akan keluar dan memungut tiap-tiap hari sebanyak yang perlu untuk sehari,
supaya mereka Kucoba, apakah mereka hidup menurut hukumKu atau tidak. (5) Dan
pada hari yang keenam, apabila mereka memasak yang dibawa mereka pulang, maka
yang dibawa itu akan terdapat dua kali lipat banyaknya dari apa yang dipungut
mereka sehari-hari.’ ... (22) Dan pada hari yang keenam mereka memungut roti
itu dua kali lipat banyaknya, dua gomer untuk tiap-tiap orang; dan datanglah
semua pemimpin jemaah memberitahukannya kepada Musa. (23) Lalu berkatalah Musa
kepada mereka: ‘Inilah yang dimaksudkan TUHAN: Besok adalah hari perhentian
penuh, sabat yang kudus bagi TUHAN; maka roti yang perlu kamu bakar, bakarlah,
dan apa yang perlu kamu masak, masaklah; dan segala kelebihannya biarkanlah di
tempatnya untuk disimpan sampai pagi.’ (24) Mereka membiarkannya di tempatnya
sampai keesokan harinya, seperti yang diperintahkan Musa; lalu tidaklah berbau
busuk dan tidak ada ulat di dalamnya. (25) Selanjutnya kata Musa: ‘Makanlah itu
pada hari ini, sebab hari ini adalah sabat untuk TUHAN, pada hari ini
tidaklah kamu mendapatnya di padang. (26) Enam hari lamanya kamu memungutnya,
tetapi pada hari yang ketujuh ada sabat; maka roti itu tidak ada pada hari
itu.’ (27) Tetapi ketika pada hari ketujuh ada dari bangsa itu yang keluar
memungutnya, tidaklah mereka mendapatnya. (28) Sebab itu TUHAN berfirman kepada
Musa: ‘Berapa lama lagi kamu menolak mengikuti segala perintahKu dan hukumKu?
(29) Perhatikanlah, TUHAN telah memberikan sabat itu kepadamu; itulah sebabnya
pada hari keenam Ia memberikan kepadamu roti untuk dua hari. Tinggallah kamu di
tempatmu masing-masing, seorangpun tidak boleh keluar dari tempatnya pada hari
ketujuh itu.’ (30) Lalu beristirahatlah bangsa itu pada hari ketujuh”.
Jelas bahwa text tentang manna ini melarang untuk
mengumpulkan manna dan memasaknya pada hari Sabat.
Matthew Henry (tentang Kel 16:22-31): “On that day they were to fetch in enough for two
days, and to prepare it, v. 23. The law was very strict, that they must bake
and seeth, the day before, and not on the sabbath day” [= Pada hari itu (hari sebelum hari Sabat) mereka harus mengambil (manna) cukup untuk dua hari, dan mempersiapkannya,
ay 23. Hukum itu sangat ketat, dan mereka harus membakarnya dan memasak /
merebusnya pada hari sebelumnya, dan bukan pada hari Sabat].
Barnes’ Notes (tentang Kel 16:25): “‘Eat
that today.’ ... The people were to abstain from the ordinary work of every day
life: they were not to collect food, nor, as it would seem, even to prepare it
as on other days” (= ‘Makanlah
itu pada hari ini’. Bangsa itu harus menjauhkan diri dari pekerjaan biasa dari kehidupan
sehari-hari: mereka tidak boleh mengumpulkan makanan, ataupun, seperti
terlihat, bahkan mempersiapkan makanan seperti pada hari-hari yang lain).
b. Kel
35:2-3 - “(2) Enam hari lamanya boleh
dilakukan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada perhentian
kudus bagimu, yakni sabat, hari perhentian penuh bagi TUHAN; setiap orang yang
melakukan pekerjaan pada hari itu, haruslah dihukum mati. (3) Janganlah kamu
memasang api di manapun dalam tempat kediamanmu pada hari Sabat.’”.
Adam Clarke menganggap bahwa larangan menyalakan api
di sini hanya api untuk bekerja atau memasak makanan. Tetapi menyalakan
api untuk memberi terang / panas, tidak dilarang.
c. Bil 15:32-36
- “(32) Ketika orang Israel ada di padang
gurun, didapati merekalah seorang yang mengumpulkan kayu api pada hari Sabat.
(33) Lalu orang-orang yang mendapati dia sedang mengumpulkan kayu api itu,
menghadapkan dia kepada Musa dan Harun dan segenap umat itu. (34) Orang itu
dimasukkan dalam tahanan, oleh karena belum ditentukan apa yang harus dilakukan
kepadanya. (35) Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Musa: ‘Orang itu pastilah
dihukum mati; segenap umat Israel harus melontari dia dengan batu di luar
tempat perkemahan.’ (36) Lalu segenap umat menggiring dia ke luar tempat
perkemahan, kemudian dia dilontari dengan batu, sehingga ia mati, seperti yang
difirmankan TUHAN kepada Musa”.
Thomas Watson:
“It
would seem a small thing to pick up a few sticks to make a fire; but God would
not have this day violated in the smallest matters” (= Kelihatannya merupakan suatu hal kecil / remeh
untuk mengambil beberapa ranting untuk membuat api; tetapi Allah tidak
menghendaki hari ini dilanggar dalam hal-hal yang paling kecil) - ‘The Ten Commandments’, hal 99.
Karena dilarangnya seseorang memasak / mempersiapkan
makanan pada hari Sabat, maka pemilik warung / restoran yang tetap berjualan
makanan pada hari Sabat jelas melanggar peraturan Sabat; bukan hanya larangan
bekerja dan mempekerjakan orang, tetapi juga larangan memasak makanan. Ini
menjadi problem bagi orang-orang Kristen yang berjualan makanan di food court /
pujasera, yang tentu tidak mengijinkan ia libur pada hari Minggu.
Sekarang, kalau kita melarang orang buka restoran /
warung pada hari Sabat, masuk akalkah kalau kita diperbolehkan membeli makanan?
Kalau mau konsisten, jelas bahwa kita juga tidak boleh membeli makanan, karena
ini akan memotivasi orang-orang untuk makin membuka restoran / warungnya.
Tetapi ini merupakan hal yang hampir tidak ada orang Kristen yang
memperhatikannya. Dan bagi orang-orang Kristen yang memperhatikannya, tetap
hampir tidak mungkin untuk melaksanakannya. Saya menganggap bahwa ‘tidak boleh
membeli makanan’ merupakan sesuatu yang sangat sukar untuk ditaati. Kita tidak
boleh memasak, dan kita tidak boleh membeli makanan. Jadi kita harus makan
makanan yang sudah dimasak pada hari sebelum Sabat (Kel 16:23-25).
Lalu bagaimana dengan gereja yang mengundang hamba
Tuhan dari luar kota? Biasanya hamba Tuhan itu diajak untuk makan di restoran!
Kalau tidak, lalu bagaimana? Harus diajak makan di rumah, untuk makan makanan
yang dimasak kemarinnya? Atau gereja harus masak sendiri? Apakah dibedakan
memasak makanan biasa, dan memasak makanan untuk hamba Tuhan sebagai suatu
tindakan pelayanan?
Catatan:
kalau memasak makanan jelas tidak boleh, tetapi saya tidak tahu bagaimana
dengan memanasi makanan. Sepanjang yang saya ketahui tidak ada penafsir
yang membahas hal ini. Kalau ini juga tidak boleh, maka akan makin mempersulit
ketaatan pada larangan yang sudah sangat sulit ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar