Senin, 14 April 2014

KRISTOLOGI (1)


Oleh: Pdt. Budi Asali, M.Div




PELAJARAN I

CREDO YANG BENAR &

AJARAN-AJARAN SESAT

TENTANG DIRI KRISTUS



I) Credo yang benar tentang diri Kristus.

Pada tahun 325 Masehi ada sidang gereja di kota Nicea yang melahirkan Nicene Creed (= Pengakuan Iman Nicea), yang meneguh­kan doktrin tentang Allah Tritunggal. Pengakuan iman ini direvisi dalam Sidang Gereja di Constantinople pada tahun 381 Masehi, dan lalu disebut dengan nama Pengakuan Iman Nicea-Constantinople, yang bunyinya adalah sebagai berikut:
“Aku percaya kepada satu Allah Bapa yang mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, dan segala yang kelihatan dan yang tidak kelihatan.
Dan kepada satu Tuhan Yesus Kristus, satu-satunya Anak Allah yang diperanakkan, diperanakkan dari Bapa sebelum alam semesta, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah yang sejati dari Allah yang sejati, diperanakkan, bukan dicipta, sehakekat dengan Sang Bapa, oleh siapa segala sesuatu dicipta;
Yang untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita telah turun dari sorga, dan diinkarnasikan oleh Roh Kudus dari anak dara Maria, dan dijadikan manusia; Ia telah disalibkan, juga bagi kita, di bawah pemerintahan Pontius Pilatus. Ia menderita dan dikuburkan; dan pada hari ketiga Ia bangkit kembali, sesuai dengan Kitab Suci, dan naik ke sorga; dan duduk di sebelah kanan Bapa. dan Ia akan datang kembali dengan kemuliaan untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati; yang kerajaanNya takkan berakhir.
Dan aku percaya kepada Roh Kudus, Tuhan dan Pemberi kehidupan, yang keluar dari Bapa dan Anak, yang bersama-sama dengan Bapa dan Bnak disembah dan dimuliakan, yang telah berfirman dengan perantaraan para nabi.
Dan aku percaya satu gereja yang am dan rasuli, aku mengakui satu baptisan untuk pengampunan dosa, dan aku menantikan kebangkitan orang mati, dan kehidupan di dunia yang akan datang.
Amin”.

Sekalipun dalam Pengakuan Iman ini juga ditegaskan akan keilahian Kristus, dan bahwa Ia telah menjadi manusia, tetapi Pengakuan Iman ini tidak menyatakan apa-apa tentang hubungan antara keilahian dan kemanusiaan Kristus, sehingga akhirnya muncul banyak ajaran sesat dalam Kristologi.

Credo (= pengakuan iman) yang paling penting dalam Kristologi, khususnya dalam persoalan hubungan antara keilahian dan kemanusiaan Yesus, adalah Chalcedonian Creed (= Pengakuan Iman Chalcedon), yang diciptakan dalam sidang gereja di kota Chalcedon pada tahun 451 Masehi.

Chalcedonian Creed:
“We all with one accord teach men to acknowledge one and the same Son, our Lord Jesus Christ, at once complete in Godhead and complete in manhood, truly God and truly man ... one and the same Christ, Son, Lord, only begotten, recognized in two natures, without confusion, without change, without division, without separation ... the characteristics of each nature being preserved and coming together to form one person ...” (= Kami semua, dengan suara bulat, mengajar manusia untuk menga­kui Anak yang satu dan yang sama, Tuhan kita Yesus Kristus, pada saat yang sama sempurna / lengkap dalam keilahian dan sempurna / lengkap dalam kemanusiaan, sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia ... Kristus, Anak, Tuhan yang satu dan yang sama, satu-satunya yang diperanakkan, dikenali dalam 2 hakekat, tanpa kekacauan / percampuran, tanpa perubahan, tanpa perpecahan, tanpa perpisahan ... sifat-sifat setiap hakekat dipertahankan dan bersatu membentuk 1 pribadi ...).

Ada 2 hal yang perlu disoroti dari Chalcedonian Creed ini:

1)   Without confusion / without change (= tanpa kekacauan / percampuran / tanpa perubahan).
Ini menunjukkan bahwa:
·     human nature (= hakekat manusia) dan divine nature (= hakekat ilahi) tetap berbeda, dan mempunyai sifat-sifatnya sendiri-sendiri.
·        human nature (hakekat manusia) tidak menjadi divine (= ilahi), dan sebaliknya divine nature (= hakekat ilahi) tidak menjadi human (= manusia).
·      human nature (= hakekat manusia) dan divine nature (= hakekat ilahi) tidak bercampur dan membentuk nature (= hakekat) yang ke 3.

2)   Without division / without separation (= tanpa perpecahan / tanpa per-pisahan).
Ini menunjukkan bahwa LOGOS tidak pernah terpisah dari human nature (= hakekat manusia).

Catatan:
Kata ‘nature’ oleh banyak orang diterjemahkan ‘sifat’. Tetapi ini jelas merupa-kan terjemahan yang salah! Menurut ‘Webster’s New World Dictionary of the American Language’ (College Edition) kata ‘nature’ mempunyai 10 arti dan yang nomer 1 ada­lah: “The essential character of a thing; quality or qualities  that make something what it is; essence (= Sifat-sifat yang hakiki dari suatu benda; kwalitas yang membuat sesuatu itu dirinya; hakekat).

Dalam Kristologi, saya berpendapat bahwa istilah ‘nature’ itu harus diterjemahkan ‘hakekat’, bukan ‘sifat’!

William G. T. Shedd, seorang ahli Theologia Reformed pada abad 19, me-ngatakan:
“When we  speak of a human nature, a real substance having physical, rational, moral and spiritual properties is meant” (= Pada waktu kita berbicara tentang human nature, maka yang dimaksud adalah suatu zat yang nyata yang memiliki sifat-sifat fisik, rasio, moral dan rohani) - ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol II, hal 289.

Charles Hodge juga mengatakan hal yang serupa, yang terlihat dari bebe-rapa kutipan di bawah ini:

·         “By ‘nature’, in this connection is meant substance. In Greek the correspond-ing words are PHUSIS and OUSIA; in Latin, NATURA and SUBSTANTIA” (= yang dimaksud dengan ‘nature’ dalam persoalan ini adalah zat / bahan / hakekat. Dalam bahasa Yunani kata yang cocok / sama ialah PHUSIS dan OUSIA; dalam Latin NATURA dan SUBSTANTIA) - ‘System­atic Theolo-gy’, vol II, hal 387.

·         “... we are taught that the elements combined in the consti­tution of his person, namely, humanity and divinity, are two distinct natures, or substances (= ... kita diajar bahwa elemen-elemen yang disatukan / digabungkan dalam pem-bentukan pribadiNya, yaitu kemanusiaan dan keilahian, adalah dua natures atau zat / bahan / hakekat yang berbeda) - ‘System­atic Theology’, vol II, hal 388.

·         “... the elements united or combined in his person are two distinct substances, humanity and divinity; that He has in his constitution the same essence or substance which consti­tutes us men, and the same substance which makes God infi­nite, eternal, and immutable in all his perfections” (= elemen-elemen yang disatukan atau digabungkan dalam pribadi­Nya adalah dua zat / bahan / hakekat yang berbeda, kemanu­siaan dan keilahian; sehingga dalam pem-bentukanNya Ia mempunyai hakekat atau zat / bahan yang sama yang membentuk kita menjadi manusia, dan zat / bahan yang sama yang mem-buat Allah itu tidak terbatas, kekal, dan tetap / tidak berubah dalam semua kesempurnaanNya) - ‘System­atic Theology’, vol II, hal 389.

·         “That in his person two natures, the divine and the human, are inseparably united; and the word nature in this connec­tion means substance (= Bahwa dalam pribadiNya dua natures, ilahi dan manusiawi, dipersatukan secara tak terpisahkan; dan dalam hal ini kata nature berarti zat / bahan / hakekat) - ‘System­atic Theology’, vol II, hal 391.


II) Ajaran-ajaran sesat tentang diri Kristus.

1)   Adoptionism.
Dalam buku-buku sejarah maupun Theologia, biasanya Adoption­ism ini tidak dimasukkan dalam perdebatan Kristologi / ajaran-ajaran sesat ten-tang diri Kristus, mungkin karena ajaran ini ada pada abad 3 Masehi, yaitu sebelum ‘musim’ perdebatan / kesesatan tentang Kristologi itu muncul (abad 4-7 Masehi).
Tetapi kalau dilihat ajarannya, maka ini jelas juga termasuk ajaran sesat dalam Kristologi.
Tokohnya yang paling terkenal bernama Paul of Samosata, yang adalah seorang bishop (= uskup) dari Antiokhia.
Ajaran ini mengatakan bahwa Kristus adalah manusia biasa, yang pada saat baptisan (Catatan: ada yang mengatakan bukan pada saat baptisan, tetapi sete­lah kebangkitan Kristus) menerima kuasa ilahi dan diangkat ke suatu posisi ilahi. Jadi, ada perkembangan dalam diri Kristus, dari manu-sia biasa menjadi semacam Allah (bukan betul-betul Allah, tetapi lebih rendah dari Allah).

2)   Apollinarianism.
Ajaran ini mendapatkan namanya dari tokohnya yang bernama Apolli-narius / Apollinaris, yang adalah seorang bishop (= uskup) di kota Lao-dicea, Syria.
Apollinarius ini mempunyai kepercayaan yang disebut Psycho­logical Trichotomy yang mempercayai bahwa manusia itu ter­diri dari tubuh (Yunani: SOMA), jiwa (Yunani: PSUCHE), dan rational spirit / mind (= roh yang rasionil / pikiran; Yunani: PNEUMA atau NOUS).
Dan tentang diri Yesus Kristus, ia berpendapat bahwa Yesus mempunyai tubuh (SOMA) dan jiwa (PSUCHE), tetapi tidak punya rational spirit / roh yang rasionil atau mind / pikiran (PNEUMA atau NOUS), karena pikiranNya adalah dari Logos dan bersifat ilahi. Jadi, Kristus bukan manusia sepenuhnya, karena Ia tidak mempunyai pikiran manusia.
Ajaran ini terlalu menekankan keilahian Kristus sehingga mengorbankan kemanusiaanNya.
Dasar Kitab Suci yang ia pakai adalah Yoh 1:14 yang secara hurufiah berbunyi ‘And the Word became flesh’ (= Dan Firman itu telah menjadi daging). Catatan: anehnya, kalau ia memang menekankan kata ‘daging’ dalam Yoh 1:14 ini, mengapa ia tidak berpendapat bahwa Kristus hanya mempunyai tubuh manu­sia saja? Mengapa ada jiwa?

Ajaran ini ditentang oleh Gregory Nazianzus yang mengatakan bahwa Kristus harus mempunyai semua elemen manusia, karena kalau tidak, Ia tidak bisa menebus elemen tersebut dalam diri kita. Ia juga mengatakan bahwa ‘daging’ dalam Yoh 1:14 itu merupakan suatu synecdoche (= gaya bahasa dimana yang sebagian mewakili seluruhnya) dan menunjuk pada seluruh hakekat manusia (termasuk jiwa / rohnya).
Pada tahun 362 Masehi Sidang gereja di kota Alexandria sudah menen-tang ajaran ini (tanpa menyatakan siapa pengajarnya) dan menyatakan bahwa Kristus mempunyai reasonable soul (= jiwa yang bisa berpikir).
Apolinarius tidak melepaskan diri dari gereja, dan ia mem­bentuk sebuah sekte, sampai tahun 375 Masehi.
Pada tahun 381 Masehi sidang gereja di Constantinople kemba­li menge-cam ajaran ini beserta pengajarnya.

3)   Nestorianism.
Ajaran ini mendapatkan namanya dari nama tokohnya yaitu Nestorius, yang pada tahun 428 Masehi menjadi bishop di kota Con­stantinople.
Ajaran ini mengatakan bahwa Kristus terdiri dari 2 pribadi (yaitu pribadi Allah dan pribadi manusia), tetapi LOGOS menguasai manusia Yesus sepenuhnya sehingga Yesus mengingin­kan, menghendaki dan berbicara seperti Allah. Kristus disem­bah bukan karena Dia adalah Allah, tetapi karena Allah ada di dalam Dia.
Nestorius menentang istilah THEOTOKOS (= Bunda Allah), dan meng-usulkan istilah CHRISTOTOKOS (= Bunda Kristus) untuk Maria, karena ia berpendapat bahwa Maria tidak melahirkan Allah, tetapi hanya melahir-kan ‘tempat’ dimana Allah diam / tinggal.
Ajaran ini dikecam oleh Sidang gereja di kota Efesus pada tahun 431 Masehi, yang sekaligus mempertahankan istilah ‘Bunda Allah’ untuk Ma-ria.

Catatan:
Perlu ditekankan bahwa istilah ‘bunda Allah’ itu dipertahankan oleh sidang gereja di Efesus itu, bukan untuk meninggikan / memuliakan Maria, tetapi untuk menunjuk­kan persatuan yang tidak terpisahkan antara hakekat ilahi dan hakekat manusia dalam diri Kristus. Jadi kalau setelah itu gereja Roma Katolik menggunakan istilah ‘bunda Allah’ itu untuk meninggikan / memuliakan Maria, maka itu adalah sesuatu yang salah, yang sama sekali tidak dimaksudkan oleh sidang gereja di Efesus itu.

4)   Eutychianism.
Ajaran ini mendapat namanya dari tokohnya yang bernama Eutyches [artinya adalah the Fortunate (= si untung / mujur). Para penentangnya mengatakan bahwa ia seharusnya dinamakan Atyches yang berarti the Unfortunate (= si sial)].
Ajaran ini mengatakan bahwa pada saat inkarnasi, divine nature / hakekat ilahi menghisap / menyerap (absorb) human nature / hakekat manusia, sehingga Kristus hanya mempunyai 1 nature / hakekat saja, yaitu divine nature / hakekat ilahi.
Eutyches ini mempunyai teman-teman yang berkuasa sehingga akhirnya dalam Sidang gereja di kota Efesus pada tahun 449 Masehi ada ancaman dan siksaan terhadap para penentangnya, sehingga para penentangnya tidak berani berkata apa-apa. Akhirnya Sidang gereja ini justru membela ajaran sesat ini, dan sidang ini dikenal dengan nama The Council of Robbers (= Sidang gereja perampok).
Baru pada tahun 451 Masehi Sidang gereja di kota Chalcedon mengecam ajaran ini, dan sekaligus menciptakan Chalcedonian Creed (= Pengakuan Iman Chalcedon).

5)   Monophysitism.
Istilah Monophysitism berasal dari kata bahasa Yunani MONO, yang ber-arti ‘alone’ (= sendiri) atau ‘one’ (= satu), dan PHUSIS yang berarti ‘nature / essence’  (= hakekat).
Mereka beranggapan bahwa ajaran tentang adanya 2 natures / hakekat (seperti yang dinyatakan oleh Chalcedonian Creed) dalam diri Kristus tidak bisa tidak akan menyebabkan adanya 2 pribadi dalam diri Kristus, seperti yang diajarkan Nestorianism. Karena itu maka mereka mengajar bahwa Kristus hanya mempunyai 1 nature / hakekat saja, yang bukan divine / ilahi maupun human / manusia, tetapi kedua-duanya (both divine and human).
Ajaran ini dikecam oleh Sidang gereja di Constantinople pada tahun 553 Masehi.

6)   Monothelitism.
Ajaran ini mengatakan bahwa Kristus mempunyai 2 natures / hakekat, yaitu divine / ilahi dan human / manusia, tetapi hanya 1 kehendak (Yunani: THELEMA) yang adalah divine - human / ilahi - manusia (cam-puran).
Ajaran ini dikecam oleh Sidang gereja di kota Constantinople pada tahun 680 / 681 Masehi.

Bahwa dalam Kristologi ada begitu banyak ajaran sesat yang muncul, menunjukkan betapa pentingnya pengertian tentang Kristologi ini. Kalau ini bukan sesuatu yang penting untuk iman kita, setan tidak akan menyerangnya dengan menggunakan begitu banyak ajaran sesat.
Kalau kita melihat dalam scope / ruang lingkup yang lebih luas, maka kita bisa melihat bahwa dalam dunia ini agama yang mempunyai paling banyak aliran (baik yang termasuk aliran yang benar maupun yang sesat), adalah agama kristen. Semua agama yang lain hanya mempunyai sedikit / beberapa aliran saja, tetapi kristen mempunyai puluhan atau mungkin ratusan aliran. Orang sering meninjau hal ini secara negatif dengan menganggap ini sebagai hal yang jelek. Tetapi sebetulnya hal ini bisa ditinjau secara positif, yaitu dengan menyadari bahwa setan tentu paling senang untuk menyerang ajaran yang benar / membawa keselamatan. Kalau suatu ajaran / agama adalah salah / tidak membawa keselamatan, untuk apa setan menyerang­nya lagi?
Karena itu, adanya banyak aliran dan penyesatan dalam kekristenan seharusnya justru membuat kita makin sung­guh-sungguh dalam meng-ikut Kristus, dan adanya banyak ajaran sesat dalam Kristologi seharus-nya membuat kita makin sungguh-sungguh dalam belajar Kristologi!






PELAJARAN II

CHRIST: THE GOD-MAN


I) Kristus adalah sungguh-sungguh Allah.

Bukti-bukti keilahian Kristus:

1)   Kitab Suci secara explicit mengatakan demikian (Yes 9:5  Yoh 1:1  Ro 9:5  Fil 2:5b-7  Titus 2:13  Ibr 1:8  2Pet 1:1  1Yoh 5:20).
Beberapa dari ayat-ayat ini saya jelaskan di bawah ini:

a)         Yoh 1:1.
Kata ‘Firman’ (bahasa Yunani: LOGOS) di sini jelas menunjuk kepada Yesus. Ini terlihat dari Yoh 1:14a yang mengatakan bahwa ‘Firman itu telah menjadi manusia’ dan dari Yoh 1:14b yang menyebutNya seba-gai ‘Anak Tunggal Allah’.
Dan Yoh 1:1 ini secara explicit mengatakan bahwa Firman / Yesus itu adalah Allah.
Tetapi orang-orang Saksi Yehovah mengatakan bahwa kata ‘God / Allah’ yang ditujukan kepada Yesus dalam Yoh 1:1 ini dalam bahasa Yunaninya tidak mempunyai definite article / kata sandang (Inggris: ‘the’) dan karena itu harus diartikan bahwa Yesus adalah ‘allah kecil’ yang lebih rendah dari YEHOVAH, yang adalah Allah yang sesung-guhnya.
Terhadap penafsiran orang-orang Saksi Yehovah ini perlu kita tunjukkan bahwa dalam Tit 2:13 dan Ibr 1:8 kata ‘Allah’ yang ditujukan kepada Yesus dalam bahasa Yunaninya menggunakan definite article / kata sandang.

b)   Tit 2:13 (NIV): ‘while we wait for the blessed hope  - the glorious appearing of our great God and Savior, Jesus Christ’ (= sementara kita menantikan pengharapan yang mulia - penampilan yang mulia dari Allah kita yang besar dan Juruselamat kita, Yesus Kristus).
Jadi terlihat dengan jelas bahwa di sini Yesus Kristus disebut dengan sebutan ‘our great God and Savior’ (= Allah kita yang besar dan Juruselamat kita).

c)   Fil 2:6-7 berbunyi sebagai berikut:
“... Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia”.

Sebetulnya istilah ‘dalam rupa Allah’ dan ‘kesetaraan dengan Allah’ sudah secara jelas menunjukkan bahwa Yesus adalah Allah. Tetapi di sini saya akan menjelaskan hal-hal lain sehingga ayat ini menjadi dasar yang lebih kuat lagi bagi keilahian Kristus.

·         Kata-kata ‘walaupun dalam rupa Allah’ dalam Fil 2:6 di­terjemahkan ‘being in the form of God’ oleh KJV.
Kata ‘being’ itu dalam bahasa Yunani adalah HUPARCHON dan ini menggambarkan seseorang sebagaimana adanya secara hakiki dan hal itu tak bisa berubah (‘It describes that which a man is in his very essence and which cannot be changed’ ).
Ketidak-bisa-berubahan ini ditunjukkan oleh bentuk present parti-ciple dari kata HUPARCHON ini. Ini aneh dan kontras sekali de-ngan penggunaan bentuk-bentuk aorist (= past / lampau) pada kata-kata setelahnya, dan bentuk present participle ini menunjuk pada ‘continuance of being’ (= keberadaan yang terus-menerus). Karena itu, kalau dikatakan bahwa Yesus itu ‘being in the form of God’, maka itu berarti bahwa Yesus adalah Allah secara terus-menerus dan hal ini tidak bisa berubah.
Allah memang mempunyai sifat tidak bisa berubah (Mal 3:6  Maz 102:26-28  Yak 1:17), karena kalau Ia bisa berubah, itu menunjuk-kan bahwa Ia tidak sempurna!

·         Juga kalau ay 7 yang mengatakan ‘mengambil rupa seorang ham-ba’ diartikan bahwa Yesus betul-betul menjadi manusia, maka konsekwensinya, ay 6 yang mengatakan bahwa Yesus ada ‘dalam rupa Allah’ haruslah diartikan bahwa Yesus betul-betul adalah Allah.

·         Disamping itu kata ‘rupa’ dalam ay 6 itu (KJV: form) dalam bahasa Yunaninya adalah MORPHE, dan seorang penafsir mengatakan bahwa kata MORPHE ini adalah ‘not a mere exter­nal resemblance, but a deep, real, inner conformity’ (= bukan semata-mata suatu kemiripan lahiriah / luar, tetapi suatu persesuaian / kecocokan di dalam yang mendalam dan sungguh-sungguh). Dari sini kita harus menyimpulkan bahwa Yesus bukan hanya mirip dengan Allah atau menyerupai Allah, tetapi betul-betul adalah Allah.

d)    2Pet 1:1 (NASB): “... by the righteousness of our God and Savior, Jesus Christ” (= ... oleh kebenaran Allah dan Jurusela­mat kita, Yesus Kristus).
Jadi ayat ini menyebut Yesus dengan sebutan ‘Allah dan Juruselamat kita’.

2)   Kitab Suci memberikan nama-nama ilahi untuk Yesus (Yes 9:5  Yer 23:5-6  Mat 1:23  2Tim 1:10  Ibr 1:8,10).

a)   Yes 9:5 jelas merupakan suatu nubuat tentang Kristus, dan dalam ayat itu Ia disebut sebagai ‘Allah yang perkasa’ (Ibrani: EL GIBOR).
Tetapi orang-orang Saksi Yehovah justru menyerang keilahian Kristus menggunakan ayat ini dengan berkata bahwa Kristus hanya disebut sebagai ‘Allah yang perkasa’, sedangkan YAHWEH / YEHOVAH disebut sebagai ‘Allah yang mahakuasa’ (Ibrani: EL SHADDAI) seperti dalam Kel 17:1.
Untuk menjawab serangan ini kita bisa melihat Yes 10:21 yang me-nyebut Allah / YAHWEH / YEHOVAH dengan sebutan ‘Allah yang per-kasa’. Dalam bahasa Ibraninya digunakan istilah yang persis sama dengan dalam Yes 9:5 yaitu EL GIBOR.

b)   Yer 23:5-6 juga jelas merupakan nubuat tentang Kristus, dan dalam ayat-ayat itu Kristus disebut sebagai ‘TUHAN keadilan’, dimana kata ‘TUHAN’ semua hurufnya ditulis dengan huruf besar. Ini menunjukkan bahwa dalam bahasa Ibraninya digunakan kata ‘YAHWEH’ / ‘YEHOVAH’.

Ini adalah ayat-ayat yang sangat penting dalam menghadapi orang-orang Saksi Yehovah karena dalam ayat-ayat ini Yesus Kristus disebut dengan sebutan YAHWEH / YEHOVAH.

Perlu diketahui bahwa dalam Kitab Suci sebutan ‘ADONAI’ (= Tuhan / Lord - hanya huruf pertama yang menggunakan huruf besar) bisa digunakan untuk seseorang yang bukan Allah (Misalnya dalam Yes 21:8). Demikian juga dengan sebutan ‘ELOHIM’ [= Allah / God(s)], atau sebutan THEOS (bahasa Yunani), bisa digunakan untuk menun-juk kepada dewa dan bahkan manusia (Misalnya: Kel 4:16  Kel 7:1  Kel 12:12  Kel 20:3,23  Hak 16:23-24  1Raja 18:27  Maz 82:1,6  Kis 28:6).

Tetapi sebutan YAHWEH / YEHOVAH (= TUHAN / LORD) tidak per-nah digunakan untuk siapapun selain Allah, karena YAHWEH adalah nama Allah (Kel 3:15  Yes 42:8)!

Maz 83:19 - “supaya mereka tahu bahwa Engkau sajalah yang bernama TUHAN, Yang Mahatinggi atas seluruh bumi”.
NIV menterjemahkan secara berbeda.
NIV: Let them know that you, whose name is the LORD - that you alone are the Most High over all the earth (= Biarlah mereka mengetahui bahwa Engkau, yang namaNya adalah TUHAN - bahwa Engkau saja adalah Yang Maha Tinggi atas seluruh bumi).
Tetapi KJV/RSV/NASB menterjemahkan seperti Kitab Suci Indonesia.
KJV: ‘That men may know that thou, whose name alone is JEHOVAH, art the most high over all the earth’ (= Supaya manusia bisa mengetahui bahwa Engkau sendiri yang namaNya adalah Yehovah, adalah yang maha tinggi atas seluruh bumi).
RSV: ‘Let them know that thou alone, whose name is the LORD, art the Most High over all the earth’ (= Biarlah mereka mengetahui bahwa Engkau saja, yang namanya adalah TUHAN, adalah Yang Maha Tinggi atas seluruh bumi).
NASB: That they may know that Thou alone, whose name is the LORD, Art the Most High over all the earth (= Supaya mereka bisa mengetahui bahwa Engkau saja, yang namanya adalah TUHAN, adalah Yang Maha Tinggi atas seluruh bumi).

Karena itu, kalau Yesus disebut dengan istilah YAHWEH / YEHOVAH, itu jelas menunjukkan bahwa Yesus adalah Allah sendiri.

c)   Dalam Mat 1:23 Yesus disebut dengan istilah ‘Immanuel’, yang artinya adalah God with us (= Allah dengan kita).

d)   Dalam Perjanjian Lama, sebutan ‘Juruselamat’ dan ‘Penebus’ / ‘Peno-long’ ditujukan kepada Allah (Yes 43:3,11  Yes 45:15  Yer 14:8  Hos 13:4), tetapi dalam Perjanjian Baru, sebutan itu ditujukan kepada Yesus (2Tim 1:10  Tit 1:4  Tit 2:13  Tit 3:6  2Pet 1:11  2Pet 2:20  2Pet 3:18).

e)   Dalam Ibr 1:8,10 Allah menyebut Yesus / Anak dengan sebutan ‘Allah’ dan ‘Tuhan’.

3)   Kitab Suci menunjukkan bahwa Yesus mempunyai sifat-sifat ilahi seperti:

a)   Kekal (Mikha 5:1b  Yoh 1:1  Yoh 8:58  Yoh 10:10  Yoh 17:5  Ibr 1:11-12  Wah 1:8,17-18  Wah 22:13).

·         Mikha 5:1b, yang jelas merupakan suatu nubuat tentang Kristus, mengatakan ‘yang permulaannya sudah sejak purba­kala, sejak dahulu kala’.

·         Yoh 1:1 mengatakan bahwa Firman / Yesus itu sudah ada ‘pada mulanya’.

·         Yoh 8:58 mengatakan bahwa Yesus sudah ada sebelum Abraham, padahal Abraham hidup lebih dari 2000 tahun sebelum Kris­tus lahir.

·         Yoh 10:10, dan banyak ayat Kitab Suci yang lain, mengata­kan bahwa Yesus ‘datang’. Ini menunjuk pada saat kelahiran Yesus. Tidak dikatakan ‘dilahirkan’ tetapi ‘datang’, karena ‘datang’ menun-jukkan bahwa Ia sudah ada sebelum saat itu.

·         Yoh 17:5 mengatakan bahwa Yesus memiliki kemuliaan di hadap-an hadirat Allah sebelum dunia ada.

·         Ibr 1:11-12.
Perhatikan kata-kata ‘semuanya itu akan binasa, tetapi Engkau tetap ada. ... tetapi Engkau tetap sama, dan tahun-tahunMu tidak berke-sudahan’.
Bahwa bagian ini menunjuk kepada Yesus adalah sesuatu yang jelas, karena Ibr 1:10-12 merupakan sambungan dari Ibr 1:8-9 (di-hubungkan oleh kata ‘dan’ pada awal Ibr 1:10), dan Ibr 1:8 berkata ‘tentang Anak’.

·         Wah 1:8 dan Wah 22:13 menyebut Yesus sebagai Alfa dan Omega (huruf pertama dan terakhir dalam abjad Yunani), dan Wah 1:17 dan Wah 22:13 mengatakan bahwa Ia adalah ‘Yang Awal dan Yang Akhir’, dan Wah 22:13 juga mengatakan bahwa Yesus adalah ‘Yang pertama dan Yang terkemudian’, dan semua ini jelas menunjukkan bahwa Ia ada dari selama-lamanya sampai selama-lamanya. Lalu Wah 1:18 mengatakan bahwa Ia hidup sam-pai selama-lamanya.

b)   Suci / tak berdosa (2Kor 5:21  Ibr 4:15).

c)   Mahakuasa.
Mujijat-mujijat yang Ia lakukan, seperti membangkitkan orang mati, menyembuhkan orang sakit, memberi makan 5000 orang lebih dengan 5 roti dan 2 ikan, menenangkan badai, mengubah air menjadi anggur, berjalan di atas air, mengusir setan, dsb, menunjukkan kemaha-kua-saanNya.
Memang nabi-nabi dan rasul-rasul tertentu juga melakukan banyak mujijat, tetapi ada beberapa perbedaan:
·       Tidak ada nabi / rasul yang bisa melakukan mujijat sesuai kehen-daknya sendiri, tetapi Kristus bisa (Yoh 5:21).
·    Nabi melakukan mujijat bukan dengan kuasanya sendiri tetapi de-ngan kuasa Allah, sedangkan rasul juga demikian karena mereka melakukan mujijat dengan menggunakan nama Yesus. Tetapi Ye-sus melakukan mujijat dengan kuasaNya sendiri (bdk. Yoh 10:18), dan Ia tidak pernah menggunakan nama orang lain untuk melaku-kan mujijat.
·         Tidak ada seorangpun pernah melakukan mujijat sebanyak / sehe-bat yang Yesus lakukan (Yoh 15:24).

d)  Mahatahu (Mat 9:4  Mat 12:25  Yoh 2:24-25  Yoh 6:64).

e)  Mahaada.

·       Ini terlihat dari Yoh 1, yang mula-mula menyatakan bahwa Firman / Yesus itu pada mulanya bersama-sama dengan Allah (Yoh 1:1), tetapi lalu menunjukkan bahwa Firman / Yesus itu lalu menjadi manusia dan diam di antara kita (Yoh 1:14). Tetapi anehnya Yoh 1:18 mengatakan bahwa Firman / Yesus itu masih ada di pang-kuan Bapa (Yoh 1:18 NIV: “... but God the only Son, who is at the Father’s side ...”).
Catatan: kata ‘pangkuan’ sebetulnya salah terjemahan. NASB: ‘bosom’ (= dada).

·    Kemahaadaan Yesus juga jelas terlihat dari janji yang Ia berikan dalam Mat 18:20 dan Mat 28:20b. Dengan adanya janji seperti itu, kalau Ia tidak mahaada, maka Ia pasti adalah seorang pendusta!

f)  Tidak berubah (Ibr 13:8).

4)   Kitab Suci menunjukkan bahwa Yesus melakukan pekerjaan-peker­jaan ilahi seperti:

a)   Penciptaan (Yoh 1:3,10  Kol 1:16  Ibr 1:2,10).

b)   Pengampunan dosa (Mat 9:2-7).

c)   Penghancuran segala sesuatu (Ibr 1:10-12).

d)   Pembaharuan segala sesuatu (Fil 3:21  Wah 21:5).

e)   Penghakiman pada akhir jaman (Mat 25:31-32  Yoh 5:22,27).
Bahwa Yesus akan menjadi Hakim pada akhir jaman, menunjuk­kan bahwa Ia juga adalah Allah sendiri. Mengapa?

·     Jumlah manusia yang pernah hidup dalam dunia ini sejak jaman Adam dan Hawa sampai kedatangan Kristus yang kedua-kalinya adalah begitu banyak.
Kalau Kristus bukanlah Allah sendiri, bagaimana mungkin Ia bisa menghakimi begitu banyak manusia itu dengan adil?

·    Karena ada begitu banyaknya faktor yang harus dipertim­bangkan dalam menjatuhkan hukuman kepada orang-orang berdosa (ingat bahwa neraka bukanlah semacam ‘masyarakat komunis’ dimana hukuman semua orang sama), seperti:

*        banyaknya dosa yang dilakukan seseorang. Orang yang dosa-nya sedikit tentu tidak bisa disamakan hukumannya dengan orang yang dosanya banyak.

*        tingkat dosanya.
Misalnya, dosa membunuh dan mencuri tentu tidak sama hu-kumannya (bdk. Kel 21:12  dan Kel 22:1).

*        tingkat pengetahuannya.
Makin banyak pengetahuan Firman Tuhan yang dimiliki sese-orang, makin berat hukumannya kalau ia berbuat dosa (Luk 12:47-48).

*        kesengajaannya.
Dosa sengaja dan tidak sengaja tentu juga berbeda hukum-annya (Kel 21:12-14).

*        pengaruh dosa yang ditimbulkan.
Kalau seseorang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam gereja berbuat dosa, maka pengaruh negatif yang ditim­bulkan akan lebih besar dari pada kalau orang kristen biasa berbuat dosa. Dan karena itu hukumannya juga lebih berat. Hal ini bisa terlihat dari kata-kata Yesus yang menunjukkan bahwa para ahli Taurat pasti akan menerima hukuman yang lebih berat (Mark 12:40b  Luk 20:47b).

*        apa yang menyebabkan seseorang berbuat dosa.
Seseorang yang mencuri tanpa ada pencobaan yang terlalu berarti tentu lebih berat dosanya dari pada orang yang mencuri karena membutuhkan uang untuk mengobati anaknya yang hampir mati. Hal ini bisa terlihat dari ayat-ayat Kitab Suci yang mengecam orang-orang yang melakukan dosa tanpa sebab / alasan, seperti dalam Maz 35:19  Maz 69:5  Maz 119:78,86. Juga dari ayat-ayat Kitab Suci yang mengecam orang yang mencintai / mencari dosa, seperti Maz 4:3.

·     Demikian juga pada saat mau memberi pahala kepada orang-orang yang benar, pasti ada banyak hal yang harus diper­timbang-kan, seperti:
*        banyaknya perbuatan baik yang dilakukan.
*        jenis perbuatan baik yang dilakukan.
*        besarnya pengorbanan pada waktu melakukan perbuatan baik. Yesus berkata bahwa janda yang memberi 2 peser memberi lebih banyak dari semua orang kaya yang memberi persem-bahan besar, karena janda itu memberikan seluruh nafkahnya (Luk 21:1-4).
*        motivasinya dalam melakukan perbuatan baik itu, dsb.

Untuk bisa melakukan semua hal-hal di atas ini dengan benar / adil, maka Hakim itu haruslah seseorang yang maha tahu, maha bijaksana dan maha adil, dan karena itu Ia harus adalah Allah sendiri!

Charles Hodge: “As Christ is to be the judge, as all men are to appear before him, as the secrets of the hearts are to be the grounds of judgment, it is obvious that the sacred writers believed Christ to be a divine person, for nothing less than omniscience could qualify any one for the office here ascribed to our Lord” (= Karena Kristus akan menjadi Hakim, karena semua orang akan menghadap di hadapanNya, karena rahasia dari hati adalah dasar penghakiman, jelaslah bahwa penulis-penulis sakral / kudus percaya bahwa Kristus adalah Pribadi ilahi, karena hanya kemaha-tahuan yang bisa memenuhi syarat bagi siapapun untuk jabatan / tugas yang di sini dianggap sebagai milik Tuhan kita) - ‘I & II Corinthians’, hal 501.

Karena itu adalah sesuatu yang aneh kalau ada orang-orang yang percaya bahwa Yesus akan menjadi Hakim pada akhir jaman, tetapi tidak mempercayai bahwa Yesus adalah Allah sendiri!

5)   Kitab Suci memberikan kehormatan ilahi kepada Yesus seperti:
a)   Penghormatan (Yoh 5:23).
b)   Kepercayaan (Yoh 14:1).
c)   Pengharapan (1Kor 15:19).
d)   Penyejajaran namaNya dengan pribadi-pribadi lain dari Allah Tri-tunggal (Mat 28:19  2Kor 13:13).

6)   KesatuanNya dengan Bapa seperti yang dinyatakan oleh ayat-ayat se-perti Yoh 10:30  dan Yoh 14:7-11, jelas menunjukkan keilahian Yesus.
Penafsiran Saksi Yehovah, yang mengatakan bahwa ayat-ayat ini hanya memaksudkan kesatuan pikiran atau tujuan, merupakan penafsiran yang tidak sesuai dengan kontex, karena kalau kita lihat Yoh 10:31 terlihat bahwa orang-orang Yahudi itu lalu mau merajam Yesus dengan batu. Mengapa? Jelas karena mereka mengerti bahwa maksud Yesus bu-kannya menyatakan kesatuan pikiran / tujuan, tetapi kesatuan hakekat. Ini mereka anggap sebagai penghujatan terhadap Allah, dan karenanya mereka mau merajam Yesus. Ini terlihat dengan lebih jelas dari Yoh 10:33 dimana mereka mengatakan: “Bukan karena suatu pekerjaan baik maka kami mau melempari Engkau, melainkan karena Engkau menghujat Allah dan karena Engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan diriMu dengan Allah”.

Dalam tafsirannya tentang Yoh 17:10 (dan segala milikKu adalah milikMu dan milikMu adalah milikKu), Calvin memberikan suatu penerapan yang indah tentang kesatuan Bapa dan Anak dalam hidup / iman kita.
Calvin: “All these things are spoken for the confirmation of our faith. We must not seek salvation anywhere else than in Christ. But we shall not be satisfied with having Christ, if we do not know that we possess God in him. We must therefore believe that there is such unity between The Father and the Son as makes it impossible that they shall have anything separate from each other” (= Semua hal-hal ini dikatakan untuk meneguhkan iman kita. Kita tidak boleh mencari keselamatan di tempat lain manapun juga selain di dalam Kristus. Tetapi kita tidak akan puas dengan memiliki Kristus, jika kita tidak mengetahui bahwa kita memiliki Allah dalam Dia. Karena itu kita harus percaya bahwa ada suatu kesatuan sedemikian rupa antara Bapa dan Anak sehingga membuatnya mustahil bahwa yang satu mempunyai apapun terpisah dari yang lainnya) - hal 174.

7)   Yesus sendiri mengakui bahwa Ia adalah Allah / Anak Allah (Yoh 5:23  Yoh 10:30  Yoh 14:7-10  Yoh 15:23  Mat 26:63-64).

Catatan:

Pengakuan Yesus sebagai Anak Allah, tidak perlu dan tidak boleh dibedakan dengan pengakuan sebagai Allah.

Untuk itu lihat Yoh 5:18 yang berbunyi: “Sebab itu orang-orang Yahudi lebih berusaha lagi untuk membunuhNya, bukan saja karena Ia meniadakan hari Sabat, tetapi juga karena Ia mengatakan bahwa Allah adalah BapaNya sendiri dan dengan demikian menyamakan diriNya dengan Allah.

Memang kalau seseorang mengaku bahwa dirinya adalah Allah / Anak Allah, itu tidak / belum berarti bahwa ia memang betul-betul adalah Allah. Bisa saja bahwa ia adalah seorang pendus­ta. Tetapi Yesus bukan hanya mengaku bahwa diriNya adalah Allah / Anak Allah, tetapi Ia juga rela mati demi pengakuan tersebut!

Ada seorang penulis buku yang menggunakan hal ini untuk membuktikan keilahian Yesus dengan cara sebagai berikut:


            

 Keterangan:
Yesus mengaku sebagai Allah / Anak Allah, dan Ia mau mati untuk pengakuan itu.
Ada 2 kemungkinan tentang pengakuan itu, yaitu: TIDAK BENAR atau BENAR.
Kalau pengakuan itu TIDAK BENAR, maka ada 2 kemungkinan lagi yaitu: Yesus TAHU bahwa pengakuanNya tidak benar, atau Yesus TIDAK TAHU bahwa pengakuanNya tidak benar.
Kalau Yesus tahu bahwa pengakuannya tidak benar, maka Ia pasti adalah seorang PENDUSTA, bahkan ORANG TOLOL (karena Ia mau mati untuk suatu dusta).
Kalau Yesus tidak tahu bahwa pengakuanNya tidak benar, maka Ia pasti adalah ORANG GILA, karena hanya orang gila yang tidak mengerti apa yang Ia sendiri katakan.
Kalau pengakuan Yesus tersebut adalah BENAR, maka Yesus adalah ALLAH / ANAK ALLAH.

Jadi sekarang, hanya ada beberapa pilihan untuk saudara:
(1) Yesus adalah pendusta / orang tolol.
(2) Yesus adalah orang gila.
(3) Yesus betul-betul adalah Allah / Anak Allah.
Yang mana yang menjadi pilihan saudara?

C.S. Lewis berkata: “A man who was merely a man and said the sort of things Jesus said wouldn’t be a great moral teacher. He’d either be a lunatic ... or else he’d be the Devil of Hell. You must make your choice. Either this man was, and is, the Son of God, or else a madman or something worse” (= seseorang yang adalah semata-mata seorang manusia dan mengucapkan hal-hal seperti yang Yesus katakan, bukanlah seorang guru moral yang agung. Atau ia adalah seorang gila ... atau ia adalah Iblis dari Neraka. Kamu harus menentukan pilihanmu. Atau orang ini adalah Allah, baik dulu maupun sekarang, atau ia adalah orang gila atau sesuatu yang lebih jelek lagi).

Banyak orang yang mempercayai Yesus hanya sebagai nabi, orang yang baik / saleh, dsb, tetapi mereka tidak mempercayai bahwa Yesus adalah Allah. Tetapi penjelasan di atas ini menunjukkan bahwa tidak ada kemungkinan bahwa Ia adalah nabi atau orang baik. Atau Ia adalah Allah sendiri, atau Ia adalah orang yang sangat brengsek!

8)   Setan mengakui bahwa Yesus adalah Allah / Anak Allah dan setan tunduk kepada Yesus (Mat 8:28-32).

9)   Kitab Suci memerintahkan penyembahan terhadap Yesus.
Dalam Ibr 1:6 Allah sendiri berkata bahwa malaikat-malaikat harus me-nyembah Anak / Yesus.
Yesus sendiri mau disembah dan disebut Tuhan / Allah (Mat 14:33  Mat 28:9,17  Yoh 9:38  Yoh 20:28), padahal Yesus sendiri berkata bahwa kita hanya boleh menyembah Allah (Mat 4:10).
Perhatikan juga bahwa:
·         rasul-rasul menolak sembah (Kis 10:25-26  Kis 14:14-18).
·         malaikatpun menolak sembah, dan berusaha mengalihkan sembah itu kepada Allah (Wah 19:10  Wah 22:8-9).
·         Herodes dihukum mati oleh Tuhan karena menerima penghormatan ilahi (Kis 12:20-23).

Karena itu, kalau Yesus menerima sembah, dan bahkan menerima sebutan Tuhan / Allah bagi diriNya, maka hanya ada 2 pilihan: atau Dia adalah orang yang kurang ajar / nabi palsu, atau Dia adalah Allah sendiri! Yang mana yang saudara pilih?


II) Kristus adalah sungguh-sungguh manusia.

Bukti-bukti kemanusiaan Kristus:

1)   Ia disebut ‘orang / seorang manusia’ (Yoh 8:40  Kis 2:22  Ro 5:15  1Kor 15:21).

2)   Ia menyebut diriNya sendiri ‘Anak Manusia’ (Mat 24:44).

3)   Kitab Suci mengatakan bahwa Ia telah menjadi manusia / daging (Yoh 1:14  1Tim 3:16  Ibr 2:14  1Yoh 4:2).
Semua ayat-ayat ini sebetulnya terjemahan hurufiahnya meng­gunakan kata ‘daging’.  Ini merupakan suatu synecdoche (= gaya bahasa dimana yang sebagian mewakili seluruhnya), dan karena itu kata ‘daging’ ini bu-kan hanya menunjuk pada daging / tubuh manusia, tetapi pada seluruh manusia. Dengan demikian ayat-ayat tersebut tidak boleh diartikan bah-wa Kristus hanya mempunyai tubuh manusia tetapi tidak mempunyai jiwa / roh manusia.

4)   Kitab Suci menggambarkan Kristus sebagai seseorang yang:

a)  Mempunyai tubuh (darah, daging, dan tulang) dan jiwa / roh.

·   Bahwa Kristus betul-betul mempunyai tubuh (darah, daging, tu-lang) ditunjukkan oleh ayat-ayat seperti Mat 26:26,28  Luk 24:39  Ibr 2:14.

·         Bahwa Kristus mempunyai jiwa / roh ditunjukkan oleh:
*        ayat-ayat seperti Mat 26:38  Mat 27:50  Luk 23:46  Yoh 11:33  Yoh 12:27  Yoh 13:21  1Yoh 3:16.
Dalam Mat 26:38 kata ‘hati’ seharusnya adalah ‘jiwa’ (bahasa Yunani: PSUCHE).
Dalam Mat 27:50 dan Luk 23:46, kata ‘nyawa’ seharusnya adalah ‘roh’ (bahasa Yunani: PNEUMA).
Dalam Yoh 11:33 kata ‘hati’ seharusnya adalah ‘roh’.
Dalam Yoh 12:27 Kitab Suci Indonesia memberikan terje­mahan yang benar, yaitu ‘jiwaKu’.
Dalam Yoh 13:21 terjemahan hurufiahnya adalah: ‘was troubled in spirit’ (= terganggu / susah dalam roh).
Dalam 1Yoh 3:16 kata ‘nyawa’ seharusnya adalah ‘jiwa’.
*   adanya pikiran manusia (Mat 24:36  Luk 2:40,52), pera­saan manusia (Mat 8:10  Mat 9:36  Mat 26:37,38  Mark 3:5  Mark 6:6  Luk 7:9  Yoh 11:33,35  Yoh 12:27), dan kehendak manusia (Mat 26:39). Ini semua jelas menunjuk­kan adanya jiwa / roh manusia.

b)  Mengalami pertumbuhan / perkembangan (Luk 2:40,52).

c) Mengalami segala sesuatu yang dialami oleh manusia-manusia yang lain (kecuali dalam hal melakukan dosa), seperti: lahir (Luk 2:7), lapar (Mat 4:2), haus (Yoh 4:7  Yoh 19:28), letih (Yoh 4:6), tidur (Mat 8:24), penderitaan (Ibr 2:10,18  Ibr 5:8), dan mati (Yoh 19:30).

5)   Ayat-ayat seperti Ro 8:3  Fil 2:7-8  Ibr 2:14-17 jelas menunjukkan bahwa Yesus sungguh-sungguh adalah manusia.

Calvin (tentang Ro 8:3): But he says, that he came ‘in the likeness of the flesh of sin;’ for though the flesh of Christ was polluted by no stains, yet it seemed apparently to be sinful, inasmuch as it sustained the punishment due to our sins, and doubtless death exercised all its power over it as though it was subject to itself (= Tetapi ia berkata bahwa Ia datang dalam kemiripan dari daging dari dosa; karena sekalipun daging Kristus tidak dikotori dengan kotoran / noda, tetapi itu kelihatannya berdosa, karena itu menderita hukuman yang disebabkan karena dosa kita, dan tak diragukan kematian menjalankan semua kuasanya atasnya seakan-akan itu tunduk kepadanya).


Keberatan terhadap kemanusiaan Yesus dan jawabannya:

1)   Ada orang yang mengatakan bahwa kalau Yesus adalah manusia yang suci, maka sebetulnya Ia bukan manusia, karena semua manusia ber-dosa. Untuk ini perlu diketahui bahwa dosa tidak termasuk dalam hakekat manusia. Sebelum jatuh ke dalam dosa, Adam dan Hawa sudah adalah manusia!

2)   Ada juga yang mengatakan bahwa Yesus bukanlah manusia yang sama seperti kita karena dalam pembuahannya tidak digunakan air mani laki-laki. Untuk menjawab serangan ini, kita bisa menunjuk pada Adam dan Hawa, yang dalam pembentukannya juga tidak menggunakan air mani laki-laki. Bahkan boleh dikatakan bahwa dalam pembentukan mereka tidak ada pembuahan apapun. Tetapi mereka tetap adalah manusia sungguh-sungguh, sama seperti kita.

Seseorang pernah berkata bahwa Allah bisa dan pernah mencipta manusia dengan 4 cara:
a)   Tanpa menggunakan laki-laki ataupun perempuan - yaitu pada waktu Ia menciptakan Adam.
b)  Tanpa menggunakan perempuan, tetapi menggunakan laki-laki - yaitu pada waktu Ia menciptakan Hawa.
c) Tanpa menggunakan laki-laki, tetapi menggunakan perempuan - yaitu pada waktu Ia menciptakan manusia Yesus.
d) Dengan menggunakan laki-laki dan perempuan - yaitu pada waktu Ia menciptakan semua manusia selain Adam, Hawa, dan manusia Yesus.

Jadi kesimpulannya adalah: bahwa ‘manusia Yesus’ diciptakan oleh Allah hanya dengan menggunakan seorang perempuan, tidak menyebabkan Ia bukanlah manusia yang sejati.

Catatan:

Sesuatu yang penting sekali untuk diwaspadai / diperhatikan adalah: Ada banyak ayat yang menunjukkan keilahian Kristus, dan ada banyak ayat yang menunjukkan kemanusiaan Kristus. Kita tidak boleh menggunakan ayat-ayat yang menunjukkan keilahian Kristus untuk membuktikan bahwa Ia bukanlah manusia, dan kita juga tidak boleh menggunakan ayat-ayat yang menunjukkan kema­nusiaan Kristus untuk membuktikan bahwa Ia bukanlah Allah!

Orang-orang Saksi Yehovah sering melakukan kesalahan ini dimana mereka menggunakan ayat-ayat yang menunjukkan kemanusiaan Kristus untuk membuktikan bahwa Kris­tus bukanlah Allah.
Misalnya:
·         Mat 24:36 yang menunjukkan pikiran manusia yang terbatas dalam diri Yesus, dipakai sebagai bukti bahwa Yesus bukanlah Allah.
·         Yoh 14:28 yang jelas juga menekankan Yesus sebagai manusia (pikiran manusialah yang saat itu timbul) dipakai untuk membuktikan bahwa Yesus bukanlah Allah, atau bahwa Yesus lebih rendah dari pada Allah.
·         Ibr 5:8 yang mengatakan bahwa Yesus ‘telah belajar menjadi taat dari apa yang telah dideritaNya’, yang jelas juga menunjukkan Yesus sebagai manusia, dipakai untuk menunjukkan bahwa Yesus bukanlah Allah, karena Allah tak perlu belajar.
·         Mat 4:1-11 yang menunjukkan bahwa Yesus dicobai, dipakai sebagai dasar untuk mengatakan bahwa Yesus bukanlah Allah, karena Allah tidak bisa dicobai (bdk. Yak 1:13).
·         Ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Yesus berdoa, juga mereka pakai untuk membuktikan bahwa Ia bukanlah Allah, karena Allah tidak perlu berdoa.

Illustrasi:
Saya adalah seorang pendeta, tetapi pada saat yang sama saya juga adalah seorang olahragawan. Kadang-kadang saya memakai toga dan memimpin Perjamuan Kudus, sehingga saya terlihat sebagai pendeta. Tetapi kadang-kadang saya memakai celana pendek, kaos, dan sepatu olah raga, sehingga saya terlihat sebagai olahragawan. Tidak ada orang yang pada waktu me-lihat saya memakai toga, menganggap itu sebagai bukti bahwa saya bukan olahragawan, dan sebaliknya, pada waktu melihat saya memakai pakaian olah raga, menganggap itu sebagai bukti bahwa saya bukan pendeta!
Analoginya, karena Yesus adalah Allah dan manusia, maka kita tidak boleh menggunakan ayat-ayat yang menunjukkan keilahian Yesus untuk membukti-kan bahwa Ia bukan manusia, atau menggunakan ayat-ayat yang menunjuk-kan kemanusiaan Yesus untuk membuktikan bahwa Ia bukan Allah!

Herschel H. Hobbs: “It is just as great a heresy to deny His humanity as to deny His deity” (= Menyangkal kemanusiaanNya adalah sama sesatnya dengan menyangkal keilahianNya) - ‘The Epistles of John’, hal 21.


III) Pentingnya keilahian Kristus.

1)   Supaya Ia bisa taat sempurna kepada BapaNya.
Ini penting karena kalau Ia jatuh ke dalam dosa 1 x saja, maka Ia tidak mungkin menebus dosa kita.

2)   Supaya pengorbanan / kematianNya mempunyai nilai penebusan yang tak terbatas.
Logikanya, kalau Ia hanya seorang manusia biasa, maka paling-paling kematianNya hanya bisa menebus seorang manu­sia. Bahkan sebetulnya tidak ada manusia bisa menebus manusia yang lain. Hal ini dinyatakan dalam Maz 49:8-9. Tetapi karena dalam Kitab Suci bahasa Indonesia ada kesalahan penterjemahan, maka di sini saya memberikan terjemahan NIV.

Ps 49:6-7 (NIV): “No man can redeem the life of another, or give to God a ransom for him; the ransom for a life is costly, no payment is ever enough” (= tidak seorang manusia­pun bisa menebus nyawa orang lain, atau mem-berikan kepada Allah tebusan untuk dia;  tebusan untuk suatu nyawa sa-ngat mahal, tidak ada pembayaran yang bisa mencukupi).

Charles Hodge: “This perfection of the satisfaction of Christ, … is not due to his having suffered either in kind or in degree what the sinner would have been required to endure; but principally to the infinite dignity of his person. He was not a mere man, but God and man in one person” (= Kesempurnaan dari pemuasan / pelunasan Kristus ini, … bukanlah karena Ia telah menderita apa yang seharusnya ditanggung orang berdosa, baik dalam jenisnya atau dalam tingkatannya; tetapi terutama karena martabat yang tak terbatas dari pribadiNya. Ia bukan semata-mata seorang manusia, tetapi Allah dan manusia dalam satu pribadi) - ‘Systematic Theology’, vol II, hal 483.

3)   Supaya pada waktu Allah menimpakan hukuman umat manusia kepada Yesus, Ia tidak bertindak tidak adil.
Kalau Yesus hanya seorang manusia biasa, dan Allah menimpa­kan hu-kuman umat manusia kepada Yesus, maka Allah jelas telah bertindak tidak adil, karena Ia menghukum seseorang karena dosa orang lain. Tetapi karena Yesus adalah Allah sendiri, maka Allah tetap adil, karena pada waktu Ia menimpakan hukuman umat manusia kepada Yesus, pada hakekatnya Ia menimpakan hukuman itu kepada diriNya sendiri.


IV) Pentingnya kemanusiaan Yesus.

1)   Yang berbuat dosa adalah manusia, dan karena itu hukumannya harus ditanggung oleh seorang manusia. Karena itulah Kristus harus menjadi seorang manusia yang sama seperti kita (Ro 8:3  Ibr 2:14-17) yang mem-punyai tubuh dan jiwa / roh (pikiran, perasaan, kehendak).

Gregory Nazianzus:
“For that which is not taken up is not healed” (= karena apa yang tidak diambil, tidak disembuhkan).

Cyril of Alexandria:
“That which is not assumed is not saved” (= apa yang tidak diambil, tidak diselamatkan).

Tetapi Kristus haruslah menjadi seorang manusia yang suci, karena kalau Ia sendiri berdosa, Ia tidak bisa menebus dosa kita (Ibr 7:26-27).

2)   Supaya bisa menjadi pengantara antara Allah dan manusia (1Tim 2:5).

3)   Supaya Ia bisa merasakan pencobaan dan penderitaan yang dialami oleh manusia. Dengan demikian Ia bisa bersimpati terhadap manusia yang menderita dan dicobai dan bisa meno­long mereka (Ibr 2:17-18  Ibr 4:15).

William G.T. Shedd:
“Previous to the assumption of a human nature, the Logos could not experience a human feeling because he had no human heart, but after the assumption he could; previous to the incarnation, he could not have a finite perception because he had no finite intellect, but after this event he could; ... The unincarnate Logos could think and feel only like God; he had only one form of consciousness. The incarnate Logos can think and feel either like God, or like man; he has two modes or forms of consciousness” (= sebelum meng-ambil hakekat manusia, Logos tidak bisa mengalami pera­saan manusia karena Ia tidak mempunyai hati manusia, tetapi setelah mengambil hakekat manusia Ia bisa; sebelum inkarna­si, Ia tidak bisa mempunyai pengertian yang terbatas karena Ia tidak mempunyai pikiran yang terbatas, tetapi setelah peristiwa itu Ia bisa; ... Logos yang tidak / belum berinkarnasi bisa berpikir dan merasa hanya sebagai Allah; Ia hanya mempunyai satu bentuk kesadaran. Logos yang berinkar­nasi bisa berpikir dan merasa, atau seperti Allah, atau seperti manusia; Ia mempunyai dua bentuk kesadaran) - ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol II, hal 267.

Matthew Poole memberikan komentar tentang Ibr 2:18 sebagai berikut:
“He had the mercies of God before, and as if that were not enough, the tempted nature of man, to soften his heart to pity his brethren in their suffering and tempta­tions” (= sebelumnya Ia sudah mempunyai belas kasihan Allah, dan seakan-akan itu belum cukup, sekarang Ia mempunyai hakekat manusia yang telah dicobai, untuk melunakkan / melembutkan hatiNya supaya Ia mengasihani saudara-saudaraNya dalam penderitaan dan pencobaan me-reka).

4)   Supaya Ia bisa menjadi teladan bagi manusia (Mat 11:29  Yoh 13:14-15  Fil 2:5-8  Ibr 12:2-4  1Pet 2:21).
Kalau Ia tetap sebagai Allah, maka bagaimanapun sucinya Ia hidup, Ia tidak bisa menjadi teladan bagi manusia, karena manusia tidak bisa melihat Dia. Tetapi dengan Ia sudah menjadi manusia, maka manusia bisa melihat kehidupanNya yang suci dan meneladaninya.


V) Kristus: 1 person / pribadi dengan 2 natures / hake­kat.

A) Istilah ‘Person’ dan ‘Nature’.

1)   Mengapa digunakan istilah-istilah seperti ‘person’ (= priba­di) dan ‘nature’ (= hakekat), padahal istilah-istilah terse­but tidak ada dalam Kitab Suci?

Calvin (pada waktu ia berbicara tentang Allah Tritunggal dalam Yoh 1:1-2) menjawab pertanyaan tersebut sebagai berikut:
“And yet the ancient writers of the Church were excusable, when, finding that they could not in any other way maintain sound and pure doctrine in opposition to the perplexed and ambiguous phraseology of the heretics, they were compelled to invent some words, which after all had no other meaning than what is taught in the Scriptures. They said that there are three Hypostases, or Subsistences, or Persons, in the one and simple essence of God” (= dan penulis-penulis kuno dari gereja bisa dibenarkan, karena pada waktu mereka melihat bahwa tidak ada jalan lain untuk memper-tahankan doktrin yang sehat dan murni untuk menentang penyusunan kata yang membingungkan dan berarti dua dari orang-orang sesat, maka mereka terpaksa menciptakan beberapa kata-kata, yang sebetulnya tidak mempunyai arti lain dari pada apa yang diajarkan dalam Kitab Suci. Mereka berkata bahwa ada tiga pribadi dalam hakekat Allah yang satu dan sederhana).

Herman Bavinck mengatakan sebagai berikut:
“It is of course self-evident that this confession of Nicea and Chalcedon may not lay claim to infallibility. The terms of which the church and its theology make use, such as person, nature, unity of substance, and the like, are not found in Scripture, but are the product of reflection which Christianity gradually had to devote to this mystery of salvation. The church was compelled to do this reflecting by the heresies which loomed up on all sides, both within the church and outside of it. All those expressions and statements which are employed in the confession of the church and in the language of theology are not designed to explain the mystery which in this matter confronts it, but rather to maintain it pure and unviolated over against those who would weaken or deny it” (= Jelaslah bahwa penga­kuan iman Nicea dan Chalcedon tidak bisa dianggap infalli­ble / tak bisa salah. Istilah-istilah yang digunakan oleh gereja dan theologinya, seperti priba-di, hakekat, kesatuan hakekat / zat, dan sebagainya, tidak ditemukan dalam Kitab Suci, tetapi merupakan hasil pemikiran yang secara ber-tahap / perlahan-lahan harus diberikan oleh kekristenan kepada misteri tentang keselamatan ini. Gereja dipaksa untuk melakukan pemikiran ini oleh bidat-bidat yang muncul dan mengancam dari semua sisi, baik di dalam maupun di luar gereja. Semua istilah dan pernyataan yang digu-nakan dalam pengakuan iman gereja dan dalam bahasa theologia, tidak dimaksudkan untuk menjelaskan misteri yang dihadapi, tetapi untuk menjaganya supaya tetap murni dan tak terganggu dari mereka yang ingin melemahkan atau menyangkalnya) - ‘Our Reasonable Faith’, hal 321-322.

Bavinck melanjutkan lagi:
“There have been many, and there still are many, who look down upon the doctrine of the two natures from a lofty vantage point, and try to supplant it by other words and phrases. What differences does it really make, they begin by saying, whether we agree with this doctrine or not? What matters is that we ourselves possess the person of Christ, He who stands high and exalted above this awkward confes­sion. But before long these same persons begin introducing words and terms themselves in order to describe the person of Christ whom they accept. ... And then history has taught that the terms of the attackers of the Doctrine of the Two Natures are far poorer in worth and force, and that they often, indeed, involve doing injustice to the incarnation as Scripture explains it to us (= pernah ada banyak orang, dan sampai sekarang masih ada banyak orang, yang dari tempat yang tinggi dan menguntungkan, meremehkan / meman­dang rendah doktrin tentang 2 hakekat ini, dan mencoba untuk menggantinya dengan kata-kata dan ungkapan-ungkapan yang lain. Mereka memulainya dengan berkata: apa bedanya apakah kami menyetujui doktrin ini atau tidak? Yang penting adalah bahwa kami memiliki pribadi Kristus, yang berdiri jauh di atas pengakuan yang aneh ini. Tetapi sebentar lagi, orang-orang ini sendiri mulai memperkenalkan kata-kata dan istilah-istilah untuk  menggambarkan pribadi Kristus yang mereka terima. ... Dan sejarah telah mengajar bahwa isti­lah-istilah dari para penyerang doktrin  ten-tang 2 hakekat ini, jauh lebih jelek dalam nilainya dan kekuatannya, dan bahwa mereka bahkan sering terlibat dalam perlakuan yang tidak benar terhadap inkarnasi seperti yang dijelaskan oleh Kitab Suci kepada kita) - ‘Our Reasonable Faith’, hal 322.

Apa yang dikatakan oleh Bavinck ini terbukti dalam buku sesat dari Pdt. Yohanes Bambang, yang berjudul ‘Tuhan, Ajarlah Aku’.
Dalam hal 131, ia berkata sebagai berikut: “Jadi karena hakikat Alki-tab berfungsi sebagai pewar­taan iman maka dalam kesaksiannya tidak pernah berspekulasi juga mengenai masalah sebagaimana yang dikemu-kakan oleh Tertullianus. Alkitab tidak pernah membuat hipotesa tentang Allah Bapa, Allah Anak dan Roh Kudus dengan kategori-kategori 'UNA SUBSTANTIA, TRES PERSONAE' (satu zat yang memiliki tiga priba-di). Cara berpikir Tertullianus adalah cara berpikir yang filsafati ketim­bang cara berpikir teologis-alkitabiah. Bila demikian, identitas Roh Ku-dus bukan dalam pengertian ZAT ILAHI yang memiliki kepri­badian sendiri. Alkitab tidak pernah mengenal atau mempergunakan istilah dan pengertian ZAT ILAHI”.

Jadi terlihat bahwa ia menolak ajaran Tertullian ini dengan alasan bahwa istilah ‘zat ilahi’ itu tidak ada dalam Kitab Suci. Tetapi anehnya dalam bagian lain dari bukunya ia berkata:
·         “Secara matematis memang berjum­lah tiga. Tetapi dari penghayatan iman dan materi Allah: keti­gaNya adalah YANG TUNGGAL” (hal 109).
·         “Jadi Allah dan Yesus adalah satu, tapi bukan satu dalam arti matematis, juga bukan dalam arti satu zat. Allah dan Yesus adalah satu dalam ciri hakiki ilahi dan karya (pekerjaan)Nya” (hal 110).
·         “... sehingga dalam diri Yesus Kristus nampak seluruh ciri hakiki Allah sendiri” (hal 135).

Perhatikan bahwa sekarang ia menggunakan istilah-istilah ‘materi Allah’, ‘ciri hakiki ilahi’, dan ‘ciri hakiki Allah’. Bukankah istilah-istilah itu juga tidak ada dalam Kitab Suci? Jadi terlihat kebenaran kata-kata Bavinck di atas. Orang ini baru saja mencela penggunaan istilah ‘zat ilahi’, tetapi lalu menciptakan istilahnya sendiri, yang juga tidak ada dalam Kitab Suci, dan jelas lebih jelek nilainya dari istilah ‘zat ilahi’ yang ia cela.

2)   Arti dari person dan nature.

Pada waktu LOGOS / Anak Allah berinkarnasi, Ia tidak mengambil pribadi manusia, tetapi hakekat manusia (yang lalu mendapat kepri-badiannya dari LOGOS).
Kalau demikian, bisakah kita berkata bahwa Yesus tidak mengambil seluruh manusia, karena yang Ia ambil adalah manusia tanpa kepriba-dian? Kalau memang LOGOS tidak mengam­bil seluruh manusia, bu-kankah itu berarti bahwa Ia tidak menebus seluruh manusia? Kalau Ia tidak mengambil kepribadian manusia, bukankah itu berarti bahwa kepribadian kita tidak ditebus?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita perlu mengerti ten-tang arti / definisi dari istilah ‘person / pribadi’ dan ‘nature / hekekat’.

a)  Human nature adalah substance / essence (= hakekat) dari manu-sia. Tidak ada perbedaan antara human nature yang satu dengan human nature yang lain. Semua manusia mempunyai human na-ture yang sama.

b)   Human nature sudah merupakan seluruh manusia, tidak ada sedi-kitpun yang kurang.

c)   Human person (= pribadi manusia) adalah human nature yang sudah dipribadikan. Karena itu, human person yang satu berbeda dengan human person yang lain.

Beberapa kutipan kata-kata William G. T. Shedd::
·         “Personality is not an integral and essential part of a nature, but is, as it were, the terminus to which it tends” (= Kepribadian bukanlah meru-pakan bagian yang perlu untuk melengkapi dan bukan bagian yang pokok / hakiki dari suatu hakekat, tetapi merupakan terminal yang dituju oleh hakekat itu) - ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol II, hal 287.
·         “When we  speak of a human nature, a real substance having physical, rational, moral and spiritual properties is meant. This human nature is capable of becoming a human person but as yet is not one. It requires to be personalized, in order to be a self-conscious individual man. A human person is a fractional part of a specific human nature or substance which has been separated from the common mass, and formed into a distinct and separate individual, by the process of generation. Prior to this separation and formation, this fractional portion of the common human nature has all the qualities of the common mass of which it is a part, but it is not yet individual­ized. It is potentially, not actually personal. It has all the properties that subsequently appear in the par­ticular individual formed of it” [= Pada waktu kita berbicara tentang suatu hakekat manusia, maka yang dimak­sud adalah suatu zat yang nyata yang memiliki sifat-sifat fisik, ratio, moral dan rohani. Hakekat manusia ini bisa (mempunyai kemampuan) menjadi pribadi manusia tetapi belum / bukan merupa-kan pribadi manusia. Hakekat manusia itu perlu dipribadikan supaya menjadi seorang manusia tersendiri yang sadar. Seorang pribadi manusia adalah sebagian kecil dari hakekat atau zat manusia tertentu yang telah dipisahkan dari seluruh massa, dan dibentuk menjadi pribadi tersendiri yang berbeda dan terpisah, oleh proses kelahiran. Sebelum pemisahan dan pembentukan ini, bagian kecil dari seluruh hakekat manusia itu, mempunyai semua sifat-sifat dari seluruh massa dari mana ia merupakan bagian, tetapi ia belum dipribadikan. Ia berpotensi untuk menjadi pribadi, tetapi ia tidak / belum sungguh-sungguh  merupakan pribadi. Ia mempunyai semua sifat-sifat yang sesudah itu muncul dalam pribadi terten­tu yang dibentuk darinya] - ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol II, hal 289-290.
·         “A lump of clay has all the properties of matter that belong to the vessel of honor and dishonor. But it has not as yet the individual form of the vessel. An act of the potter must intervene, whereby a piece of clay is separated from the lump and moulded into a particular vase having its own peculiar shape and figure. In like manner, human nature as an entire whole existing in Adam possessed all the elementary properties that are requi­site to personality, though it was not yet personalized” (= segumpal tanah liat mempunyai semua sifat-sifat dari bahan / zat yang dimiliki oleh bejana yang terhormat dan tak terhormat. Tetapi gumpalan tanah liat itu belum mempunyai bentuk dari bejana itu. Suatu tindakan dari penjunan harus ikut campur, dengan mana segumpal tanah liat itu dipisahkan dari seluruh gumpalan dan dibentuk menjadi suatu jambangan tertentu yang mempunyai ben-tuknya yang khas. Demikian juga, hakekat manusia sebagai suatu keseluruhan yang ada di dalam Adam mempunyai semua sifat-sifat dasar yang diperlukan untuk kepribadian, sekalipun hakekat manu-sia itu belum dipribadikan) - ‘Shedd’s Dogmat­ic Theology’, vol II, hal 290-291.
·         “The difference, then, between nature and person is virtually that between substance and form” (= Jadi, perbedaan sebenarnya antara hakekat dan pribadi adalah perbedaan antara zat dan bentuk) - ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol II, hal 291.
·         “Still another point of difference between a ‘nature’ and a ‘person’ is the fact that a nature can not be distin­guished from another nature, but a person can be from another person” (= perbedaan lain lagi antara ‘hakekat’ dan ‘pribadi’ adalah fakta bahwa suatu hakekat tidak bisa dibedakan dari hakekat yang lain, sedangkan suatu pribadi bisa dibe-dakan dari pribadi yang lain) - ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol II, hal 294.

Kesimpulan dari semua ini:

Karena person / pribadi adalah nature / hakekat yang sudah dibentuk / dipribadikan, maka sebetulnya person / pribadi tidak memiliki kelebihan zat dibandingkan dengan nature / hakekat. Ingat bahwa ‘pembentukan’ bukanlah penam­bahan zat!
Sama seperti segumpal tanah liat, yang sudah dibentuk menjadi jambangan / gelas, tidak mempunyai kelebihan zat dibanding­kan dengan saat gumpalan tanah liat itu belum dibentuk, demikian juga person / pribadi tidak mempunyai kelebihan zat dibanding-kan dengan nature / hakekat.

Illustrasi:


 
 



---------------> Common Mass








Dari illustrasi gambar ini terlihat dengan jelas bahwa perbedaan antara nature dan person, tidak terletak pada perbedaan zat / hakekat, tetapi pada pembentukan (nature - belum dibentuk; person - sudah dibentuk).

Dengan demikian, pada waktu Yesus mengambil human nature / hakekat manusia, Ia sebetulnya sudah mengambil seluruh manu-sia, tanpa ada yang kurang sedikitpun.


B) Hypostatical / personal Union (= persatuan pribadi).

1)   Yesus Kristus adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Tetapi Ia hanya merupakan 1 pribadi.

Dasar dari pandangan ini:
Dalam Kitab Suci sering ditunjukkan akan adanya lebih dari 1 pribadi dalam diri Allah. Misalnya:
a)   Penggunaan kata ganti orang bentuk jamak (Kej 1:26).
b)   Pembicaraan antara satu pribadi dengan pribadi yang lain (Maz 2:7).
c)   Adanya saling kasih-mengasihi antara pribadi-pribadi itu (Mat 3:17  Yoh 17:23-24).
d)   Pribadi yang satu mengutus pribadi yang lain (Yoh 14:26 Yoh 15:26  Yoh 17:3).

Tetapi hal-hal tersebut tidak pernah terjadi pada waktu Kitab Suci menggambarkan Yesus Kristus. Jadi jelaslah bahwa berbeda dengan Allah Tritunggal yang memiliki lebih dari 1 pribadi, Yesus Kristus hanya memiliki 1 pribadi saja!

2)   Sebelum inkarnasi, Yesus adalah Allah Anak yang jelas merupakan ‘seseorang’ yang berpribadi. Jadi pada saat itu Ia adalah 1 pribadi dengan 1 hakekat, yaitu hakekat ilahi. Pada saat Ia berinkarnasi, Ia tidak mengambil ‘pribadi manusia’ karena ini akan menimbulkan ada-nya 2 pribadi seperti yang diajarkan oleh Nestorianism. Yang diambil olehNya adalah hakekat manusia. Hakekat manusia dan hakekat ilahi bersatu dalam pribadi Anak Allah sehingga setelah inkarnasi, Yesus adalah 1 pribadi dengan 2 hakekat (ilahi dan manusia).

Ada yang beranggapan bahwa yang diambil oleh Logos bukanlah ‘hakekat manusia’ tetapi ‘pribadi manu­sia’, karena yang diambil itu terdiri dari tubuh dan jiwa / roh, yang mencakup pikiran, perasaan, dan kehendak, dan ketiga hal ini merupakan ciri-ciri dari seorang pribadi. Tetapi ini tidak benar, karena sekalipun Logos itu mengambil tubuh manusia dan jiwa / roh manusia, yang mempunyai pikiran, perasaan dan kehendak, tetapi semua itu belum dipribadikan, sehingga sifatnya belum / tidak specific (= tertentu).
Jadi, pikirannya belum tertentu (pandai atau bodoh), pera­saannya belum tertentu (halus atau kasar), kehendaknya belum tertentu (keras atau tidak). Bahkan tubuhnyapun belum tertentu (tinggi atau pendek, berkulit putih atau kuning atau hitam, bermata biru atau coklat, berambut pirang atau hitam, dsb). Dengan demikian ini bukan pribadi manusia, tetapi hakekat manusia.
Tetapi pada saat pertama Logos mengambil hakekat manusia itu, maka hakekat manusia itu mendapat kepribadiannya dari Logos, sehingga menjadi manusia tertentu.

3)   Hakekat manusia itu tidak pernah ada terpisah dari pribadi Allah Anak. Hakekat manusia itu mendapat kepribadiannya dari pribadi Allah Anak dan selalu ada di dalam pribadi Allah Anak itu. Bahkan antara kematian dan kebangkitan Yesuspun, hakekat manusia itu tak terpisah dengan LOGOS / Allah Anak, karena sekalipun  hakekat manusia itu terpecah (roh pisah dengan tubuh), tetapi LOGOS / Allah Anak yang maha ada itu tetap bersatu baik dengan tubuh (yang ada di kuburan) maupun dengan roh (yang ada di surga).

4)   Dalam Personal Union (= persatuan pribadi) ini terjadi suatu persatuan, bukan suatu percampuran (mixture / confu­sion), antara hakekat manusia dan hakekat ilahi. Jadi, baik hakekat manusia maupun hakekat ilahi tetap mempunyai / mempertahankan sifat-sifat-nya sendiri-sendiri. Mereka berbeda, tetapi bersatu dalam diri Yesus Kristus.

5)   Akibat adanya 2 hakekat dalam pribadi Yesus Kristus ini maka:

a)   Kristus mempunyai 2 macam kesadaran, yaitu ilahi dan manusia. Kadang-kadang Ia berpikir dan merasa sebagai Allah, dan kadang-kadang sebagai manusia.
Contoh:
·         kesadaran ilahi: Mat 8:26  Yoh 8:58  Yoh 11:44.
·         kesadaran manusia: Mat 24:36  Mat 26:37-38  Yoh 11:35  Yoh 19:28.
Tetapi harus diingat bahwa dalam setiap contoh-contoh itu, adalah pribadi yang sama yang berpikir / mempunyai kesadaran.

b)   Kristus mempunyai 2 kehendak, ilahi dan manusia. Tetapi karena kehendak manusia yang ada dalam diri Yesus adalah suci, maka tidak ada pertentangan / konfrontasi antara kehendak ilahi dan kehendak manusia dalam diri Yesus. Karena itu, sekalipun ada 2 kehendak, selalu hanya meng­hasilkan satu tindakan (bdk. Mat 26:36-46).

Illustrasi / analogi:
Illustrasi / analogi yang paling cocok untuk menjelaskan Personal Union ini adalah persatuan antara tubuh dan jiwa pada manusia (Catatan: ini hanya berlaku untuk orang yang percaya pada Dicho-tomy, bukan pada Trichotomy!).
·         Pada manusia, tubuh dan jiwa membentuk 1 pribadi.
Pada Yesus Kristus, hakekat manusia dan Allah Anak membentuk 1 pribadi.
·         Pada manusia, kepribadian terletak pada jiwa, bukan pada tubuh.
Pada Yesus Kristus, kepribadian terletak pada Allah Anak, bukan pada hakekat manusia.
·         Pada manusia, tubuh berbeda dengan jiwa; mereka tidak bercam-pur, dan masing-masing mempertahankan sifat-sifat­nya sendiri-sendiri.
Pada Yesus Kristus, hakekat manusia berbeda dengan hakekat ilahi; mereka tidak bercampur dan masing-masing mempertahan-kan sifat-sifatNya sendiri-sendiri.


C) Akibat dari Personal Union.

1)   Communicatio Idiomatum [communication of properties (= pembe-rian sifat-sifat / sama-sama memiliki sifat-sifat)].

Catatan:
Istilah ‘Communicatio Idiomatum’ ini adalah istilah bahasa Latin, yang begitu populer dalam Kristologi, sehing­ga dalam buku-buku Theologia sering digunakan begitu saja tanpa diberikan terjemahannya.

a)   Arti istilah ini:

·         kata Idiomatum / properties berarti ‘sifat dasar’.
Dalam diri manusia, sifat-sifat seperti pemarah, som­bong, pelit, tidak termasuk sifat dasar, karena tidak semua orang mem-punyai sifat seperti itu.
Contoh sifat dasar dalam diri manusia adalah: terbatas, dicipta / tidak ada dengan sendirinya, tidak maha tahu, bisa berdosa, bisa mati, dsb. Sifat-sifat ini dimiliki oleh semua manusia.

Catatan:
Perhatikan bahwa dalam sepanjang pembahasan tentang Communicatio Idiomatum ini, yang dimaksud dengan ‘sifat’ adalah ‘sifat dasar’.

·         Dalam bahasa Yunani istilah Communicatio diterje­mahkan de-ngan istilah KOINONIA.
Kata Yunani KOINONIA bisa berarti:
1.    fellowship (= persekutuan).
2.    a close mutual relationship (= hubungan timbal balik yang dekat).
3.    participation (= partisipasi).
4.    sharing in (= sama-sama menikmati / memiliki).
5.    partnership (= persekutuan).
6.    contribution (= sumbangan).
7.    gift (= pemberian).

Jadi, kalau dikatakan bahwa terjadi Communicatio Idio­matum dari A kepada B, maka itu berarti bahwa sifat-sifat A diberikan kepada B, atau bahwa B sama-sama memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh A (dari ke 7 arti di atas, mungkin yang paling ditekankan adalah arti ke 4 dan ke 7).

b)   Dalam hal Communicatio Idiomatum ini, ajaran Reformed berten-tangan dengan Lutheran.

·         Ajaran Reformed:

Sifat-sifat dari hakekat manusia tidak diberikan kepada hakekat ilahi / tidak menjadi sifat-sifat dari hakekat ilahi, dan sebaliknya, sifat-sifat dari hakekat ilahi tidak diberikan kepada hakekat manusia / tidak menjadi sifat-sifat dari hakekat manusia. Tetapi, baik sifat-sifat dari hakekat manusia maupun sifat-sifat dari hakekat ilahi diberikan kepada pribadi Kristus / menja­di sifat-sifat dari pribadi Kristus.

Charles Hodge:
“Hence, inconsistent, or apparently contradictory affirmations may be made of the same person” (= Karena itu, ketidak-konsistenan, atau pernyataan-pernyataan yang kelihatannya kontradiksi / bertentangan bisa dibuat tentang pribadi yang sama) - ‘System-atic Theology’, vol II, hal 379.







                  

Keterangan gambar:

P = Pribadi Kristus; HM = Hakekat Manusia; HI = Hakekat Ilahi.
Catatan:
Jangan membayangkan bahwa diri Kristus betul-betul seperti gambar di atas! Gambar ini hanya untuk membantu saudara untuk melihat dimana terjadi pemberian sifat-sifat dan dimana tidak terjadi pemberian sifat-sifat.

Penjelasan:
Hakekat manusia mempunyai sifat terbatas, sedangkan hakekat ilahi mempunyai sifat tidak terbatas. Sifat terbatas dari hakekat manusia tidak diberikan kepada hakekat ilahi / tidak menjadi sifat dari hakekat ilahi, dan sifat tidak terbatas dari hakekat ilahi tidak diberikan kepada hakekat manusia / tidak menjadi sifat dari hakekat manusia. Tetapi baik sifat terbatas dari hakekat manusia, maupun sifat tidak terbatas dari hakekat ilahi, sama-sama diberikan kepada pribadi Kristus / menjadi sifat dari pribadi Kristus. Jadi, pribadi Kristus mempunyai sifat terbatas dan tidak terbatas sekaligus.
Dengan cara yang sama bisa kita dapatkan bahwa pribadi Yesus bisa dikatakan terbatas pengetahuannya maupun maha-tahu, lemah / terbatas kekuatannya maupun mahakua­sa.
Karena itu jangan heran kalau melihat bahwa Kitab Suci kadang-kadang menggambarkan Yesus itu terbatas pengeta­huannya (Mat 24:36), tetapi juga sering menggambarkan Yesus itu mahatahu (Mat 9:4  Mat 12:25  Yoh 2:24-25  Yoh 6:64). Juga jangan heran kalau Kitab Suci kadang-kadang menggambarkan Yesus lemah / terbatas kekuatan­nya, sehingga bisa lelah, membutuhkan istirahat / tidur (Yoh 4:6  Mat 8:24), tetapi juga sering menggambarkan Yesus itu mahakuasa, dimana Ia bisa membangkitkan orang mati, menghentikan badai, memberi makan 5000 orang dengan menggunakan 5 roti dan 2 ikan, mengusir setan, dsb.

·         Ajaran Lutheran:

Mereka mengatakan:

*    ada pemberian sifat-sifat dari kedua hakekat kepada pri-badi. Dengan kata lain, pribadi memiliki sifat-sifat dari kedua hakekat. Ini sesuai dengan ajaran Reformed.

*        juga ada pemberian sifat-sifat antar kedua hakekat tersebut.
Dengan kata lain, hakekat yang satu juga memiliki sifat-sifat dari hakekat yang lain. Ini tidak sesuai dengan ajaran Re-formed.
 





                                                    

Perkembangan ajaran tentang Communicatio Idiomatum dalam kalangan Lutheran:

(1) Luther dan orang-orang Lutheran yang mula-mula meng-ajarkan adanya pemberian sifat-sifat, baik dari hake­kat ma-nusia kepada hakekat ilahi, maupun dari hakekat ilahi kepa-da hakekat manusia.

(2) Orang-orang Lutheran selanjutnya hanyalah menekankan pemberian sifat-sifat dari hakekat ilahi kepada hakekat manusia. Ini mereka lakukan untuk menghindar­kan hakekat ilahi menjadi terbatas karena pemberian sifat dari hakekat manusia.

(3) Dalam perkembangan selanjutnya, orang-orang Lutheran membedakan antara operative attributes / sifat-sifat opera-tive (seperti maha kuasa, maha ada, maha tahu) dengan quiescent attributes / sifat-sifat diam (seperti tak terbatas, kekal) dari Allah, dan mereka mengatakan bahwa hanya operative atrributes sajalah yang diberikan dari hakekat ilahi kepada hakekat manusia. Ini mereka lakukan untuk meng-hindarkan hakekat manusia menjadi tak terbatas dan kekal karena pemberian sifat dari hakekat ilahi.

Catatan:
Doktrin Lutheran yang salah tentang diri Kristus ini, dimana mereka menganggap bahwa hakekat manusia Yesus itu maha-ada, menyebabkan mereka bisa percaya bahwa dalam Perja-muan Kudus, Yesus hadir secara jasmani.

Keberatan / sanggahan terhadap ajaran Lutheran ini:

(a) Ajaran ini menunjukkan adanya pembauran / percampuran antara hakekat ilahi dan hakekat manusia dalam diri Kristus. Hakekat manusia yang mempunyai sifat-sifat ilahi seperti maha ada, maha tahu dsb, tidak lagi bisa disebut sebagai hakekat manusia (perhatikan kutipan dari Charles Hodge di bawah). Jadi jelas bahwa ajaran ini berbau ajaran Eutychia-nism dan jelas bahwa ajaran ini bertentangan dengan Chalcedonian Creed yang mengatakan ‘without confusion, without change’ (= ‘tanpa percampuran, tanpa perubahan’).

Charles Hodge:
“... the properties or attributes of a substance constitute its essence, so that if they be removed or if others of a different nature be added to them, the substance itself is changed. ... If divine attributes be conferred on man, he ceases to be man; and if human attributes be transferred to God, he ceases to be God” (= ... sifat-sifat dari suatu zat / bahan mem­bentuk hakekatnya, sehingga kalau mereka disingkirkan atau kalau sifat-sifat yang lain ditambahkan kepada mereka, maka zat / bahan itu sendiri berubah. ... Kalau sifat-sifat ilahi diberikan kepada manusia, ia berhenti menjadi manusia; dan kalau sifat-sifat manusia diberikan kepada Allah, ia berhenti menjadi Allah) - ‘Sys-tematic Theology’, vol II, hal 390.

(b) Ajaran ini tidak konsekwen, karena kalau sifat-sifat ilahi diberikan kepada hakekat manusia, maka sifat-sifat manusia juga harus diberikan kepada hakekat ilahi.

Yoh 3:13 menggunakan sebutan / gelar manusia (‘Anak Manusia’), tetapi memberikan predikat ilahi (‘turun dari sorga’). Ayat ini dipakai sebagai dasar (secara salah) oleh orang Lutheran untuk mengatakan bahwa sifat-sifat dari hakekat ilahi diberikan kepada hakekat manusia.
Tetapi anehnya, kalau mereka melihat ayat seperti 1Kor 2:8, yang menggunakan sebutan / gelar ilahi (‘Tuhan yang mulia / The Lord of glory’ ), tetapi memberikan predikat manusia (‘menyalibkan’), mereka tidak mau memakainya sebagai dasar untuk mengatakan bahwa sifat-sifat dari hakekat manusia diberikan kepada hakekat ilahi.

Ketidak-konsekwenan yang lain ialah bahwa mereka hanya memberikan sebagian sifat-sifat ilahi kepada hakekat manu-sia. Kalau beberapa sifat hakekat ilahi diberikan kepada hakekat manusia, maka konsekwensinya adalah bahwa se-mua sifat-sifat ilahi harus diberikan kepada hakekat manu-sia.

(c)  Ajaran ini tidak sesuai dengan gambaran tentang diri Kristus dalam Kitab Suci, karena dalam Kitab Suci Kristus tidak pernah digambarkan sebagai manusia yang maha tahu / maha ada / maha kuasa. Sebaliknya, Kitab Suci menggam-barkan Yesus sebagai manusia yang terba­tas pengetahuan-nya (Mat 24:36), terbatas keberadaan­nya (tidak bisa ada di lebih dari satu tempat pada saat yang sama), dan lemah (bisa lelah, butuh istira­hat, tidur, dsb. Bdk. Yoh 4:6  Mat 8:24).

(d) Ajaran ini tidak bisa menjelaskan Luk 2:40,52 yang menga-takan bahwa Kristus bertumbuh dalam hikmat dan kekuatan.
Ingat bahwa orang Lutheran beranggapan bahwa Commu-ni­catio Idiomatum ini terjadi pada saat yang sama dengan inkarnasi. Dengan demikian, seharusnya manusia Yesus itu sudah maha tahu dan maha kuasa sejak lahir, dan kalau demikian, Ia tidak mungkin bertumbuh dalam hikmat maupun kekuatan.

2)   Communicatio Operationum / Apotelesmatum [communication of acts (= pemberian tindakan-tindakan)].
Semua tindakan / perbuatan Kristus, baik yang bersifat:
a)   ilahi, seperti penciptaan, pemeliharaan.
b)   manusia, seperti makan, minum.
c)   gabungan ilahi dan manusia, seperti penebusan.
adalah tindakan / perbuatan dari seluruh pribadi Kristus.

Jadi, pada waktu melihat Kristus makan, kita tidak perlu berkata ‘hakekat manusiaNya makan’, tetapi kita bisa berka­ta ‘Kristus makan’. Pada waktu kita mau mengatakan bahwa Kristus mencipta dan mengatur alam semesta, kita tidak perlu berkata ‘hakekat ilahiNya mencipta dan mengatur alam semes­ta’, tetapi kita bisa berkata ‘Kristus mencipta dan menga­tur alam semesta’.

Illustrasi:
Manusia terdiri dari tubuh + jiwa.
Ada tindakan dari jiwa, seperti berpikir, marah, benci.
Ada tindakan dari tubuh, seperti mencerna makanan.
Ada tindakan dari gabungan tubuh dan jiwa, seperti membaca, me-nulis, berbicara dsb.
Tetapi adalah seluruh pribadi manusia yang marah, mencerna makanan, membaca dsb.
Karena itu kalau kita melihat seseorang (si A) sedang makan / berpikir, kita tidak mengatakan ‘tubuhnya makan’ tetapi ‘Dia / si A makan’. Kita tidak mengatakan ‘jiwanya berpi­kir’, tetapi ‘Dia / si A berpikir’.

3)   Communicatio Charismatum / Gratiarum [communication of gifts (= pemberian karunia-karunia)].
Hakekat manusia dari Kristus, sejak saat pertama kebera­daannya, telah diberi bermacam-macam karunia yang mulia.
Misalnya:

a)   Dipersatukannya hakekat manusia itu dengan LOGOS, dengan mana hakekat manusia itu ditinggikan melebihi semua ciptaan dan, menurut Louis Berkhof, ‘menjadi object penyembahan’ (‘Systematic Theology’, hal 324).
Tetapi G. C. Berkouwer menentang pandangan ini dengan mengatakan: “Reformed theology resisted every form of the deification of the human nature of Christ” (= theologia Reformed menentang setiap bentuk pendewaan terhadap hakekat manusia Kristus) - ‘Studies in Dogmatics: The Person of Christ’, hal 295.
Memang pada waktu seseorang bertemu dengan Kristus pada waktu Ia hidup dalam dunia ini, tentu saja orang itu boleh menyembahNya. Tetapi yang disembah adalah pribadi Kristusnya, atau hakekat ilahinya, bukan hakekat manusianya. Hal-hal ini memang tidak bisa dipisahkan tetapi bisa dibedakan.

John Owen: “Hence the human nature of Christ, in his divine person and together with it, is the object of all divine adoration and worship” (= Jadi, hakekat manusia dari Kristus, dalam Pribadi Ilahinya dan bersama-sama denganNya, adalah obyek dari semua pemujaan dan penyembahan ilahi) - ‘The Works of John Owen’, vol I, hal 241.

b)   Karunia-karunia Roh, khususnya dalam hal intelek, kehen­dak dan kuasa, dengan mana hakekat manusia itu ditinggi­kan melebihi makhluk-makhluk ciptaan yang lain. Menurut Louis Berkhof, terma-suk di sini ketidak-mungkinannya untuk berbuat dosa (impeccability / non posse peccare).

Catatan: Communicatio Charismatum / Gratiarum ini tidak mengubah hakekat manusia itu menjadi Allah!


D) Ayat-ayat Kitab Suci yang berhubungan dengan Personal Union.

Ada 4 golongan ayat-ayat Kitab Suci:

1)   Ayat-ayat yang menggunakan sebutan bagi Kristus dengan sebutan yang berlaku untuk seluruh pribadi Kristus, tetapi tidak cocok / berlaku baik untuk hakekat manusia saja maupun untuk hakekat ilahi saja.
Contoh:
·         Yoh 1:29 - Anak Domba Allah.
·         Yoh 5:21-23 - Hakim.
·         Yoh 9:5 - Terang dunia.
·         Yoh 10:9,11 - Pintu, Gembala.
·         Yoh 15:1 - Pokok anggur yang benar.
·         Ro 8:34 - Pembela.
·         Ef 4:15 - Kepala Gereja.

Sebutan-sebutan ini tidak ditujukan kepada Kristus sebagai Allah Anak / LOGOS, juga tidak kepada Kristus sebagai manusia, tetapi kepada seluruh pribadi Kristus (The God- man).

Calvin:
“Let this, then, be our key to right understanding: those things which apply to the office of the Mediator are not spoken simply either of the divine nature or of the human” (= biarlah ini menjadi kunci bagi kita untuk mendapatkan pengertian yang benar: hal-hal yang berhubungan dengan jabatan dari Pengantara, tidak dikatakan hanya tentang hakekat ilahi atau manusia) - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book II, chapter XIV, 3.

2)   Ayat-ayat yang sebetulnya hanya cocok untuk hakekat ilahi / LOGOS, tetapi ditujukan kepada seluruh pribadi Kristus.
Contoh:
·         Yoh 8:58.
Sebetulnya kata-kata ‘sudah ada sebelum Abraham jadi’ hanya berlaku untuk hakekat ilahi, bukan untuk hakekat manusia. Tetapi sekalipun demikian, Yesus tidak berkata ‘sebelum Abraham jadi, hakekat ilahiKu sudah ada’, tetapi Ia berkata ‘sebelum Abraham jadi, Aku (menunjuk pada pribadiNya) sudah ada’.
·         Yoh 17:5.
Sebetulnya kata-kata ‘memiliki kemuliaan di hadirat Allah sebelum dunia dijadikan’ hanya berlaku untuk hakekat ilahi, bukan untuk hakekat manusia. Tetapi Yesus lagi-lagi menggunakan kata ‘Aku’, yang menunjukkan bahwa kata-kata itu Ia tujukan untuk pribadi-Nya.

3)   Ayat-ayat yang sebetulnya hanya cocok untuk hakekat manu­sia, tetapi ditujukan kepada seluruh pribadi Kristus.
Contoh:
·         Mat 24:36.
Sebetulnya ‘tidak tahu akan hari Tuhan’ hanya berlaku untuk hakekat manusia, bukan untuk hakekat ilahi. Tetapi ayat ini menu-jukan kata-kata itu untuk Anak, yang menunjuk pada seluruh pri-badi Yesus.
·         Mat 26:37-38.
Sebetulnya yang bisa merasa sedih dan gentar, seperti mau mati, dsb, hanyalah hakekat manusia, bukan hakekat ilahi. Tetapi ayat-ayat ini menujukannya untuk seluruh pribadi Yesus.
·         Hal yang sama bisa saudara jumpai dalam Luk 2:40,52  Luk 24:39-43  Yoh 11:35.

4)   Ayat-ayat yang menggunakan sebutan / gelar yang hanya cocok untuk hakekat yang satu, tetapi menggunakan predikat yang hanya cocok untuk hakekat yang lain.
Ini terbagi dalam 2 golongan:

a)   Ayat-ayat yang menyebut Kristus dengan sebutan / gelar ilahi, tetapi menggunakan predikat yang hanya cocok untuk hakekat manusia.
Contoh:
·         Kis 20:28 (NIV) - “... the church of God, which he bought with his own blood” (= ... jemaat / gereja Allah, yang Ia beli dengan darahNya sendiri).
Catatan: dalam ayat ini TB1 - LAI salah terjemahan karena menterjemahkan ‘darah AnakNya’. Ini dibetulkan dalam TB2 - LAI yang menterjemahkan ‘darahNya’ (menghapus kata ‘Anak’ yang memang sebetulnya tidak ada dalam bahasa aslinya).
Ayat ini menggunakan sebutan / gelar ilahi (‘Allah’), tetapi predikatnya berbicara tentang ‘darah’, yang sebetulnya hanya cocok untuk hakekat manusia Yesus.
·         1Kor 2:8.
Ayat ini menggunakan sebutan / gelar ilahi (‘Tuhan yang mulia’ / ‘The Lord of glory’), tetapi menggunakan predi­kat ‘menya-libkan’ yang sebetulnya hanya cocok untuk hakekat manusia Yesus.
·         1Yoh 1:1.
Ayat ini menggunakan sebutan / gelar ilahi (‘Firman’ / LOGOS), tetapi menggunakan predikat ‘telah kami lihat dengan mata kami’ dan ‘telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami’, yang sebetulnya hanya cocok untuk hakekat manusia Yesus.
·         Wah 11:8 - “Dan mayat mereka akan terletak di atas jalan raya kota besar, yang secara rohani disebut Sodom dan Mesir, di mana juga Tuhan mereka disalibkan.
Ayat ini menggunakan sebutan / gelar ilahi (‘Tuhan’), tetapi menggunakan predikat ‘disalibkan’ yang sebetulnya hanya cocok untuk hakekat manusia Yesus.
·         Ibr 7:14 - “Sebab telah diketahui semua orang, bahwa Tuhan kita berasal dari suku Yehuda dan mengenai suku itu Musa tidak pernah mengatakan suatu apapun tentang imam-imam”.
Ayat ini menggunakan sebutan / gelar ilahi (‘Tuhan’), tetapi menggunakan predikat ‘berasal dari suku Yehuda’, yang tentu saja hanya cocok untuk hakekat manusia Yesus.

b)   Ayat-ayat yang menyebut Kristus dengan sebutan / gelar manusia, tetapi menggunakan predikat yang hanya cocok untuk hakekat ilahi.
Contoh:
·         Mat 9:6.
Ayat ini menggunakan sebutan / gelar manusia (‘Anak Ma-nusia’), tetapi menggunakan predikat ‘berkuasa mengam­puni dosa’ yang hanya cocok untuk hakekat ilahi.
·         Mat 12:8.
Ayat ini menggunakan sebutan / gelar manusia (‘Anak Manu-sia’), tetapi menggunakan predikat ‘Tuhan atas hari Sabat’ yang hanya cocok untuk hakekat ilahi.
·         Hal yang sama bisa saudara lihat dalam ayat-ayat seper­ti: Mat 13:41  Luk 19:10  Yoh 3:13  Yoh 6:62  1Kor 15:47b.

Calvin menjelaskan mengapa hal itu dilakukan dalam Kitab Suci dengan berkata sebagai berikut:
“And they (Scriptures) so earnestly express this union of the two natures that is in Christ as sometimes to inter­change them”  [= dan mereka (Kitab-kitab Suci) begitu sungguh-sungguh mewujudkan kesatuan dari dua hakekat yang ada di dalam Kristus sehingga kadang-kadang menukar / membolak-balik mereka] - ‘Institutes of the Christian Religion’, book II, chapter XIV, 1.

“Because the selfsame one was both God and man, for the sake of the union of both natures he gave to the one what belonged to the other” (= karena orang yang sama adalah Allah dan manusia, demi kesatuan dari kedua hakekat, ia memberikan kepada yang satu apa yang termasuk pada yang lain) - ‘Institutes of the Christian Religion’, book II, chapter XIV, 2.



-o0o-

PELAJARAN III

KESUCIAN KRISTUS


I) Kesucian hidup Kristus.

Hal-hal yang menunjukkan kesucian hidup Kristus:

1)   Ayat-ayat seperti 2Kor 5:21  Ibr 4:15  Ibr 7:26  1Pet 2:22  1Pet 3:18  1Yoh 3:5.

2)   Sebutan ‘Yang Kudus dari Allah’ dalam Luk 4:34 dan Yoh 6:69, sebutan ‘Yang Kudus dan Benar’ dalam Kis 3:14, sebutan ‘HambaMu yang Kudus’ dalam  Kis 4:27,30.

3)   Yoh 10:36 mengatakan bahwa Yesus dikuduskan oleh Bapa.

4)   Berbeda dengan semua orang lain yang mengaku dosa pada waktu di-baptis oleh Yohanes Pembaptis (Mat 3:6), Yesus tidak mengakui dosa pada saat dibaptis oleh Yohanes Pembaptis (Mat 3:13-17).
Bahkan dalam sepanjang hidupNya kita tidak pernah melihat Yesus mengaku dosa atau memberi persembahan / korban penghapus dosa.
Kalau dalam Mat 6:12 (Doa Bapa Kami) Ia mengatakan ‘dan ampunilah kami akan kesalahan kami’ jelas bahwa Ia bukannya mengakui dosa, tetapi Ia sedang mengajarkan doa Bapa Kami itu untuk murid-muridNya. Ini terlihat dari Mat 6:9 yang berbunyi ‘Karena itu berdoalah demikian’ yang jelas menunjukkan bahwa saat itu Ia sedang mengajarkan doa itu kepada murid-muridNya.

5)   Bahwa Yesus itu suci / benar, diakui oleh:
a)         Allah Bapa (Mat 3:17).
Bahwa Allah Bapa berkenan kepada Yesus, jelas menunjukkan ke-sucian Yesus.
b)         Yesus sendiri (Yoh 8:29,46).
c)         Pontius Pilatus (Luk 23:4,14-15,22  Yoh 18:38b  Yoh 19:4).
d)         Istri Pontius Pilatus (Mat 27:19).
e)         Herodes (Luk 23:15).
f)          Yudas Iskariot (Mat 27:4).
g)         Kepala Pasukan Romawi yang menyalibkan Yesus (Luk 23:47).

6)   Ia berhasil menggagalkan 3 x pencobaan setan (Mat 4:1-11  Luk 4:1-13).
Perlu juga dijelaskan bahwa sekalipun dalam Ibr 4:15 dikata­kan bahwa ‘sama dengan kita, Ia telah dicobai’, tetapi itu hanya berhubungan dengan pencobaan dari luar. Kesucian Kristus menyebabkan Ia tidak mungkin mengalami pencobaan dari dalam seperti yang sering dialami manusia yang lain (seperti berpikir untuk berzinah, dsb), karena dalam hal ini pencobaan itu sendiri sudah merupakan dosa.
Karena itu Yesus sendiri bisa berkata bahwa ‘penguasa dunia ini’ (yaitu setan), tidak berkuasa sedikitpun atas diriNya (Yoh 14:30).

7)   Lembu / domba / kambing untuk korban penebus dosa, dan domba Paskah, yang merupakan TYPE / gambaran dari Kristus (bdk. Yoh 1:29  1Kor 5:7) selalu digambarkan sebagai tidak bercela / tidak bercacat (Im 4:3b,23b,28b,32b  Kel 12:5). Bdk. 1Pet 1:18-19.

8)   Penderitaan dan kematian Yesus bisa menggantikan kita untuk menerima hukuman Allah.
Kalau Yesus tidak suci, maka pada saat Ia mati di kayu salib Ia mati untuk dosaNya sendiri, sehingga Ia tidak mungkin bisa menggantikan kita untuk memikul hukuman dosa kita. Bahwa Ia bisa menjadi pengganti, me-nunjukkan bahwa Ia suci. Dengan demikian terlihat bahwa kesucian Kristus merupakan hal yang sangat vital dalam kekristenan, karena tanpa hal itu, seluruh penebusan hancur.


II) Serangan terhadap kesucian Kristus.

1)   Ayat-ayat yang menunjukkan Yesus marah seperti Mat 21:12-13  Mark 3:5  Yoh 2:14,15.

Penjelasan:

a)   Marah tidak mesti dianggap sebagai dosa, dan hal ini terlihat dari Ef 4:26 dan Maz 4:5.

b)   Kemarahan terhadap dosa justru harus ada dalam diri orang yang dikuasai Roh Kudus (Kel 32:19  1Sam 11:6). Dalam Wah 2:2 ketidak-sabaran terhadap orang-orang yang jahat, justru merupakan sesuatu yang dipuji dari gereja / jemaat Efesus. Sebaliknya, dalam 2Kor 11:4 kesabaran orang Korintus terhadap nabi-nabi palsu, justru dikecam oleh Paulus. Demikian juga dalam Wah 2:20, jemaat Tiatira yang membiarkan nabi palsu, juga dikecam.

c)   Kemarahan Yesus adalah kemarahan yang suci, yang ditujukan kepa-da dosa, sehingga jelas bukan dosa.

Penerapan: orang Kristen harus berani marah pada saat yang tepat, misalnya pada waktu melihat ada nabi palsu atau korupsi dalam gereja.

2)   Tuduhan bahwa Yesus melanggar peraturan Sabat (Mat 12:9-14  Luk 14:1-6  Yoh 5:1-18  Yoh 9:14,16).

Untuk ini perlu diketahui bahwa:

a)   Yesus adalah Tuhan atas hari Sabat (Mat 12:8).

b)   Yesus berkata bahwa hari Sabat diciptakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat (Mark 2:27).

c)   Yesus berkata bahwa kita boleh berbuat baik pada hari Sabat (Mat 12:11-12  bdk. Yoh 7:22-23).
Yesus bukan bekerja pada hari Sabat, tetapi menyembuhkan / meno-long orang / berbuat baik pada orang lain pada hari Sabat. Ini jelas bukan dosa.

d)   Yang dilanggar oleh Yesus bukanlah peraturan / hukum Tuhan ten-tang hari Sabat, tetapi penafsiran yang salah dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tentang peraturan Sabat.

3)   Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis, padahal baptisan Yohanes adalah baptisan untuk pengampunan dosa (Mark 1:4).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam persoalan ini:

a)   Berbeda dengan semua orang lain, yang mengaku dosa pada saat dibaptis oleh Yohanes Pembaptis, Yesus tidak mengaku dosa (Mat 3:6,13-17).

b)   Yohanes Pembaptis sendiri, yang mengenali Yesus sebagai Anak Allah / Mesias, mula-mula menolak untuk membaptis Yesus, dan bah-kan beranggapan bahwa ialah yang seharusnya dibaptis oleh Yesus (Mat 3:14).

c)   Yesus menjawab keberatan Yohanes Pembaptis itu dengan berkata bahwa Ia harus dibaptis oleh Yohanes, ‘untuk menggenapkan seluruh kehendak Allah’ (Mat 3:15).
Mat 3:15 (NIV): to fulfil all righteousness (= untuk menggenapkan seluruh kebenaran).
Jadi jelas bahwa Yesus tidak dibaptis untuk mendapatkan pengam-punan dosa!

4)   Yesus dianggap bersikap tidak hormat kepada Maria / ibuNya, misalnya:

a)   Kitab Suci tidak pernah menyebutkan bahwa Yesus memanggil / menyebut Maria dengan sebutan ‘ibu / mama’. Kalau dalam Kitab Suci Indonesia ada ayat-ayat dimana Yesus menyebut / memanggil Maria dengan sebutan ‘ibu’ (seperti dalam Yoh 2:4 dan Yoh 19:26), maka perlu diketahui bahwa itu diterjemahkan dari kata Yunani GUNAI yang sebetulnya berarti ‘perempuan’.

b)   Sikap / kata-kata Yesus terhadap / tentang Maria dalam:
·         Mat 12:46-50.
·         Luk 2:48-49.
·         Yoh 2:4.

Untuk ini perlu diperhatikan bahwa Yesus adalah Allah dan manusia dalam satu pribadi. Sebagai manusia, Ia harus hormat dan tunduk kepada orangtuaNya, tetapi sebagai Allah, Ia justru berkuasa atas orang tuaNya, dan bahkan seharusnya orang tuanyalah yang mentaati Dia, meng-hormati Dia, dan menyembah Dia!

Illustrasi:
Kalau ada seorang majikan dan pegawainya yang sama-sama menjadi majelis dari suatu gereja, maka:
¨      dalam pekerjaan, pegawai itu harus tunduk pada majikannya.
¨      dalam urusan gereja, pegawai itu tidak harus tunduk kepada majikan-nya itu, karena ia mempunyai pangkat / jabatan yang sama dengan majikannya. Dan kalau hal ini terjadi, kita pasti tidak akan mengatakan bahwa pegawai itu kurang ajar kepada majikannya!
Hal yang sama terjadi kalau ada seorang pendeta yang mempunyai orang tua atau mertua sebagai jemaatnya.

5)   Yesus takut dan gentar (Mat 26:37-38  Mark 14:33  Luk 22:44).

Mat 26:37: ‘sedih dan gentar’. Ini salah terjemahan!
NIV: ‘to be sorrowful and troubled’ (= sedih dan susah).
NASB: ‘to be grieved and distressed’ (= sedih dan susah).
Jadi, dari ayat ini hanya terlihat bahwa Yesus sedih, tetapi tidak terlihat bahwa Ia takut.

Sekarang mari kita perhatikan ayat-ayat paralel dari Mat 26:37 itu:

·         Luk 22:44: ‘Ia sangat ketakutan’. Ini juga salah terjemahan!
NIV: ‘being in anguish’ (= ada dalam kesedihan).
NASB: ‘being in agony’ (= ada dalam penderitaan).
Jadi dari ayat inipun tak terlihat bahwa Yesus takut.

·         Mark 14:33: ‘sangat takut dan gentar’.
NIV/NASB: ‘deeply / very distressed and troubled’ (= sangat sedih dan susah).
Tetapi di sini terjemahan NIV/NASB juga salah, karena kata yang diterjemahkan ‘distressed’ (= sedih) itu di dalam bahasa Yunaninya adalah EKTHAMBEISTHAI yang berasal dari kata EKTHAMBEOMAI, yang sebetulnya berarti ‘be greatly alarmed’ (= sangat takut).
Jadi, dari ayat ini kita bisa melihat bahwa Yesus bukan hanya sedih tetapi juga takut.

Hal-hal lain yang menunjukkan bahwa pada saat itu Yesus memang takut:

¨      doa Yesus dalam Mat 26:39 secara implicit menunjukkan bahwa Ia takut terhadap ‘cawan’ (simbol dari murka / hukuman Allah) itu.

¨      Luk 22:44b mengatakan bahwa ia mencucurkan peluh seperti darah. Ada yang menganggap bahwa ini betul-betul adalah darah, dan orang-orang ini mengatakan bahwa hal seperti ini memang bisa terjadi (dan pernah terjadi) pada orang yang mengalami ketakutan yang luar biasa.

¨      Ibr 5:7 (KJV): ‘... he had offered up prayers and supplica­tions with strong crying and tears unto him that was able to save him from death, and was heard in that he feared(= Ia menaikkan doa dan permo-honan dengan tangisan keras dan air mata kepada Dia yang bisa melepaskanNya dari maut, dan didengarkan dalam hal yang Ia takuti).

Catatan:
Kata-kata yang oleh KJV diterjemahkan ‘in that He feared’ (= dalam hal yang Ia takuti), diterjemahkan secara berbeda oleh Kitab Suci bahasa Inggris yang lain.
NIV: because of His reverent submission (= karena ketundukanNya yang penuh hormat / takut).
NASB: because of His piety (= karena kesalehanNya).
NKJV: because of His godly fear (= karena rasa takutNya yang saleh).
RSV: for his godly fear (= karena rasa takutNya yang saleh).
Sekalipun demikian ada banyak penafsir tetap mempertahankan arti yang diberikan oleh KJV.

Bahwa Yesus sedih, itu bukan sesuatu yang aneh, karena saat itu Ia sedang dikhianati oleh Yudas, akan ditinggal oleh murid-muridNya, akan disangkal oleh Petrus, akan ditolak oleh orang-orang Yahudi, dan akan terpisah dari Allah. Dan kesedihan itu juga bukan dosa karena ayat seperti Fil 4:4 memang tidak boleh dimutlakkan (bdk. Mat 5:4  Luk 6:21b)!

Tetapi bagaimana dengan rasa takut yang dialami oleh Yesus? Apakah ini bukan dosa?

a)   Pertama-tama perlu diketahui bahwa Ia bukan takut pada kematian atau penderitaan, tetapi takut pada murka Allah (Catatan: takut pada murka Allah jelas bukan merupakan sesuatu yang salah!) yang akan menimpaNya pada saat Ia menanggung hukuman umat manusia.

William Hendriksen:
“Did he, perhaps, here in Gethsemane see this tidal wave of God's wrath because of our sin coming?” [= Mungkinkah Ia, di sini di Getsemani, me-lihat datangnya gelombang pasang (= tsunami) murka Allah karena dosa kita?] - ‘The Gospel of Mark’, hal 586.

Renungkan: bahwa Yesus, yang biasanya tidak pernah takut itu, bisa takut melihat murka Allah itu, menunjukkan secara jelas betapa hebatnya dan mengerikannya murka Allah atas dosa-dosa kita itu! Bdk. Wah 6:15-17. Karena itu, kalau saudara belum betul-betul percaya kepada Yesus sebagai Juruselamat dan Tuhan, cepatlah percaya, sebelum saudara harus menghadapi / meng-alami murka Allah yang menakutkan itu!

b)         Apakah rasa takut Yesus di sini adalah dosa?

·         Kitab Suci jelas menunjukkan bahwa Yesus tidak pernah berbuat dosa dalam bentuk apapun (Ibr 4:15  2Kor 5:21). Karena itu jelas bahwa rasa takut di sini tidak bisa disebut sebagai dosa. Kita tidak boleh menafsirkan ayat Kitab Suci yang satu sehingga bertentang-an dengan ayat yang lain.

·         1Yoh 4:18 kelihatannya menunjukkan bahwa rasa takut adalah do-sa, tetapi kalau kita membaca mulai 1Yoh 4:17 maka akan terlihat bahwa rasa takut yang dimaksudkan di sini adalah rasa takut terhadap hukuman Allah pada akhir jaman. Ayat ini hanya menunjukkan bahwa orang kristen sejati, yang cinta kepada Allah, pasti tidak akan mempunyai rasa takut terhadap hukuman Allah pada akhir jaman. Mengapa? Karena ia percaya bahwa semua hukumannya sudah ditanggung oleh Kristus sehingga ia tidak mungkin dihukum (Ro 8:1). Jadi jelas bahwa ayat ini tidak bisa diterapkan terhadap rasa takut Kristus pada saat ini.

·         Dalam tafsirannya tentang Mat 26:39, Calvin mengatakan:
“In the present corruption of our nature it is impossi­ble to find ardour of affections accompanied by modera­tion, such as existed in Christ; but we ought to give such honour to the Son of God, as not to judge him by what we find in ourselves” (= Dalam keadaan kita yang berdosa sekarang ini, tidak mungkin untuk mendapatkan perasaan yang tidak berlebihan, seperti yang ada dalam Kristus; tetapi kita harus meng-hormati Anak Allah dengan tidak menghakimiNya dengan apa yang kita dapatkan dalam diri kita sendiri).

“When Christ was struck with horror at the divine curse, the feeling of the flesh affected him in such a manner, that faith still remained firm and unshaken. For such was the purity of his nature, that he felt, without being wounded by them, those temptations which pierce us with their stings”  (= Ketika Kristus takut pada kutuk ilahi, perasaan dari daging mempengaruhiNya dengan cara sedemikian rupa, sehingga iman tetap teguh dan tak tergo­yahkan. Karena begitu murninya ha-kekatNya, sehingga Ia merasa tanpa terluka oleh pencobaan-pen-cobaan yang akan menusuk kita dengan sengatnya).

Jadi dengan kata-kata ini Calvin memaksudkan bahwa:
*        kita sebagai manusia yang berdosa, sangat berbeda dengan Kristus yang suci murni itu.
*      karena itu kita tak boleh menghakimi Kristus dengan apa yang ada dalam diri kita, karena Ia memang berbeda dengan kita.
*        pada saat Kristus takut, Ia bisa tetap beriman (kita tidak bisa seperti ini), dan karena itu Ia tetap tidak berdosa.

6)   Ibr 5:8 mengatakan bahwa Yesus ‘belajar menjadi taat dari apa yang telah dideritaNya’.
Ini dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa ada saat dimana Yesus ti-dak taat.

Penjelasan:

a)   Calvin mengatakan bahwa ayat ini jelas tidak berarti bahwa dulunya Yesus tidak taat, dan lalu Ia mengalami penderi­taan yang membuat Dia taat, seakan-akan Yesus adalah kuda / bagal yang baru mau menurut setelah dikendalikan dengan kekang, pecut dsb (bdk. Maz 32:9). Setiap orang kristen akan mengalami ketaatan seperti ini, tetapi Yesus tidak!

b)   John Owen mengatakan bahwa ‘belajar ketaatan’ bisa diarti­kan 3 ma-cam:
·       dari tidak tahu lalu menjadi tahu tentang apa yang harus ditaati. Tentu bukan ini yang dimaksud di sini.
·         belajar untuk melakukan ketaatan.
Kita semua perlu belajar ketaatan dalam arti ini, dimana kita jatuh bangun berkali-kali, sampai akhirnya kita bisa mengatasi dosa tertentu. Tentu bukan ini yang dimaksud di sini.
·         mendapat pengalaman ketaatan.
Inilah arti yang dimaksudkan di sini.

John Owen juga mengatakan bahwa ketaatan yang dimaksud di sini adalah ketaatan dalam mengalami penderitaan, bahkan kematian untuk menebus dosa manusia (bdk. Yes 50:5-6  Yes 53:7  Yoh 10:17-18  Fil 2:8).
Dengan mengalami semua itu Ia mengalami dalam diriNya sendiri betapa sukarnya ketaatan dalam penderitaan itu, dan betapa besar kasih karunia yang dibutuhkan untuk taat. Dengan demikian Ia bisa mempunyai belas kasihan dan sim­pati terhadap kita yang menderita.
Kalau yang dimaksud dengan ‘belajar ketaatan’ itu adalah ‘mengalami ketaatan dalam penderitaan’, maka jelaslah itu tidak menunjukkan bahwa tadinya Kristus tidak taat!

c)         Tyndale Commentary mengutip Griffith Thomas yang berkata:
“This is the difference between innocency and virtue. Innocency is life untested, while virtue is innocency tested and triumphant. The Son had always possessed the disposition of obedience, but for Him to possess the virtue of obedience, testing was necessary” (= Inilah perbedaan antara ketidak-bersalahan dan kebaikan / kebajikan. Ketidak-bersalahan adalah hidup yang tidak / belum diuji, sedangkan kebaikan / kebajikan adalah ketidakbersa­lahan yang telah diuji dan menang. Anak selalu mempunyai kecondongan pada ketaatan, tetapi supaya Ia mempunyai kebaikan / kebajikan dalam ketaatan, Ia harus diuji).

Kalau kita melihat kata-kata ini, maka terlihat bahwa ia beranggapan bahwa sebelum Yesus ‘belajar ketaatan’ Ia mempunyai innocency (= ketidak-bersalahan), tetapi setelah Yesus ‘belajar ketaatan’, Ia mem-punyai virtue (= kebaikan / kebajikan). Ini lagi-lagi menunjukkan bah-wa sebelum Yesus ‘belajar ketaatan’, Ia bukannya tidak taat.

7)   Ibr 5:9 mengatakan “sesudah Ia mencapai kesempurnaanNya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi ...”.
NASB: “And having been made perfect, He became ...” (= Dan setelah disempurnakan, Ia menjadi ...).
Ayat ini dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa ada satu saat dimana Yesus itu tidak / belum sempurna.

Penjelasan:
Kontex (Ibr 4:14-5:10) berbicara tentang Yesus sebagai Imam Besar, dan karena itu istilah ‘sempurna’ di sini harus dihu­bungkan dengan hal itu. Jadi artinya adalah: Ia jadi cocok sempurna untuk menjadi Imam Besar.

8)   Mark 10:17-18 menceritakan dialog antara Yesus dengan pemuda kaya, dimana ketika pemuda kaya menyebut Yesus dengan isti­lah / sebutan ‘Guru yang baik’, Yesus menjawab dengan berka­ta: ‘Mengapa kaukata-kan Aku baik? Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja’.
Ini sering dianggap sebagai pengakuan Yesus sendiri yang menyatakan bahwa Ia bukan Allah, dan Ia tidak baik.

Penjelasan:

a)   Kita tidak boleh menafsirkan satu ayat sehingga bertentangan dengan ayat yang lain. Penafsiran bahwa Mark 10:17-18 berarti bahwa Yesus bukan Allah dan Yesus tidak baik, bertentangan dengan banyak ayat Kitab Suci yang menunjukkan keilahian dan kesucian Yesus.

b)   Pemuda kaya itu menyebut Yesus dengan istilah ‘guru yang baik’. Dari istilah ‘guru’ jelaslah bahwa ia menganggap Yesus hanyalah manusia biasa. Dengan menambahkan istilah ‘baik’, sebetulnya ia mengguna-kan sebutan yang kontradik­si, karena tidak ada manusia biasa yang baik (Maz 14:1-3  Maz 53:2-4  Ro 3:10-12).
Kata-kata Yesus dalam Mark 10:18 itu dimaksudkan untuk membetul-kan ketidakbenaran / kontradiksi dalam sebutan pemuda kaya itu. Yesus mau bahwa pemuda itu tidak hanya mengakui Dia sebagai baik, tetapi juga sebagai Allah.


III) Ketidak-bisa-berdosaan Kristus.

Semua orang yang Injili dan Alkitabiah setuju bahwa bahwa dalam faktanya Kristus tidak pernah berbuat dosa.

Tetapi yang dibicarakan sekarang, adalah: secara teoritis, adakah kemung-kinan bagi Yesus untuk jatuh ke dalam dosa pada waktu Ia hidup sebagai manusia dalam dunia ini?

Dalam hal ini tidak ada kesatuan pendapat, bahkan dalam kalangan Reformedpun tidak ada keseragaman pendapat.

Sekarang mari kita menyoroti macam-macam pandangan yang ada:

A) Kristus tidak bisa berdosa (non posse peccare).

Ini merupakan pandangan Calvin dan orang-orang Reformed pada umumnya (Catatan: sepanjang yang saya tahu, dari para ahli theologia Reformed, hanya Charles Hodge yang tidak setuju dengan pandangan ini).

Hal-hal yang dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa Kristus tidak bisa berbuat dosa:

1)   Ibr 13:8 berkata bahwa Kristus tidak berubah. Kalau Ia bisa berdosa, maka itu berarti Ia bisa berubah (dari suci menjadi berdosa).

2)   Ibr 10:7,9 mengatakan bahwa Kristus datang ke dunia untuk melaku-kan kehendak Allah. Tujuan ini tidak mungkin tidak tercapai!

3)   Kata-kata Kristus dalam Yoh 14:30 dimana Ia berkata bahwa Pengua-sa dunia ini (yaitu setan) tidak berkuasa sedikitpun atas diriNya, menunjukkan ketidak-mungkinanNya untuk berbuat dosa.

4)   Penebusan oleh Kristus sudah ada sejak semula dalam Rencana Allah dan Rencana Allah tidak mungkin berubah atau gagal.

a)   Bahwa Rencana Allah sudah ada sejak semula terlihat dari ayat-ayat seperti 2Raja-raja 19:25  Maz 139:16  Yes 37:26  Yes 46:10.
Kalau manusia membuat rencana, maka manusia membuatnya secara bertahap. Misalnya pada waktu kita ada di SMP kita merencanakan untuk masuk SMA tertentu, dan pada waktu di SMA baru kita merencanakan untuk masuk pergu­ruan tinggi tertentu. Setelah lulus dari perguruan tinggi, baru kita merencanakan untuk bekerja di tempat tertentu, dsb. Tidak ada manusia yang dari lahir lalu bisa merencanakan segala sesuatu dalam seluruh hidup­nya! Mengapa? Karena manusia tidak maha tahu sehingga ia tidak mampu melakukan hal itu. Manusia membutuhkan penambahan pengetahuan untuk bisa membuat rencana lanjutan.
Tetapi Allah yang maha tahu dan maha bijaksana, meren­canakan seluruh RencanaNya sejak semula!

b)   Penebusan dosa umat manusia oleh Kristus sudah termasuk dalam Rencana Allah (Kis 2:23  Kis 4:27-28  1Pet 1:20).

c)   Rencana Allah tidak mungkin berubah atau gagal (Ayub 42:2  Maz 33:10-11  Yes 14:24,26,27  Yes 46:10-11).
Orang Arminian / non Reformed percaya bahwa Allah bisa meng-ubah RencanaNya, dan percaya bahwa Rencana Allah bisa gagal. Sebetulnya ini suatu penghinaan bagi Allah karena ini menyama-kan Allah dengan manusia, yang sering harus mengubah rencana-nya dan gagal dalam mencapai rencananya!
Ada banyak hal yang tidak memungkinkan Allah mengubah rencanaNya / gagal dalam mencapai rencanaNya:

·         Ayat-ayat dalam point c di atas secara jelas menun­jukkan bahwa Rencana Allah tak mungkin berubah atau gagal!

·         kemahatahuan Allah.
Pada waktu Allah merencanakan, bukankah Ia sudah tahu apakah rencanaNya akan berhasil atau gagal? Kalau Ia sudah tahu bahwa RencanaNya akan gagal, lalu mengapa Ia tetap merencanakannya?

·         kemahabijaksanaan Allah.
Kebijaksanaan Allah menyebabkan Ia pasti membuat rencana yang terbaik. Kalau rencana ini diubah, maka akan menjadi bukan yang terbaik. Ini tidak mungkin!

·         kemahakuasaan Allah.
Manusia sering gagal mencapai rencananya atau terpak­sa mengubah rencananya karena ia tidak maha kuasa. Tetapi Allah yang maha kuasa tidak mungkin gagal mencapai renca-naNya atau terpaksa harus mengubah rencanaNya!

·         kedaulatan Allah tidak memungkinkan Ia untuk mengubah rencanaNya, karena perubahan rencana berarti Ia menjadi tergantung pada situasi dan kondisi (tidak lagi berdaulat).

Kalau Kristus berdosa, maka Ia harus mati untuk dosaNya sendiri, sehingga Ia tidak bisa menebus dosa umat manusia. Jadi kalau ada kemungkinan bagi Kristus untuk berdosa, maka itu berarti ada kemungkinan bagi Rencana Allah (tentang Penebusan) untuk gagal.

5)   Dilihat dari hakekat-hakekat yang ada dalam diri Kristus:
·         hakekat manusia mempunyai sifat ‘bisa berdosa’ (posse peccare).
·         hakekat ilahi mempunyai sifat ‘tidak bisa berdosa’ (non posse peccare).

Berdasarkan Communicatio Idiomatum, maka semua sifat dari hakekat manusia maupun hakekat ilahi diberikan kepada pribadi Kristus. Jadi seharusnya pribadi Kristus mempunyai sifat ‘bisa berdosa’ dan ‘tidak bisa berdosa’. Tetapi kesimpulan ini ditolak oleh orang-orang Reformed pada umumnya.

a)         Pandangan Louis Berkhof.
Adanya Communicatio Charismatum dimana hakekat manusia dari Kristus ditinggikan melebihi makhluk-makhluk ciptaan yang lain mela-lui pemberian karunia-karunia Roh dalam hal intelek, kehendak dan kuasa, terutama dalam hal ketidak-mungkinannya untuk berbuat dosa.
Jadi, Louis Berkhof beranggapan bahwa hakekat manusia Kristus itu sendiri sudah tidak bisa berbuat dosa. Dan ini menyebabkan pribadi Kristus tidak bisa berdosa.

b)         Pandangan W.G.T. Shedd
Shedd beranggapan bahwa hakekat manusia dari Kristus bisa berdosa (posse peccare), tetapi dalam persatuan antara hakekat manusia dan hakekat ilahi dalam satu pribadi, hakekat ilahilah yang menguasai dan mengontrol hakekat manusia, dan bukan sebaliknya. Jadi kekuatan pribadi Kristus untuk melawan godaan / serangan setan setara dengan kekuatan dari hakekat ilahi untuk melawan godaan / serangan setan. Dengan demikian, apa yang bisa dilakukan oleh hakekat manusia Kristus kalau hakekat manusia itu terpisah dari hakekat ilahi (yaitu bisa berbuat dosa), tidak bisa dilakukan oleh persatuan dari hakekat manusia dan hakekat ilahi dalam pribadi Kris­tus.
Jadi doktrin Shedd tentang Communicatio Idiomatum adalah bahwa semua sifat dari hakekat ilahi diberikan kepada pribadi Kristus, tetapi untuk hakekat manusia, ada 1 sifat yang tidak bisa diberikan kepada pribadi Kristus, yaitu sifat ‘bisa berdosa’.
Alasan Shedd adalah: dalam persoalan dosa, hakekat ilahi tidak bisa membiarkan hakekat manusia pada keter­batasannya. Kalau hakekat ilahi melakukan hal itu, hakekat ilahi sendiri sudah berdosa.

“In this latter instance, the divine nature cannot innocently and righteously leave the human nature to its own finiteness without any support from the divine, as it can in other instances” (= Dalam hal yang terakhir ini, hakekat ilahi tidak bisa secara tak berdosa dan secara benar, meninggalkan hakekat manusia pada keterbatasannya tanpa pertolongan dari hakekat ilahi, seperti yang bisa dilakukan oleh hakekat ilahi dalam hal-hal lain) - ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol II, hal 333-334.

c)         Pandangan R.L. Dabney.

·         Persatuan 2 hakekat itu adalah suatu perisai bagi hakekat manusia terhadap kesalahan.
“It is impossible that the person constituted in union with the eternal and immutable Word, can sin; for this union is an absolute shield to the lower nature, against error” (= Adalah tidak mungkin bahwa pribadi yang terbentuk / terdapat dalam persatuan dengan Firman yang kekal dan yang tak berubah, bisa berdosa; karena persatuan ini adalah suatu perisai yang mutlak bagi hakekat yang lebih rendah, terhadap kesalahan) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 471.

·         Dalam persatuan hakekat manusia dengan LOGOS, hakekat ma-nusia itu dikuasai sepenuhnya oleh Roh Kudus.
“This lower nature, upon its union with the Word, was imbued with the full influence of the Holy Ghost” (= Hakekat yang lebih rendah ini, dalam persatuannya dengan Firman, dikaruniai dengan pengaruh pe-nuh dari Roh Kudus) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 471.

Dabney juga memberikan dasar-dasar Kitab Suci yang menunjuk-kan peranan Roh Kudus dalam diri Kristus, yaitu: Maz 45:8  Yes 11:2,3  Yes 61:1 (bdk. Luk 4:21)  Luk 4:1  Yoh 1:32  Yoh 3:34.

Ini kelihatannya sesuai dengan pandangan Calvin, karena dalam komentarnya tentang Mat 4:1 (dimana Kristus dipenuhi oleh Roh Kudus sebelum Ia dicobai oleh setan) ia berkata sebagai berikut:
“Christ was fortified by the Spirit with such power that the darts of Satan could not pierce him” (= Kristus dibentengi oleh Roh dengan kuasa sedemikian rupa sehingga panah-panah Setan tidak bisa menu-suk­Nya).

d)         G. C. Berkouwer mengutip seseorang yang berkata:
“The inner incapacity for sin results from the fact that the ‘I’ of the human nature is the Logos” (= Ketidak-mampuan untuk berbuat dosa merupa-kan akibat dari fakta bahwa ‘Aku’ dari hakekat manusia itu adalah Logos) - ‘Studies in Dogmatics: The Person of Christ’, hal 258.

Perlu ditambahkan kata-kata Herman Hoeksema sebagai berikut:
“My person is that which I know to be the subject of all my actions, ... It is not my nature, my body or my soul, my brain, my eye, my ear, my mouth, my feet, that acts, thinks, sees, hears, speaks, runs; but it is my person. I act, I think, I see, and I hear and speak and run, in and through my nature. ... Now in Christ this person is the Son of God, the Second Person of the Holy Trinity” (= Pribadiku adalah apa yang aku ketahui merupakan subyek dari semua tindakanku, ... Bukanlah hakekatku, tubuhku atau jiwaku, otakku, mataku, telingaku, mulutku, kakiku, yang bertindak, berpikir, melihat, mendengar, berbicara, lari; tetapi pribadikulah yang melaku-kannya. Aku bertindak, aku berpikir, aku melihat, dan aku mendengar dan berbicara dan berlari, di dalam dan melalui hakekatku. ... Dalam hal Kristus, pribadiNya adalah Anak Allah, pribadi yang kedua dari Tritunggal yang Kudus) - ‘Reformed Dogmatics’, hal 359-360.

Karena pribadi merupakan subyek dari semua tindakan, maka jelaslah bahwa Kristus tidak bisa berbuat dosa, karena pribadiNya adalah Allah Anak / LOGOS sendiri!

e)   G. C. Berkouwer juga memberikan pandangan Abraham Kuyper (yang kelihatannya merupakan gabungan dari pandangan c) dan d). Berkouwer berkata sebagai berikut:
“Kuyper says that owing to the human nature of Christ there was in him the possibility of sin (as it existed in Adam before the Fall). But since Jesus did not assume a human person, a ‘homo’, but human nature, and since there was in him no human ego (to realize this possibilitas) but, on the contrary, the human nature remained eternally united to the second person of the Trinity, therefore the control of this divine person makes it absolutely impossible for the possibilitas to become reality” [= Kuyper mengatakan bahwa hakekat manusia Kristus menyebabkan dalam Dia ada kemung-kinan untuk berbuat dosa (seperti yang ada dalam Adam sebelum Kejatuhan dalam dosa). Tetapi karena Yesus tidak mengambil seorang pribadi manusia, seorang ‘manusia’, tetapi hakekat manusia, dan karena dalam Dia tidak ada ego manusia (untuk mewujudkan kemungkinan ini) tetapi, sebaliknya, hakekat manusia itu tetap bersatu secara kekal dengan pribadi kedua dari Trinitas, karena itu kontrol dari pribadi ilahi ini menyebabkan ketidakmung­kinan mutlak untuk terwujudnya ke-mungkinan tersebut] - ‘Studies in Dogmatics: the Person of Christ’, hal 259.

Sekalipun pandangan-pandangan tersebut di atas (a - e) berbeda satu sama lain, tetapi kesimpulannya adalah sama, yaitu: pribadi Kristus tidak bisa berdosa.


B) Kristus bisa berdosa (posse peccare).

1)         Charles Hodge berkata:
“The sinlessness of our Lord, however, does not amount to absolute im-peccability. ... If He was a true man He must have been capable of sinning. ... Temptation implies the possibility of sin. If from the constitution of his person it was impossible for Christ to sin, then his temptation was unreal and without effect, and He cannot sympathize with his people” (= Tetapi, ketidak-berdosaan Tuhan kita, tidak berarti ketidak-bisa-berdosaan yang mutlak. ... Jika Ia adalah seorang manusia yang sungguh-sungguh Ia pasti bisa berdosa. ... Pencobaan secara tak langsung menunjukkan kemungkinan untuk berbuat dosa. Jika pembentukan pribadiNya menyebabkan Kristus tidak mungkin berbuat dosa, maka pencobaanNya tidak nyata dan tidak berguna, dan Ia tidak bisa bersimpati dengan umatNya) - ‘Systematic Theology’, vol II, hal 457.

Jadi, alasan yang diberikan oleh Charles Hodge untuk mendukung pandangan ini adalah:

·         Kalau Kristus menjadi manusia yang sama seperti kita (Ibr 2:14-17), maka Ia juga harus bisa berbuat dosa, sama seperti kita.
Jawab:
Ini bisa dijawab dengan point A no 5 di atas.

·         Kalau Kristus tidak bisa berbuat dosa, Ia tidak bisa dicobai. De-ngan kata lain, fakta bahwa Kristus dicobai, menunjukkan bahwa Ia bisa berbuat dosa.
Jawab:
Pandangan ini tidak benar, karena bahwa suatu pasukan tidak bisa dikalahkan, tidak berarti bahwa pasukan itu tidak bisa diserang. Jadi analoginya adalah: bahwa Kristus tidak bisa berdosa, tidak berarti Ia tidak bisa dicobai.

·         Kalau Kristus tidak bisa berbuat dosa, maka pencobaan yang Ia alami tidak nyata dan tidak berguna, dan Ia tidak bisa bersimpati dengan umatNya.
Jawab:

*        Sekalipun Kristus tidak bisa berbuat dosa, ini tidak berarti bahwa pencobaan yang dialami oleh Kristus adalah  sepele /  ringan  (bdk.  Mat 26:36-46  Ibr 2:18  Ibr 4:15  Ibr 5:7-8).
Tentang hal ini Berkouwer berkata:
“Christ’s sinlessness does not nullify the temptation but rather demonstrates its superiority in the teeth of temptation” (= ketidak-berdosaan Kristus tidak meniada­kan pencobaan tetapi sebaliknya menunjukkan kesuperiorannya dalam gigitan pencobaan) - ‘Studies in Dogmatics: the Person of Christ’, hal 263.

*        Pada waktu membahas tentang pencobaan di padang gurun dalam Injil Lukas, Norval Geldenhuis (NICNT) mengutip Westcott yang mengomentari Ibr 2:18 dengan kata-kata sebagai berikut: “Sympathy with the sinner in his trial does not depend on the experience of sin, but on the experience of the strength of the temptation to sin, which only the sinless can know in its full intensity. He who falls yields before the last strain” (= Simpati dengan orang berdosa dalam pencobaannya tidak tergantung pada pengalaman tentang dosa, tetapi pada pengalaman tentang kekuatan pencobaan kepada dosa, yang hanya orang yang tak berdosa bisa mengetahuinya dalam intensitasnya sepenuhnya. Ia yang jatuh, menyerah sebelum tekanan terakhir) - hal 157.

Geldenhuis juga mengutip Plummer yang berkata: “... a righteous man, whose will never falters for a moment, may feel the attractiveness of the advantage more keenly than the weak man who succumbs; for the latter probably gave way before he recognised the whole of the attractiveness” (= ... orang yang benar, yang tidak pernah goyah sesaatpun, bisa merasakan daya tarik dari keun-tungan dengan lebih hebat / keras dari pada orang lemah yang menyerah / mengalah; karena yang terakhir ini mungkin me-nyerah sebelum ia mengenal seluruh daya tarik itu) - hal 157.

Dari 2 kutipan di atas ini Geldenhuis menyimpulkan: “If we bear these considerations in mind we shall realise that the Saviour experienced the violence of the attacks of temptation as no other human being ever did, because all others are sinful and therefore not able to remain standing until the temptations have exhausted all their terrible violence in assailing them” (= Jika kita mengingat pertimbangan-pertimbangan ini, kita akan menyadari bahwa sang Juruselamat mengalami hebatnya serangan penco-baan yang tidak pernah dialami oleh orang lain, karena semua yang lain adalah orang berdosa dan karena itu tidak bisa tetap berdiri sampai pencobaan-pencobaan itu menghabiskan seluruh kekuatannya dalam menyerang mereka) - hal 157.

Illustrasi dan contoh:
Þ    Kalau seorang petinju yang tidak terlalu tahan pukul meng-hadapi Mike Tyson, maka mungkin sekali bahwa baru satu kali terkena pukulan Mike Tyson ia sudah KO, sehingga ia tidak merasakan seluruh kekuatan Mike Tyson. Tetapi pe-tinju lain yang betul-betul tahan pukulan, tidak jatuh sekali-pun terkena banyak pukulan Tyson, sehingga ia betul-betul merasakan seluruh kekuatan Tyson.
Þ    Orang yang mengalami godaan sex. Kalau begitu ada godaan ia langsung menyerah, maka jelas bahwa ia tidak merasakan seluruh kekuatan godaan itu. Tetapi kalau ia bertahan, maka orang yang menggodanya itu akan meng-gunakan bermacam-macam cara dan taktik untuk menjatuh-kannya, sehingga ia akan merasakan seluruh kekuatan godaan itu.

2)   Ada juga yang membuktikan bahwa Kristus bisa berbuat dosa dengan menggunakan Mat 26:53 dimana Yesus berkata: “Atau kausangka, bahwa Aku tidak dapat berseru kepada BapaKu, supaya Ia segera me-ngirim lebih dari dua belas pasukan malaikat membantu Aku?”.
Ayat ini dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa saat itu Yesus ada di persimpangan jalan. Ia bisa memilih untuk tunduk pada kehendak Allah, dengan membiarkan diriNya ditangkap dan dibunuh. Tetapi Ia bisa juga memilih untuk tidak tunduk pada kehendak Allah, dengan berdoa kepada BapaNya supaya BapaNya mengirim lebih dari 12 pasukan malaikat membantu Dia. Sekalipun akhirnya / dalam fakta­nya Ia memilih untuk taat pada kehendak Allah, tetapi ayat ini dianggap sebagai dasar untuk menunjukkan bahwa sebetulnya Ia bisa saja tidak tunduk pada kehendak Allah.

Jawab:
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
·         Yesus mengucapkan Mat 26:53 ini hanya untuk meluruskan pemi-kiran / tindakan dari Petrus yang berusaha ‘meno­long Yesus’ dengan membacok telinga hamba Imam Besar.
·         Calvin beranggapan bahwa dalam Mat 26:53 ini Yesus hanya mengandaikan.
Jadi maksudnya adalah sebagai berikut: Andaikata saja hal itu ti-dak bertentangan dengan kehendak Allah, maka dari pada dibantu oleh Petrus menggunakan pedangnya, Yesus mempunyai cara yang lebih baik, yaitu berdoa kepada Bapa untuk mengirim lebih dari 12 pasukan malai­kat.
·         Mat 26:53 tidak boleh dipisahkan dari Mat 26:54 yang berbunyi: “Jika begitu, bagaimanakah mungkin akan digenapi yang tertulis da-lam Kitab Suci, yang mengata­kan bahwa harus terjadi demikian?”.
Kata ‘harus’ menunjukkan bahwa penangkapan terhadap Kristus dan kematianNya, tidak bisa tidak terjadi!
·         kita juga harus mengingat doa Yesus dalam taman Getsemani dimana Ia berdoa: “Ya BapaKu, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan itu lalu dari padaKu” (Mat 26:39a). Tetapi karena kesucian-Nya, yang tidak memungkinkan Dia untuk menentang kehendak Allah, Ia lalu menambahkan: “Tetapi janganlah seperti yang Kuke­hendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Mat 26:39b).
Karena itu, andaikatapun Yesus di sini berdoa meminta Bapa mengirim pasukan malaikat, tidakkah Ia juga akan menambahkan kata-kata dalam Mat 26:39 itu?

C) Kristus bisa tidak berdosa (posse non peccare).

Pandangan ini berkata bahwa Kristus bukannya ‘tidak bisa berdosa’ (non posse peccare), juga bukannya ‘bisa berdosa’ (posse peccare), tetapi ‘bisa tidak berdosa’ (posse non peccare).

Jawab: Pandangan ini juga tidak logis, karena memiliki sifat ‘bisa tidak berdosa’ tanpa memiliki sifat ‘bisa berdosa’ adalah sama dengan memiliki sifat ‘tidak bisa berdosa’.


 
Keterangan gambar:

PP   = posse peccare = possible to sin = bisa berdosa.
PNP  = posse non peccare = possible not to sin = bisa tidak berdosa.
NPNP = non posse non peccare = not possible not to sin = tidak bisa tidak berdosa.
NPP  = non posse peccare = not possible to sin = tidak bisa berdosa.

A = Adam dan Hawa sebelum jatuh ke dalam dosa. Mereka ‘bisa berdosa’ dan ‘bisa tidak berdosa’.
B = orang dalam dosa yang masih di luar Kristus. Mereka ‘tidak bisa tidak berdosa’.
C = orang yang ada dalam Kristus. Mereka dikembalikan kepada kondisi Adam dan Hawa sebelum jatuh ke dalam dosa, yaitu ‘bisa berdosa’ dan ‘bisa tidak berdosa’.
D = orang kristen di surga. Mereka ‘tidak bisa berdosa’.

Sekarang perhatikan hanya bagian C dan D saja. Pada waktu ada di C, manusia ‘bisa berdosa’ dan ‘bisa tidak berdosa’. Pada waktu masuk ke D, ‘bisa berdosa’ hilang, tetapi yang tertinggal bukanlah ‘bisa tidak berdosa’, melainkan berubah menjadi ‘tidak bisa berdosa’.
Dari sini jelas bahwa ‘bisa tidak berdosa’ tanpa disertai ‘bisa berdosa’, menjadi ‘tidak bisa berdosa’.





-o0o-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar